Petrus pernah berkata kepada
Yesus, "Kami telah meninggalkan
segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi, apakah yang akan kami peroleh?"
Petrus adalah sosok murid yang jujur. Ia berterus terang bertanya tentang upah
yang akan didapatnya ketika mengikut Yesus. Sementara banyak orang Kristen yang
malu-malu kucing. Membungkus motivasi mendapat upah dengan kalimat
"Melayani sampai akhir walau tidak digaji", atau seperti syair
nyanyian "Kerja buat Tuhan selalu manise...membuang diri ke ladang Tuhan
saudara serta Tuhan selalu manise." Kenyataannya? Benar ada yang terus
setia sampai akhir karena ia merasakan sentuhan cinta kasih Allah. Namun, tidak
sedikit yang menjadi kecewa karena apa yang diingini ketika melayani tidak
tercapai.
Atas pertanyaan Petrus, Yesus
menjawab, "Pada waktu penghakiman,
mereka akan duduk di atas takhta sebagai pendamping Anak Manusia" (Mat.
19:28). Kendati demikian Yesus menepis tuntutan upah. Melalui perumpamaan
tentang pemilik kebun anggur dan orang-orang yang dipanggil bekerja di dalamnya
(Matius 20:1-16)
Cerita perumpamaan ini
bukanlah tentang hitung-hitungan ekonomi masyarakat. Kebun anggur biasanya
dipakai sebagai kiasan; melambangkan umat Allah. Perlakuan pemilik kebun anggur
terhadap orang-orang upahannya memberi gambaran tentang salah satu aspek dari
Kerajaan Allah, tetang cara Allah memberi anugerah kepada setiap orang yang
dari waktu ke waktu dipanggil oleh-Nya ke dalam Kerajaan Allah. Ada beberapa
kelompok pekerja yang dipanggil menggarap kebun anggur itu: kelompok yang
dipanggil pagi-pagi sekali, kelompok pukul sembilan, kelompok pukul dua belas,
kelompok pukul tiga dan kelompok pukul lima. Kepada kelompok pertama, sang tuan
sepakat mengupah mereka dengan satu dinar sehari dan itu adalah upah yang
wajar. Upah yang disepakati itu dinilai adil. Kepada kelompok yang lain, sang
tuan hanya mengatakan akan memberi upah yang pantas. Sedangkan kelompok
terakhir tidak dijanjikan apa-apa.
Cerita ini menarik karena sang
tuan sedikit iseng. Ia memanggil terlebih dahulu kelompok yang datang terakhir.
Mungkin hal ini untuk menegaskan perkataan Yesus bahwa mereka yang terdahulu akan menjadi yang terkemudian. Mau tidak mau
mereka yang datang terdahulu melihat berapa upah yang diterima oleh orang-orang
yang hanya bekerja satu jam saja. Sampailah kepada kelompok pertama yang
bekerja seharian penuh. Mereka mengira sang tuan akan memberi lebih. Eh,
ternyata sama saja. Satu dinar! Coba bayangkan, Anda ada pada kelompok pertama
yang bekerja dua belas jam menerima upah yang sama dengan teman Anda yang hanya
bekerja satu jam saja. Anda akan diam dan bersyukur? Sangat sulit untuk
menerima kondisi seperti ini. Kemungkinan besar kita akan protes mengingat jasa
yang diberikan kita jauh lebih besar ketimbang orang yang hanya bekerja satu
jam saja. Dalam cerita ini pun, kelompok pertama bersungut-sungut. Mereka
protes dan merasa diperlakukan tidak adil! "Engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat
dan menanggung panas terik matahari!" Mereka berkeyakinan bahwa dengan
bekerja lebih lama, mereka punya hak untuk mendapatkan upah lebih besar. Mereka
berpikir kalau kelompok pekerja terakhir mendapat upah yang sama dengan mereka,
maka hak mereka dirampas.
Nada protes yang sama
terdengar dalam kisah perumpamaan anak yang hilang. Si Sulung berbicara, "Baru saja datang 'anak bapa' yang telah
memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa
menyembelih anak lembu yang gemuk itu untuk dia" (Lukas 15:30). Nada
yang sama kita dengar dalam doa-doa orang Farisi, "Ya, Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti
orang lain..., bukan seperti pemungut cukai ini." Dalam Perjanjian
Lama kita menangkap protes yang sama, Yunus protes karena murka Allah tidak jadi
terhadap Niniwe.
Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendaku? Atau iri
hatikah engkau karena aku murah hati?" (Matius 6:23). Sang pemilik
kebun anggur tahu dengan pasti akar masalah mengapa mereka bersungut-sungut.
Bukannya ia bertindak tidak adil terhadap mereka. Bukankah dari awal sudah ada
kesepakatan satu dinar sehari? Namun, masalahnya mereka tidak tahan ketika sang
tuan bermurah hati. Bukankah kita juga sering seperti itu, tidak tahan dan
bersungut-sungut melihat kasih dan anugerah Allah diberikan kepada orang lain?
Cerita tentang kemurahan hati
sang tuan pemilik kebun anggur ini mengumpamakan kemurahan hati Allah dan
Kerajaan-Nya yang melampaui hitung-hitungan matematis manusia. Pertama-tama
tergambar dari komitmen Allah yang tanpa batas mengundang manusia yang mencari,
untuk masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Lebih menakjubkan lagi dalam tata cara
Kerajaan Allah ialah kemurahan-Nya yang menawarkan keselamatan yang sama penuh
kepada semua orang kapan pun mau datang. Orang berdosa yang belakangan datang
pun diberi anugerah Kerajaan Allah yang sama penuh dengan mereka yang menjadi abdi Tuhan sejak kecil.
Murid Tuhan yang kawakan
menghitung waktu dan jasa, sudah pasti tidak akan turut bergembira atas
kelimpahan berkat Tuhan kepada para pendatang baru. Perhitungan mereka justeru
membalikkan rangking mereka. Murid yang telah lama meninggalkan segalanya untuk
Kristus, telah menerima upah berlipat dari Tuhan (mengalami persekutuan yang
indah lebih lama dengan Tuhan) dan dijanjikan hidup yang kekal. Tetapi ketika
memandang dirinya lebih berjasa dan berhak - hal ini sama seperti kebanyakan ahli
Taurat dan orang-orang Farisi - berlaku peringatan Tuhan bahwa pada hari
pengadilan Tuhan ia akan menjadi yang paling akhir.
Satu dinar sehari! Itu sudah cukup. Itu yang ada pada kita. Tidak
harus kita iri hati ketika Tuhan memberi yang sama kepada orang lain yang kita
anggap tidak banyak kontribusinya buat pelayanan Tuhan. Dale Carnegie pernah
mengatakan, "Wanting what we
get" (menghendaki yang kita dapatkan) adalah jauh lebih bisa bersyukur
ketimbang "having what we want"
(mendapatkan yang kita inginkan). Kita akan bisa bersyukur ketika mencoba
menghitung berkat dan anugerah-Nya untuk kita dari pada menghitung-hitung
berkat orang lain!
Pongki Pamungkas dalam
bukunya, All You Need is Love
mengatakan, "Sudah kodratnya, barangkali, kepandaian bersyukur yang sejati
tak dimiliki hingga suatu kejadian tak diharapkan timbul. "Aku menangis
karena tidak punya sepatu, sampai aku melihat orang yang tak punya kaki, kata
pepatah Persia kuno." Atau kata pepatah Mesir, "Kesehatan adalah
mahkota yang bertengger di atas kepala orang yang sejahtera. Tetapi orang yang
paling menghargainya adalah orang yang sedang sakit!"
Kebiasaan untuk pandai
bersyukur adalah kunci untuk meraih kesuksesan. Pembuka hidup yang berbuah.
Bersyukur ibarat kunci pembuka kebahagiaan; sukses bukan kunci kebahagiaan"
kata Gobhind Vashdev. Kebahagiaan adalah kunci sukses! Jika kita pandai
mensyukuri apa pun yang ada pada kita maka segala sesuatu akan ditambahkan.
"Orang yang berhasil besyukur, bahkan terhadap hal-hal yang masih dalam
pikirannya, ia akan betul-betul menjadi kaya," kata Wallace D. Wattles.
Artinya, dengan mensyukuri sesuatu, kita benar-benar mendapatkan sesuatu itu.
"Kaya" yang dimaksud adalah dalam arti luas bukan semata-mata uang
dan harta benda.