Rabu, 29 Mei 2019

PEMULIAAN KRISTUS DAN KEHORMATAN UMAT

Sebuah kisah sukses sejatinya bukanlah cerita singkat. Ada proses perjuangan yang meletihkan bahkan nyaris putus asa. Banyak tokoh-tokoh dunia yang melegenda - nama dan karyanya tak lekang di telan waktu – justru ketika mereka berhasil mengalahkan diri sendiri. Mereka berhasil membebaskan diri dari rasa jemu, sakit, tersisihkan, dipermalukan, dianggap bodoh, bahkan ego diri. 

Thomas Alfa Edison Namanya tidak hilang ditelan bumi, ribuan kali ia melakukan pelbagai percobaan hingga tercipta karya-karya abadi. Nelson Mandela, lebih banyak menghabiskan hidupnya di dalam jeruji penjara. Namun, orang tidak pernah melupakan warisannya tentang pengampunan. Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr, Nigthtingale, Teresa, Zhou Enlai, mereka semua kita kenal sebagai tokoh-tokoh yang berani memilih jalan sulit demi kemanusiaan…dan, kemuliaan mereka tidak lekang di telan waktu! Ironis, banyak orang mengejar kemuliaan dengan cara-cara instan. Enggan melewati jalan terjal dan tidak sanggup mengendalikan diri. Sehingga jalan ego yang diutamakan.

Yesus memilih jalan terjal itu. Berkali-kali Ia menyampaikan peringatan itu kepada para murid. Namun, sejumlah itu pula mereka tidak memahami dan tetap berpegang pada jalan ego itu. Sehingga tidaklah mengherankan dalam penampakan setelah kebangkitan, mereka masih saja bertanya tentang mimpi-mimpi menjadi yang termulia, “Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?”(Kisah Para Rasul 1:6). Bukankah ini impian lama? Kini, Yesus benar-benar mengalahkan maut. Maut saja takluk di hadapan-Nya, apalagi Kaisar Roma! Bukankah, ini saat yang paling tepat untuk mewujudkan impian itu? Alih-alih menanggapi, Yesus menyatakan bahwa mereka tidak perlu tahu masa dan waktu, biarlah itu urusan Bapa!

Di penghujung karya-Nya secara fisik di dunia ini, Yesus tidak bosan-bosannya mengingatkan para pengikut-Nya untuk menyadari bahwa kemesiasan yang Ia emban bukanlah mesias sang penakluk. Melainkan, Mesias yang menderita dalam ketaatan kepada Sang Bapa. Dengan jalan itulah Ia menerima kemuliaan. Peristiwa kenaikan Yesus ke sorga merupakan saat pemuliaan itu. Injil Lukas begitu singkat menceritakan tentang pemuliaan itu. Berdasarkan kisahnya sendiri tampak jelas, bahwa kenaikan terjadi menjelang sore hari setelah peristiwa kebangkitan itu. Dengan demikian Lukas punya alur cerita bahwa peristiwa kenaikan Yesus ke sorga itu merupakan satu rangkaian utuh dari seluruh karya Yesus: dari misteri kematian, kebangkitan, kenaikan dan Pentakosta. Tampaknya begitu singkat, namun sebenarnya tidak sesederhana dan sesingkat yang dicatat. Lukas mengantisipasi dalam bukunya yang kedua yakni, Kisah Para Rasul.

Dalam Injil Lukas, peristiwa kenaikan itu diceritakan sebagai berikut:
Yesus membawa para murid ke luar kota sampai dekat Betania. Di sana Ia memberkati para murid-Nya. Seketika itu juga, ketika Ia memberkati mereka, Ia terangkat ke sorga. Para murid sujud menyembah-Nya. Lalu, mereka pulang kembali ke Yerusalem dengan sukacita. Di Yerusalem mereka selalu berada dalam Bait Allah dan memuliakan Allah.Singkat!

Dan ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia terpisah dari mereka dan terangkat ke sorga.”(Lukas 24:51). “Terangkat” sebuah kata yang sangat bernada liturgis. Mengapa? Sebab kata itu dipakai untuk menunjukkan kelezatan korban bakaran yang membumbung tinggi naik ke sorga. Ketika kata “terangkat” ini dikenakan kepada Yesus, itu menandakan bahwa seluruh kehidupan dan karya-Nya telah berkenan kepada Allah menjadi korban persembahan yang harum. Yesus seperti anak domba, Ia telah menanggung dosa-dosa kita di dalam tubuh-Nya sendiri. Maka sangat pantaslah bahwa kenaikan-Nya ke sorga merupakan gambaran bahwa Yesus telah dipermuliakan. Kehidupan dan karya-Nya itu menjadi korban persembahan yang harumdan menyenangkan Allah!

Pada pihak lain, kenaikan-Nya ke sorga itu menandakan berakhirnya penampakan-penampakan yang dilakukan Yesus sesudah kebangkitan-Nya. Sekali lagi, kalau dalam Injil Lukas dikisahkan begitu singkat bahwa setelah kenaikan Yesus itu para murid kembali dengan “sangat bersukacita”, sebab sekarang Yesus hadir secara lebih intim dan dapat dipahami secara lebih personal berkat Roh-Nya yang diutus ke dalam jiwa mereka. Yesus memberkati para murid supaya mereka menjadikan seluruh kehidupan mereka itu menjadi persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah, seperti apa yang sudah Ia lakukan. 

Namun demikian, dalam Kisah Para Rasul, Lukas menceritakan peristiwa kenaikan Yesus ke sorga lebih leluasa. Ternyata ada dialog dan pergumulan. Para murid setelah menerima berkat dan menyaksikan Yesus yang terangkat itu tidak serta-merta meninggalkan tempat itu lalu kembali ke Yerusalem. Tidak! 

Bagi penulis Injil Lukas, peristiwa kenaikan Yesus ke sorga tidak hanya bermakna bagi diri Yesus sendiri, melainkan juga bagi para murid. Mereka kini harus berpisah secara fisik dengan Yesus. Sekarang, mereka harus memulai kehidupan yang baru dengan semangat kebangkitan-Nya. Para murid harus bisa dipercaya mengembangkan kehidupan mereka sesudah pengalaman yang menegangkan bersama dengan Sang Guru. Inilah makna peristiwa sesudah Paskah yang ditandai dengan kenaikan Yesus ke dalam kemuliaan. Pada saat inilah setiap orang percaya lahir kembali dalam Roh Kudus.

Kenaikan Yesus dalam kemuliaan itu sendiri dilukiskan oleh Lukas secara audiovisual. Para murid melongo memandang langit, mengarah kepada kepergian Yesus. pada saat itulah muncul dua sosok yang berpakaian putih kemilau memberi arti bagi peristiwa itu. Mereka menyadarkan agar para murid – orang-orang Galilea – tidak melongo memandang langit. Mereka harus berani hidup menyongsong kedatangan-Nya kembali yang mengajak bersama dalam kemuliaan-Nya.

Para murid kini ditantang untuk menjalani kehidupan secara nyata, tanpa kehilangan arah menuju kemuliaan sebagaimana menjadi arah kehidupan Yesus yang adalah junjungan mereka. Peristiwa kenaikan Yesus dalam kemuliaan-Nya bukan hanya soal Yesus yang dimuliakan, melainkan juga soal Jemaat beriman atau Gereja semesta. Dalam hal ini, bagaimana Gereja menatap masa depan bersama Yesus yang mulia, dengan penuh kesadaran bahwa arah hidup itu adalah menyongsong Dia yang sudah dimuliakan.

Suara yang mereka dengar dari langit, menyadarkan mereka akan tugas dan tanggungjawab yang harus mereka emban setelah pengalaman itu. Mereka tidak cukup tertegun menatap langit lalu menyampaikan pujian kemuliaan bagi Yesus. Tidak cukup begitu! Mereka harus kembali kepada kenyataan hidup, menjalani kehidupan dengan arah yang jelas. Arah yang sudah ditapaki Yesus!

Gereja harus terus-menerus menyuburkan keyakinan bahwa seluruh angotanya ditantang untuk mengembangkan hidup ini sepenuhnyadalam peziarahan menuju Yesus Kristus yang mulia. Kita menyadari bahwa dalam peziarahan itu pelbagai macam kegelisahan masih akan terus mewarnai usaha bertemu dengan Tuhan yang telah dimuliakan, sampai akhirnya bisa bertemu muka dengan muka dalam kemuliaan-Nya.

Inilah juga yang kini menjadi tantangan semua orang beriman; bagi kita yang mengalami Yesus yang mulia dalam peristiwa kebangkitan dan kenaikan-Nya ke sorga. Kita masih ingat ungkapan “tidak ada mahkota tanpasalib”, tidak ada kemuliaan tanpa menjalaninya dengan ketaatan dan mungkin juga penderitaan seperti yang Yesus telah alami. Penderitaan dalam jalan ketaatan haruslah dipahami sebagai anugerah atau kehormatan bagi setiap orang percaya untuk menempuhnya. Jadi, di sinilah letak kehormatan kita sebagai pengikut Kristus, yakni : berani melangkah di jalan yang telah dilalui oleh Yesus!

Jakarta, Hari Kenaikan Yesus Ke Sorga 2019

Jumat, 24 Mei 2019

TAAT DALAM IMAN DAN KASIH

Sedikit banyak kericuhan paska Pemilu tanggal 21 dan 22 Mei di Jakarta dan sekitarnya membawa pengaruh, minimal aktivitas di Ibu Kota Negara ini sedikit berkurang. Jalan-jalan tidak terlalu ramai seperti hari-hari biasa. Aktivitas bisnis sedikit terganggu, beberapa kantor atau tokomemilih tutup untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. 

Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk meredam aksi-aksi brutal yang konon menurut beberapa pakar telah ditunggangi oleh kelompok-kelompok radikal tertentu. Upaya pemerintah itu termasuk di dalamnya pembatasan konten-konten di ranah media sosial (medsos). Tentu beragam tanggapan muncul atas pembatasan medsos yang dilakukan oleh pemerintah. Kelompok yang tidak puas menyebutnya bahwa pemerintah berusaha menutup-nutupi peristiwa yang sedang terjadi. Mereka menjadikannya sebagai bahan propaganda bahwa kebenaran fakta yang terjadi sedang direduksi dan ditutupi. Meski demikian banyak pula yang mengapresiasi tindakan Keminfo ini. Antara lain portal berita ABC Newsyang berkomentar bahwa pembatasan sementara media sosial dilakukan guna menghindari penyebaran konten yang bisa memancing emosi massa. Dalam artikelnya ABC memaparkan contoh hoaks yang tersebar. Disebutkan bahwa seorang pengunjuk rasa berusia muda memberikan informasi “absurd” kepada wartawan ABC bahwa polisi China sudah didatangkan ke Indonesia untuk menembak pengunjuk rasa.

Ross Tapsell seorang ahli tentang Indonesia dari Australia National University yang dikutip New Straits Times (Indonesia Curbs Social Media, Blaming Hoaxers for Flaming Unrest) menyebut antara lain, pelambatan konten video dan foto di Whatapp masuk akal sebab platform itu memungkinkan penyebaran secara massif konten yang bisa menghasut dan memancing kemarahan pada waktu sensitive seperti sekarang ini.

Tentu saja tanggapan-tanggapan lain masih banyak termasuk para ibu rumah tangga yang chattingnya menjadi terhambat, anak-anak milenial yang sulit mengunggah vlog ke canel Youtube dan sebagainya. Kali ini fokus kita bukan pada perdebatan pembatasan kontens di medsos. Namun mari kita lihat dampak luar biasa dari pengaruh medsos pada tindakan massa. Kita masih ingat pengaruh medsos pada kemenangan Donald Trump, krisis ekonomi di Venezuela, gerakan-gerakan radikalis yang membuahkan kehancuran, dan lain sebagainya. 

Medsos telah muncul menjadi kekuatan baru pada masa kini. Akal sehat seolah kehilangan tempat berpijak. Betapa tidak, orang-orang yang berpendidikan tinggi sangat mudah terhasut oleh berita bohong, video dan foto editan atau pernyataan sepenggal dari tokoh-tokoh yang tercipta oleh medsos. Literatur yang digunakan bukan lagi kajian ilmiah, melainkan sepenggal berita porta media abal-abal. Mengherankan, mengapa orang dengan sangat mudah digiring dalam opini dan kemudian jatuh ke dalam ketaatan radikal yang keliru. Mereka bisa taat melakukan apa pun, termasuk mengorbankan nyawanya dan nyawa orang-orang lain yang tidak berdosa. Manusia bisa taat sampai mati, namun dalam jalan yang keliru!

Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku…”(Yoh. 14:23)

Menuruti firman, kalau kita bandingkan dengan ayat 15, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.”Menuruti firman-Kudan menuruti perintah-Kuditempatkan pada derajat yang sama. Menuruti perintah, jelas di sini Yesus sedang mengajarkan ketaatan! Taat dalam melakukan segala yang diperintahkan. Tentu saja literasi yang kita gunakan bukan seperti literasi medsos: taat sepenggal-sepenggal atau ketaatan membabi buta. Tidak! Lagi pula, Yesus pun tidak pernah menghasut dan menebarkan kebencian. 

Taat terhadap segala firman atau perintah Yesus. Di sini sangat mungkin kita bertanya, perintah-perintah mana yang dimaksudkan Yesus? Sebelum melangkah lebih jauh, baiklah kita teliti dulu pernyataan Yesus ini. Kalimat atau pernyataan Yesus ini jangan dipahami sebagai, “Kalau kalian benar-benar mengasihi Aku, mestinya kalian akan menaati Aku.” Seolah-olah kecintaan terhadap Sang Guru harus dibuktikan dengan melakukan hal-hal yang diperintahkan. Inilah yang sering dipakai oleh para pemimpin politis. Mereka mengetes kesetiaan para pengikutnya dengan apa saja yang diinginkannyaharus dilakukan. Bahkan mereka mendoktrinasi agar para pengikutnya melakukan bom bunuh diri. Hal itu dinyatakan sebagai bukti cinta dan pengabdian pengikut pada sang pemimpin!

Yesus tidak sama sekali bermaksud seperti itu! Pernyataan Yesus ini justru menegaskan kebalikan dari sikap seperti itu. Singkatnya, mengasihi Yesus itu bakal membuat orang dapat mengenal dengan baik perintah-perintah-Nya lalu menurutinya. Jadi, mengasihi Sang Guru akan menjadi jaminan agar seseorang dapat memperhatikan perintah-perintah Sang Guru, demikianlah nantinya terungkap bahwa, “siapa saja yang memegang perintah-perintah-Nya, dia itulah yang juga nyata-nyata mengasihi-Nya. Oleh karena itu dia akan dikasihi Bapa dan Yesus akan bersama-sama berada dengannya.

Mengasihi Yesus dalam konteks ini adalah mengakui kebesaran-Nya dan meluangkan, memberi tempat terhormat kepada-Nya serta setia dalam kondisi apa pun. Ini dari sisi murid. Dari sisi Sang Guru? Dikasihi oleh Guru berarti menerima perlindungan dari-Nya. Latar belakang “mengasihi” ini ialah kehidupan umat Perjanjian Lama. Mereka dipilih, dibebaskan, dilindungi, dipedulikan Allah, tetapi sekaligus mereka diharapkan untuk tetap setia kepada-Nya. Jadi, mengasihi dalam pengertian itulah yang menjadi dasar bagi “menuruti perintah-perintah”. Yang dimaksud enggan “menuruti perintah/firman” ialah kekuatan-kekuatan yang menggerakkan dari dalam dan muncul dari hubungan batin antara dirinya dengan Sang Guru sendiri. Di situlah maknanya bahwa Yesus dan Bapa berkenan tinggal bersama dalam diri sang murid. Sehingga setiap tindakan dan kemauan para murid itu tidak bersumber dari diri mereka sendiri, melainkan dari “yang mendiami dirinya”. Di sinilah juga terungkap makna iman yang sesungguhnya. Bukan saja percaya akan keberadaan Allah dan kemahakuasaan Yesus. Namun, mereka membuka diri, membuka tempat yang paling mulia yakni hati nuraninya untuk didiami oleh Bapa dan Kristus!

Dari sinilah akan terpancar kehidupan iman itu. Orang banyak akan melihat bahwa perilaku dan tindakan-tindakan para murid Yesus akan menghadirkan kembali Yesus. Mereka akan melihat peri laku murid-murid itu sama seperti apa yang Yesus lakukan, walaupun nantinya Yesus akan berpisah secara fisik dengan mereka. Orang banyak akan melihat para murid Yesus yang mengerjakan segala sesuatu itu dengan ketulusan, kesungguhan, cinta kasih yang besar, ucapan yang ramah, perilaku yang bersahabat, di situlah orang banyak menemukan kembali Yesus dalam diri para murid. Hidup mereka seakan menyuratkan perintah dari atas yang dapat dibaca oleh banyak orang. Dalam hal ini hidup mereka menjadi kesaksian. Sebaliknya, para murid melakukan segalanya itu bukan atas dasar pencitraan, terpaksa, atau dengan beban berat. Mereka melakukannya dengan sukacita dan dalam ketaatan!

Yesus tidak seperti para pemimpin politis busuk. Para politisi busuk itu mengharapkan pengorbanan pengikutnya, setelah mereka tertangkap, terbukti bersalah dan menderita, mereka akan mengatakan, “orang itu bukan bagian dari kami, kami tidak kenal!” Yesus tidak demikian. 

Yesus menyadari bahwa tugas yang dilakukan oleh para murid itu bukanlah perkara mudah. Mereka memerlukan penolong yang memungkinkan mereka melakukan tindakan-tindakan seperti apa yang Yesus lakukan. Dalam konteks inilah Yesus berjanji untuk tidak melepaskan mereka seperti anak yatim piatu. Yesus berjanji akan memberikan seorang Penolong yang lain yang akan menyertai mereka untuk selama-lamanya. Siapa yang dimaksudkan dengan Penolong yang lain?

Penolong yang selama ini tinggal bersama dengan mereka tidak lain adalah Yesus Kristus itu sendiri. Yesus yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam karya Allah. Ketika Yesus pergi kepada Bapa, Ia akan memintakan kedatangan Penolong yang lain. Penolong yang lain ini akan memerankan seperti apa yang dikerjakan oleh Yesus. Di dalam Dia, kehadiran Yesus tetap dialami oleh para murid. Apa yang akan dikerjakan oleh Penghibur ini adalah mengingatkan orang akan apa yang diajarkan Yesus; menguatkan dan memampukan orang untuk menerjemahkan ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari.

Segalanya Tuhan telah sediakan. Ia telah lebih dahulu mencintai kita, Ia telah mengajarkan dan meneladankan apa yang harus kita lakukan. Ia telah menjamin memberi pertolongan melalui Roh Kudus. Nah, apalagi yang kurang selain kini kita melakukan perintah atau firman Yesus itu dengan sepenuh hati sehingga orang-orang pada masa kini akan melihat kembali kehadiran Kristus!

Jakarta, Minggu Paskah VI 2019