Di balik “pintu” banyak misteri dan filosofi. Hampir di setiap daerah,
suku, atau komunitas memandang pintu bukan sekedar selembar papan kayu, bambu,
plastik, besi, atau kaca yang memisahkan sebidang ruang dengan ruang yang
lainnya. Pintu mempunyai makna mendalam yang melekat padanya. Dalam masyarakat
Bali misalnya, pintu memiliki peran sentral. Jika kita perhatikan arsitek
bangunan Bali, yang paling menonjol pasti pintu utamanya. Pintu itu dibangun
tepat di tengah-tengah dan diberi hiasan indah. Pintu gerbang utama sebuah Pura
yang disebut angkul-angkul, yang mengambil simbol gunung.
Masyarakat Hindu Bali
percaya bahwa tempat yang tinggi memiliki energi yang lebih suci di banding
dataran biasa maka gunung, khususnya Gunung Agung selalu menjadi patokan model
atau arah dari angkul-angkul karena merupakan sumber kehidupan dan kemakmuran. Masih
mengenai pintu utama. Pintu gerbang masuk rumah adat Bali disebut Kori. Kori melambangkan alat kelamin perempuan (vagina) yang dipahami
sebagai pintu keluarnya manusia mengenal kehidupan. Jadi, bagi orang Bali,
pintu adalah akses kepada kehidupan dan kemakmuran.
“Akulah pintu; siapa saja yang
masuk melalui AKu ia akan diselamatkan dan ia akan masuk dan keluar serta
menemukan padang rumput.” (Yohanes 10:9)
Yesus menyatakan diri sebagai pintu buat domba-domba-Nya. Apa artinya? Samakah
dengan filosofi budaya Bali? Mari kita telusuri apa yang dinyatakan Yesus. Ia
mengambil kiasan kehidupan para gembala di Palestina pada zaman-Nya. Para
gembala bersama kawanan ternak mereka biasanya mengembara jauh dari pemukiman
mereka. Dalam pengembaraan yang jauh itu mereka mempunyai kandang bersama yang
menjadi tempat mengumpulkan domba-domba mereka pada waktu malam. Anehnya,
walaupun “kandang” itu dipakai bersama, domba-domba mereka tahu gembalanya
masing-masing. Mereka seolah bisa berkomunikasi. Si gembala mengenal domba
asuhannya dan terkadang memberi nama domba-domba itu. Ada yang diberi nama Si
Belang, Si Telinga panjang, Si Hidung putih dan lain sebagainya. Sebaliknya,
domba-domba itu memberi reaksi positif ketika gembalannya memanggil. Jangan
harap orang lain dapat melakukannya walau meniru-niru suara si gembala itu.
Kandang yang dimaksud adalah sebidang tanah yang cukup luas dikelilingi
dengan pagar yang terbuat dari batu-batu yang ditumpuk. Dari dinding tumpukan
batu itu, mereka membuat celah dan kemudian diberi pintu. Pintu itulah
merupakan akses satu-satunya para gembala dan kawanan ternak mereka keluar dan
masuk. Ketika para gembala itu tidur, selalu ada orang yang ditugasi untuk
menjaga pintu itu dari orang yang berniat jahat atau binatang buas yang
mengincar domba-domba mereka. Kiasan pintu kandang seperti itulah yang dipakai
Yesus ketika mengatakan diri-Nya adalah “Pintu”.
Pencuri dan perampok tidak akan masuk melalui pintu kandang itu, karena
di sana ada penjaganya. Dasar pencuri, mereka tidak kekurangan akal. Mereka
akan masuk ke kandang itu dengan cara memanjat dinding tembok batu itu. Lalu
mencuri dan membawa kabur domba-domba itu. Tentu domba curian itu bukan untuk
dipelihara seperti para gembala memelihara mereka. Domba curian itu akan
dibunuh dan dinikmati dagingnya atau dijual ke penadah. Kecuali dengan paksa, pencuri
dan perampok tidak akan berhasil menuntun domba keluar sebab domba-domba itu
tidak mengenal mereka. Hanya gembala yang sesungguhnya sajalah yang dapat
menuntut mereka keluar. Dalam perjalanan keluar, gembala memimpin di depan,
diikuti oleh domba-dombanya. Padang rumput hijau tidak akan ditemukan oleh
domba-domba itu jika tidak bersama dengan sang gembala. Dalam cerita Tuhan
Yesus ini diperlihatkan kontras antara gembala yang sesungguhnya dengan pencuri
tampak nyata dalam cara mereka memasuki kandang dan dalam hubungan serta
perlakuan terhadap para domba itu.
Yesus menyatakan diri “Pintu” yang harus dilewati oleh setiap gembala
yang sesungguhnya. Benar, pada akhirnya Yesus menyatakan diri sebagai Gembala
Yang Baik. Namun, jangan lupa juga bahwa Dia menyatakan diri sebagai “Pintu”.
Pintu yang menghubungkan para domba dan gembala mengenal dunia sesungguhnya dan
menemukan padang rumput dengan mata air yang baik. Yesus menjelaskan bahwa Ia
adalah pintu yang memasukkan domba-domba ke dalam keselamatan. Mereka tidak
akan bisa masuk jika tidak melewati Pintu itu. Ia datang supaya domba-domba
mempunyai hidup dan mempunyainya dalam kelimpahan.
Yesus tidak hanya menempatkan diri-Nya sebagai salah satu dari sekian
banyak gembala yang baik dan bisa dipercaya. Namun, Ia adalah Sang Gembala
Agung yang diutus oleh Allah untuk menggembalakan umat-Nya. Ia memiliki kuasa
atas domba-domba itu karena Ia adalah Pintu menuju pada domba-domba dan sekaligus
pintu yang harus dilalui oleh domba-domba untuk sampai pada keselamatan. Tidak
ada gembala-gembala yang dapat sampai kepada domba-domba itu jika tidak melalui
“pintu”, yakni Yesus sendiri. Setiap orang yang ingin menuntun atau menjadi
pemimpin dari domba-domba kepada keselamatan harus diutus dan mengerjakannya
bersama Yesus.
Yesus mengatakan bahwa,”Semua yang
datang sebelum Aku adalah pencuri dan perampok dan domba-domba tidak
mendengarkan mereka.” (Yoh.10:8). Kalau demikian, apakah seluruh tokoh dalam
Perjanjian Lama merupakan pencuri dan perampok? Lalu siapakah yang dimaksudkan
oleh Yesus itu? Dalam Perjanjian Lama, berulang kali para nabi diutus Allah
untuk menegur dan mengeritik keras terhadap para pemimpin Israel yang membawa
umat ke dalam kemerosotan moral. Lihat saja kitab-kitab para nabi. Yehezkiel 34
menggambarkan ada gembala yang baik yang berhadapan dengan para gembala yang
jahat. Gembala yang jahat adalah para pemimpin dan penguasa yang sering menipu,
memanipulasi dan menindas domba-domba mereka, yakni rakyat jelata. Tak segan
pula mereka menggunakan kitab suci sebagai pembenaran bahkan mengabaikan dan
mengajak domba-domba itu berpaling dari Gembala yang sesungguhnya dan beribadah
kepada allah lain. Umat Allah mengalami kemerosotan baik moral maupun
spiritual. Kemerosotan itu disebabkan oleh gembala-gembala Israel. Dalam
pemikiran seperti inilah Yesus mengkritik para pemimpin Israel yang membawa
mereka kepada kemerosotan akhlaq yang unjung-ujungnya merugikan dan
membinasakan domba-domba itu. Mereka adalah gembala-gembala yang menyesatkan
Israel maka layak disebut pencuri dan perampok! Sepertinya, Yesus juga sedang
berhadapan dengan mereka, yakni para ahli Taurat dan pemimpin Yahudi.
Yesus adalah “Pintu”, pintu memiliki peran penting dalam kehidupan manusia.
Melalui pintu, gembala dan domba itu keluar masuk menemukan pada rumput dan air
yang tenang. Siapa saja yang keluar dan masuk melalui Dia, akan selamat. Pintu
gerbang itu dapat befungsi menutup jalan bagi mereka yang datang dengan niat
membinasakan kawanan domba (Yoh.10:7-8). Yesus jugalah pintu yang membuka jalan
bagi domba-domba menuju keselamatan dan kehidupan yang kekal. Sementara pencuri
hanya datang untuk mengambil dan membunuh. Yesus sebaliknya, hadir supaya orang
mempunyai hidup bahkan hidup dengan kelimpahan. Bagi Yohanes, keselamatan sama
dengan hidup. Maksudnya, bukanlah cuma hidup berkelimpahan secara jasmani
sekarang dan di sini, juga bukan hanya hidup kekal nanti dan di sana. Namun,
suatu kepenuhan hidup sekarang yang akan bertahan untuk selamanya melampaui
kematian (Yoh.11:25-26). Hidup kelimpahan melalui akses Yesus itu dikontraskan
dengan kematian dan kebinasaan yang dibawa oleh pencuri-pencuri yang menyusup
tidak melalui “Pintu”.
Bagaimana kita memahami Yesus sebagai “Pintu”? Ada sebuah Universitas
menyatakan dirinya sebagai “pintu gerbang kesuksesan”. Kesuksesan itu sudah
dapat dipastikan tidak akan kunjung tiba tanpa Anda dengan sungguh-sungguh
tekun belajar. Setelah tamat ilmu yang didapat itu harus dipergunakan dengan
sungguh-sungguh. Yesus adalah “Pintu” kepada hidup dan kehidupan yang
berkelimpahan. Namun, tanpa mengalami persekutuan, menerapkan ajaran dan
mengikut-Nya dengan setia, mustahil hidup dan kehidupan yang berkelimpahan itu
dapat Anda nikmati. Yesus adalah “Pintu” berarti Ia juga memberikan koridor
mana yang harus dilakukan dan mana yang mestinya dihindari. Ia adalah ukuran
utama kualitas iman maupun moral. Anda akan menikmati kebahagiaan yang
sepenuhnya ketika berada dalam koridor “Pintu” itu. Anda akan menemukan “padang
rumput” dan “air tenang” yang sesungguhnya hanya ketika melalui “Pintu” itu dan
mengikuti jejak-Nya. Meskipun tampaknya sulit dan terjal, berliku dan penuh
penderitaan, namun percayalah justeru di situlah letak kehidupan yang sesungguhnya!