Selasa, 16 April 2019

ANAK DOMBA YANG SEMPURNA

Kamis, pagi itu Yerusalem penuh sesak dengan para peziarah yang tak henti-hentinya mendatangi Bait Allah. Para peziarah itu datang berkelompok-kelompok. Mereka bernyanyi dan mendaraskan Mazmur. Paskah merupakan perayaan puncak yang dipenuhi suasana puji-pujian, rasa syukur, dan kegembiraan karena karya-karya Allah yang menyelamatkan umat-Nya di masa lampau.

Seorang penulis Yahudi modern melukiskan dengan rinci upacara rumit yang dilakukan di Bait Allah:

Anak domba Paskah disembelih…di halaman … dan menjadi kewajiban bagi setiap orang laki-laki dan perempuan untuk memenuhinya.  … penyembelihan anak domba segera disusul pembakaran dupa.  … Sesudah anak domba yang disembelih dikemas baik-baik dan darahnya dimasukkan dengan hati-hati ke tempatnya, anak domba dan darah itu dibawa pulang oleh pemiliknya, dipanggang dan dimakan pada sore harinya. Pemilik-pemilik anak domba dibagi menjadi tiga kelompok; masing-masing terdiri dari tiga puluh orang, dan pada waktu penyembelihan tidak pernah lebih dari tiga puluh orang boleh hadir di halamannya. Sesudah kelompok pertama memasuki halaman, pintu-pintu ditutup dan pada waktu itu imam-imam menyanyikan Kidung Hallel. Anak domba disembelih … dengan urutan yang sudah diatur, terompet-terompet ditiup, sementara imam-imam berdiri siap dengan peralatan terbuat dari emas dan perak untuk memercikkan darah. Pasu yang berisi darah diedarkan secara berkeliling bergiliran dari orang yang sat uke orang yang lain sehingga banyak orang mendapat bagian dalam tindakan yang membawa pahala, sampai pasu itu mencapai imam yang terdekat dengan mezbah. … Kemudian, anak-anak domba yang disembelih itu digantungkan pada sangkutan yang terbuat dari besi di sepanjang tembok dan tiang-tiang. … Kemudian pintu dibuka kembali, dan pada waktu kelompok pertama pergi ke luar, kelompok kedua diperbolehkan masuk, dan menyusul kelompok ketiga. Sesudah itu halaman dibersihkan. … Anak domba mewakili kelompok karena anak domba tidak disembelih untuk orang per orangan, kecuali dalam kasus-kasus luar biasa. … Orang-orang laki-laki dan perempuan dipisahkan satu sama lain. … Binatang disembelih pada malam menjelang Paskah, pada sore hari tanggal 14 Nisan. … pada pukul tiga. … Penyembelihan dapat dilakukan oleh orang awam, tetapi darahnya harus ditampung oleh imam. (“Passover”dalam Jewish Encyclopedia, IX.New York.1905 dan N. Martola, “Passover Hagadah”dalam The Encyclopedia of Judaism,III. Brill/Boston.2001).

Anak domba yang disembelih pada pagi hari di Bait Suci dimakan pada sore hari di rumah, dalam perjamuan religius yang merupakan bagian hakiki dari perayaan Paskah. Ada dua pokok acara dalam Perjamuan PaskahYahudi, yakni: makan roti tak beragi, matzoth, dan daging domba sebagai peringatan pembebasan umat Allah dari Mesir. Anggur juga dipergunakan sebagai lambang kegembiraan dan syukur kepada Allah atas segala kebaikan-Nya. Pada awal perayaan, ketua kelompok memberkati dan mengedarkan piala berisi anggur dicampur air kepada para peserta. Kemudian Kidung Hallel (Mzm.111-113) dinyanyikan. Sesudah bagian pertama Hallel dedaunan pahit yang dicelupkan dalam cuka untuk mengenang kepahitan hidup pada waktu menjadi budak di Mesir. Kemudian diedarkan piala anggur kedua dan pembasuhan tangan menjadi tanda berakhirnya bagian persiapan pertama. Lalu mulailah perjamuan yang sebenarnya. Roti yang tidak beragi diberkati, dipecah-pecahkan dan diberikan kepada semua peserta diikuti dengan penyantapan domba yang sudah disembelih di Bait Allah. Sesudah itu piala anggur ketiga yang sudah diberkati diedarkan kepada para peserta, disusul Kidung Hallel  kedua (Mzm.115-118). Dengan itu upacara ditutup. Piala keempat ditambahkan kemudian.

Dalam kerangka liturgi Yahudi, Yesusmerayakan perjamuan religius itu bersama para murid-Nya. Yesus memilih roti tak beragi dan piala anggur ketiga dan mengubahnya menjadi sarana untuk menyatakan diri bahwa dalam perjamuan itu Dialah Sang Anak Domba yang sempurna menghapus dosa dunia. Yesus mengubah secara mendalam perayaan Paskah Yahudi itu. Sekarang makna pembebasan dari Mesir diganti oleh kematian dan kebangkitan Yesus, yang secara sakramental hadir dalam ibadat. Kalvari menggantikan tempat Mesir; roti dan air anggur menjadi lambang yang menunjukkan kehadiran Kristus di tengah umat-Nya.

Dari empat Injil, Yohanes tidak bercerita tentang perjamuan Paskah yang di dalamnya ada pembagian roti tak beragi dan cawan anggur sebagai tubuh dan darah Yesus. Dalam Injil Yohanes, perjamuan terakhir diadakan sehari sebelum perjamuan Paskah Yahudi, yang ditandai kisah dramatis: pembasuhan kaki para murid.

Dalam budaya Yahudi, membasuh kaki orang lain adalah pekerjaan budak: yang lebih rendah membasuh kaki orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya. Murid membasuh kaki gurunya, rakyat jelata membasuh kaki raja. Tidak akan pernah terjadi seorang raja berlutut di depan kaki rakyatnya, atau seorang guru berlutut di depan kaki murid-muridnya. Oleh karena itu dapat dipahami kalau Petrus dan teman-temannya tidak bisa mengerti apa yang terjadi. Pada waktu itu mereka tidak sanggup memahami bahwa Yesus sedang menyampaikan ajaran dan teladan yang baru. Bukan saja mengenai hubungan antara Allah dan manusia, tetapi juga antara manusia dengan sesamanya.

Ketika Yesus akan membasuh kaki Petrus, ia menolaknya (Yoh.13:6-8). Petrus begitu manusiawi, seperti kita. Ia hidup menurut budaya dan kebiasaan yang ada. Yesus lebih tinggi, Ia Tuhan dan Guru. Ia tidak pernah boleh membasuh kaki murid-murid-Nya yang tentu saja posisinya lebih rendah. Merekalah yang harus membasuh kaki Yesus! Petrus tidak bisa mengerti arti tindakan ini. Ia membutuhkan Yesus yang ada di atasnya. Yesus yang memberi rasa aman. Yesus yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan. Bukankah Dia itu Mesias, Anak Allah, Yang kudus? Tidak boleh Ia berada di bawah! Namun, Yesus ingin membangun relasi baru dengan Petrus, agar ia bangkit dan menyadari bahwa ia dipanggil untuk mencintai orang lain, sebagaimana Yesus mencintai dia.

Semua kelompok, semua masyarakat dibangun dengan model piramida: yang berada di puncak adalah yang berkuasa, yang kaya, yang pandai. Mereka merasa dipanggil untuk menguasai dan memimpin. Yang berada di bagian bawah adalah para imigran, budak, buruh, dan pelayan, orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan, yang sakit mental, atau menyandang disabilitas. Mereka dipinggirkan, tidak diperhitungkan. Di sini Yesus menempatkan diri pada tempat yang paling bawah, tempat yang paling akhir: tempat para budak! Bagi Petrus ini tidak mungkin. Petrus belum menyadari bahwa Yesus datang untuk mengubah model – sebagaimana Ia telah mengubah liturgi Yahudi dan menjadikan diri-Nya sebagai anak domba “santapan” perjamuan – dari piramida menjadi model tubuh. Menurut model tubuh (sebagaimana pernyataan-Nya bahwa roti itu adalah tubuh-Nya dan air anggur adalah darah-Nya) semua orang mempunyai tempat, entah mereka normal, entah mereka cacat; masing-masing saling membutuhkan dan saling bergantung. Masing-masing terpanggil untuk mengemban tugas melayani. Di dalam Yesus tidak ada yang disebut “tempat terakhir”!

Dengan menyatakan diri sebagai yang paling rendah (posisi budak) dalam strata sosial, sebagai orang yang melakukan pekerjaan kotor, sebagai orang yang berada di tempat terakhir, Yesus mengajak para murid-Nya untuk memberi perhatian kepada yang kecil dan dipandang hina oleh masyarakat. Allah tidak berada di luar jangkauan, di langit. Allah bersembunyi di “langit” hati orang-orang yang berada di tempat terakhir.

Saya dapat membayangkan dan merasakan betapa dengan lembut Yesus menyentuh kaki para murid dengan mata-Nya Ia memandang dan memanggil masing-masing dengan Namanya, dan mengatakan sesuatu yang khusus bagi mereka masing-masing. Kalau dalam perjamuan Paskah, Ia berbicara kepada mereka semua. Ia tidak berkontak secara pribadi dengan mereka masing-masing. Namun, ketika dengan rendah hati Ia berlutut di hadapan mereka masing-masing dan membasuh kaki mereka. Ia berkontak pribadi dengan mereka masing-masing. Ia menyatakan kasih-Nya kepada mereka masing-masing; kasih yang sekaligus menguatkan dan menantang. Ia melihat dalam diri mereka kehadiran Bapa-Nya, yang Ia kasihi dan Ia layani. Kasih Yesus menyatakan bahwa kita adalah penting, bahwa kita adalah kehadiran Allah, dipanggil untuk melakukan pekerjaan Allah; untuk mencintai orang lain seperti Allah mencintai mereka, untuk melayani orang lain dan membasuh kaki mereka. Dengan membasuh kaki para murid, Yesus tidak kehilangan kuasa-Nya. Ia menyatakan bahwa Dia adalah “Tuhan dan Guru”. Namun, Ia ingin menggunakan cara baru menggunakan kuasa, melalui sikap rendah hati, pelayanan dan kasih, melalui kesatuan hati, dengan cara menyiratkan kedekatan, persahabatan, keterbukaan, dengan kehendak untuk menjadi jembatan antara mereka yang memimpin dan yang di bawah pimpinan.

Sesudah Yesus membasuh kaki para murid-Nya, Yesus mengenakan kembali pakaian-Nya lalu duduk, Ia meminta agar apa yang Ia lakukan bagi mereka, mereka lakukan juga seorang terhadap yang lain. Ketika Yesus meminta kita untuk saling membasuh kaki, jelas ini bukan peragaan simbolis saja. Ia mengajak kita untuk saling mencintai, melayani, dan mengampuni. Ini tidak berarti bahwa kita harus benar-benar membasuh kaki semua orang. Tidak! Pembasuhan kaki adalah lambang yang amat kuat. Dan lambang adalah penting untuk mengungkapkan sebuah makna.

Mahatma Gandhi amat dipengaruhi oleh hidup dan pesan Yesus, khususnya oleh Khotbah di Bukit dan pembasuhan kaki. Bahkan ketika ia mempunyai kekuasaan besar sebagai pemimpin negerinya, ia mengambil tempat yang amat sederhana di ashramtempat tinggalnya. Tugas tiap hari adalah membersihkan toilet: tanda yang amat jelas bahwa dia ingin melayani orang lain! Bagaimana dengan kita yang mengaku Yesus Tuhan dan Guru?

Jakarta, Kamis Putih 2019

Rabu, 10 April 2019

SUARAKAN DAMAI

Betfage kini tidak lagi diketahui secara pasti di mana letak yang sebenarnya. Kalau pun ada orang yang menunjukkannya itu hanya perkiraan saja. Misalnya, ketika orang pergi tour holy land, pemandu wisata akan menunjuk Abu Dis sebagai Betfage.  Sama seperti pohon ara yang telah memperjumpakan Zakheus si pemungut cukai itu dengan Yesus, orang segera melupakannya pohon ara tersebut. Nasib Betfage mungkin serupa, ia tidak lagi diingat. Meski tidak tahu lagi tempatnya di mana, kitab Injil mencatat peran desa kecil itu. Di pedesaan itulah Yesus pernah mengutus dua orang murid-Nya untuk mengambil keledai yang akan dikendarai-Nya memasuki Yerusalem. “Ketika telah mendekati Betfage dan Betania, yang terletak di bukit yang bernama Bukit Zaitun, Yesus menyuruh dua orang murid-Nya…”, demikian Lukas mencatat nama desa itu.

Betfage (Aram: tempat pohon ara, atau rumah buah) agaknya terletak antara Betania dan Yerusalem. Para peziarah yang hendak menuju Yerusalem dari Yerikho harus melalui desa kecil itu. Kedua kampung, Betania dan Betfage terletak di perbukitan. Saya membayangkan perkampungan itu sebuah tempat yang tenang dan damai. Setelah melewati Betania kampung Maria, Marta dan Lazarus yang dibangkitkan itu, Yesus menyuruh kedua orang murid-Nya ke Betfage untuk menjemput keledai betina muda yang belum pernah ditunggangi orang. Tampaknya Yesus sudah mempersiapkan sedemikian rapi perjalanan-Nya menuju Yerusalem. Seakan Ia mengenal dengan baik orang yang mempunyai keledai di kampung itu. Sangat mungkin Yesus sudah membuat janji terlebih dahulu dengan pemilik keledai itu untuk sewaktu-waktu Ia gunakan. Ini terbukti ketika ada utusan yang memintanya, segera keledai itu diserahkan oleh sang pemiliknya. Namun, ada juga penafsir lain yang punya pendapat berbeda. Bukan begitu! Yesus selalu ada bersama-sama para murid, Ia tidak pernah bikin janji sendiri dengan pemilik keledai. Yesus adalah Tuhan yang tahu segala-sesuatu termasuk pemilik keledai itu. Ia sanggup melihat ke masa depan, dan karena itu dapat memerintahkan kedua murid-Nya untuk mengambil keledai itu. 

Sepertinya tidak terlalu penting untuk kita mempermasalahkan apakah Yesus sudah berhubungan terlebih dahulu dengan si pemilik keledai atau Dia sudah tahu segala sesuatunya. Yang lebih penting untuk kita perhatikan adalah kerelaan si pemilik keledai yang memberikan milik  terbaiknya untuk tunggangan Yesus. Tampak sekali tidak ada proses transaksi atau tawar-menawar antara dia dan dua utusan Yesus. Mereka membawanya begitu saja (Lukas 19:34,35). Pernahkah kita berpikir apa yang menjadi motivasi si pemilik keledai itu sehingga dengan rela memberikan keledainya? Bisa saja nama Yesus sudah begitu dikagumi sehingga siapa pun menghormati dan rela memberikan miliknya ketika diminta Yesus. Ataukah ia takut terhadap orang banyak yang sudah ngefans dengan Yesus. Tidakkah kita mencoba berpikir lebih positif bahwa, ia mempunyai sebuah kerelaan dan sukacita ketika dapat memberikan sesuatu untuk memfasilitasi karya Tuhan? Bisa jadi orang ini begitu kuat ingin berpartisifasi dalam pekerjaan Yesus!

Yesus memasuki kota Yerusalem menunggang keledai. Bukan kuda! Keledai adalah tunggangan yang lazim digunakan orang pada situasi damai. Selain unta, keledai biasa dipakai sebagai hewan tunggangan untuk mengangkut orang dan barang. Sedangkan kuda lazimnya dipakai untuk berperang. Meski menaiki keledai, tindakan-Nya memasuki Yerusalem tidaklah menghilangkan kesan bahwa Dia-lah Mesias sebagai pemenuhan nubuat Zakharia 9:9, orang Yahudi pasti dengan cepat akan mengerti gerakan teatrikal ini. 

Meski demikian, berbeda dari penulis Injil lainnya, Lukas tidak mencatat adanya orang-orang yang mengangkat daun-daun palem sambil menyerukan pujian. Lukas hanya mengisahkan bahwa para murid atau pengikut-Nya yang menghamparkan baju dan menyerukan pujian yang nyaring sehingga mengusik telinga orang Farisi.  Mereka memuji Allah karena segala mukzijat yang telah mereka lihat. Pujian para murid itu berasal dari Mazmur 118. Mazmur tersebut memang dimaksudkan untuk peristiwa penyambutan seorang raja yang masuk ke kotanya.

Yesus bukanlah raja biasa, Ia bukan raja politik. Oleh karena itu Lukas dengan sengaja tidak menyertakan khalayak ramai yang mengelu-elukan Yesus, cukup para pengikut-Nya saja. Bagi Lukas peristiwa ini bukan people power, bukan aksi demonstrasi politik yang menentang kekuasaan Romawi dan bermaksud menggulingkannya. Bukan seperti gerakan Yudas Makabeus! Melainkan sebuah seruan pujian terhadap Sang Mesias yang telah berkarya melakukan segala kehendak Allah; menghadirkan damai sejahtera. Yesus datang sebagai Raja Damai, pembawa keselamatan yang dari Allah, sebagai Mesias yang datang demi nama TUHAN (Mazmur 118:26).

Jelaslah sorak-sorai penyambutan Sang Mesias itu adalah sorak-sorai menyuarakan damai, bukan demo menantang perang! Namun, tetap saja suasana itu ditanggapi negatif oleh beberapa orang Farisi yang turut dalam rombongan Yesus itu. Mereka meminta supaya Yesus menghentikan sorak-sorai itu. Namun, Yesus membiarkan dan seolah mendukung, jawab-Nya, “Aku berkata kepadamu: Jika mereka diam, maka batu ini akan berteriak.” (Lukas 19:40).

Kisah Yesus memasuki Yerusalem versi Lukas memperlihatkan kepada kita seakan-akan ada garis demarkasi yang memisahkan antara para murid atau pengikut Yesus yang telah menyaksikan pengajaran dan mukjizat yang dilakukan-Nya dengan penduduk kota Yerusalem pada umumnya. Melalui gerak teatrikal yang tidak biasa, yakni dengan menunggang keledai (selama ini Yesus berkeliling dari kampung ke kampung memberitakan Injil, mengajar, dan melakukan banyak mukjizat hanya dengan berjalan kaki. Sesekali naik perahu, namun belum pernah menggunakan hewan tunggangan) Ia ingin menyatakan diri-Nya sebagai Mesias Raja Damai! Tampaknya Ia sama sekali tidak tergoda untuk menjadikan diri-Nya sebagai Mesias penakluk yang hendak menggulingkan Kaisar Romawi. Oleh karena itu sudah selayaknyalah setiap murid Kristus selalu membawa pesan damai. 

Gereja harus mempersiapkan umatnya bukan sebagai penakluk, melainkan sebagai orang-orang yang siap diutus membawa damai. Ibarat Betfage, gereja mestinya menjadi "kawah candradimuka", tempat menggembleng warganya agar mampu menghadirkan – bukan keledai – orang-orang yang tidak saja dapat membawa simbol-simbol perdamaian, tetapi juga berani menyuarakan dan menjadi alat damai sejahtera di bumi ini. Melalui pelbagai pembinaan dan corak ibadah, gereja terpanggil untuk menyiapkan anggota-anggotanya berkiprah membumikan damai sejahtera dalam pelbagai bidang kehidupan.

Adalah tidak fair gereja mengutuk dan mencaci maki para politisi – yang memang bermoral bobrok – tanpa sebelumnya ikut andil dalam menyiapkan dan dengan sengaja membina warganya agar mereka mampu menjadi garam dan terang di ranah politik. Tidak adil rasanya ketika gereja hanya menyesalkan banyaknya pebisnis kotor yang tidak peduli dengan harkat martabat manusia, tanpa sebelumnya membekali mereka dengan benteng moral yang bersumber dari kebenaran Injil. Demikian juga di bidang-bidang ilmu pengetahuan, penegakan hukum, gaya hidup, dan lain sebagainya. Gereja harus seperti Betfage, memfasilitasi dan menyiapkan para anggotanya untuk berperan meneruskan karya Yesus di dunia ini. Gereja tidak boleh sibuk dengan dirinya sendiri. Gereja tidak boleh menciptakan rasa aman dan nyaman sendiri. Gereja harus gelisah, sama seperti Yesus gelisah ketika memandang ketidak-benaran, ketidak-adilan dan kedzoliman yang terjadi di mana-mana. 

Gereja harus rela memberi orang-orangnya yang terbaik – seperti di Betfage, pemilik keledai itu memberikan dan merelakan miliknya yang terbaik – untuk karya pendamaian di muka bumi ini. Gereja tidak boleh kecewa dan meratapi diri apabila mungkin suatu saat dirinya tidak diingat lagi. 

Jakarta, Palmarum 2019