Presiden Joko Widodo akhirnya angkat bicara merespons fenomena yang
akhir-akhir ini mendera kesatuan Indonesia. Pernyataan Presiden itu diungkapkan
usai menerima sejumlah tokoh lintas agama di Istana Merdeka, Jakarta Pusat,
Selasa 16 Mei 2017 (Kompas.com)
Dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengatakan, “Saya baru saja
bersilaturahmi dengan beliau-beliau, tokoh agama dari Majelis Ulama Indonesia,
Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Konferensi Wali Gereja Indonesia, Persekutuan
Gereja-gereja Indonesia, Perwakilan Umat Buddha Indonesia, dari Hindu Dharma
Indonesia dari Majelis Tinggi Konghucu Indonesia serta Palima TNI dan Kapolri
untuk membicarakan dinamika kebangsaan yang menjadi perhatian kita bersama.
Saya senang mendengar komitmen semua tokoh agama dan umatnya untuk terus
menjaga, terus mempertahankan, dan terus memperkokoh Pancasila dan UUD 1945
dalam bingkai NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Saya senang dan berterimakasih
atas komitmen semua pihak untuk membangun demokrasi yang sehat dan mendukung
penegakan hukum. Saya perlu tegaskan di sini bahwa kebebasan berpendapat,
berserikat dan berkumpul itu dijamin oleh konstitusi kita. Tapi saya juga perlu
tegaskan bahwa kebebasan tersebut harus sejalan dengan koridor hukum. Harus
sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Harus berada dalam bingkai NKRI dan Bhinneka
Tunggal Ika.
Jikalau dalam beberapa waktu terakhir ini ada gesekan antar kelompok di
masyarakat. Mulai saat ini saya minta hal-hal tersebut – gesekan-gesekan
tersebut – untuk segera dihentikan.
Jangan saling menjelekkan, karena kita adalah saudara!
Jangan saling memfitnah, karena kita adalah bersaudara!
Jangan saling menolak, karena kita adalah saudara!
Jangan saling mendemo, habis energi kita untuk hal-hal yang tidak produktif
seperti itu!
Kita adalah saudara. Saudara sebangsa dan setanah air! Saya juga telah
memerintahkan kepada Kapolri, kepada Panglima TNI untuk tidak ragu-ragu
menindak tegas segala bentuk tindakan dan ucapan yang mengganggu persatuan dan
persaudaraan. Yang mengganggu NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Yang tidak sesuai
Pancasila dan UUD 1945. Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhai usaha kita bersama!
Jelas, Jokowi melihat gesekan atau tepatnya ancaman terhadap keutuhan
NKRI tidak main-main. Serius! Pada kesempatan lain Presiden mengungkapkan
penyesalannya atas ketertinggalan Indonesia dibanding negara-negara lain,
termasuk negara tetangga. Tak bisa ditutupi raut muka kekecewaannya ketika
menyatakan bahwa bangsa-bangsa lain sudah maju di depan, sementara Indonesia
masih berkutat dengan urusan demo!
Tidak bisa dipungkiri dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa, persatuan
dan kesatuan merupakan faktor utama dalam memajukan sebuah bangsa bukan masalah
sumber daya alam. Coba tengok negara-negara yang terus dilanda konflik
perpecahan, meskipun kaya raya dengan sumber daya alamnya, tetap saja
menderita! Sebaliknya, negara-negara yang punya kesehatian, peduli terhadap
sesama warganya, menghormati hak-hak sesama dan menjunjung tinggi hukum dan sportifitas,
negara itu segera menjadi terkemuka. Lihatlah Singapore, Jepang apakah ada
sumber daya alam yang mumpuni, jauh sekali dibandingkan dengan kekayaan
Indonesia. Indonesia selamanya akan menjadi negara terkebelakang jika tidak
bisa mengelola perbedaan sebagai sebuah kekayaan. Tidak bisa bersatu menghadapi
tantangan zaman!
Kesatuan adalah modal utama dalam menghadapi tantangan, apalagi tekanan.
Sejak kecil kita selalu diajari hikmat dari sapu lidi. Lidi hanya sebatang,
tidak mempunyai fungsi yang berarti. Rapuh dan gampang dipatahkan, sebaliknya
ketika diikat bersama-sama dengan yang lain, ia dapat berfungsi sebagai sapu
dan tentunya tidak mudah untuk dipatahkan. Hal serupa terjadi dalam kehidupan
umat Tuhan. Umat Tuhan dari zaman ke zaman selalu diperhadapkan dengan
tantangan, tekanan, penderitaan, aniyaya dan penindasan. Mengapa? Dari doa yang
dipanjatkan Yesus, tersirat bahwa, “…dan
dunia membenci mereka, karena mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari
dunia.” (Yohanes 17:14). Untuk alasan inilah Yesus khusus berdoa untuk para
murid-Nya. Ia tidak berdoa bagi dunia!
Mengapa Yesus hanya berdoa bagi murid-murid yang telah menerima dan
menuruti Firman Bapa? Bukankah Bapa begitu mangasihi dunia sehingga Ia
mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal (Yoh.3:16)? “Dunia” yang dimaksud dalam
Injil Yohanes adalah mereka yang menolak Anak yang diutus Bapa (Yoh.17:25).
Dunia yang menolak ini, pada akhirnya akan diyakinkan tentang kesalahannya
(Yoh.16:8-11). Dunia yang menolak dan menindas ini justeru nantinya menjadi “ladang”
para murid yang diutus. Di samping itu doa Yesus untuk para murid disebabkan
oleh alasan ganda, yakni: Mereka adalah milik Bapa yang diberikan kepada Anak
(diri-Nya sendiri), dan mereka kini ditinggalkan di dalam dunia karena Yesus
akan mencapai kemuliaan-Nya, disalibkan, mati, dibangkitkan pada hari ketiga
lalu naik ke sorga kembali kepada Sang Bapa. Praktis secara fisik sudah tidak
lagi bersama-sama mereka! Di saat peralihan ini, Yesus sekaligus berkata: “Aku masih ada di dalam dunia (ay. 13)
dan Aku tidak lagi di dalam dunia
(ay.11). Seperti sudah dalam perjalanan menuju Bapa. Maka – dengan cinta-Nya
yang besar – Yesus memohon kepada Bapa untuk memelihara mereka. Yesus ingin
mereka tetap bersatu. Ia pun rindu kesatuan itu seperti Ia dengan Sang Bapa!
Yesus tahu benar tantangan dan tekanan yang akan terjadi pada para
murid. Selain kekuatan dan penyertaan Sang Bapa melalui Roh Kudus, tentunya
kesehatian dan bersatunya mereka dalam menghadapi pelbagai tantangan merupakan
senjata utama.
Pada tahapan awal setelah Yesus naik ke sorga, ternyata benar. Para
murid bertekun, sehati, sepikir, mereka bersatu sehingga betapa beratnya pun
tantangan, tekanan bahkan aniaya, mereka terus melakukan tugas kesaksian itu. Mereka
bahu-membahu. Namun, ketika jumlah orang percaya terus bertambah menjadi besar,
bibit-bibit perpecahan itu mulai tampak. Dalam Kisah Rasul 6 mulai ada
sungut-sungut lantaran ada orang-orang miskin terabaikan. Bersyukur masalah itu
cepat ditangani dengan diangkatnya tujuh orang untuk melayani kebutuhan
orang-orang miskin. Demikian pula di jemaat Korintus timbul kelompok-kelompok.
Ada yang menyebut golongan Paulus, Apolos, Kefas dan Kristus. Jemaat-jemaat
yang lain juga sama. Di Kolose, ada kelompok Yunani dan Yahudi; bersunat dan
tidak bersunat, orang Barbar atau orang Skit. Untuk meredamnya, Paulus
mengatakan, “Dalam hal ini tidak ada lagi
orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang
Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua
dan di dalam segala sesuatu.” (Kolose 3:11).
Rupanya perpecahan itu seperti virus yang ada dalam gereja, terus
menjalar dan menyebar. Ketika gereja sudah sedemikian besar. Kaisar menyatakan
Kristen sebagai agama negara maka semakin seringlah konflik berdasarkan cara
pandang, tafsir dan doktrin tertentu yang berdampak memecah belah umat Tuhan. Coba
amati sekarang di tempat-tempat murid-murid Tuhan dulu berkarya, di
tempat-tempat lahirnya bapa-bapa gereja, kekritenan nyaris lenyap. Lihatlah
bekas tujuh jemaat yang dikirimi surat Wahyu Yohanes, tempat lahirnya Paulus
(Tarsus, Turki), tempat lahirnya Agustinus (Aleksandria, Mesir), Athanasius,
Origenes dan lainnya, di tempat-tempat itu kekristnan hanya tinggal puing. Itulah
buah dari perpecahan.
Mungkin kita bertanya, “Apakah kalau demikian doa Yesus para pengikutnya
tetap bersatu tidak manjur atau tidak didengar Bapa-Nya?” Doa tidak meniadakan
upaya manusia untuk berusaha. Doa tidak menggantikan jeri-lelah manusia. Yesus
berdoa untuk penyatuan, tentu didengar oleh Bapa-Nya. Namun, manusia, dalam hal
ini para pengikut Yesus juga tidak berarti
berpangku tangan, lalu kemudian penyatuan itu terjadi dengan sendirinya.
Tidak! Manusia harus berupaya untuk mewujudkan doa Yesus itu. Para pengikut
Yesus harus menanggalkan ego mereka masing-masing, mencontoh Yesus. Bukankah
sebelum Yesus berdoa, Ia juga telah membasuh kaki para murid? Tidak akan ada
kesatuan tanpa menanggalakan ego!
Lalu, apakah kesatuan itu sama dengan keseragaman? Apakah kita tidak
boleh berbeda pendapat? Tentu tidak. Kesatuan itu seperti Indonesia,
berbeda-beda tetapi satu: Indonesia! Salah satu Bapa gereja, Agustinus
mengatakan, ‘Dalam hal esensi, bersatulah; dalam masalah yang tidak dapat
dipastikan, jangan kaku; dalam segala sesuatu berbuat baiklah.” John Wesley,
menyukai aforisma ini, lalu memodifikasinya sedikit. Wesley percaya bahwa
satu-satunya cara agar gereja dapat bersatu adalah dengan cara membedakan hal
yang esensi dengan yang bukan esensi, lalu menemukan cara menerima perbedaan
dalam hal yang tidak esensi, dan kemudian memastikan bahwa perbedaan itu tidak
lebih dominan dari iman kita bersama. Wesley percaya bahwa kasih dan komitmen
kepada Yesus adalah hal yang esensi. Segala sesuatu di luar itu tidak esensi.
Kita dapat, dan akan terus berbeda dalam cara pikir, dalam gaya ibadah, dalam
metode pembaptisan, namun semua perbedaan ini bukanlah esensinya. Satu-satunya
esensi adalah: Apakah hati kita bergetar dalam kasih kepada Yesus? Jika ya,
maka kita sehati. Maka dari itu kita bisa berkata: Yesus adalah Tuhan! Jika
hati Anda bergetar dalam kasih kepada Yesus, maka gandenglah tangan saya dan
mari kita berjalan dalam satu persekutuan menghadapi tantangan bahkan tekanan!
Jangan harap gereja dapat mengalahkan tekanan, apalagi memberikan
sumbangsih bagi kesatuan Republik Indonesia, kalau antara sesama murid Yesus
saja saling sikut dan tidak bisa menyatu!