Bagi umat beragama, Tuhan diyakini sebagai pembuat undang-undang,
ketetapan, perintah atau yang sejenis dengan itu. Tujuannya tentu agar manusia
hidup baik. Jadi hukum-hukum ilahilah sumber segala kebajikan. Berbeda dari
kaum rohaniwan, bagi para filsuf Yunani bukan hukum ilahi sebagai sumber
kebajikan namun nalar. Akal budi adalah sumber kebajikan praktis. Mereka
berpendapat bahwa kehidupan yang bajik tidak bisa dilepaskan dari nalar.
Sepanjang sejarah, perjumpaan antara patuh kepada kehendak Tuhan atau
penggunaan kebebasan nalar sebagai acuan bertindak etis dan berprilaku bajik
mengalami pasang surut. Agustinus, teolog Kristen abad ke-4 misalnya,
mengajarkan kebajikan moral ialah penyerahan diri pada kehendak Tuhan.
Selanjutnya pada zaman Reinesans, hukum-hukum ilahi itu berpadanan dengan hukum
sekuler, yang kemudian disebut hukum moral. Pada masa ini, manusia tidak
puas hanya dengan mengenali sifat-sifat
baik saja, melainkan bertanya, “Apakah yang sebaiknya dilakukan agar manusia
itu mengerjakan kebajikan?”
Mestinya, antara hukum Ilahi dan nalar atau akal sehat manusia sejalan
dalam diskursus kebajikan. Manusia spiritual percaya bahwa dirinya diciptakan
oleh Sang Pencipta. Dan Sang Pencipta itu juga merupakan sumber dari segala
kebajikan. Ia menciptakan manusia dengan nalar – ini yang membedakannya dari
makhluk lain – agar dengan nalar itu manusia melakukan segala kebajikan.
Sekarang manusia bertanya, mungkin juga berdebat, “Apakah kebajikan itu?”
Aristoteles menyebutnya, “Suatu ciri pembawaan (character trait) yang termanifestasikan dalam tindakan habitual (kebiasaan). Misalnya, jujur.
Kejujuran tidak dimiliki oleh seseorang yang menyatakan kebenaran hanya pada
saat-saat tertentu saja atau yang menguntungkan dirinya sendiri. Pribadi jujur
adalah senantiasa jujur; tindakan-tindakannya bersumber dari karakter yang
teguh dan tidak bisa diubah. Kejujuran hanya merupakan bagian kecil saja dari
kebajikan, masih ada murah hati, tidak memihak, adil, bersahabat, tekun, setia,
peduli, toleran, dan seterusnya yang rasanya di semua tempat dan sepanjang
zaman manusia mengakuinya.
Virtue berasal dari kata Latin virtus yang berarti moral atau kebajikan. Yang disebut kebajikan
tidak boleh bertentangan atau meniadakan kebajikan yang lainnya. Misalnya, saya
ingin melakukan salah satu tindakan kebajikan, yakni menolong orang yang
kekurangan. Namun, karena saya tidak punya sesuatu untuk diberikan kepada orang
miskin itu maka saya terpaksa harus merampok. Ini bukan kebajikan! Edward
Shills mengatakan, “Tidak ada kebajikan yang berdiri sendiri dan bahwa setiap
tindakan kebajikan (virtuous acts)
mengorbantan tindakan bajik yang lain, dan bahwa tindakan bajik berkait erat
dengan kejahatan…”
Agama diyakini sebagai salah satu sumber moral di mana para penganutnya
mempraktikan kebajikan. Namun sangat disayangkan penafsiran tentang virtuous acts itu tidak selalu ajeg pada cita-cita dan
nilai-nilai luhur agama. Sejatinya agama menuntun orang mengerjakan segala
bentuk prilaku bajik : kejujuran, belas kasih, cinta damai, toleran, peduli dan
seterusnya. Namun, penafsiran syareat agama bisa berbeda dari itu. Virtuous acts diartikan dengan menjaga
ketat syareat. Kaidah agama tidak boleh dinodai. Akibatnya, orang yang berbeda
pandangan – apalagi yang mengeritik dan mengecam – adalah musuh. Bukan saja
musuh kelompok ini, melainkan musuh Tuhan mereka. Tidaklah mengherankan bagi
kelompok ini, yang disebut kebajikan adalah memerangi dan melenyapkan orang
atau kelompok yang berbeda dengan mereka. Memberangus, mengenyahkan bahkan
membunuh bagi kelompok ini merupakan sebuah tindakan kebajikan demi
mempertahankan kemurnian syareat! Bagi mereka, menyerang kelompok yang berbeda,
mengobrak-abrik tempat ibadah agama lain, membakar pemukiman yang dianggap
kafir merupakan sebuah tindakan kebajikan. Mati pun bersedia, mereka percaya
upahnya adalah sorga!
“…, bahkan akan datang saatnya
bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti
kepada Allah.” (Yohanes 16:2).
Tragis, kekerasan dan pembunuhan justeru dipandang sebagai virtue act. Itulah yang terjadi dalam diri Yesus. Hari itu Yesus
diseret ke pengadilan agama dan dinyatakan bersalah telah menista agama Yahudi.
Tidak puas dan supaya dapat legitimasi hukuman mati, Yesus pun dihadapkan
kepada Pilatus. Pilatus sebenarnya telah memeriksa dan tidak mendapati
kesalahan dalam diri Yesus. Namun, desakan orang banyak membuat Pilatus tidak
berdaya! Akhirnya, Pilatus cuci tangan dan menyerahkan Yesus untuk disalibkan.
Akhirnya mereka menerima Yesus, “mereka paradidomi Yesus”. Mereka menerima
Dia bukan untuk percaya, melainkan menerima Dia untuk ditolak dan
dibinasakan. Mereka menerima Yesus untuk dijadikan obyek kekerasan dan
pembantaian. “Virtue act” (mereka
merasa sedang berbakti kepada Allah dengan membantai “musuh Allah”)
dipertontonkan melalui via dolorosa.
Yesus membawa salib-Nya sendiri ke luar kota Yerusalem yang bernama Golgota!
Hari itu, atas nama agama, seorang Anak Manusia bertubi-tubi dicambuk,
diludahi, dikutuk, didera, dimahkotai duri, jatuh bangun memikul salib-Nya
tanpa ada yang tergerak untuk menolong apalagi menghentikannya sampai paku-paku
itu menancap di tangan dan kaki dan akhirnya salib itu ditegakkan. Dan Yesus
berkata, “Sudah selesai.”
(Yoh.19:30).
Vulgar, mengerikan dan orang banyak yang dulu menyanjung hanya berdiri
sebagai penonton. Saya dapat membayangkan, kalau itu terjadi pada masa kini:
mungkin orang banyak di sepanjang via
dolorosa itu segera mengeluarkan
gadget mereka lalu memotret, memvideokan detil demi detil kejadian itu lalu
membagikannya di jejaring Face Book, Twitter, Instagram, Path, Line, Whatapp,
dan yang lainnya. Semakin mengerikan detil yang direkam, maka semakin bangga
bagi pengirimnya, semakin banyak yang memberikan jempol (suka) semakin senang
si pengunggahnya! Bukankah itu yang terjadi pada masa kini, media sosial kita
dipenuhi dengan gambar, video dan berita kekerasan. Tanpa sadar kita, bukan
saja menjadi penonton kekerasan itu, melainkan juga pengedarnya!
Bila hari ini ada pergeseran masiv menerjemahkan kebajikan dari
mengerjakan segala apa yang disebut kebajikan (kejujuran, keramahtamahan,
ketulusan, kepedulian, cinta kasih, toleran, kemurahan dan seterusnya) kepada
pemurnian syareat dan penyingkiran serta pemberangusan yang berbeda, mestinya
kita bukan berdiri sebagai penonton. Jika kita tidak peduli itu sama dengan
kita menyetujui segala bentuk kekerasan tersebut. Tindakan itu bukanlah
kebajikan, sebab – meminjam kalimat Edward Shills - tidak mungkin sebuah tindakan kebajikan itu
akan menciderai kebajikan yang lain. Tidak mungkin mereka sedang berbakti
kepada Allah, namun membinasakan ciptaan-Nya sendiri. Jelas ini ada yang
keliru!
Diam, sebagai penonton berarti
kita menyetujuinya. Ingatlah ketika Stefanus diibunuh, Saulus ada di sana, dia
diam: dia setuju kalau Stefanus dibunuh atas nama agama! Hari ini, wajah agama
sering menampakan kegarangannya. Tidak mudah bersahabat dengan orang atau
kelompok yang berbeda, perjuangannya bukan mengerjakan kebajikan melainkan
menyingkirkan pihak lain. Haruskah kita
menjadi penonton dan membiarkannya? Ataukah kita bertindak sama seperti mereka
bertindak?
“Mereka akan berbuat demikian,
karena mereka tidak mengenal baik Bapa maupun Aku.” (Yoh.16:3) Demikian
kata Yesus. Saatnya kita menghadirkan dan mengenalkan wajah Yesus, bukan hanya
dengan kata tapi segenap perbuatan. Hadirkanlah cinta di mana ada kebencian,
damai di mana ada pertikaian!