Jumat, 06 Desember 2019

DATANGNYA ZAMAN BARU

Rana Plaza, terletak di daerah Savar, Bangladesh, 30 km dari ibukota Dhaka, kini menjadi tempat yang tak terlupakan. Pada 24 April 2013, tepat pukul 08.30 ribuan orang terjebak di dalam reruntuhan gedung tersebut. Ratusan di antaranya meninggal dalam sekejap mata. Sisanya mengalami cacat, entah cacat tubuh atau cacat emosional.

Sekitar 3000 orang sedang bekerja dalam Gedung itu ketika bencana terjadi. Ada 500 mayat manusia berhasil dikeluarkan. Ratusan lainnya masih hilang. Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah korban lainnya belum dapat dipastikan. Entah berapa! Bencana mengerikan di Savar itu, seperti dicatat oleh der Spiegel, merupakan bencana terbesar di sejarah Bangladesh terkait dengan industri. Ribuan orang bekerja dalam situasi yang sangat tidak manusiawi untuk menghasilkan produk-produk tekstil bagi perusahaan-perusahaan pakaian Amerika dan Eropa. Perusahaan-perusahaan itu memperoleh keuntungan besar dari kultur korup yang mengakar di Bangladesh, dibarengi dengan ketidakpedulian pemilik pabrik terhadap kaum buruh mereka (Hasnain Kazim et.al, Mei, 2013).

Rupanya peristiwa menyedihkan itu bukan hanya sekali bagi warga di Savar. Pada 2005, Gedung itu juga runtuh dan merenggut 64 nyawa manusia. Mirip dengan peristiwa di Rana Plaza, Gedung itu juga merupakan bangunan ilegal. Pemilik Gedung itu adalah Sayed Shahriyar. Mertuanya duduk di kursi parlemen. Istrinya adalah hakim. Ia hanya menghabiskan waktu sebentar di penjara, sebelum akhirnya dibebaskan.

Pemilik Rana Plaza, Muhammed Sohel Rana, mencoba melarikan diri. Ia kemudian ditangkap oleh polisi di perbatasan India. Namun, Rana punya koneksi politik yang sangat kuat. Ia kaya raya. Apakah keadilan akan ditegakkan seadil-adilnya? Ia membangun gedung Rana Plaza di atas tanah ilegal. Walikota sendiri yang meresmikan gedung itu, walaupun itu bukan haknya. Ini kasus lumrah yang terjadi di Bangladesh. Gabungan antara korupsi, sikap rakus, dan tidak bertanggung-jawab akhirnya berujung pada bencana yang tidak sedikit memakan nyawa manusia.

Bangladesh adalah negara eksportir tekstil terbesar kedua setelah Cina. Mereka mempekerjakan 4 juta orang. Sektor industri ini juga mengisi 80 persen pendapatan negara itu dari ekspor. Ketika protes dari kaum buruh terjadi, banyak orang panik. Setelah demo selesai, banyak pabrik menekan para buruhnya untuk mengejar ketertinggalan produksi. Mereka bekerja dalam rasa takut, upah rendah, dan situasi yang sama sekali tidak aman, mereka meninggal demi keuntungan beberapa pihak! Pimpinan serikat dagang di Dhaka, Roy Ramesch Chandra, seperti yang dikutip der Spiegel, menegaskan, “Para pekerja di Bangladesh harus membayar dengan nyawa mereka, sehingga para pembeli dari negara lain bisa membeli pakaian murah.” Menyedihkan! 

Bukan hanya di Bangladesh, bukankah untuk memuaskan ambisi kekayaan, kekuasaan dan ketenaran, manusia dapat menjadi serigala bagi sesamanya? Bukankah praktik-praktik seperti ini dapat dengan mudah kita temukan di Indonesia? Hari-hari ini kita digegerkan dengan maskapai Garuda yang membawa onderdil motor Harley Davidson serta sepeda Brompton milik petinggi maskapai pelat merah itu. Kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun, bangunan-bangunan yang berubah fungsi dan ilegal untuk tempat bisnis dan lain sebagainya. Bukankah ini semua buah dari keserakahan dan ketamakan manusia? Setiap orang yang masih waras dalam berpikir, pastilah akan tahu ujungnya nanti ketika keserakahan dan kemunafikan diagungkan. Bencana dan malapetaka! 

Yohanes pada zamannya sangat kuatir dengan perilaku buruk manusia. Ia tampil mengumumkan kedatangan Kerajaan Surga dan menyerukan agar orang bertobat. Dalam bahasa sekarang, seruan ini sama dengan ajakan untuk memahami apa yang sedang terjadi dalam diri kita dan dunia sekitar. Apa yang terjadi sekarang adalah eksploitasi manusia dan sumber daya alam besar-besaran untuk memenuhi syahwat kerakusan dan ketamakan. Tak peduli bahwa di pihak lain ada manusia atau ciptaan lain menderita! Nafsu itu akan membuat manusia dan alam ini celaka. Tidak ada cara lain untuk mengatasinya kecuali menghadirkan zaman baru. Zaman yang sama sekali berbeda dari pola pikir dan paradigma lama yang mengusung hedonisme kerakusan. Zaman baru di mana praktik-praktik kehidupan yang menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, perdamaian dan kepedulian pada keutuhan seluruh ciptaan Tuhan. Untuk melangkah memasuki zaman baru, pertobatan mutlak harus terjadi. Maka pertobatan itu berarti terjadinya perubahan pola pikir. Yohanes menyerukan agar manusia mengalami perubahan akal budi. Maksudnya? Perubahan akal budi itu akan menuntun setiap orang untuk menjalani hidup yang tidak berpusat pada dirinya sendiri, tetapi pada Allah.

Pikiran yang telah diubahkan akan menghantar orang kepada perubahan hati. Hati adalah pusat seluruh pertimbangan manusia yang kemudian terpancar keluar menjadi tindakan. Perubahan pikiran dan hati akan bermuara pada perubahan perilaku: menghasilkan buah pertobatan yang sesungguhnya. Tidak mungkin seseorang mengatakan bahwa dirinya telah mengalami perubahan pola pikir dan hati yang baru, sementara ia masih tetap memanjakan nafsu kedagingannya.

Seruan Yohanes Pembaptis berada dalam konteks ini: Kekuasaan politik “kawin” dengan para pemuka agama, dalam hal ini kebanyakan mereka dari kelompok Farisi dan Saduki yang suka mengeksploitasi agama. Perkawinan ini menghasilkan kemunafikan yang sistemik dalam masyarakat. Yohanes menengarai adanya ketidakselarasan antara praktik religius dengan perilaku umat Allah. Di satu sisi, mereka mengagungkan klaim sebagai “anak-anak Abraham” (Matius 3:9). Namun, di lain pihak mereka menindas rakyat. Kekuasaan dan agama dipakai bukan untuk membangun peradaban baru yang menuju pada kemanusiaan yang lebih baik, melainkan sebagai alat mereka untuk memuaskan ambisi kekuasaan dan kepemilikkan. Maka Yohanes tidak segan-segan menyebut aliansi ini sebagai bukan sebagai anak-anak Abraham yang sesungguhnya, melainkan keturunan ular beludak!

Isi pemberitaan Yohanes diilhami Yesaya 40 seluruhnya bernada mesianis. Yohanes mengingatkan perlunya umat untuk bertobat, kembali ke jalan yang benar, yakni setia kepada Allah dan kepada perjanjian dengan-Nya. Allah baginya bukan pribadi yang jauh, melainkan Dia yang sedang berjalan menuju Israel – sementara dirinya menyiapkan jalan untuk itu. Jadi, bagi Yohanes tidak banyak lagi waktu tersedia: bertobat sekarang atau binasa! Berhadapan dengan Allah, manusia tidak cukup mengubah mentalitas saja, melainkan perlu kembali kepada Allah secara menyeluruh dengan mempersembahkan hidup bagi-Nya. Siapa yang tidak merangkul Allah, artinya tidak bertobat dengan sungguh-sungguh, akan terpaksa menghadapi murka-Nya. Binasa!

Sebagaimana seorang nabi, Yohanes tidak hanya mewartakan tentang kehancuran dan penghukuman. Ia juga menyampaikan sebuah pengharapan tentang zaman baru. Zaman itu ditandai dengan datangnya seorang tokoh yang akan menyelamatkan kehidupan. Kehidupan yang dimaksud adalah dunia baru yang terbebas dari kemunafikan dan ketidakadilan. Nada penuh harapan dalam Yesaya 11:1-10 (bacaan pertama Minggu Adven II tahun A) dapat menolong kita memahami zaman baru itu. Di sana sang nabi menubuatkan kedatangan Raja Damai keturunan Isai; ayah dari Raja Daud; leluhur Yesus. Raja itu akan memperoleh kebijaksanaan (Yesaya 11:1-2) untuk kemudian menegakkan keadilan (Yesaya 11:3-5) dan mendamaikan mereka yang biasanya hidup saling bermusuhan (Yesaya 11: 6-9) dan dengan demikian Ia menjadi pangkal harapan banyak orang (Yesaya 11:10).

Berita dan seruan Yohanes, tentunya saat ini pun menggema bagi kita. Jelas, kita tidak menginginkan dunia ini menjadi “Rana Plaza” melainkan merindukan datangnya zaman baru. Zaman di mana “Taman Eden” hadir di bumi; zaman di mana Kerajaan Surga bukan mimpi di siang bolong; zaman di mana harapan-harapan mesianik yang terekam dalam Yesaya 11:1-10 itu dapat terwujud. Tidak ada cara lain kecuali mengindahkan apa yang diserukan oleh Yohanes Pembaptis itu. Bertobat! Pakailah waktu yang masih ada untuk kita bertobat. Bertobat yang bukan sekedar basa-basi, melainkan secara mendasar. Mulailah mengubah cara berpikir kita yang tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, melainkan mengutamakan apa yang Allah kehendaki. Apa itu? Ya, Allah menghendaki kita untuk mengasihi-Nya dengan cara mengasihi sesama dan semua ciptaan-Nya. Allah juga tidak menghendaki kita menjadi orang-orang yang munafik, sepertinya beribadah namun dalam hati, ibadah itu hanya untuk memuaskan diri sendiri.

Allah menginginkan kita bukan hanya sekedar menantikan zaman baru itu. Kita harus memulai zaman itu dari diri kita, komunitas kita dengan menghasilkan buah-buah pertobatan yang benar. Sering kita merindukan kehadiran sosok teladan yang dapat memberi contoh tentang cinta kasih, keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Nah, tidakkah kita sendiri tergugah untuk menjadi sosok yang kita rindukan itu?

Jakarta, Adven II Tahun A

Jumat, 29 November 2019

BERKARYA DALAM PENANTIAN

Apa yang kebanyakan orang sesali setelah duka nestapa menyapa kepergian orang terkasih untuk selama-lamanya? Sesal! Ya, mungkin kata itu tepat mewakili gejolak emosi. Kita menyesali mengapa kesempatan ketika dia hidup tidak dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Kita menyesali mengapa sering menyalahpahami sikapnya. Kita menyesali mengapa tidak sungguh-sungguh mencintainya. Dan kita menyesali mengapa waktu ini berlalu begitu cepat! Di sini, pada momen ini kita diingatkan bahwa waktu yang Tuhan berikan kepada setiap kita terbatas, dan dalam keterbatasan itulah kita diminta memanfaatkan sang waktu dengan sebaik-baiknya.

Adven mengajak kita masuk dalam penantian. Penantian dalam mempersiapkan Natal, kelahiran Yesus Kristus, tetapi dalam waktu bersamaan kita menantikan kedatangan-Nya kembali. Penantian yang dimaksud jelas bukan menanti dengan duduk diam dan berpangku tangan. Justru dalam masa penantian ini kita diajak untuk berkarya sebelum segala sesuatunya terlambat. Berkarya menyongsong kedatangan-Nya dengan melakukan apa yang diajarkan dan diteladankan-Nya. Berkarya setiap hari, setiap saat tanpa mau membuang waktu, sebab siapa pun di antara kita tidak akan pernah tahu kapan percisnya kedatangan Sang Mesias itu terjadi.

Minggu Adven pertama ini merupakan tahun baru liturgi gerejawi. Secara liturgis kita telah beralih dari tahun C (bacaan Injil Lukas) ke tahun A (bacaan Injil Matius). Berita Injil dalam tahun baru liturgi kali ini kita mendengarkan ajakan untuk berjaga-jaga menunggu kedatangan “Anak Manusia” pada akhir zaman (Matius 24:36-44). Peristiwa penyelamatan sudah dimulai dan akan tergenapi sepenuhnya kelak. Kita semua diajak untuk menyadari kenyataan ini.

Lalu, apa maksudnya?
Sebutan “Anak Manusia” dalam pembicaraan mengenai akhir zaman pada Injil Matius (juga dalam Markus dan Lukas) tidak terlepas dari gema dalam Daniel 7:13, yakni Anak Manusia yang datang menghadap Yang Mahakuasa untuk memperoleh anugerah atas alam semesta. Dalam Kitab Daniel, Anak Manusia ini akan tampil setelah kekuatan-kekuatan jahat yang mengungkung alam semesta punah. Begitulah, zaman yang dikuasai oleh kekuatan anarkis itu akan diganti dengan “zaman Anak Manusia” Kalau begitu, siapakah Anak Manusia itu? Bila dibaca dengan cermat, sosok Anak Manusia dalam Kitab Daniel menggambarkan kemanusiaan yang baru yang sepenuhnya ada di hadapan hadirat ilahi dan bebas dari pengaruh anasir jahat. Ketika Matius dan Injil lainnya menggambarkan Yesus Kristus sebagai Anak Manusia, itu berarti Ia datang dengan kuasa yang penuhi dari Allah sendiri. Orang bisa saja tidak peduli dan mendiamkannya begitu saja. Namun, akan tiba saatnya nanti mereka yang menganggapnya sepele akan merasa ketinggalan kesempatan. Tidak ada lagi waktu tersisa!

Itulah sebabnya, tema kita hari ini relevan agar kita melakukan karya-karya terbaik untuk membangun kemanusiaan yang baru. Kita harus menyadari bahwa Yang Mahakuasa itu sungguh-sungguh hadir walau tidak kasat mata dantidak jelas terlihat. Bukan kehadiran yang diam dan jauh, melainkan yang terus bergerak mendekat. Pada saat Ia tiba, dunia ini akan terpilah-pilah dengan sendirinya. Akan sangat jelas siapa saja yang berada di pihak-Nya. Akan nyata pula siapa yang tidak peduli dengan kehadiran-Nya yang kini masih terselubung itu. Pada masa penantian ini juga merupakan kesempatan untuk terus berupaya memahami kemanusiaan yang baru yang diperkenalkan Yesus serta mengupayakan agar kehidupan komunitas kita terarah ke sana. Dalam Injil Matius, kemanusiaan baru itu ditampilkan sebagai kenyataan Kerajaan Sorga. Dalam tataran ini kita diajak untuk tidak bermimpi tentang Sorga, melainkan menghadirkan Sorga ke bumi!

Bilamanakah itu terjadi? Selalu menjadi pertanyaan bahkan hingga kini. Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus sudah ada tetapi tidak seorang pun tahu kapan sepenuhnya terjadi. Kerajaan Sorga tidak mengikuti kaidah-kaidah hukum alam dan kesepakatan atau hukum-hukum yang dibuat oleh komunitas manusia. Tidak ada yang tahu kapan kemanusiaan yang baru itu sepenuhnya terwujud, kecuali Bapa sendiri, bahkan Anak Manusia yang akan datang itu pun tidak tahu (Matius 24:36), oleh karena itu semua orang diminta untuk berjaga-jaga, agar selalu siap (Matius 24:42-44).

Gambaran zaman Nuh dipakai Yesus untuk menjelaskan betapa manusia itu harus sungguh-sungguh serius dalam mengerjakan perintah Allah dan waspada karena saatnya akan tiba di luar dugaan dan kebiasaan yang lazim. Nuh dikasihi Allah dan dia berusaha membalas kasih Allah itu dengan setia menuruti perintah-Nya. Atas perintah Allah, Nuh membangun bahtera. Sebaliknya, orang-orang pada zaman Nuh itu merasa diri sudah aman, tak butuh apa-apa lagi. Mereka melihat apa yang dikerjakan Nuh adalah sesuatu yang aneh. Bisa jadi Nuh dianggap gila oleh mereka. Kan, tidak akan terjadi apa-apa yang luar biasa! Semua bisa diperhitungkan, menurut orang-orang itu. Memang tidak satu pun yang disebut sebagai tindakan buruk: makan, minum, kawin dan mengawinkan. Semua ini adalah kegiatan sehari-hari yang melangsungkan kehidupan manusia. Tetapi orang mudah melupakan, ada yang tak termasuk dalam tindakan keseharian. Gerak-gerik Ilahi, tidak sepenuhnya dapat diperhitungkan. Ia tetap dalam wilayah misteri ilahi, yang tidak tunduk pada hukum-hukum dunia ini. 

Hanya ketaatan dalam mengerjakan kehendak Allah yang menolong manusia, dalam hal ini Nuh dapat menyambut bahkan membawanya tidak binasa. Mungkin saja kini kita termasuk orang-orang seperti zaman Nuh itu. Semuanya baik-baik saja. Ekonomi dan kesehatan sudah terjamin, pendidikan anak dan masa depannya sudah diperhitungkan, segala pencapaian sudah memenuhi target. Kini, tinggal menikmati saja! Namun, ingatlah ada sesuatu yang bisa terjadi di luar prediksi kita. 

Bagi anak-anak Tuhan, ini bukan ancaman melainkan cara Allah memberikan kesempatan untuk kita ikut membangun “bahtera Nuh” yang baru. Dulu bahtera itu dipakai Nuh untuk menyelamatkan hewan, dan tumbuhan serta keluarganya. Kini bahtera yang baru itu adalah habitat, komunitas yang mampu menghadirkan kemanusiaan baru. Habitat dan komunitas yang sama sekali berbeda dari “manusia-manusia lama” yang hanya memikirkan perut, dan nafsunya sendiri. Komunitas dan habitat manusia baru ini harus mampu menghadirkan kemanusiaan yang benar-benar baru. Seperti apa? Tidak lain seperti apa yang sudah dilakukan oleh Anak Manusia itu. Dialah contoh paling lengkap dan paripurna! Andai kata saja apa yang dilakukan oleh para pengikut “Anak Manusia” itu sama seperti yang diikuti mereka, maka akan tercipta peradaban baru! Sorga itu akan turun dengan sendirinya ke bumi. Mengapa? Sebab setiap orang tidak ada yang egois, rela berbagi bahkan menyerahkan nyawanya sendiri, tutur katanya adalah tutur kata yang membangun; karyanya adalah karya untuk kepentingan orang banyak; seluruh hidupnya penuh dengan pengampunan dan kasih sayang dan semua orang merasa terberkati. Bukankah sorga seperti itu?

Di sinilah kita diajak untuk terlibat berkarya. Ingat sebelum air bah itu datang, Nuh telah selesai membuat bahtera. Maka sebelum harinya tiba, kita diminta juga menyiapkan bahtera; komunitas dan “ekosistem” di mana kehidupan kita membawa dampak, seperti “bahtera” yang berguna untuk menyelamatkan, beguna untuk menghadirkan sorga di bumi ini. Ingatlah, waktu kita sangat terbatas. Jangan di penghujung hidup, baru kita menyadari dan menyesali bahwa kita lalai dan tidak melakukan apa-apa!

Jakarta, Adven 1 Tahun A 2019