Jumat, 04 Oktober 2019

IMAN SEHARI-HARI

Pada awal tahun 1990an, terjadi kekerasan geng di Boyle Height, sebelah timur Los Angeles. Ada delapan geng yang berkonflik di sekitar paroki Dolores Mission Catholic Church. Setiap hari selalu ada korban jiwa dan luka-luka. Sekelompok ibu-ibu sedang bersekutu Bersama sambil membaca kisah Yesus berjalan di atas air (Matius 14:22-33). Lalu, salah seorang ibu yang terkesima dengan kisah luar biasa ini, menemukan adanya kesamaan antara Matius 14 dengan keadaan yang sedang terjadi di sekitar mereka.

Konflik antar geng di Boyle Heights adalah badai yang terjadi di Danau Galilea; orang-orang yang ketakutan dan bersembunyi di rumah mereka masing-masing adalah para murid yang bersembunyi dari badai; suara tembakan adalah petir yang menyambar; kematian terasa begitu dekat. Lalu Yesus menampakkan diri dan mereka mengharapkan keselamatan. Sebaliknya, Yesus berkata, “Keluarlah dari perahu.” “Berjalanlah di atas air.” “Masuklah ke dalam keributan yang terjadi!”

Malam itu 70 wanita melakukan peregrinación,yakni prosesi mengunjungi satu geng ke geng yang lain. Para wanita ini membawa makanan, gitar dan cinta kasih. Ketika mereka makan kripik dan minum cokes, mereka menyanyikan lagu-lagu dari Jalisco, Chiapas, dan Michoacán. Para anggota geng menjadi bingung dan terkesima; zona perang menjadi hening.

Tiap malam mereka berkunjung antara para wanita dan anggota geng yang bertikai mulai erat, anak-anak itu mulai terbuka. Keputusasaan karena tidak ada lapangan pekerjaan, kemarahan terhadap brutalitas polisi, kebencian terhadap kemiskinan. Bersama-sama mereka membangun pabrik tortilla, toko roti, pusat penitipan anak, pelatihan bekerja, tempat pelatihan penyelesaian konflik, sekolah untuk belajar, kelompok lingkungan untuk mengawasi dan melaporkan polisi yang melakukan tindak kekerasan, dan lain sebagainya.

Keadaan luar biasa, konflik pembunuhan yang terjadi di sekitar tempat tinggal mereka, bahkan gereja tidak lantas membuat komunitas perempuan – yang biasa dianggap lemah – kehilangan pengharapan dan iman mereka. Firman Tuhan menginspirasi mereka untuk melakukan hal-hal biasa menghadapi situasi yang luar biasa. Hal-hal biasa, sangat sederhana: berkunjung, bernyanyi, makan cemilan, minum dan berbagi cerita. Tidak ada yang istimewa, bukankah perkunjungan dan bertamu adalah hal biasa; bernyanyi dan menikmati hidangan adalah hal-hal yang biasa terjadi sehari-hari. Namun, ada hal luar biasa dalam diri mereka. Apa itu? Benih firman Tuhan tumbuh dalam diri mereka. Firman itu harus menjawab setiap tantangan yang ada di sekitar mereka. Benih itu tumbuh merasuki setiap anggota persekutuan wanita itu sehingga mereka termotivasi untuk mendamaikan pihak-pihak yang sedang berseteru. Luar biasanya “benih itu” sehingga mereka berani menghadapi berbagai risiko, termasuk keselamatan yang mengancam jiwa mereka!

Tak ayal lagi dalam menghadapi pelbagai tantangan – apalagi yang mengancam jiwa dan masa depan – kita berseru meminta pertolongan dari Tuhan dan kita meminta Dia bertindak dengan cara-cara yang luar biasa. Oleh karena itu perkara-perkara luar biasa, mukjizat spektakuler selalu menjadi komoditas yang menarik. Sebaliknya, kehidupan iman yang biasa-biasa saja cenderung tidak diminati.

Yesus mengingatkan para murid bahwa mereka akan menghadapi tantangan yang besar, dalamhal ini adanya penyesat-penyesat (Lukas 17:1,2). Para penyesat itu menurut Yesus lebih baik dilemparkan kelaut. Selain itu Yesus mengingatkan kepada mereka untuk mengampuni sesamamereka, bahkan ketika mereka berbuat dosa sampai tujuh kali sehari sekalipun(Lukas 17:4). Sungguh hal ini merupakan perkara yang tidak mudah!

Sangatlah logis, menghadapi tantangan yang tidak mudah dan melihat Sang Guru penuh dengan kuasa, maka mereka memohon sebuah permintaan, yakni: “Tambahkanlah iman kami!” Bukankah sesuatu yang wajar ada tantangan besar, maka harus dihadapi dengan iman yang besar pula? Namun, Yesus menjawab permintaan mereka itu dengan, “Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan dia akan taat kepadamu” (Lukas 17:6). Apa makna jawab Yesus ini? Bisa saja berarti Yesus sedang menggugat iman mereka, bahkan iman “sebesar biji sesawi” pun tidak ada dalam diri mereka sehingga mereka khawatir menghadapi tantangan itu.

Bagaimanapun juga dalam Lukas 17:6, Yesus tidak berbicara tentang iman dalam jumlah besar atau kecil. Atau dapatkah iman itu diperbanyak. Tidak! Yesus berbicara tentang ada atau tidaknya iman itu. Dalam jawaban-Nya dipakai sebuah gambaran hiperbola – iman sebesar biji sesawi – adalah cukup besar untuk mengakibatkan sesuatu yang menurut akal manusia  tidak mungkin(seperti memindahkan pohon ara yang sangat besar dan kuat, dengan banyak akar, ke dalam laut! Yesus mau menegaskan, bahwa siapa yang sungguh-sungguh percaya kepada Allah – artinya hidup dalam ikatan hubungan yang intim dengan Allah, sehingga Allah menjadi realitas dalam hidup sehari-hari – baginya mungkin apa yang tampaknya tidak mungkin di kalangan manusia, yaitu hidup berdasarkan pengampunan dosa, jadi sangatlah mungkin – berapa kali pun seseorang berbuat tidak menyenangkan atau dosa dan meminta ampun, kita dapat mengampuninya dengan tulus. Mengapa? Sebab, realitas Allah yang adikodrati ada dalam keseharian kehidupan kita. Bayangkanlah Allah berapa kali mengampuni kesalahan kita dalam sehari?

Iman yang benar adalah iman yang mampu merasakan dan menghadirkan Allah dalam realitas kehidupan sehari-hari. Lihatlah kisah emak-emak dalam komunitas paroki Dolores Mission Catholic Church.Mereka melakukan hal-hal biasayang bisa kita lihat sehari-hari: berkunjung, bernyanyi makan dan minum bersama. Namun, menjadi luar biasa karena “benih biji sesawi” itu tumbuh dalam diri mereka, sehingga realitas Allah hadir dalam kehidupan mereka itu. Realitas Allah yang melawat, mengampuni, mengasihi, mendengar, dan bersama-sama mencari jalan keluar, benar-benar dirasakan oleh mereka dampaknya luar biasa, mereka berhasil memindahkan akar-akar kepahitan dan diganti dengan perdamaian dan kasih sayang!

Lihatlah di sekeliling kita! Bukankah pelbagai polemik, konflik, kebencian, kemunafikan dan degradasi moral terus menjadi ancaman dalam kehidupan bersama dan keluarga? Sepertinya dalam kondisi ini pun kita meminta agar mukjizat Tuhan terjadi dan iman kita minta ditambahkan lagi. Tidak mustahil Tuhan juga menggugat iman kita: “Adakah imanmu barang sebiji sesawi saja?” Atau Dia akan berkata, “Cukup! Jika engkau mempunyai iman sedikit saja, mestinya engkau mampu menghadirkan Allah yang penuh cinta kasih!” 

Yang menjadi pokok persoalan kita hari ini adalah: Sungguh-sungguhkah kita beriman dan mempercayakan hidup kepada Allah? Sungguh-sungguhkah kita mempunyai hubungan intim dengan-Nya, sehingga suara-Nya selalu kita dengarkan dan kehendak-Nya selalu kita indahkan dalam kehidupan sehari-hari? Jika “ya”, maka tidaklah perlu untuk meminta menambahkan iman lagi. Sudah cukup! Tinggal kini dalam keseharian hidup kita untuk memaknainya dengan benar. Hadirkan Tuhan melalui tutur kata kita. Hadirkan Tuhan melalui segelas air minum dan makanan ringan. Hadirkan Tuhan dalam senda gurau kita. Hadirkan Tuhan dalam setiap perkunjungan-perkunjungan yang kita lakukan. Hadirkan Tuhan dalam semua kegiatan yang mengatas-namakan pelayanan. Niscaya benih yang ditabur dan tumbuh dalam diri kita akan menjadi besar dan mengatasi banyak hal yang tampaknya tidak masuk akal manusia!

Jakarta,Oktober 2019

Jumat, 27 September 2019

RASA CUKUP DAN HIDUP YANG KEKAL


Suze Orman, seorang ahli keuangan terkemuka, menceritakan pengalaman masa kecil yang membuatnya bisa sampai seperti sekarang. Waktu itu, toko ayahnya terbakar, dan ia ingat dengan jelas ketika ayahnya berlari masuk ke dalam bangunan toko yang terbakar itu. Sang ayah menggendong mesin kasir yang panas dengan tangan kosong, lalu berlari keluar. Ayah terjerembab ke tanah, berteriak kesakitan dengan tangan terbakar dan melepuh!

Pemandangan itu mengubah Orman untuk selamanya. Kala itu, dia masih terlalu kecil untuk mengerti kejadian tersebut. Namun, ada satu konsep yang tertanam dalam pikirannya: uang itu berharga, cukup berharga untuk mengorbankan nyawamu sendiri dengan berlari masuk ke dalam toko yang terbakar, maka dari itu, jangan pernah ceroboh dengan uang. Osman memaknai bahwa momen itu menjadikannya seorang yang “hemat”, seorang manajer yang ulet: “Sejak saat itu, mendapatkan uang, uang yang banyak, telah menjadi prioritas profesional saya, sekaligus prioritas emosional saya.”

Berapa banyak orang yang punya landasan pikir seperti Suze Orman? Tentu saja tidak sedikit, sangat mungkin Anda dan saya juga begitu: Uang cukup berharga maka dari itu mengorbankan nyawa adalah harga yang pantas untuk mendapatkannya! Penghargaan manusia terhadap uang sudah lama sekali, barang kali seumur dengan keberadaan uang itu sendiri. Sejak uang dilahirkan, sejak itulah ia digandrungi, dicari, dan dicintai melebihi apa pun. Mengapa? Ya, jelas bukankah dengan banyaknya uang seseorang dapat membeli apa saja yang ia ingini? Bukankah dengan uang seseorang dihormati dan perkataannya didengar? Dengan uang pula seseorang bisa menundukkan sesamanya! Maka tidaklah sulit untuk mencari jawab, mengapa manusia bisa mengabaikan sesamanya, bahkan menolak dan membunuh. Jawabnnya karena mencintai uang!

Pantaslah Paulus mengingatkan Timotius akan bahaya mencintai uang, “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang,…”(1 Timotius 6 : 10). Uang pada dirinya bukanlah sesuatu yang jahat. Uang diciptakan agar memudahkan manusia bertransaksi. Uang juga dapat memudahkan manusia berbagi, memberi bantuan kepada sesamannya. Uang bukan barang yang jahat! Jahat atau tidaknya apa yang berkaitan dengan uang adalah sikap manusia. Sikap manusia terhadap uang bisa berpengaruh pada pikiran dan prilakunya. Menempatkan uang di atas segala-galanya (bahasa Paulus: mencintai uang), maka akan membutakan cinta kasih manusia terhadap Tuhan, sesama bahkan dirinya sendiri. Ia sama sekali tidak akan peduli dengan penderitaan orang lain meski ada di depan matanya dan meski ia banyak memiliki uang. Bukankah sikap orang kaya terhadap Lazarus yang diceritakan Yesus dalam Lukas 16:19, dan seterusnya menegaskan hal ini? Bukankah juga hari ini banyak orang bersikap seperti si kaya itu, yang sama sekali tidak peduli dengan penderitaan orang lain bahkan ketika ada di depan matanya, padahal ia punya banyak uang? Bukankah pada hari ini ada banyak orang yang tidak hanya tega membakar hutan, tetapi juga membakar suami dan anak tirinya, hanya karena lebih mencintai uang?

Jangan-jangan kita pun mempunyai kecenderungan seperti itu. Bersikap abai dengan sesama, bahkan kejam hanya demi uang! Kita sibuk mencari pembenaran untuk alasan tidak mau peduli: salah sendiri mereka malas, tidak bekerja keras makanya hidup miskin, atau cari uang itu susah maka harus bekerja keras jangan hanya bisa meminta saja, dan seterusnya. Selalu saja ada pembenaran untuk tidak mau berbagi!

Pada saat kita meresahkan uang kita, berhati-hatilah sebab mungkin itulah awalnya kita mencintai uang. Pengalaman James Smith mungkin menolong kita menyikapi uang. Suatu ketika teman Jim membutuhkan uang dan meminjam $ 300 kepadanya. Orang itu berjanji akan mengembalikannya, tetapi ternyata tidak pernah. Setelah tiga tahun kemudian, Jim bertanya kepada salah seorang temannya, “Haruskah saya menelepon dia dan meminta uang saya kembali?” Sang teman menjawabnya, “Apakah kamu merindukan uang itu, Jim?” Jim menjawab, “Tidak!” 

“Apakah kamu merindukan uang itu, Jim?” Pertanyaan ini mengajarkan James bahwa Allah memberikan uang melalui diri kita untuk menolong orang lain. Ketika uang diberikan dengan bijak dan hikmat, maka pada hakekatnya uang itu tidak hilang. James tidak rindu dengan uang $ 300-nya dan ia juga merasa tidak kehilangan.

“Apakah kamu merindukan uang itu, Jim?” Pertanyaan ini membuat Jim selama kurun waktu tiga tahun, tepat ketika sang teman meminjam uang darinya. Kala itu, ia membutuhkan uang untuk pengobatan putrinya. “Kami membutuhkan $ 500 untuk membayar tagihan kami. Pada saat yang sama, ia mendapat sebuah surat dari seseorang yang tidak dikenal. Surat itu bertuliskan, “Saya mendoakan kalian semua, dan merasa bahwa uang ini akan menolong kalian.” Dalam surat itu disertakan cek $ 500. Jim berujar, “Bahkan saya belum sempat merasakan kekhawatiran karena tagihan itu!” Ketika Allah menggunakan uang kita (pada dasarnya bukan milik kita, tapi milik-Nya sendiri), maka Allah tahu juga apa yang kita butuhkan!

Namun, berhati-hatilah bahwa prinsip ini bukanlah semacam “alat pancingan”. Bukan seperti seorang yang berkhotbah, “Jika kamu memberi seribu dollar untuk pelayanan misi saya, maka Allah akan membalas sepuluh ribu dollar!” Bukan, bukan seperti itu! Kalau seperti ini justeru bertentangan dengan ajaran Yesus mengenai uang. Mereka yang memberi – agar mendapat uang banyak sebagai balasan – adalah mereka yang dikuasai oleh ketamakan dan cinta akan uang.

Apa yang diajarkan oleh Yesus tentang uang dan kekayaan mengingatkan kita bahwa itu semua bukan tujuan atau sumber kebahagiaan, melainkan alat untuk kita peduli terhadap sesama. Hati adalah kunci di mana kita bisa memandang orang lain lebih berharga ketimbang uang atau kekayaan kita. Hanya orang dengan hati yang bisa menghargai orang lain, apa pun kondisinya, dialah yang akan mewarisi kehidupan kekal itu.   

Paulus mengingatkan hati itu, ini bukanlah soal kepelitan finasial atau ketidak pedulian kita pada uang, melainkan sikap sederhana, merasa cukup oleh karena itu mampu bersyukur dan peduli terhadap sesama. Hanya orang yang merasa cukuplah maka ia akan mampu bersyukur. Paulus tidak mengatakan bahwa uang adalah akar kejahatan. Dia berkata bahwa cintaakan uanglah akar dari kejahatan. Maka Paulus menyarankan, “Memang ibadah kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah!”(1 Timotius 6: ). Paulus menyatakan rasa puas dengan apa yang ada. Lebih dari itu kita akan tergoda untuk melayani mamon dan bukan Allah. 

Sudahkah kita puas dan cukup dengan berkat yang diberikan Tuhan? Sudahkah apa yang ada pada kita dapat menjadi saluran berkat bagi orang lain yang sedang membutuhkan-Nya? Anak-anak Kerajaan Allah pasti pandai dalam mempergunakan berkat TUHAN!

Jakarta, 27 September 2019