Tiada kepedihan paling mendalam selain kematian orang yang begitu
dicintai dan menjadi sumber pengharapan. Itulah barangkali yang diperlihatkan
oleh kedua Maria di depan kubur Yesus. “Tetapi
Maria Magdalena dan Maria yang lain tinggal di situ duduk di depan kubur itu.”
(Matius 27:61). Keduanya tidak berdaya – sekalipun mungkin saja keinginan hati
mereka memulasara jasad Yesus – berhadapan dengan tradisi patriakal yang tidak
membolehkan perempuan mengurus jasad, meskipun jenazah itu adalah orang yang
begitu mereka cintai.
Bayangkan jika tidak ada Yusuf dari Arimatea, apa jadinya dengan mayat
Yesus yang tergantung di kayu salib? Kebencian yang begitu memuncak dari para
pemimpin agama, ahli Taurat dan orang Farisi rasanya akan terus membiarkan
mayat Yesus tetap ada di sana. Meskipun ada aturan, “Apabila seorang berbuat dosa yang sepadan dengan hukuman mati, lalu ia
dihukum mati, kemudian kaugantung dia pada sebuah tiang, maka janganlah
mayatnya dibiarkan semalam-malaman pada tiang itu, tetapi haruslah engkau
menguburkan dia pada hari itu juga,…”(Ul.21:22-23).
Lalu siap Yusuf ini? Matius memperkenalkan Yusuf dari Arimatea sebagai “murid
Yesus” dan “orang kaya” (Mat.27:57). Selain itu, Injil Markus mencatat bahwa
Yusuf adalah seorang anggota Majels Besar yang terkemuka, yang juga menanti-nantikan
Kerajaan Allah (Mark 15:43). Maka dengan status sosialnya ini bukanlah perkara
sulit baginya meminta kepada Pilatus agar mayat Yesus dapat diurus oleh dirinya
sebagaimana mestinya. Yusuf membeli kain kafan baru yang putih dan bersih untuk
mengafani jenazah Yesus. Tidak hanya itu, bahkan ia merelakan kuburnya sendiri
yang baru saja dibeli untuk membaringkan tubuh Yesus yang tanpa nyawa itu.
Dengan cara itu, Yusuf menunjukkan cinta, hormat dan sekaligus tanggungjawabnya
terhadap orang yang begitu berarti dalam hidupnya. Selama Yusuf menurunkan
mayat Yesus, mengapani dan membaringkanya dalam kuburnya yang baru itu, kedua
Maria hanya melihat dari jauh. Barulah setelah Yusuf pergi mereka duduk di
depan kubur itu.
Maria Magdalena, Maria ibu Yoses dan Yusuf dari Arimatea adalah
orang-orang yang tulus bahkan di tengah gejolak kebencian yang belum reda
terhadap Yesus, mereka berani menanggung resiko, menunjukkan kasih dan
kesetiaannya kepada Guru yang mereka cintai.
Perlakuan berbeda ditunjukkan oleh para tua-tua pemimpin agama Yahudi
dan orang Farisi. Mereka datang menghadap Pilatus bukan untuk mengurus jenazah
Yesus - yang memang semestinya harus
diurus sebagaimana dalam Ulangan 21;22. Mereka datang mendesak Pilatus supaya
kubur Yesus dijaga, tidak hanya itu tetapi juga dimeterai, diberi segel!
Mengapa? Mereka mengatakan, “Tuan, kami
ingat, bahwa si penyesat itu sewaktu hidup-Nya berkata : Sesudah tiga hari Aku
akan bangkit.” (Mat.27:62). Mereka berpikir bisa saja murid-murid Yesus
yang kocar-kacir sewaktu pembantaian Yesus itu, diam-diam kembali dan membuka
kubur Yesus kemudian mencuri mayat-Nya. Setelah itu mengumumkan kepada kalayak
ramai bahwa Yesus sudah bangkit, lihatlah kuburnya sudah kosong!
Ternyata kebencian turus menguasi mereka. Setelah Yesus mati pun mereka
tidak puas. Namun, di sisi lain bukankah mereka juga sedang dikuasai oleh
kekuatiran mereka sendiri? Mereka takut kalau apa yang dulu pernah diucapkan
Yesus benar-benar terjadi: Yesus bangkit! Kalau hal ini terjadi kiamat bagi
mereka. Mereka mengatakan “…., penyesatan
terakhir akan lebih buruk dari pada yang pertama.” (Mat. 27:64). Kekuatiran
itu mendorong mereka memaksa Pilatus memberikan prajurit-prajuritnya untuk
menjaga kubur Yesus. Pilatus tidak keberatan mengabulkan permohonan delegasi
Yahudi itu.
Namun di sisi lain, kisah mengenai penjagaan dan pemberian meterai kubur
Yesus seakan mempersiapkan dan menegaskan nantinya bahwa tidak dapat disangkal
lagi: Yesus bangkit! Dengan penjagaan dan pemberian meterai atau segel itu,
mereka sendiri telah menghilangkan sebuah kemungkinan jawaban atas pertanyaan, “Mengapa
tubuh Yesus tidak ada lagi di dalam kubur?” Kecurigaan mereka, murid-murid Yesuslah
yang mencurinya. Namun, sekarang kubur itu dijaga dan disegel, jelaslah para
murid tidak mungkin dapat mengambil jasad Yesus yang dikubur di dalam kubur
yang digali di dalam bukit batu itu!
Situasi tegang menghinggapi para murid, khusunya murid-murid perempuan
dan juga Yusuf dari Arimatea. Betapa tidak, mereka begitu mengasihi Yesus.
Mereka mencemaskan jasad Yesus. Ketegangan juga menghinggapi para pemimpin
Yahudi. Namun, ketegangan itu berbeda. Yang pertama, berharap untuk dapat terus
mencintai Yesus tetapi yang kedua, semakin diliputi oleh kebencian dan
ketakutan munculnya gerakan baru setelah kematian Yesus.
Kebencian yang disertai ketakutan kebangkitan kembali gerakan Yesus
mendorong mereka yang membenci-Nya melakukan berbagai manuver yang akhirnya
justeru mempertegas dan menguatkan fakta tak terbantahkan bahwa benar Yesus
bangkit!
Bisa jadi, saat sekarang kita sedang dilanda oleh berbagai kecemasan,
kegelisahan dan kesedihan, satu hal yang bisa kita pelajari dari kisah
pemakaman Yesus adalah: tenangkan dirimu, “Kesudahan
segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang
supaya kamu dapat berdoa.” (1 Pet.4:7). Kesunyian tidak selalu sepi. Kita
membutuhkan saat-saat seperti itu agar dapat dengan jernih mendengar suara-Nya.
Percayakan kepada-Nya, pasti ia akan merancangkan rancangan yang indah,
rancangan damai sejahtera bukan rancangan kecelakaan. Dengan cara-Nya yang
ajaib ia dapat mengeluarkan kita dari jerat yang dipasang oleh orang-orang yang
membenci kita atau dari pergumulan yang begitu berat sekali pun. “Engkau akan mengeluarkan aku dari jaring
yang dipasang orang terhadap aku, sebab Engkaulah tempat perlindunganku.” (Mzm.31:5)
Begitu kata pemazmur. Jadi, ketenangan dan mempercayakan diri kepada TUHAN
adalah cara terbaik mengatasi ketegangan hidup!