Jumat, 08 November 2019

IMAN KEPADA ALLAH YANG HIDUP

Ponte dei Sospiri, harfiah berarti “Jembatan untuk menarik nafas panjang” atau “Jembatan untuk mengesah”. Jembatan ini menghubungkan bangunan tiga lantai indah di kota Venezia yang bernama Palazzo dei Dogi dengan sebuah penjara yang gelap yang tertutup rapat tanpa jendela. Di namai Ponte dei Sospiri tentu saja ada kisahnya.

Konon, mereka yang dipenjara di dalam bangunan itu adalah orang-orang yang tidak akan pernah dibebaskan lagi untuk melihat dunia luar. Oleh karena itu, kalau seorang pesakitan dipanggil keluar dari penjara itu, dipastikan pesakitan itu akan menghadapi pelaksanaan hukuman mati! Maka ketika ia melewati jembatan kecil dan sempit itu, ia akan “menarik nafas panjang” dan “mengesah”, sebab hanya di situlah terakhir kali ia bisa melihat kanal-kanal kota Venezia dari jendela-jendela sempit pada jembatan itu.

Ponte dei Sospiri merupakan bayang-bayang kematian yang menakutkan. Kematian itu sendiri sebetulnya tidak menakutkan. Yang menakutkan adalah “pintu kematian”, pada saat seseorang berhadapan langsung dengan kematian. Ia merasa sendirian dan kesepian. Tidak ada seorang pun yang bisa menemaninya. Dalam filsafat, pengalaman itu disebut Grenzsituasion, pengalaman batas yang memisahkan kehidupan di dunia ini dengan sesuatu yang lain yang belum pernah dialaminya. Kita sudah sering menyaksikan orang meninggal, entah itu kenalan atau bahkan orang yang begitu dekat dengan kita, tetapi jarang menyadari bahwa suatu saat kita pun akan mengalami kematian itu; kita akan melewati Ponte dei Sospiri!

Lalu, apa yang terjadi setelah melewati Ponte dei Sospiri, sakaratul maut itu? Apakah sama seperti para tawanan di Palazzo dei Dogi yang ketika melewati jembatan itu harus menarik nafas panjang dan mengesah sebab itulah akhir dari segala-galanya? Ataukah di seberang sana masih tersisa harapan?

Tampaknya perdebatan di balik kematian sudah cukup tua. Umat Yahudi juga tidak seragam ketika berbicara tentang misteri di balik kematian bahkan ada yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Orang-orang Farisi, mereka yang menamakan diri atau terkenal sebagai ahli-ahli tafsir Kitab Suci meyakini bahwa di balik kematian ada kehidupan kekal. Kehidupan kekal itu adalah upah dari kesalehan yang mereka jalani selama hidup di dunia ini. Keyakinan ini juga dibenarkan oleh kelompok Yahudi lain; Esseni, namun berbeda dalam mempraktikkan kesalehan hidup. Bagi kaum Esseni, kesalehan itu tidak perlu ditonjolkan, cukuplah dalam ruang tertutup saja. Berbeda dari Farisi dan Esseni, kelompok Saduki justru menolak ajaran tentang adanya kebangkitan atau kehidupan setelah kematian.

Siapakah kelompok Saduki ini? Pada umumnya mereka berasal dari keluarga-keluarga aristokrasi yang menghasilkan banyak imam kepala. Berbeda dari Farisi, orang Saduki lebih liberal dalam ajaran dan kurang disiplin secara moral. Dari keseluruhan Kitab Suci, mereka hanya mengakui kelima kitab Taurat saja. Segala-sesuatu yang dikemukakan di luar kelima kitab Taurat, khususnya yang sangat luar biasa diajarkan oleh orang-orang Farisi sebagai “tradisi leluhur”, mereka pandang sebagai penyimpangan doktrinal. Antara lain mereka tidak mengakui adanya kebangkitan atau pun eksistensi para malaikat (bnd. Kis. 23:6-10).

Orang-orang Saduki sangat minim disebut dalam kitab-kitab Injil. Mengapa? Mereka tidak menaruh perhatian pada Yesus. Tetapi mereka menjadi terusik dan mulai memusuhi Yesus setelah mereka menyadari bahwa ajaran, kegiatan dan komunitas Yesus dapat membahayakan status mereka dalam kalangan Yahudi secara keseluruhan. Utamanya setelah Yesus mengobrak-abrik para pedagang di halaman Bait Allah, yang memang usaha itu di bawah kendali orang-orang Farisi. Jadi, Yesus dan gerakannya tidak bisa dipandang remeh.

Kecuali Saduki, pada umumnya masyarakat Yahudi menerima pandangan tentang kebangkitan atau kehidupan di balik kematian. Namun, tentu saja ada variannya. Cerita-cerita apokaliptik dari zaman itu memberi kesaksian bahwa ada perbedaan pendapat sehubungan dengan saat dan tempat kebangkitan maupun kondisi orang-orang yang dibangkitkan. Ada yang yakin bahwa kebangkitan itu akan terjadi di bumi, sedangkan yang lain – di dunia yang sudah diubah sama sekali atau pun di dalam Firdaus. Menurut kelompok yang satu, kebangkitan akan mendahului penghakiman terakhir, tetapi kelompok yang lain mengatakan bahwa kebangkitan akan terjadi sesudah hari penghakiman. Ada yang berpendapat bahwa seluruh umat manusia – termasuk para pendosa – akan dibangkitkan, sedangkan yang lain meyakini bahwa Allah hanya akanmembangkitkan umat Israel saja atau orang-orang benar saja.

Yesus sendiri, sama seperti orang Farisi, mengajarkan kebangkitan. Maka kini, orang-orang Saduki itu menjadi “lawan debat” dari Yesus. Sebagai lawan debat, maka Saduki harus membangun argumen yang kuat untuk meruntuhkan keyakinan bahwa di balik kematian ada kebangkitan. Narasi yang tampaknya sulit dibantah adalah tentang kehidupan seperti apa setelah kebangkitan itu. Mereka mengolah argumen lebih rumit lagi dengan mengangkat masalah pernikahan levirat. Bagi Saduki, jika ada kebangkitan setelah kematian dan kemudian hukum pernikahan levirat  itu diberlakukan di alam kekal, ini merupakan kekonyolan dan sama sekali tidak masuk akal!

Saduki meulai dengan sebuah hukum yang dikenal oleh masyarakat, biar pun hukum itu jarang diberlakukan oleh masyarakat, yakni hukum levirat. Hukum ini berasal dari bangsa Het dan Asyur, yang tercantum dalam Kitab Ulangan 25:5-10, seorang ipar laki-laki (Latin: levir) harus kawin dengan istri saudaranya yang sudah meninggal tetapi tidak mempunyai anak laki-laki. Tujuannya satu saja: melestarikan keturunan saudaranya. Bila ia berhasil dalam tugasnya itu, anaknya diberi nama “ayahnya” yang sudah meninggal itu, sehingga ia menjadi pewaris yang sah. Dalam budaya Yahudi, silsilah keturunan lebih mengutamakan yuridis ketimbang biologis. Sebenarnya dalil pernikahan levirat ini tidak dipraktikan ketika anak-anak perempuan Yahudi diizinkan menjadi pewaris yang sah (Bilangan 36).

Dengan bertitik tolak dari hukum tersebut, Saduki menyusun sebuah kasus, lalu mengutarakannya kepada Yesus. Maksudnya jelas, bahwa ketika orang menerima ajaran kebangkitan maka akan tampak runyam kehidupan setelah itu. Dengan contoh kasus itu, Saduki berusaha meyakinkan para pendengar mereka akan konsekuensi dari kepercayaan akan kebangkitan. Dengan mengangkat kasus pernikahan levirat, Saduki membayangkan eksistensi surga itu berdasarkan kehidupan di bumi, seolah-olah kehidupan sehabis kematian itu hanyalah semacam kelanjutan – yang lebih menyenangkan – dari eksistensi manusia di bumi.

Yesus menjawab bahwa hidup di bumi bukanlah model hidup di akherat. Kebangkitan itu akan mengubahkan manusia sama sekali menjadi suatu hidup dalam Allah, dalam ketaatan dan kekudusan, serupa dengan hidup malaikat. Yesus menyadarkan bahwa tidak ada gunanya membayangkan dunia yang akan datang itu untuk mengetahui bentuk fisiknya. Satu-satunya hal yang harus diketahui adalah bahwa dunia itu sama sekali lain dan bahwa untuk masuk ke dalamnya, manusia perlu melewati kematian bersama Kristus. 

Kemudian Yesus mengembangkannya menjadi sebuah peringatan bagi pendengar-Nya tentang bangkitnya orang-orang mati yang diberitahukan Musa dalam cerita tentang semak duri di mana ia menyebut Tuhan sebagai Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub. Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia, semua orang hidup (Lukas 20:38)

Mungkin saja masih banyak Saduki modern yang menyatakan bahwa tema kebangkitan adalah ciptaan sebuah agama demi menguatkan manusia di bumi ini yang hidupnya harus berakhir dengan kematian. Namun, orang percaya akan kebangkitan karena yakin bahwa mereka dikasihi oleh Allah yang hidup dan karena mereka sendiri mengasihi Allah yang demikian. Iman akan kebangkitan adalah keyakinan dan pengakuan: Aku telah mengalami Allah yang hidup dan berkuasa atas kehidupan; Allah yang demikian menjadi nyata di dalam Anak-Nya, Yesus Kristus, “Manusia sulung yang bangkit dari antara orang mati!”

Jadi mestinya Ponte dei Sospiri, bukanlah jembatan kematian yang menyeramkan; dan bahwa kematian akhir dari segala-galanya. Tidak! Ponte dei Sospiri bagi orang percaya adalah perjumpaan dengan Allah yang hidup! Penyakit dan sakratul maut bukan lagi Ponte dei Sospiri yang menakutkan, melainkan saat penantian untuk berjumpa dengan Dia yang mati dan bangkit untuk kita semua. Dialah Allah yang hidup!

Jakarta, 8 November 2019

Jumat, 01 November 2019

MEMBENCI DOSA, MENGASIHI PENDOSA

“Bersih, tidak bersalah”, barangkali kata itu yang didambakan setiap orang yang sedang berperkara, terjerat hukum. Namun, tentu saja pembuktian untuk seseorang dinyatakan bersih, tidak bersalah sangatlah tidak mudah. Apalagi jika orang tersebut nyata-nyata telah melakukan perbuatan tercela dan disaksikan oleh banyak orang. 

Dampak positif dari kemajuan teknologi membuat tindakan kejahatan dapat segera terungkap. Teknologi penyadapan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) banyak mengungkap tindakan kejahatan yang berujung pada tangkap tangan. Artinya, pelaku dan penerima suap ditangkap pas melakukan transaksi. Kamera-kamera pemantau di pasang di berbagai tempat agar tindak kejahatan dapat diketahui dan dijadikan alat bukti. Termasuk kamera dalam sistem lalu-lintas yang terus dikembangkan.

Di samping dampak positif dari kemajuan teknologi, kita juga menyadari betapa banyaknya sisi negatif. Berita dan adegan-adegan tindakan kejahatan sangat mudah kita temukan melalui genggaman perangkat digital kita. Mulai dari tindakan sadisme sampai prostitusi; mulai dari penipuan sampai tindakan perampasan; mulai dari ujaran kebencian sampai tindakan anarkis, dan semacamnya dapat dengan mudah kita saksikan di layar mungil kita. Dan entah kenapa, kita mudah sekali berbagi konten-konten seperti itu. Bukan hanya berbagi, kita pun turut memberi komentar, menghakimi dan menghujat tanpa memahami duduk perkara yang sebenarnya.

Tidak hanya di dunia maya, orang bisa menghakimi, menghujat dengan caci maki dan memberikan label buruk, dalam kehidupan nyata pun sering kali lebih sadis: orang yang berbuat jahat harus diberi penghukuman yang seberat-beratnya, kalau perlu dipukul, ditenggelamkan atau dibakar hidup-hidup! Di sebuah kampung, seorang penduduknya berkata, “Oh, kalau di kampung kami tidak ada pemukulan, kekerasan apalagi dibakar. Tidak! Kalau ada pencuri, cukuplah kami tangkap. Lalu kami ikat tangan dan kakinya, setelah itu kami letakkan di atas rel kereta api!

Mengapa orang selalu ingin menghukum seberat-beratnya bagi pelaku tindakan kejahatan? Alasan mudahnya, supaya mereka yang melakukan tindakan kejahatan itu dapat merasakan betapa sakit dan merugikannya buah dari tindakan mereka itu. Atau, agar menimbulkan efek jera, dengan demikian orang yang menyaksikan penghukuman itu akan berpikir seribu kali untuk melakukan tindakan kejahatan itu. Atau, bisa juga si penghukum itu telah lebih dulu melakukan perbuatan serupa dan dia diperlakukan sama seperti pendosa. Jadi, inilah kesempatan untuk membalaskan kepahitannya. 

Apa pun alasannya, manusia selalu saja ingin membalaskan tindakan kejahatan itu setimpal atau bahkan lebih berat kepada pelakunya. Jarang sekali ada orang yang ingin memberi hukuman lebih ringan apalagi membebaskan orang yang berbuat jahat dari hukuman yang harus diterimanya. 

Dalam bacaan Injil hari ini (Lukas 19:1-10) mengangkat cerita tentang Zakheus seorang kepala pemungut cukai. Para pemungut cukai adalah petugas Lembaga fiskal Romawi. Tugas itu dipercayakan oleh bangsa penjajah kepada orang yang mampu menawarkan paling banyak uang kepada mereka. Jumlah itu harus ditagihnya kepada rakyat dengan segala macam cara. Imbalannya, para pemungut cukai mendapat pengawalan keamanan dari tentara Romawi. Seorang kepala pemungut cukai hidup dari selisih uang antara jumlah yang ditetapkan penjajah dan jumlah yang berhasil ia tarik dari masyarakat. 

Orang-orang Romawi diuntungkan dengan adanya Lembaga itu. Sebab mereka tidak perlu bekerja langsung sebagai pemungut cukai. Pada pihak lain, pemungut cukai, demi memperoleh jumlah yang harus mereka setor dan juga kehidupan yang memadai; mereka harus memeras rakyat. Cicero, seorang penulis Roma termasyur pernah menulis, bahwa ketidakadilan yang dilakukan oleh pemungut cukai lebih berat daripada bea cukai itu sendiri. Zakheus, sebagai kepala pemungut cukai sangat bergantung dari segala kebijakan Romawi yang merupakan penjajah bangsanya sendiri. Ia tampaknya satu-satunya wakil Roma resmi yang berhak menagih bea cukai di wilayah Yerikho terhadap orang-orang yang datang dari Perea untuk memasuki wilayah Yehuda.

Meski secara ekonomi Zakheus berkecukupan, malah ia disebut sebagai seorang yang kaya. Namun, masyarakat Yahudi memandangnya sebagai orang yang berdosa (dalam Lukas 15:1, pemungut cukai disamakan dengan pendosa). Bagaimana tidak? Ia bekerja sama dengan penjajah Romawi, memeras teman sebangsanya sendiri, ada kemungkinan ia memperkaya diri dengan kedudukannya itu. Jelas untuk orang yang seperti ini selayaknya menerima hukuman dari Tuhan. Orang Yahudi meyakini bahwa hukum-hukum Allah dari dulu harus diterapkan untuk menelanjangi, mengutuk, mengucilkan dan menghukum orang berdosa.

Zakheus yang berarti “bersih, tidak bersalah”, tentu tahu arti nama dirinya itu. Tentu saja ia tidak ingin berstatus si pendosa dan dikucilkan. Ini tampak dari upayanya untuk berjumpa dengan Yesus. Zakheus ingin tahu secara khusus tentang Yesus yang sudah menjadi buah bibir orang banyak bahwa Dia adalah sahabat para pemungut cukai. Namun sayang, orang banyak menutup jalan untuk dirinya berjumpa Yesus, lagi pula postur tubuhnya pendek.

Lihat, Zakheus tidak kehilangan akal. Buru-buru ia lari mendahului Yesus yang akan melintasi jalan itu dan ia memanjat sykomorea (pohon kurma). Zakheus tidak lagi mempedulikan celotehan dan olokan orang-orang yang melihatnya. Ia berupaya terus memanjat pohon itu. Namun, Yesus memprakarsai kelanjutan kisah itu. Ia memang terbiasa untuk meminta bantuan kepada orang yang hendak diberkati-Nya. Ia pernah meminta air kepada seorang perempuan Samaria untuk menyatakan kepadanya bahwa Ia pemilik air yang hidup. Ia pernah mengizinkan seorang perempuan berdosa mengurapi kaki dan rambut-Nya untuk menunjukkan pengampunan dan kasih-Nya. Dalam sikap-Nya ini, Yesus tampak seperti seorang pangeran yang menjadikan diri-Nya pengemis. Sebentar lagi Ia akan minta Zakheus turun dan sudi menerima-Nya di rumahnya sambil menghidangkan makanan untuk-Nya.

Yesus tidak menunggu Zakheus datang terlebih dahulu kepada-Nya, sambil berlutut dan memohon berkat pengampunan-Nya. Tidak! Justru Dialah yang mendekati Zakheus, bahkan mencarinya, ibarat seorang gembala yang baik. Menyambut selalu searti dengan melangkah lebih dahulu ke arah sesama. Zakheus bereaksi cepat, walau ia dikucilkan dan dibenci teman sebangsanya, ia berkata, “Tuan, jangan merepotkan diri, sebab aku tidak pantas menerima Anda masuk ke bawah atapku!”

Masyarakat bereaksi secara spontan sesuai dengan pola pikir mereka, “Skandal! Ia bukan hanya mau makan dengan si pendosa itu, melainkan malah mau bermalam di rumahnya!”

Sebaliknya, rumah itu penuh sukacita. Zakheus berdiri dalam perjamuan makan itu dan membuat pernyataan, “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” (Lukas 19:8). Lewat pernyataan ini Zakheus menanggapi sikap Yesus dan sekaligus juga sikap masyarakat yang memusuhinya. Zakheus ingin melepaskan Yesus dan dirinya dari tuduhan yang dilontarkan orang banyak terhadap mereka. Yesus walau bergaul dengan pemungut cukai bukanlah pendosa. Sebaliknya, oleh Dia si pendosa diberi kesempatan untuk mengubah hidupnya dan Zakheus mengambil keputusan untuk hidup baru!

Berkat kehadiran Yesus, rumah Zakheus menjadi seperti “gereja”. Di rumah itu terjadi liturgi kerahiman dan ritus persekutuan. Zakheus membuka pertemuan itu dengan pengakuan dosa. Ia tidak merasa canggung duduk Bersama Yesus. Maka, terjadilah “konsekrasi”: Lewat kehadiran Yesus, tampaklah keilahian-Nya. Kerahiman Allah dirasakan Zakheus seorang berdosa. Ia diterima Allah dan diperdamaikan dengan sesamanya, bahkan menjadi berkat bagi mereka yang miskin. 

Nama Zakheus dipulihkan kembali “bersih, tak bersalah!” Yesus berhasil memisahkan antara kebenciannya terhadap dosa yang dilakukan umat manusia; dalam hal ini pemerasan dan ketidak-adilan dengan si pelakunya dalam hal ini Zakheus. Zakheus sebagai manusia tidak harus dibenci, dikutuk dan dikucilkan. Ia layaknya seperti domba yang tersesat, dicari, diraih, dipeluk, lalu dibawa pulang. 

Di sekitar kita banyak orang jahat, berbuat dosa dan melanggar hukum. Hukum harus ditegakkan, namun bukan berarti untuk balas dendam dan sarana memupuk kebencian bagi pelakunya. Hukum ditegakkan oleh karena kita semua tidak setuju dan membenci tindakan orang yang melawan hukum dan berdosa itu. Pada pihak lain, kita harus menerima dan mengasihi serta memberi peluang kepada pendosa (orangnya) untuk memulai kehidupan yang baru.

Jakarta, 31 Oktober 2019