Kamis, 19 September 2019

MELEKAT HANYA KEPADA ALLAH

Hari-hari belakangan ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat sorotan tajam. Di samping kebakaran hutan utamanya di Sumatera dan Kalimantan, serta isu rasisme Papua. Ada banyak interpretasi gunjang-ganjingnya KPK. Ada yang menafsirkan Presiden mulai kompromi dan melunak terhadap keinginan DPR yang secara aklamasi menyetujui revisi undang-undang KPK. Ada juga yang membela sikap Presiden bahwa lembaga anti rasuah itu harus ditata ulang tidak boleh menjadi lembaga istimewa. Apa pun kontroversinya, yang jelas kehadiran KPK telah membuat tidak nyaman dan mempersempit ruang gerak para koruptor di negeri ini.

Meski berulangkali para pejabat korup yang tertangkap basah dipertontonkan, namun tetap saja pemandangan itu terus terulang. Tidak ada jeranya! Satu hal boleh disimpulkan bahwa uang dan kekayaan menggiurkan sehingga risiko hukum dan kaidah moral tidak lagi dilihat. Hal ini mirip dalam kehidupan Israel dan Yehuda dalam Perjanjian Lama, salah satunya pada zaman Nabi Amos. Berulang kali Amos mengingatkan para penguasa dan orang kaya yang menindas dan henghisap orang lemah dan miskin. Namun, alih-alih mereka mengindahkan peringatan itu, terus menindas demi kuasa dan kekayaan meski ancaman hukuman di depan mata mereka. Kuasa dan kekayaan telah membutakan mereka untuk melihat umat yang harus dikasihi!

Cerita perumpamaan yang disampaikan Yesus dalam bacaan Injil hari ini (Lukas 16:1-9) berkisah tentang praktik korup yang dilakukan oleh orang kepercayaan (oikonómos) sang pengusaha. Si bendahara atau CEO ini ditugasi mengelola seluruh urusan bisnis dari tuannya; seperti Yusuf mengelola ekonomi kerajaan Fira’un. Namun ternyata, orang yang diserahi tanggung jawab ini tidak mengerjakannya dengan baik. Ia hidup mewah dengan menghamburkan uang majikannya.

Tentu saja, lambat laun sang tuan tahu apa yang dilakukan oleh orang kepercayaannya itu. Ia memutuskan untuk memecatnya. Jadi, disuruhnyalah CEO ini menghadap, diberitahukan kepadanya bahwa ia dipecat. Namun, masih ada kesempatan baginya untuk menyusun laporan utang-piutang dan pertanggung jawaban keuangan secara menyeluruh berikut bukti-bukti kuitansinya. Dengan sangat terkejut ia menyadari keadaannya sekarang, maka ia berpikir dalam hatinya, “Bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan dengan waktu yang sangat terbatas ini? Mencangkul, aku tidak kuat lagi. Bukankah selama ini aku bekerja menggunakan “kepala”ku, dan bukan dengan tangan? Dan orang seperti aku yang sudah punya derajat dan kedudukan, tentulah sangat memalukan kalau harus mengemis! Apa yang harus aku lakukan untuk menjamin masa depanku? Sebab pekerjaan seperti sekarang ini tidak mungkin aku pertahankan lagi!

Bendahara itu memang seorang cerdik, “Aku tahu apa yang harus aku perbuat!” Segeralahia memanggil orang-orang yang berhutang kepada tuannya. Rupa-rupanya orang-orang yang berhutang itu adalah pedagang-pedagang yang telah membeli hasil dari perusahaan itu, tetapi belum membayarnya. Surat utang setiap orang itu dicari dari arsip. Kepada orang yang berhutang itu, sang bendahara menyajikan sebuah surat utang kosong untuk diisi dengan jumlah lain. Utang orang pertama dikurangi lima puluh persen, ia cukup membayar 2.250 liter minyak (1 tempayan berisi sekitar 45 liter). Utang orang kedua dikurangi dua puluh persen. Menurut perhitungan para ahli, kedua orang yang berhutang itu mendapat reduksi sebesar 600 dinar. Ini setara dengan upah pekerja selama 600 hari. Sebuah jumlah yang besar! Tentu saja kedua orang yang berhutang itu merasa senang. Mereka memandang sang bendahara ini adalah orang baik. Kebaikannya itu akan diingat mereka sehingga mereka akan bersedia menolongnya apabila ia mengalami kesulitan. Sejak saat itu mereka akan bersahabat. Persahabatan itu diikat oleh sebuah kepentingan bersama, uang!

Mengherankan, mengapa Yesus menggunakan perumpamaan seorang koruptor. Tidak hanya itu, Yesus mengapresiasinya! Sang bendahara dipuji bukan dalam hal tindakan korupnya. Ia disebut cerdik oleh karena dalam waktu yang mendesak ia gunakan dengan sebaik-baiknya. Inilah yang hendak dibandingkan Yesus dengan “anak-anak terang”. Seolah-olah Yesus mengatakan, “Kalau ‘anak-anak dunia’ ini berusaha untuk mencapai tujuan mereka dalam perkara-perkara duniawi dan untuk membuat dirinya safedalam hidup selanjutnya di dunia ini. Seharusnya lebih lagi dengan ‘anak-anak terang’ tentulah harus mempergunakan waktu dan kesempatan yang dikaruniakan kepada mereka dengan sebaik-baiknya untuk mendapatkan keselamatan yang sesungguhnya! Jadi, bukan tindakan korupnya dari sang bendahara itu yang harus ditiru, melainkan kecerdikannya memanfaatkan waktu yang sangat pendek untuk memperoleh jaminan ketika ia dipecat nantinya.

Dalam setting korup dan dunia bisnis dan keuangan ini, Yesus selanjutnya mengingatkanpara pendengar-Nya untuk fokus bukan kepada materi yang dapat mengikat manusia sehingga lupa pada tujuan yang harus dicapai, yakni hidup dalam Kerajaan Allah; melekatkan diri kepada-Nya. Yesus menyadari bahwa ikatan duniawi: uang, kekayaan, dan kekuasaan dapat merampas posisi Allah dalam kehidupan manusia. Kata-Nya, “Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”(Lukas 16:13). Yesus menyampaikan sebuah logika bahwa kita tidak dapat sekaligus mengejar harta duniawi dan Kerajaan Allah bersama-sama. Mamon mengacu kepada kekayaan atau roh kekayaan. 

Dengan pernyataan-Nya, Yesus menegaskan bahwa Mamonadalah musuh Allah, karena ia dapat merampas posisi Allah dalam kehidupan manusia. Ini menjadi masalah dalam budaya Yahudi. Mengapa? Mereka percaya bahwa uang dan kekayaan itu bukan musuh, melainkan tanda Allah memberkati mereka. Mengapa Yesus menyebutkan Mamon sebagai tuhan?

Uang dan kekayaan bisa tampil menyerupai tuhan. Pertama, uang melindungi hidup kita karena cakupannya yang panjang. Dengan uang Anda bisa membeli polis asuransi, jaminan kesehatan, gaya hidup dan tempat tinggal yang lebih baik, dll. Kedua, tidak bisa dipungkiri bahwa pengaruh uang sangat besar – semua orang menghormati uang. Orang bisa tidak suka dengan orang kaya, tetapi banyak orang akan menghormati uang orang kaya: “Uang bicara dan orang mendengar.” Ketiga, kekayaan seolah memberikan apa yang kita inginkan dari Allah – rasa aman, kenyamanan dan kebahagiaan. Di sinilah letaknya, mengapa banyak orang cenderung “melayani” uang!

Masalah utamanya bukanlah pada uang, kekayaan atau barang, melainkan hati kita. Hati yang melekat pada uang, kekayaan atau barang. Kita bisa saja miskin tetapi masih menjadi budak Mamon. Sebaliknya, kita bisa saja kaya tetapi memiliki hati yang melekat pada Allah sehingga mau menggunakan uang dan kekayaan itu sebagai alat untuk menyatakan Kerajaan Allah. Masalah yang ada di permukaan, yang kelihatan itu tidaklah terlalu penting. Hati kitalah yang menjadi masalah utama. Yesus membandingkan Allah dan Mamon karena Ia tahu bahwa kita mengejar keduanya.

Bagi Yesus, tidaklah mungkin seseorang mengejar keduanya dengan kualitas yang sama; melayani Allah dan Mamon. Mengapa? Karena keduanya memiliki tujuan yang berbeda. Allah ingin agar kita menolak Mamon dan hanya mengasihi dan mempercayai-Nya, agar kita memperoleh damai sejahtera yang sesungguhnya. Mamon ingin agar kita menolak Allah dan terus-menerus berjuang mengejar kebahagiaan melalui uang. Kita tidak dapat pergi ke Timur dan Barat secara bersamaan; begitu pula tidak dapat melihat ke atas dan ke bawah secara bersamaan.

Mamon mengaku bahwa dirinya dapat memberi kedamaian dan kebahagiaan. Allah menjanjikan kedamaian dan kebahagiaan. Kepada siapa kita melekatkan diri tergantung dari sikap hati dan iman kita. Ketika kita mengalami perjumpaan dengan Allah dan merasakan cinta kasih-Nya, di situlah kita akanmengerti mengapa Yesus menyatakan bahwa kita harus melekatkan diri kepada Allah.

Jakarta, 19 September 2019

Kamis, 12 September 2019

CARI ATAU BIARKAN

Semua orang pasti punya pengalaman kehilangan. Kehilangan berdampak psikis-emosional bagi orang yang mengalaminya. Seberapa dekat seseorang merasa memiliki dan mencintai orang atau barang, sejauh itu pula rasa sakit yang menimpanya ketika yang dimilikinya tersebut hilang. Seseorang akan mengalami sakit dan depresi luar biasa ketika ia kehilangan suami yang dicintainya. Kasus lain, boleh jadi Anda tidak akan bisa tidur tenang bila telepon seluler Anda raib dari genggaman, padahal di dalamnya ada begitu banyakdata penting yang Anda simpan. Sebaliknya, mungkin saja Anda tidak merasa terganggu ketika kehilangan beberapa lembar uang puluhan ribu.

Mencari atau mengabaikan? Tergantung! Seberapa penting dan berharganya seseorang atau barang, sejauh itu kita akan mempertahankannya bahkan mencarinya sampai dapat ketika ia hilang dalam jangkauan kita. “Mencari yang hilang” itulah perumpamaan yang dipakai Yesus dalam Lukas 15 untuk menggambarkan kepedulian Allah dan begitu berharganya setiap orang di hadapan-Nya. Melalui dua perumpamaan (Lukas 15:1-10), Yesus mengajarkan bahwa Allah bukanlah Tuhan pasif yang diam dalam singgasana-Nya untuk menerima hormat dan pujian. Ia tidak hanya menaruh belas kasihan terhadap manusia, apabila manusia itu mencari dan mendekat kepada-Nya. Lebih jauh dari itu, Allah adalah Tuhan yang terus mencari manusia untuk dikasihi dan diselamatkan-Nya.

Seperti situasi kondisi manusia pada saat kehilangan sesuatu yang berharga, demikian juga Allah akan teramat sedih. Ia menangis! Ia menyesali sama seperti peristiwa Musa menerima dua loh batu berisi Taurat TUHAN sementara umat Israel menyembah patung anak lembu emas. Hati-Nya hancur! Hati yang hancur itu ternyata tidak berhenti dalam murka. Ia mencari dan mengasihi. Selanjutnya, Allah yang teramat sedih melakukan apa pun juga untuk mencari dan meraih kembali yang terhilang. Ia mengutus Anak-Nya sendiri untuk mencari yang hilang dan tersesat itu.

Bayangkanlah Anda mempunyai 100 ekor domba, lalu hilang seekor. Apa yang akan Anda lakukan? Mencari atau membiarkannya? Bisa jadi yang paling masuk akal adalah membiarkannya. Mengapa? Bukankah sebuah risiko lebih besar untuk meninggalkan yang 99 ekor demi 1 ekor yang hilang? Bagaimana nanti yang 99 ekor ketika ditinggal, akan amankah mereka? Bukankah dengan mudah pencuri atau binatang buas akan mengambil kawanan domba yang tanpa gembala itu. Lagi pula, membiarkan yang seekor hilang, toh nanti dari yang 99 ekor itu pasti ada yang beranak lagi!

Gembala yang baik mengenal domba-dombanya. Hatinya melekat pada setiap domba gembalaannya. Apabila sore hari ia menghitung domba gembalaannya dan ada yang kurang, maka hatinya akan terus memikirkan domba yang hilang itu. Ia akan mengerahkan segala dayanya untuk mencari dan membawa pulang domba yang hilang itu. Sebab biasanya domba itu tidak tahu jalan pulang, sehingga pada akhirnya mati kelaparan, kehausan atau diterkam binatang buas. Usaha mencari domba yang hilang bagi seorang gembala yang baik sudah menjadi karakter dalam hati mereka. Sebab itu si gembala akan meninggalkan domba-domba yang lain – setelah menitipkannya kepada sesamagembala, atau kawanan domba itu dikumpulkan terlebih dahulu di dalam gua. Gembala itu tidak akan berhenti sebelum ia menemukan domba yang hilang itu. Sekali pun setelah berjam-jam lamanya mungkin saja ia penat dan nyaris putus asa.

Betapa gembiranya ketika sang gembala itu dapat menemukan domba yang hilang dari kawanannya. Kegembiraan akan meledak. Ia memeluknya, meletakkan di bahunya dan segera membawanya pulang. Sesudah kembali kepada teman-temannya, tentu saja ia menceritakan pengalaman yang menegangkan itu. Itulah petualangan yang menegangkan dari seorang gembala. Moral cerita yang hendak disampaikan bukanlah tentang pertaruhan atau pengabaian 99 ekor domba yang ditinggalkan demi mencari satu yang hilang. Melainkan, kegembiraan luar biasa ketika domba yang hilang itu berhasil ditemukan. Hal yang sama juga terjadi ketika ada seorang manusia berdosa – hilang – kemudian dapat diraih kembali, bertobat dan mendapatkan hidup yang kekal. Demikian juga perumpamaan tentang dirham yang hilang mempunyai moral cerita yang sama.

Allah yang gembira dan bersukacita karena yang hilang telah ditemukan: yang berdosa telah bertobat. Itulah Allah yang diperkenalkan Yesus. Namun, ternyata tidak mudah diterima begitu saja, khususnya bagi kalangan yang menganggap diri lebih tahu, lebih dekat dan lebih saleh; ahli Taurat dan orang Farisi. Kultus ibadah yang dibangun mereka mustahil kalau Allah itu mencari, menyapa dan bergaul dengan para pendosa. Cukuplah bagi mereka bahwa Allah akan mengganjar seseorang dengan kehidupan yang penuh berkat ketika ia menjalani kehidupan saleh sesuai syareat Taurat dan turunannya. Sebaliknya, Allah akan melaknat orang-orang berdosa. Maka tidaklah mengherankan keyakinan seperti ini melahirkan pandangan negatifterhadap kaum pendosa. Mereka memandang rendah orang-orang yang tidak mengenal Taurat Allah dan menghindari bergaul dengan mereka. Maka tidaklah mengherankan, mereka yang menganggap diri lebih saleh mencela tindakan Yesus yang bergaul dengan orang-orang berdosa.

Yesus menyambut mereka, bahkan Ia makan bersama-sama dengan mereka. Ini menandakan bukan hanya Yesus mau bergaul dengan mereka, tetapi lebih jauh dari itu; menerima keberadaan mereka. Yesus mau bergaul dan menerima mereka bukan berarti Yesus menyetujui perilaku mereka. Bukan pula karena Yesus lebih suka orang-orang jahat ketimbang orang-orang baik. Bukan begitu! Namun, Yesus merangkul mereka supaya mereka bertobat dan memperoleh hidup. Sebab Ia bersukacita atashidup manusia dan tidak berkenan kepada kebinasaan. Alih-alih turut bersukacita, para ahli Taurat dan orang Farisi justru menolak mendengarkan panggilan Yesus atas penyelamatan orang-orang berdosa.

Sangat mungkin, hari ini kita seperti ahli Taurat dan orang Farisi yang mencibir orang-orang berdosa dan memandang diri sebagai orang saleh. Kita menutup pintu rapat-rapat untuk bergaul dengan mereka. Bahkan tidak jarang kita pun menghakimi mereka. Sayangnya, kita lupa bahwa kita pun tidak luput dari cacat cela. Kita juga lupa bahwa Tuhan mengasihi bereka seperti Tuhan mengasihi kita. Mereka yang kita anggap buruk, ternyata di mata Tuhan sama berharganya, sehingga Tuhan juga mencari dan berusaha menemukan merekan. Bukankah alangkah baiknya, jika kita juga turut bersukacita kalau Tuhan menjamah hidup mereka? 

Allah yang mencari, memeluk, merangkul dan mengasihi orang berdosa. Paulus adalah sosok yang mengalami perumpamaan “yang hilang” itu. Ia berkisah kepada Timotius, “…aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihi-Nya…”(1 Timotius 1:13). Paulus seorang ahli Taurat dan orang Farisi di bawah didikan rabi Gamaliel. Ia merasa paling saleh dan punya kewajiban menumpas orang-orang murtad dan berdosa. Kini, setelah Sang Gembala Agung itu menangkapnya, akhirnya Paulus menjadi alat di tangan-Nya untuk mencari mereka yang hilang. Sama seperti Paulus, kita pun dipanggil-Nya untuk menyatakan kasih Allah bagi semua orang. 

Mencari atau membiarkan, jika ada di antara kita yang “hilang”. Jauh lebih mudah membiarkan orang lain menjauh dari Tuhan ketimbang berusaha meraihnya kembali. Jauh lebih mudah menghakimi orang berdosa ketimbang mengajaknya kembali pada jalan Tuhan. Namun, jauh lebih mulia apabila kita bersedia dipakai-Nya untuk menjadi sahabat orang berdosa yang menghantar pada pertobatan!

Karang Sembung, 12 September 2019