Kamis, 05 September 2019

MELEPAS KEMELEKATAN

Kota Berlin, 1927 ada sekelompok mahasiswa dan seorang profesor suatu universitas mengunjungi sebuah rumah makan. Seorang pelayan menerima pesanan demi pesanan, termasuk permintaan-permintaan khusus. Hebatnya, ia tidak memerlukan kertas untuk mencatat begitu banyak pesanan itu. Kelompok mahasiswa itu berpikir menu yang akan mereka terima pasti berantakan. Ajaib, sesudah beberapa waktu menunggu, semua pesanan diterima persis seperti yang mereka pesan.

Setelah makan malam, di pinggir jalan luar rumah makan itu, mahasiswa psikologi dari Rusia, Bluma Zeigarnik, menyadari syalnya tertinggal di dalam rumah makan itu. Buru-buru, dia masuk kembali dan bertemu dengan pelayan yang memiliki ingatan luar biasa itu. Ia bertanya kalau-kalau pelayan itu melihat syalnya. Si pelayan memandang dengan tatapan kosong. Pelayan itu sama sekali tidak mengingat Zeigarnik duduk di sebelah mana, apalagi memerhatikan syalnya. “Bagaimana mungkin engkau lupa?” Zeigarnik bertanya dengan nada tinggi, “Bukankah baru saja kami menyaksikan keajaiban ingatanmu yang luar biasa?” Pelayan itu menjawab dengan singkat, “Saya menyimpan pesanan di kepala saya – sampai selesai disajikan.”

Bersama mentornya, Kurt Lewin, Zeigarnik membahas perilaku “aneh” dari sang pelayan tadi. Mereka sepakat bahwa setiap orang berfungsi kurang lebih seperti pelayan itu. Kita jarang melupakan tugas yang menjadi tanggungjawab kita. Pikiran dan konsentrasi kita hanya tertuju kepada hal yang menurut kita adalah paling utama. Kita membiarkannya terus ada di dalam kesadaran kita dan tidak mengizinkannya pergi, menarik-narik kita seperti anak kecil, sampai kita memberikan perhatian penuh. Sang peneliti meminjam namanya, kemudian orang mengenal dengan istilah efek Zeigarnik. Tentu saja bertahun-tahun kemudian orang menemukan selalu ada pengecualian dari efek Zeigarnik.Di mana ada sebagian kecil manusia mempunyai pikiran sangat jernih ketika mengerjakan lusinan proyek.

Meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Kurt Lewin; efek Zeigarnik, pada umumnya manusia dan mungkin juga termasuk kita tidak bisa multi tasking, yakni mengerjakan dan berkonsentrasi terhadap beberapa minat atau proyek pada waktu yang bersamaan. Kita fokus pada sebuah masalah lalu yang lainnya kurang mendapat perhatian serius atau malah terabaikan sama sekali. Fokus pada suatu persoalan akan menolong kita mengerjakan dan menangani persoalan itu dengan serius.

Jika dalam persoalan sehari-hari kita membutuhkan fokus yang jelas agar bisa mengerjakan pekerjaan dengan serius, apalagi dalam urusan mengikut Tuhan. Dalam perjalanan-Nya menuju Yerusalem, Yesus mengingatkan mereka yang berduyun-duyun mengikuti-Nya (Lukas 14:25). Catatan Lukas mengisyaratkan bahwa Yesus berjalan menuju Yerusalem berarti Ia sedang menuju kepada penderitaan dan kematian-Nya. Yesus sendiri sedang fokus terhadap misi Bapa yang harus dikerjakan-Nya sampai paripurna. Namun, orang banyak itu tidak menyadari akan apa yang harus ditanggung Yesus. Mereka hanya antusias dan berharap dapat melihat pelbagai mukjizat yang dilakukan Yesus itu.

Harapan palsu itulah yang hendak dilawan Yesus. Yesus tidak berusaha mengerahkan segala tenaga-Nya untuk menghimpun kekuatan massa dan mencari sebanyak mungkin dukungan untuk selanjutnya dipakai sebagai kekuatan politikmelawan imperium Romawi atau para pemuka Yahudi yang sering mencari-cari kesalahan-Nya. Tidak! Dia tidak sedang mencari pendukung fanatikyang mengkultuskan-Nya. Sebaliknya, Yesus menghendaki mereka yang mau mengikuti-Nya tahu persis tugas dan tanggung jawab yang harus dikerjakanserta risiko yang akan dihadapi mereka. Yesus menghendaki kebulatan tekad yang terjadi di dalam hati dengan demikian mereka yang mengikuti-Nya bersedia meninggalkan segala sesuatu yang melekat. Sebagaimana Ia fokus menuntaskan pelayanan-Nya di Yerusalem dan selanjutnya Golgota, demikian juga para pengikut-Nya harus mempunyai kebulatan tekad yang sama!

Dalam kerangka inilah kemudian Yesus berkata kepada mereka yang mau mengikuti-Nya, “Jika seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudaranya laki-laki dan perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku”(Lukas 14:26). Mungkin saja kita heran dan bertanya-tanya. Mengapa Yesus yang mengajarkan untuk mengasihi musuh sekali pun, koqsekarang mengajarkan untuk membenci ikatan emosional dan kerabat yang paling tinggi: keluarga? Tidak tahukah Yesus bahwa Hukum Taurat ke-5 mengajarkan untuk menghormati ayah dan ibu? Bagaimana mungkin Ia yang mengajarkan bahwa pasangan yang sudah disatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia, tetapi kini harus dibenci?

Apa yang disampaikan Yesus tentang “membenci” dalam konteks ini mempunyai makna yang berbeda. Membenci di sini tidak sama seperti kita membenci orang jahat. Bukan begitu! Meski ditulis dalam bahasa Yunani, kita harus mengingat bahwa konteks penulisan Injil ini punya akar budaya Semit. Yahudi termasuk rumpun Semit. Kata Yunani miseodalam kalimat yang disampaikan Yesus bermakna “to love less or reject something in the matter of choice.Dengan demikian, “miseo”yang dikatakan Yesus harus dipahami bahwa, orang yang “membenci” orang tuanya, pasangannya, anak-anaknya dan saudara-saudaranya, bahkan nyawanya sendiri demi Kerajaan Allah, ialah orang-orang yang fokus, mengutamakan, mementingkan nilai-nilai ilahi daripada nilai-nilai atau ikatan-ikatan yang berlaku di dunia. Atau dengan bahasa lain, “Jika ikatan-ikatan yang ada di dunia ini begitu penting: hormat pada orang tua, mengasihi pasangan, anak, kerabat, dan saudara. Maka betapa mutlak dan lebih pentingnya lagi mengasihi dan mengikut Tuhan!

Miseoyang diucapkan Yesus harus diletakkan dalam konteks kemelekatan. Manusia memiliki kecenderungan “melekat” dan “terikat” pada hal-hal yang berhubungan erat dengan dirinya. Terhadap apa dan siapa yang paling memungkinkan manusia melekatkan diri? Tidak lain adalah keluarga dan kerabat, di samping uang dan harta benda. Hal-hal inilah tempat rasa nyaman dan aman manusia dibangun. Inilah tempat keegoisan manusia dibangun dan hal-hal seperti inilah yang hendak dibongkar Yesus. Sebab, itu semua sangat mungkin merampas fokus utama yang seharusnya ditujukan kepada diri-Nya.

Namun, perlu disadari bahwa melepaskan kemelekatan tidak identikdengan melepaskan tanggung jawab kita terhadap ikatan-ikatan sosial yang ada. Kita dapat bersikap tidak melekat terhadap orang-orang dan materi di sekitar kita, tetapi bukan berarti membuang dan mencampakkan orang-orang terdekat dan materi yang harus kita kelola. Bukan! Ketidak-melekatan dapat diwujudkan dengan sikap lapang dada, tidak bergantung dan tidak terobsesi.

Berusaha tidak melekat terhadap ikatan-ikatan sosial dan materi tentu saja bukan perkara mudah. Apalagi tawaran-tawaran hedonisme kekinian. Ada banyak orang dapat meninggalkan ikatan kekeluargaan hanya karena uang dan kedudukan. Banyak orang yang tidak bisa lepas dari ikatan gaway, narkoba, judi dan kesenangan lainnya. Bahkan, bersedia meninggalkan keluarga dan kerabat demi apa yang disukainya. Nah, apabila untuk itu saja manusia bisa meninggalkan ikatan kekerabatan, seharusnya untuk yang lebih serius dan demi Kerajaan Allah serta kehidupan kekal mestinya kita semua dapat melakukannya.

Kembali ke efek Zeigarnik. Kita diingatkan, tidak mudah untuk menaruh banyak fokus dalam benak kita. Kita harus memilih yang paling utama. Selanjutnya serius dengan itu. Ketika kita mengutamakan mengikut Yesus dan serius dengan komitmen yang tinggi melakukan apa yang dikehendaki-Nya, percayalah ikatan-ikatan keluarga dan kerabat tidak pernah akan kita benci. Sebaliknya, kita akan semakin mengasihi dan menyayangi mereka. Mengutamakan fokus pada Kristus dan mengikuti-Nya dengan setia seakan kita mendapatkan “master key” untuk membuka semua pintu-pintu kamar dalam rumah kita. Dengan mengikut Yesus, Anda dan saya akan tahu bagaimana ketulusan cinta kasih itu. Dengan mengikut Yesus, Anda dan saya akan mengerti dan mengalami apa yang namanya pengampunan. Dengan mengikut Yesus Anda dan saya akan tahu apa itu panjang sabar, kasih setia, kebajikan dan seterusnya. Mengapa? Oleh karena Dialah firman yang hidup itu, yang tidak hanya mengajarkan tetapi mencontohkan-Nya dengan penuh kuasa. Kini, yang diperlukan adalah lepaskanlah ikatan-ikatan yang menghambat fokus kita pada Kristus!

Jakarta, 5 September 2019

Rabu, 28 Agustus 2019

TUHAN MENINGGIKAN ORANG YANG RENDAH HATI

Dalam bukunya, Ego is the enemy,Ryan Holiday menyitir kisah Belisarius. Belisarius adalah salah seorang jenderal terhebat dalam sejarah, namun sekaligus juga tidak dikenal. Namanya sangat jarang disebut dan dilupakan dalam sejarah. Ia seorang komandan tertinggi Roma yang dipimpin oleh Kaisar Byzantine Justinian. Kehebatannya terbukti setidaknya sebanyak tiga kali. Saat Roma jatuh dan kursi kekaisaran dipindahkan ke Konstantinopel, Belisarius adalah satu-satunya cahaya terang dalam kegelapan dunia kekristenan. Belisarius memenangkan pertarungan di Dara, Carhage, Naples, Sisilia, dan Konstantinopel. Hanya dengan sekelompok pasukan, ia melawan puluhan ribu pasukan. Belisarius menyelamatkan kerajaan Roma ketika pemberontakan semakin membesar dan takhta kaisar dikuasai musuh. Dia merebut kembali Roma dari orang-orang barbar. Semua pencapaian ini dicapainya sebelum ia berusia empat puluh tahun!

Apa penghargaan untuk Belisarius? Dia tidak dielu-elukan di depan public. Malah ia sering dicurigai oleh Justinian, sang kaisar yang paranoid. Bukan penghargaan yang diterimanya, melainkan ia diganjar gelar, “Komandan Kandang Kuda Kerajaan” yang memalukan. Pada akhir kariernya, kekayaan Belisarius dirampas, dan menurut legenda, dia “dibutakan” dan dipaksa mengemis untuk bertahan hidup. Padahal, begitu banyak kesempatan bagi Belisarius untuk dapat menduduki kursi Kaisar. Namun, itu semua tidak menggodanya! Belisarius memiliki satu kesempatan terakhir. Suatu hari ia divonis tidak bersalah dari tuduhan rekayasa dan kehormatannya dipulihkan, saat yang tepat untuk menyelamatkan kerajaan Roma sebagai seorang tua berambut putih. Sayang, kehidupan tak seindah di negeri dongeng. Ia sekali lagi dituduh dengan tuduhan palsu: berencana melawan kaisar. Sang jenderal mengakhiri hidupnya dengan cacat dan miskin. Akan tetapi banyak orang, bahkan sampai hari ini mengakui kekuatan dan kehebatannya:

            “Masalah ini juga, dapat saya tahan;
            Saya masih seorang Belisarius!”

Apa yang membuat sikap Belisarius seperti itu? Menurutnya, ia hanya melakukan tugasnya – yang ia yakini sebagai tugas yang mulia. Dia tahu bahwa dirinya melakukan tugas itu dengan baik. Dia tahu, dia telah melakukan apa yang benar. Itu sudah cukup. Baginya, melakukan hal yang benar sudah cukup: melayani negaranya, melayani Tuhannya dan melakukan tugas sungguh-sungguh adalah hal terpenting baginya. Segala kesulitan dapat dilalui dan hadiah hanyalah bonus. 

Kerendahan hati Belisarius sepintas terlihat tidak membuahkan hal menggembirakan. Andai kata saja ia mengambil kesempatan itu; menjadi kaisar Roma, tentu saja ia akan disanjung, dihormati, dipuja bahkan disembah! Lalu apa untungnya kerendahan hati itu? Anda tidak akan dihargai nantinya. Anda akan disabotase. Anda akan mengalami kegagalan tidak terduga. Harapan Anda akan tidak tercapai. Anda akan kalah. Anda akan gagal! Lantas, apa yang membanggakan sebagai menjadi orang yang rendah hati? John Wooden menasihati para pemain basket yang ia latih untuk mengubah definisi kesuksesan, “Sukses adalah kedamaian pikiran, yang dihasilkan dari kepuasan pribadi dengan mengetahu bahwa Anda telah berusaha untuk melakukan yang terbaik dan telah menjadi yang terbaik.” Dan sebaliknya, ambisi mengejar kehormatan menurut Marcus Aurelius, “Mencoba menyesuaikan diri Anda seperti yang dikatakan orang atau dilakukan orang lain…” 

Kesombongan dan haus pengakuan bisa tercermin dalam pelbagai bentuk kehidupan sehari-hari, sangat mungkin tidak kita sadari, misalnya seperti yang diungkapkan oleh James Bryan Smith (The Good and Beautiful Life):

·      Ketika saya sukses dalam suatu hal atau menerima penghargaan atas prestasi, saya ingin segera memberi tahu orang lain.

·       Saya selalu berusaha agar orang lain tidak mengetahui kelemahan dan kegagalan saya. Ini sama ketika menceritakan kesuksesan. Dalam kedua poin ini terkandung pikiran, saya selalu ingin agar orang lain berpikir yang baik mengenai diri saya.

·      Dalam tiap pembicaraan, saya selalu ingin terlihat rendah hati, tetapi saya juga ingin agar orang lain tahu betapa hebatnya saya. Saya selalu menceritakan kesuksesan saya tanpa terlihat sombong. Jika cerita saya berhasil, mereka tidak sadar jika saya sedang ingin terlihat hebat.

·    Saya tidak perlu lagi menyebut nama siapa pun. Semua teman dekat saya tahu orang terkenal mana saja yang telah saya temui dan habiskan waktu bersama.

·     Semua pelayanan yang saya lakukan diketahui oleh semua orang – semua orang harus tahu.

·     Ketika melihat anak saya dalam pertandingan olahraga atau seni, saya lebih ingin agar anak saya tampil baik di depan orang banyak daripada menikmati apa yang dilakukan anak saya sendiri.

Sebab siapa saja yang meninggikan diri, ia akan direndahkan dan siapa saja yang merendahkan diri, akan ditinggikan.”Itulah ajaran Yesus ketika melihat kecenderungan orang meninggikan diri. Pada suatu hari Sabat Yesus diundang dalam perjamuan makan. Aneh juga, menyembuhkan orang pada hari Sabat dilarang, tetapi mengadakan perjamuan adalah sebuah hal lumrah. Padahal di balik perjamuan itu pasti ada banyak orang yang bekerja menyiapkan makan dan mencuci perabotan makan.

Yesus hadir dalam perjamuan itu. Setelah masuk dalam ruangan, para tamu memilih tempat di meja makan. Tetapi mereka tidak duduk, melainkan setengah berbaring sambil menyandarkan diri pada bantal yang sudah tersedia. Ternyata, semua orang yang hadir itu ingin mengambil tempat yang paling nyaman dan terhormat, dekat dengan tuan rumah. Kebiasaan pada masa itu, tempat yang paling dekat dengan meja makan ditentukan berdasarkan reputasi para undangan, yaitu berdasarkan peranannya dalam masyarakat setempat dan berdasarkan kekayaan. 

Yesus memperhatikan berbagai manuver kaum Farisi dan para ahli kitab setelah mereka masuk ruang perjamuan itu. Yesus memanfaatkan situasi konkrit ini untuk menyampaikan ajaran-Nya melalui perumpamaan. Ia sama sekali tidak menyerang, apa lagi menyinggung perasaan orang-orang yang hadir dalam perjamuan makan itu. Kata-katanya berisi nasihat, “Tidak bijaksanalah kalau Anda mengambil tempat yang utama di ruang resepsi. Sebab, bisa saja setelah Anda akan datang orang yang dipandang lebih terhormat dan memang biasanya mereka datang saat-saat terakhir atau terlambat sedikit dari kebanyakan tamu undangan yang lain. Tuan rumah tentu saja harus memberi tempat utama kepada orang yang dianggap tokoh. Maka, bila Anda menempati tempat terhormat itu, Anda akan diminta untuk mundur ke tempat yang paling akhir. Maka janganlah Anda terlalu ambisius, supaya nanti jangan dipermalukan!” Kata-kata ini senada dengan nasihat dalam Amsal 25:6-7. Yesus menawarkan posisi sebaliknya bagi para pendengar-Nya itu. Duduklah di tempat paling belakang: di tempat yang tidak terhormat. Bisa saja tuan rumah akan mempersilahkannya maju ke depan ke tempat yang terhormat. Tindakan ini jauh lebih mulia ketimbang tindakan yang pertama. 

Tentu saja apa yang disampaikan Yesus bukan sekedar tata krama di tempat pesta – meski di tempat pesta juga karakter seseorang bisa terlihat – melainkan ada makna yang lebih dalam lagi. Ia tidak hanya mendorong supaya kita mempunyai kesopanan, tetapi yang terutama adalah kerendahan hati! Siapa yang meninggikan diri akan direndahkan Allah dan sebaliknya, siapa yang merendahkan diri akan ditinggikan Allah. Seperti tuan rumah dalam pesta bertindak menempatkan tamu-tamu, demikian pula Allah akan bertindak terhadap kita semua. Melalui seluruh perumpamaan dan ucapan penutupnya, Yesus ingin menegaskan bahwa untuk seseorang diterima dalam Kerajaan Allah, ia harus punya sikap rendah hati.

Belisarius tampaknya tidak mendapat keuntungan ketika ia rendah hati dan fokus melayani bangsa dan Tuhannya. Namun, sejarah kemudian menghargai dan meninggikan dia sebagai seorang yang rendah hati, berintegritas dan “jenderal” sesungguhnya! Jangan pernah takut atau kuatir ketika kita berlaku rendah hati. Tidak akan mengecewakan, Tuhan akan meninggikan dan memuliakan, bila kerendahanhati itu bukanlah sesuatu yang kita canangkan untuk mendapat pujian!


Jakarta, 28 Agustus 2019