Lazimnya, ketika kita berbuat baik maka kita akan menerima buahnya,
yakni kebaikan juga. Bukankah demikian hukum tabur tuai? “Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin
berbuat baik?” Demikian kata Rasul Petrus (1 Petrus 3:13). Normalnya, orang
tidak akan berbuat jahat terhadap orang yang selalu berbuat baik. Cobalah kita
berada pada posisi orang yang selalu menerima kebaikan dari seseorang. Nah,
apakah kita tega membenci, melukai dan berbuat jahat kepada orang itu? Mestinya
tidak! Namun, nyatanya ada saja: perlakuan baik dibalas dengan kebencian dan
tindakan tidak menyenangkan. Katanya seperti pribahasa: “Air susu dibalas
dengan air tuba.” Perbuatan baik yang kita lakukan dibalas dengan perbuatan
jahat sampai kita menderita. Jangan tanya mengapa orang tidak tahu
berterimakasih!
Dalam konteks Surat Pastoral Petrus, bisa jadi mereka dibenci – meskipun
rajin berbuat baik – oleh karena dianggap sebagai orang-orang asing. Ingat,
surat pastoral Petrus ini ditujukan kepada
orang-orang pendatang, yang tersebar di Pontous, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil
dan Bitinia (1 Petrus 1:1). Mereka ini adalah orang-orang Yahudi dan non
Yahudi yang telah percaya kepada Kristus. Namun, meskipun mungkin saja mereka
telah sekian lama tinggal di daerah itu dan bahkan ada juga orang-orang “pribumi”
atau lokal di tempat-tempat itu, tetap saja mereka dianggap sebagai pendatang
atau orang asing. Hampir mirip kondisi ini dengan orang Kristen di Indonesia. Walau
banyak melakukan sumbangsih kebaikan bagi bumi pertiwi dan bahkan tak terhitung
jumlah pejuang yang berkorban untuk kemerdekaan Republik Indonesia, sering kali
orang-orang Kristen dipandang sebagai “pendatang” dan “orang asing” di tanah
air tumpah darahnya sendiri. Apakah dengan demikian menyurutkan kita untuk
berhenti mengasihi dan mencintai Indonesia?
Dalam kondisi seperti ini wajar kalau orang-orang yang disebut “pendatang”
atau keturunan menjadi marah, kecewa, frustasi dan merasa sia-sia melakukan
perbuatan baik dan hidup dalam kebenaran. Sebagian mereka berniat hijrah ke
luar negeri, memindahkan aset-aset mereka dan melarang anak-anaknya yang
sekolah di luar negeri untuk kembali ke Indonesia. Tahun lalu Presiden Jokowi
mengadakan kunjungan ke beberapa negara dan mengajak agar putra-putri Indonesia
yang sekolah di negara-negara itu kembali ke Indonesia untuk membangun dan
berkarya kemajuan peradaan Indonesia. Mereka menyambut dengan atusias ajakan
sang presiden. Namun, peristiwa beberapa bulan terakhir menimbulkan kondisi
yang terbalik. Mereka meragukan kondisi tanah airnya, negara dianggap gagal
memertahankan dan membela kebenaran. Sebaliknya, radikalisme, premanisme
berjubah agama dan segala macam tindakan kemunafikan semakin mendapat panggung!
Seseorang pernah curhat kepada
saya, bahwa kini ia tidak mau menolong saudaranya lagi. Mengapa? Oleh karena
kebaikan yang ia berikan ternyata dimanfaatkan tidak dengan semestinya. Sang
saudara itu memasang muka memelas, penuh dengan derita, tujuannya supaya ia
dikasihani dan diberi bantuan. Pada tataran ini saja, kebanyakan dari kita
enggan untuk memberikan bantuan lagi karena merasa diri telah dimanfaatkan.
Apalagi jika kebaikan yang kita berikan justeru dibalas dengan kebencian dan
kejahatan, saya tidak tahu seberapa banyak yang dapat tahan untuk terus berbuat
baik? Seberapa banyak di antara kita yang tidak gentar untuk terus berbuat baik
dan menyatakan kebenaran bila berhadapan dengan fitnah, dengki dan aniaya?
Mengapa kebanyakan orang – mungkin termasuk kita – enggan atau berhenti
berbuat baik mana kala kebaikan kita disalah mengerti atau bahkan dibalas
dengan perlakuan jahat? Bisa jadi dalam setiap perbuatan baik kita terselip
harapan untuk menerima kembali kebaikan itu. Rasul Petrus mengingatkan bila
kita telah melakukan perbuatan bahkan rajin berbuat baik namun toh kita harus menderita, maka
berbahagialah! Loh koq bisa? Petrus
menegaskan apabila kita menderita, dibenci, dimusuhi karena melakukan perbuatan
baik dalam kebenaran, kita harus memandang kepada Kristus. Ia pun menderita
karena dosa umat manusia, termasuk kita di dalamnya. Ia mendapatkan perlakuan
tidak adil meski Ia berlaku adil. Ia dibenci padahal Ia tidak pernah membenci.
Ia ditolak padahal Ia merangkul semua. Ia dianiaya padahal Ia begitu mencintai
mereka!
Ketika kita memandang Kristus, mestinya kita lebih siap meninggalkan
cara pandang kita selama ini, yakni merasa berjasa dan harus menerima kembali
setiap kebaikan yang kita berikan. Sikap pamrih mestinya sudah bukan lagi menjadi
mentalitas kristiani. Kita berbuat baik bukan supaya rumah kita aman, atau
supaya gereja kita tidak diganggu, atau sebagai alat untuk mengkritenkan orang lain
bahkan menjaring popularitas. Ketika Yesus mengetahui motivasi kebaikan kita
adalah untuk itu, saya yakin Dia akan sedih dan kecewa. Bukan itu! Melainkan meneladani
Kristus. Dengan meneladani Kristus seharusnya lambat-laun karakteristik kasih
Kristus itu menjadi bagian dari sikap mental kita. Berbuat baik semata-mata
karena kita telah lebih dahulu dikasihi dan dicintai Tuhan, berbuat baik untuk
menyalurkan kasih Allah. Melakukan kebenaran bukan karena takut dihukum
melainkan oleh karena Tuhan menghendakinya. Melakukan kebenaran adalah cara
hidup kudus kita di dunia yang penuh cemar. Begitulah cara kita mencintai-Nya.
Menderita karena kebenaran tidak lagi disesali, melainkan disyukuri sebagai
sebuah berkat. Menderita karena kebenaran jauh lebih mulia dibandingkan
menderita akibat melakukan tindakan kejahatan.
Benar, dengan kekuatan sendiri mustahil kita dapat terus berbuat baik di
dalam kebenaran. Kita membutuhkan pertolongan Adikuat! Sebelum perpisahan
dengan murid-murid-Nya, Yesus menjanjikan Roh Penolong bagi para murid agar
mereka mampu melakukan tugas kesaksian di dunia ini. Sang Penolong ini adalah
Roh Kebenaran (Yoh. 14:17) atau Roh Kudus. Apa yang dimaksud dengan Penolong?
Kata Yunani paraklētos dari kata dasar parakaleō
yang berarti menghibur dan meneguhkan. Penolong itu adalah Sang Penghibur. Apa
peran Penolong itu? Apakah Dia yang menghibur para murid dalam kedukaan? Yang
dimaksud Yesus dalam Yohanes 14:16 bukan menghibur dalam kedukaan, tetapi yang
memberikan peneguhan dan kekuatan bagi para murid untuk hidup dalam kebenaran.
Orang yang setia melakukan kebenaran pasti akan menghadapi banyak tantangan,
ancaman, kebencian dan tindakan kejahatan. Ia adalah Roh Kebenaran! Ia meneguhkan
para murid dalam menghadapi tantangan dan kesulitan iman, agar mereka terus
berjalan dalam kebenaran, bertahan dalam kesaksian mereka, bertahan dalam
pertentangan mereka!
Apa yang
dialami oleh Penolong ini dalam kehadiran-Nya di dunia akan serupa dengan apa
yang dialami Yesus. “Dunia tidak dapat
menerima Dia sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia.” Berbeda
dengan dunia yang tidak melihat dan tidak mengenal Penolong itu, para murid
melihat dan mengenal-Nya. Penolong itu akan menyertai para murid dan akan diam
di dalam diri mereka.
Tidak salah,
Tuhan menghadirkan Anda dan saya di bumi Indonesia ini. Bukan pula hal keliru,
apabila setiap perbuatan baik dan ketaatan kita pada kebenaran justeru
memperhadapkan kita dengan kecemburuan, fitnah dan ancaman. Di sinilah Tuhan
membentuk kita, Ia tidak tinggal diam. Dulu Ia menyertai Petrus, Stefanus, Paulus
dan yang lainnya dalam pemberitaan Injil dan menyatakan kebenaran di hadapan
para lawannya, Roh Kudus itu memberi hikmat untuk berkata-kata, menguatkan mereka
dalam berbagai bentuk aniaya dan penjara. Maka Roh yang sama juga tentunya akan
memampukan kita untuk melakukan segala kebaikan.
Di lain pihak,
justeru dengan kehadiran Anda dan saya, Tuhan sedang mengasihi bangsa ini.
Kebaikan-Nya ingin terus mengalir terhadap bangsa ini. Bayangkan, andai saja
bangsa ini sudah tidak ada lagi yang peduli dengan keutuhan semua ciptaan,
keadilan bagi semua orang, penghormatan terhadap kebhinekaan dan kebenaran yang
terus-menerus dinyatakan, mungkin hanya tinggal menunggu hari saja bangsa ini
hanya tercatat dalam sejarah. Ya, ada sebuah bangsa yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi keragaman dengan semboyan
Bhineka Tunggal Ika, ternyata telah hilang dari peta dunia!