Jumat, 14 April 2017

KALA HIDUP TERASA TEGANG

Tiada kepedihan paling mendalam selain kematian orang yang begitu dicintai dan menjadi sumber pengharapan. Itulah barangkali yang diperlihatkan oleh kedua Maria di depan kubur Yesus. “Tetapi Maria Magdalena dan Maria yang lain tinggal di situ duduk di depan kubur itu.” (Matius 27:61). Keduanya tidak berdaya – sekalipun mungkin saja keinginan hati mereka memulasara jasad Yesus – berhadapan dengan tradisi patriakal yang tidak membolehkan perempuan mengurus jasad, meskipun jenazah itu adalah orang yang begitu mereka cintai.

Bayangkan jika tidak ada Yusuf dari Arimatea, apa jadinya dengan mayat Yesus yang tergantung di kayu salib? Kebencian yang begitu memuncak dari para pemimpin agama, ahli Taurat dan orang Farisi rasanya akan terus membiarkan mayat Yesus tetap ada di sana. Meskipun ada aturan, “Apabila seorang berbuat dosa yang sepadan dengan hukuman mati, lalu ia dihukum mati, kemudian kaugantung dia pada sebuah tiang, maka janganlah mayatnya dibiarkan semalam-malaman pada tiang itu, tetapi haruslah engkau menguburkan dia pada hari itu juga,…”(Ul.21:22-23).

Lalu siap Yusuf ini? Matius memperkenalkan Yusuf dari Arimatea sebagai “murid Yesus” dan “orang kaya” (Mat.27:57). Selain itu, Injil Markus mencatat bahwa Yusuf adalah seorang anggota Majels Besar yang terkemuka, yang juga menanti-nantikan Kerajaan Allah (Mark 15:43). Maka dengan status sosialnya ini bukanlah perkara sulit baginya meminta kepada Pilatus agar mayat Yesus dapat diurus oleh dirinya sebagaimana mestinya. Yusuf membeli kain kafan baru yang putih dan bersih untuk mengafani jenazah Yesus. Tidak hanya itu, bahkan ia merelakan kuburnya sendiri yang baru saja dibeli untuk membaringkan tubuh Yesus yang tanpa nyawa itu. Dengan cara itu, Yusuf menunjukkan cinta, hormat dan sekaligus tanggungjawabnya terhadap orang yang begitu berarti dalam hidupnya. Selama Yusuf menurunkan mayat Yesus, mengapani dan membaringkanya dalam kuburnya yang baru itu, kedua Maria hanya melihat dari jauh. Barulah setelah Yusuf pergi mereka duduk di depan kubur itu.

Maria Magdalena, Maria ibu Yoses dan Yusuf dari Arimatea adalah orang-orang yang tulus bahkan di tengah gejolak kebencian yang belum reda terhadap Yesus, mereka berani menanggung resiko, menunjukkan kasih dan kesetiaannya kepada Guru yang mereka cintai.

Perlakuan berbeda ditunjukkan oleh para tua-tua pemimpin agama Yahudi dan orang Farisi. Mereka datang menghadap Pilatus bukan untuk mengurus jenazah Yesus  - yang memang semestinya harus diurus sebagaimana dalam Ulangan 21;22. Mereka datang mendesak Pilatus supaya kubur Yesus dijaga, tidak hanya itu tetapi juga dimeterai, diberi segel! Mengapa? Mereka mengatakan, “Tuan, kami ingat, bahwa si penyesat itu sewaktu hidup-Nya berkata : Sesudah tiga hari Aku akan bangkit.” (Mat.27:62). Mereka berpikir bisa saja murid-murid Yesus yang kocar-kacir sewaktu pembantaian Yesus itu, diam-diam kembali dan membuka kubur Yesus kemudian mencuri mayat-Nya. Setelah itu mengumumkan kepada kalayak ramai bahwa Yesus sudah bangkit, lihatlah kuburnya sudah kosong!

Ternyata kebencian turus menguasi mereka. Setelah Yesus mati pun mereka tidak puas. Namun, di sisi lain bukankah mereka juga sedang dikuasai oleh kekuatiran mereka sendiri? Mereka takut kalau apa yang dulu pernah diucapkan Yesus benar-benar terjadi: Yesus bangkit! Kalau hal ini terjadi kiamat bagi mereka. Mereka mengatakan “…., penyesatan terakhir akan lebih buruk dari pada yang pertama.” (Mat. 27:64). Kekuatiran itu mendorong mereka memaksa Pilatus memberikan prajurit-prajuritnya untuk menjaga kubur Yesus. Pilatus tidak keberatan mengabulkan permohonan delegasi Yahudi itu.

Namun di sisi lain, kisah mengenai penjagaan dan pemberian meterai kubur Yesus seakan mempersiapkan dan menegaskan nantinya bahwa tidak dapat disangkal lagi: Yesus bangkit! Dengan penjagaan dan pemberian meterai atau segel itu, mereka sendiri telah menghilangkan sebuah kemungkinan jawaban atas pertanyaan, “Mengapa tubuh Yesus tidak ada lagi di dalam kubur?” Kecurigaan mereka, murid-murid Yesuslah yang mencurinya. Namun, sekarang kubur itu dijaga dan disegel, jelaslah para murid tidak mungkin dapat mengambil jasad Yesus yang dikubur di dalam kubur yang digali di dalam bukit batu itu!

Situasi tegang menghinggapi para murid, khusunya murid-murid perempuan dan juga Yusuf dari Arimatea. Betapa tidak, mereka begitu mengasihi Yesus. Mereka mencemaskan jasad Yesus. Ketegangan juga menghinggapi para pemimpin Yahudi. Namun, ketegangan itu berbeda. Yang pertama, berharap untuk dapat terus mencintai Yesus tetapi yang kedua, semakin diliputi oleh kebencian dan ketakutan munculnya gerakan baru setelah kematian Yesus.

Kebencian yang disertai ketakutan kebangkitan kembali gerakan Yesus mendorong mereka yang membenci-Nya melakukan berbagai manuver yang akhirnya justeru mempertegas dan menguatkan fakta tak terbantahkan bahwa benar Yesus bangkit!

Bisa jadi, saat sekarang kita sedang dilanda oleh berbagai kecemasan, kegelisahan dan kesedihan, satu hal yang bisa kita pelajari dari kisah pemakaman Yesus adalah: tenangkan dirimu, “Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang supaya kamu dapat berdoa.” (1 Pet.4:7). Kesunyian tidak selalu sepi. Kita membutuhkan saat-saat seperti itu agar dapat dengan jernih mendengar suara-Nya. Percayakan kepada-Nya, pasti ia akan merancangkan rancangan yang indah, rancangan damai sejahtera bukan rancangan kecelakaan. Dengan cara-Nya yang ajaib ia dapat mengeluarkan kita dari jerat yang dipasang oleh orang-orang yang membenci kita atau dari pergumulan yang begitu berat sekali pun. “Engkau akan mengeluarkan aku dari jaring yang dipasang orang terhadap aku, sebab Engkaulah tempat perlindunganku.” (Mzm.31:5) Begitu kata pemazmur. Jadi, ketenangan dan mempercayakan diri kepada TUHAN adalah cara terbaik mengatasi ketegangan hidup!  

Sabtu Sunyi, 2017

Kamis, 13 April 2017

PENONTON KEKERASAN

Bagi umat beragama, Tuhan diyakini sebagai pembuat undang-undang, ketetapan, perintah atau yang sejenis dengan itu. Tujuannya tentu agar manusia hidup baik. Jadi hukum-hukum ilahilah sumber segala kebajikan. Berbeda dari kaum rohaniwan, bagi para filsuf Yunani bukan hukum ilahi sebagai sumber kebajikan namun nalar. Akal budi adalah sumber kebajikan praktis. Mereka berpendapat bahwa kehidupan yang bajik tidak bisa dilepaskan dari nalar. Sepanjang sejarah, perjumpaan antara patuh kepada kehendak Tuhan atau penggunaan kebebasan nalar sebagai acuan bertindak etis dan berprilaku bajik mengalami pasang surut. Agustinus, teolog Kristen abad ke-4 misalnya, mengajarkan kebajikan moral ialah penyerahan diri pada kehendak Tuhan. Selanjutnya pada zaman Reinesans, hukum-hukum ilahi itu berpadanan dengan hukum sekuler, yang kemudian disebut hukum moral. Pada masa ini, manusia tidak puas  hanya dengan mengenali sifat-sifat baik saja, melainkan bertanya, “Apakah yang sebaiknya dilakukan agar manusia itu mengerjakan kebajikan?”

Mestinya, antara hukum Ilahi dan nalar atau akal sehat manusia sejalan dalam diskursus kebajikan. Manusia spiritual percaya bahwa dirinya diciptakan oleh Sang Pencipta. Dan Sang Pencipta itu juga merupakan sumber dari segala kebajikan. Ia menciptakan manusia dengan nalar – ini yang membedakannya dari makhluk lain – agar dengan nalar itu manusia melakukan segala kebajikan.

Sekarang manusia bertanya, mungkin juga berdebat, “Apakah kebajikan itu?” Aristoteles menyebutnya, “Suatu ciri pembawaan (character trait) yang termanifestasikan dalam tindakan habitual (kebiasaan). Misalnya, jujur. Kejujuran tidak dimiliki oleh seseorang yang menyatakan kebenaran hanya pada saat-saat tertentu saja atau yang menguntungkan dirinya sendiri. Pribadi jujur adalah senantiasa jujur; tindakan-tindakannya bersumber dari karakter yang teguh dan tidak bisa diubah. Kejujuran hanya merupakan bagian kecil saja dari kebajikan, masih ada murah hati, tidak memihak, adil, bersahabat, tekun, setia, peduli, toleran, dan seterusnya yang rasanya di semua tempat dan sepanjang zaman manusia mengakuinya.

Virtue berasal dari kata Latin virtus yang berarti moral atau kebajikan. Yang disebut kebajikan tidak boleh bertentangan atau meniadakan kebajikan yang lainnya. Misalnya, saya ingin melakukan salah satu tindakan kebajikan, yakni menolong orang yang kekurangan. Namun, karena saya tidak punya sesuatu untuk diberikan kepada orang miskin itu maka saya terpaksa harus merampok. Ini bukan kebajikan! Edward Shills mengatakan, “Tidak ada kebajikan yang berdiri sendiri dan bahwa setiap tindakan kebajikan (virtuous acts) mengorbantan tindakan bajik yang lain, dan bahwa tindakan bajik berkait erat dengan kejahatan…”

Agama diyakini sebagai salah satu sumber moral di mana para penganutnya mempraktikan kebajikan. Namun sangat disayangkan penafsiran tentang virtuous acts  itu tidak selalu ajeg pada cita-cita dan nilai-nilai luhur agama. Sejatinya agama menuntun orang mengerjakan segala bentuk prilaku bajik : kejujuran, belas kasih, cinta damai, toleran, peduli dan seterusnya. Namun, penafsiran syareat agama bisa berbeda dari itu. Virtuous acts diartikan dengan menjaga ketat syareat. Kaidah agama tidak boleh dinodai. Akibatnya, orang yang berbeda pandangan – apalagi yang mengeritik dan mengecam – adalah musuh. Bukan saja musuh kelompok ini, melainkan musuh Tuhan mereka. Tidaklah mengherankan bagi kelompok ini, yang disebut kebajikan adalah memerangi dan melenyapkan orang atau kelompok yang berbeda dengan mereka. Memberangus, mengenyahkan bahkan membunuh bagi kelompok ini merupakan sebuah tindakan kebajikan demi mempertahankan kemurnian syareat! Bagi mereka, menyerang kelompok yang berbeda, mengobrak-abrik tempat ibadah agama lain, membakar pemukiman yang dianggap kafir merupakan sebuah tindakan kebajikan. Mati pun bersedia, mereka percaya upahnya adalah sorga!

“…, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti kepada Allah.” (Yohanes 16:2). Tragis, kekerasan dan pembunuhan justeru dipandang sebagai virtue act. Itulah yang terjadi dalam diri Yesus. Hari itu Yesus diseret ke pengadilan agama dan dinyatakan bersalah telah menista agama Yahudi. Tidak puas dan supaya dapat legitimasi hukuman mati, Yesus pun dihadapkan kepada Pilatus. Pilatus sebenarnya telah memeriksa dan tidak mendapati kesalahan dalam diri Yesus. Namun, desakan orang banyak membuat Pilatus tidak berdaya! Akhirnya, Pilatus cuci tangan dan menyerahkan Yesus untuk disalibkan.

Akhirnya mereka menerima Yesus, “mereka paradidomi Yesus”. Mereka menerima Dia bukan untuk percaya, melainkan menerima Dia untuk ditolak dan dibinasakan. Mereka menerima Yesus untuk dijadikan obyek kekerasan dan pembantaian. “Virtue act” (mereka merasa sedang berbakti kepada Allah dengan membantai “musuh Allah”) dipertontonkan melalui via dolorosa. Yesus membawa salib-Nya sendiri ke luar kota Yerusalem yang bernama Golgota!

Hari itu, atas nama agama, seorang Anak Manusia bertubi-tubi dicambuk, diludahi, dikutuk, didera, dimahkotai duri, jatuh bangun memikul salib-Nya tanpa ada yang tergerak untuk menolong apalagi menghentikannya sampai paku-paku itu menancap di tangan dan kaki dan akhirnya salib itu ditegakkan. Dan Yesus berkata, “Sudah selesai.” (Yoh.19:30).

Vulgar, mengerikan dan orang banyak yang dulu menyanjung hanya berdiri sebagai penonton. Saya dapat membayangkan, kalau itu terjadi pada masa kini: mungkin orang banyak di sepanjang via dolorosa  itu segera mengeluarkan gadget mereka lalu memotret, memvideokan detil demi detil kejadian itu lalu membagikannya di jejaring Face Book, Twitter, Instagram, Path, Line, Whatapp, dan yang lainnya. Semakin mengerikan detil yang direkam, maka semakin bangga bagi pengirimnya, semakin banyak yang memberikan jempol (suka) semakin senang si pengunggahnya! Bukankah itu yang terjadi pada masa kini, media sosial kita dipenuhi dengan gambar, video dan berita kekerasan. Tanpa sadar kita, bukan saja menjadi penonton kekerasan itu, melainkan juga pengedarnya!

Bila hari ini ada pergeseran masiv menerjemahkan kebajikan dari mengerjakan segala apa yang disebut kebajikan (kejujuran, keramahtamahan, ketulusan, kepedulian, cinta kasih, toleran, kemurahan dan seterusnya) kepada pemurnian syareat dan penyingkiran serta pemberangusan yang berbeda, mestinya kita bukan berdiri sebagai penonton. Jika kita tidak peduli itu sama dengan kita menyetujui segala bentuk kekerasan tersebut. Tindakan itu bukanlah kebajikan, sebab – meminjam kalimat Edward Shills -  tidak mungkin sebuah tindakan kebajikan itu akan menciderai kebajikan yang lain. Tidak mungkin mereka sedang berbakti kepada Allah, namun membinasakan ciptaan-Nya sendiri. Jelas ini ada yang keliru!

 Diam, sebagai penonton berarti kita menyetujuinya. Ingatlah ketika Stefanus diibunuh, Saulus ada di sana, dia diam: dia setuju kalau Stefanus dibunuh atas nama agama! Hari ini, wajah agama sering menampakan kegarangannya. Tidak mudah bersahabat dengan orang atau kelompok yang berbeda, perjuangannya bukan mengerjakan kebajikan melainkan menyingkirkan pihak lain.  Haruskah kita menjadi penonton dan membiarkannya? Ataukah kita bertindak sama seperti mereka bertindak?

Mereka akan berbuat demikian, karena mereka tidak mengenal baik Bapa maupun Aku.” (Yoh.16:3) Demikian kata Yesus. Saatnya kita menghadirkan dan mengenalkan wajah Yesus, bukan hanya dengan kata tapi segenap perbuatan. Hadirkanlah cinta di mana ada kebencian, damai di mana ada pertikaian!

Jumat Agung, 2017