Jumat, 01 November 2019

MEMBENCI DOSA, MENGASIHI PENDOSA

“Bersih, tidak bersalah”, barangkali kata itu yang didambakan setiap orang yang sedang berperkara, terjerat hukum. Namun, tentu saja pembuktian untuk seseorang dinyatakan bersih, tidak bersalah sangatlah tidak mudah. Apalagi jika orang tersebut nyata-nyata telah melakukan perbuatan tercela dan disaksikan oleh banyak orang. 

Dampak positif dari kemajuan teknologi membuat tindakan kejahatan dapat segera terungkap. Teknologi penyadapan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) banyak mengungkap tindakan kejahatan yang berujung pada tangkap tangan. Artinya, pelaku dan penerima suap ditangkap pas melakukan transaksi. Kamera-kamera pemantau di pasang di berbagai tempat agar tindak kejahatan dapat diketahui dan dijadikan alat bukti. Termasuk kamera dalam sistem lalu-lintas yang terus dikembangkan.

Di samping dampak positif dari kemajuan teknologi, kita juga menyadari betapa banyaknya sisi negatif. Berita dan adegan-adegan tindakan kejahatan sangat mudah kita temukan melalui genggaman perangkat digital kita. Mulai dari tindakan sadisme sampai prostitusi; mulai dari penipuan sampai tindakan perampasan; mulai dari ujaran kebencian sampai tindakan anarkis, dan semacamnya dapat dengan mudah kita saksikan di layar mungil kita. Dan entah kenapa, kita mudah sekali berbagi konten-konten seperti itu. Bukan hanya berbagi, kita pun turut memberi komentar, menghakimi dan menghujat tanpa memahami duduk perkara yang sebenarnya.

Tidak hanya di dunia maya, orang bisa menghakimi, menghujat dengan caci maki dan memberikan label buruk, dalam kehidupan nyata pun sering kali lebih sadis: orang yang berbuat jahat harus diberi penghukuman yang seberat-beratnya, kalau perlu dipukul, ditenggelamkan atau dibakar hidup-hidup! Di sebuah kampung, seorang penduduknya berkata, “Oh, kalau di kampung kami tidak ada pemukulan, kekerasan apalagi dibakar. Tidak! Kalau ada pencuri, cukuplah kami tangkap. Lalu kami ikat tangan dan kakinya, setelah itu kami letakkan di atas rel kereta api!

Mengapa orang selalu ingin menghukum seberat-beratnya bagi pelaku tindakan kejahatan? Alasan mudahnya, supaya mereka yang melakukan tindakan kejahatan itu dapat merasakan betapa sakit dan merugikannya buah dari tindakan mereka itu. Atau, agar menimbulkan efek jera, dengan demikian orang yang menyaksikan penghukuman itu akan berpikir seribu kali untuk melakukan tindakan kejahatan itu. Atau, bisa juga si penghukum itu telah lebih dulu melakukan perbuatan serupa dan dia diperlakukan sama seperti pendosa. Jadi, inilah kesempatan untuk membalaskan kepahitannya. 

Apa pun alasannya, manusia selalu saja ingin membalaskan tindakan kejahatan itu setimpal atau bahkan lebih berat kepada pelakunya. Jarang sekali ada orang yang ingin memberi hukuman lebih ringan apalagi membebaskan orang yang berbuat jahat dari hukuman yang harus diterimanya. 

Dalam bacaan Injil hari ini (Lukas 19:1-10) mengangkat cerita tentang Zakheus seorang kepala pemungut cukai. Para pemungut cukai adalah petugas Lembaga fiskal Romawi. Tugas itu dipercayakan oleh bangsa penjajah kepada orang yang mampu menawarkan paling banyak uang kepada mereka. Jumlah itu harus ditagihnya kepada rakyat dengan segala macam cara. Imbalannya, para pemungut cukai mendapat pengawalan keamanan dari tentara Romawi. Seorang kepala pemungut cukai hidup dari selisih uang antara jumlah yang ditetapkan penjajah dan jumlah yang berhasil ia tarik dari masyarakat. 

Orang-orang Romawi diuntungkan dengan adanya Lembaga itu. Sebab mereka tidak perlu bekerja langsung sebagai pemungut cukai. Pada pihak lain, pemungut cukai, demi memperoleh jumlah yang harus mereka setor dan juga kehidupan yang memadai; mereka harus memeras rakyat. Cicero, seorang penulis Roma termasyur pernah menulis, bahwa ketidakadilan yang dilakukan oleh pemungut cukai lebih berat daripada bea cukai itu sendiri. Zakheus, sebagai kepala pemungut cukai sangat bergantung dari segala kebijakan Romawi yang merupakan penjajah bangsanya sendiri. Ia tampaknya satu-satunya wakil Roma resmi yang berhak menagih bea cukai di wilayah Yerikho terhadap orang-orang yang datang dari Perea untuk memasuki wilayah Yehuda.

Meski secara ekonomi Zakheus berkecukupan, malah ia disebut sebagai seorang yang kaya. Namun, masyarakat Yahudi memandangnya sebagai orang yang berdosa (dalam Lukas 15:1, pemungut cukai disamakan dengan pendosa). Bagaimana tidak? Ia bekerja sama dengan penjajah Romawi, memeras teman sebangsanya sendiri, ada kemungkinan ia memperkaya diri dengan kedudukannya itu. Jelas untuk orang yang seperti ini selayaknya menerima hukuman dari Tuhan. Orang Yahudi meyakini bahwa hukum-hukum Allah dari dulu harus diterapkan untuk menelanjangi, mengutuk, mengucilkan dan menghukum orang berdosa.

Zakheus yang berarti “bersih, tidak bersalah”, tentu tahu arti nama dirinya itu. Tentu saja ia tidak ingin berstatus si pendosa dan dikucilkan. Ini tampak dari upayanya untuk berjumpa dengan Yesus. Zakheus ingin tahu secara khusus tentang Yesus yang sudah menjadi buah bibir orang banyak bahwa Dia adalah sahabat para pemungut cukai. Namun sayang, orang banyak menutup jalan untuk dirinya berjumpa Yesus, lagi pula postur tubuhnya pendek.

Lihat, Zakheus tidak kehilangan akal. Buru-buru ia lari mendahului Yesus yang akan melintasi jalan itu dan ia memanjat sykomorea (pohon kurma). Zakheus tidak lagi mempedulikan celotehan dan olokan orang-orang yang melihatnya. Ia berupaya terus memanjat pohon itu. Namun, Yesus memprakarsai kelanjutan kisah itu. Ia memang terbiasa untuk meminta bantuan kepada orang yang hendak diberkati-Nya. Ia pernah meminta air kepada seorang perempuan Samaria untuk menyatakan kepadanya bahwa Ia pemilik air yang hidup. Ia pernah mengizinkan seorang perempuan berdosa mengurapi kaki dan rambut-Nya untuk menunjukkan pengampunan dan kasih-Nya. Dalam sikap-Nya ini, Yesus tampak seperti seorang pangeran yang menjadikan diri-Nya pengemis. Sebentar lagi Ia akan minta Zakheus turun dan sudi menerima-Nya di rumahnya sambil menghidangkan makanan untuk-Nya.

Yesus tidak menunggu Zakheus datang terlebih dahulu kepada-Nya, sambil berlutut dan memohon berkat pengampunan-Nya. Tidak! Justru Dialah yang mendekati Zakheus, bahkan mencarinya, ibarat seorang gembala yang baik. Menyambut selalu searti dengan melangkah lebih dahulu ke arah sesama. Zakheus bereaksi cepat, walau ia dikucilkan dan dibenci teman sebangsanya, ia berkata, “Tuan, jangan merepotkan diri, sebab aku tidak pantas menerima Anda masuk ke bawah atapku!”

Masyarakat bereaksi secara spontan sesuai dengan pola pikir mereka, “Skandal! Ia bukan hanya mau makan dengan si pendosa itu, melainkan malah mau bermalam di rumahnya!”

Sebaliknya, rumah itu penuh sukacita. Zakheus berdiri dalam perjamuan makan itu dan membuat pernyataan, “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” (Lukas 19:8). Lewat pernyataan ini Zakheus menanggapi sikap Yesus dan sekaligus juga sikap masyarakat yang memusuhinya. Zakheus ingin melepaskan Yesus dan dirinya dari tuduhan yang dilontarkan orang banyak terhadap mereka. Yesus walau bergaul dengan pemungut cukai bukanlah pendosa. Sebaliknya, oleh Dia si pendosa diberi kesempatan untuk mengubah hidupnya dan Zakheus mengambil keputusan untuk hidup baru!

Berkat kehadiran Yesus, rumah Zakheus menjadi seperti “gereja”. Di rumah itu terjadi liturgi kerahiman dan ritus persekutuan. Zakheus membuka pertemuan itu dengan pengakuan dosa. Ia tidak merasa canggung duduk Bersama Yesus. Maka, terjadilah “konsekrasi”: Lewat kehadiran Yesus, tampaklah keilahian-Nya. Kerahiman Allah dirasakan Zakheus seorang berdosa. Ia diterima Allah dan diperdamaikan dengan sesamanya, bahkan menjadi berkat bagi mereka yang miskin. 

Nama Zakheus dipulihkan kembali “bersih, tak bersalah!” Yesus berhasil memisahkan antara kebenciannya terhadap dosa yang dilakukan umat manusia; dalam hal ini pemerasan dan ketidak-adilan dengan si pelakunya dalam hal ini Zakheus. Zakheus sebagai manusia tidak harus dibenci, dikutuk dan dikucilkan. Ia layaknya seperti domba yang tersesat, dicari, diraih, dipeluk, lalu dibawa pulang. 

Di sekitar kita banyak orang jahat, berbuat dosa dan melanggar hukum. Hukum harus ditegakkan, namun bukan berarti untuk balas dendam dan sarana memupuk kebencian bagi pelakunya. Hukum ditegakkan oleh karena kita semua tidak setuju dan membenci tindakan orang yang melawan hukum dan berdosa itu. Pada pihak lain, kita harus menerima dan mengasihi serta memberi peluang kepada pendosa (orangnya) untuk memulai kehidupan yang baru.

Jakarta, 31 Oktober 2019                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       

Kamis, 24 Oktober 2019

BINASA BILA MENINGGIKAN DIRI

Mengapresiasi keberhasilan, pencapaian dan kebaikan orang lain tentu saja merupakan hal yang baik. Namun, kita harus mewaspadai dampak negatifnya. James B Smith berpendapat bahwa keinginan untuk diakui berasal dari latar belakang masa kecil. Ketika melakukan kebaikan, maka akan dipuji. Sebaliknya, ketika ia melakukan hal buruk, alih-alih pujian, kritik bahkan hukuman akan diterimanya. Kehidupan kita akan seperti ini dalam setiap fase, mulai dari sekolah, olahraga hingga pekerjaan. Lakukan hal yang besar, maka nilai dirimu akan bertambah; jika tidak, nilai dirimu berkurang.

Seiring dengan berjalannya waktu, kita mulai lapar dengan pengakuan diri dari orang lain. Pengakuan orang lain itu akhirnya menentukan nilai diri kita. Pujian lebih penting dari sikap atau perbuatan baik itu sendiri. Kita semua ingin dikasihi. Kita semua ingin merasa berharga, berguna dan luar biasa. Pada tahap tertentu tidaklah salah. Namun, ketika hal tersebut dijadikan tujuan atau hal utama dalam hidup, seketika itu juga kita menjadi keliru. Sebab, bukan demi pujian dan pengakuan kita melakukan perbuatan baik. 

Sayangnya dalam tataran ini, gereja juga punya kontribusi. Bukankah gereja  suka memuji, kesuksesan dan mengkhususkan orang-orang tertentu hanya lantaran kesalehan mereka? Meski tidak ada salahnya untuk memuji kesuksesan pelayanan, kesalehan, dan sikap dermawan mereka, akan tetapi konsep bahwa kesuksesan dan kesalehan akan menentukan nilai diri muncul tanpa disadari dalam diri kita. Nilai diri yang muncul ke permukaan biasanya melahirkan sikap bangga diri. Kebanggaan terhadap diri sendiri sejengkal lagi menghantar seseorang pada sikap sombong, arogan dan akhirnya meremehkan orang lain.

Rupa-rupanya praktik beribadah yang melahirkan sikap jumawa sangat kental di kalangan Yahudi, khususnya Farisipada zaman Yesus. Oleh sebab itulah Ia menyampaikan perumpamaan kontras antara “Farisi dan Pemungut cukai” dihadapan mereka, “Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini:…” (Lukas 18:9). Bagi Yesus, tidaklah cukup orang berbangga diri dengan pencapaian-pencapaian hebat dalam hal pemenuhan tuntutan hukum. Ada yang lebih dari itu.

Orang Farisi dan pemungut cukai yang diperkenalkan oleh Yesus dalam perumpamaan-Nya boleh saja dipandang sebagai wakil dari dua kutub sikap religius Yahudi zaman dulu. Tetapi, kita tidak boleh menggeneralisasikan bahwa semua orang Farisi adalah orang-orang jumawa dan bahwa semua pemungut cukai adalah orang-orang yang tulus. Bukan begitu. Tidak semua orang Farisi dan tidak semua pemungut cukai bersikap religius tepat sama seperti dua tokoh perumpamaan ini. Dapat dipastikan bahwa ada banyak orang Farisi yang jauh lebih baik daripada yang digambarkan dalam perumpamaan ini. Dan ada banyak pemungut cukai yang tidak bertobat dan tidak rendah hati.

Karena itu tidak salah jika dikatakan bahwa Yesus dengan sengaja menuturkan sebuah kisah “karikatur”. Ia sebenarnya tidak mau menggambarkan dua tokoh konkret, melainkan harus dilihat sebagai dua kecenderungan spiritual. Orang Farisi dijadikan karikatur kebenaran: Manusia mudah terperangkap dalam sikap percaya diri.

Orang Farisi yang menganggap diri benar, pada akhirnya tidak dibenarkan Allah. Apakah Allah tidak menghendaki kalau umat-Nya mengucap syukur lantaran ia bukan perampok, bukan orang lalim, bukan seorang penzinah, dan bukan seorang pemungut cukai? Sebaliknya ia berpuasa seminggu dua kali dan sepersepuluh penghasilannya dipersembahkan kepada Tuhan. Tentu saja Allah menginginkan semua orang melakukan kesalehan; mengerjakan apa yang dikehendaki-Nya! Namun, tampaknya orang Farisi ini begitu bangga dengan pencapaian kesalehan yang telah dilakukannya. Ia sangat optimis bahwa dengan semua kesalehannya itu maka ia berhak dibayar oleh Tuhan. Diganjari dan dilimpahi dengan anugerah dan berkat. Ia telah memiutangi Tuhan dengan segala kesalehannya itu.

Inilah yang membuat orang Farisi itu menjadi sombong dan memandang rendah orang lain, dalam hal ini si pemungut cukai yang sama-sama datang di rumah Tuhan untuk berdoa. Sebaliknya, Si pemungut cukai berdiri jauh-jauh, nyaris di pintu keluar rumah ibadat. Ia menyadari sebagai seorang pendosa yang bekerja sama dengan penjajah Romawi, tidak segan-segan menindas dan menganiaya bangsanya sendiri. Kita dapat bayangkan begitu gentar dan malunya ia ketika berdiri di rumah Tuhan. Ia tidak berani menengadah. Ia memukuli dirinya sebagai tanda penyesalan dan pertobatan.

Satu hal saja yang ia ucapkan dalam doanya, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” (Lukas 18:13). Pemungut cukai itu memohon kerahiman dan pengampunan dosa, dan sekaligus rahmat agar diperdamaikan oleh Allah dengan semua sesama yang telah dirugikannya. Ia tidak bersyukur kepada Allah sebab tidak punya apa pun yang dapat dipamerkannya kepada Allah. 

Dengan cerita kontras Farisi – Pemungut cukai ini, Yesus mengajarkan kerendahan hati kepada murid-murid-Nya. Keselamatan setiap orang tidak semata-mata bergantung pada tindakan dan kesalehannya, apalagi dilandasi motivasi Tuhan wajib membayar tindakan amal ibadah itu. Bukan itu! Sebab, kalau kalkulasinya berdasarkan perhitungan seperti itu, siapakah yang dapat membayarnya? Bukankah selalu saja setiap saat kita melakukan tindakan dosa? Oleh karena itu, tidak seorang pun bisa membanggakan diri atas pencapaian-pencapaian yang telah diraihnya. Setiap orang harus tetap rendah hati karena, “barangsiapa meninggikan diri ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri ia akan ditinggikan.” (Lukas 18.14)

Keselamatan bukan atas dasar tindakan amal baik seseorang melainkan hanya oleh belas kasihan Allah semata. Kebaikan dan kesalehan harus ditempatkan sebagai ungkapan syukur atas anugerah kasih Allah yang menyelamatkan itu. 

Perumpamaan tentang dua orang yang berdoa ini secara khusus ditujukan kepada orang-orang Farisi (Jawaban Yesus tentang bagaimana Kerajaan Allah akan diwujudkan). Orang akan ditinggikan, jika ia rendah hati dan benar-benar mengandalkan kasih Allah semata. Jika manusia bersikap seperti pemungut cukai, Kerajaan Allah datang. Anak Manusia benar-benar hadir di tengah-tengah umat manusia. 

Tentu saja Tuhan membenarkan sikap pemungut cukai bukan dalam arti ketika pemungut cukai itu menindas umat Tuhan dan bekerja sama dengan penjajah. Sikap yang dibenarkan itu adalah bahwa si pemungut cukai benar-benar menyesal, ia datang dengan hati yang hancur, pertobatan dan mempertaruhkan keselamatannya hanya pada kemurahan Allah saja. Sebaliknya, bukan Allah tidak suka manusia itu menuruti hukum-hukum-Nya. Tampaknya Allah tidak menyukai ketika manusia membanggakan diri dan merasa diri pantas untuk dibayar Allah melalui anugerah-Nya. Dalam konteks inilah Allah tidak menyukai, menolak dan tidak membenarkan sikap orang Farisi itu. Sikap tinggi hati orang Farisi itulah yang menyebabkan ia tidak dibenarkan di hadapan Allah. Ia binasa! 

Dua contoh sikap religius ditampilkan dalam perumpamaan yang diceritakan Yesus. Ada di sisi manakah kehidupan religius kita? Apakah ibadah-ibadah yang kita lakukan adalah cara kita untuk menagih janji Tuhan dan oleh karena itu Tuhan wajib membayarnya dengan sederet anugerah dan berkat-Nya? Apakah kita lebih suka ibadah-ibadah kita dilihat dan dipuji orang, lalu kita merasa berhak punya tempat “layak” dalam komunitas umat Tuhan? Ataukah ibadah-ibadah yang Tuhan sediakan merupakan sarana di mana kasih dan pengampunan-Nya kita rasakan? Apakah kita menggunakan momen-momen ibadah itu sebagai kesempatan memohon belas kasihan-Nya. Di sisi mana kita berdiri, itu akan menentukan apakah kita orang yang menerima rahmat atau orang yang dilaknat!


Jakarta, 24 Oktober 2019