Rabu, 12 April 2017

SALING MENGASIHI SAMPAI AKHIR


Serapion dikenal sebagai orang suci dari Mesir. Pakaian yang paling berharga adalah mantel panjang terbuat dari kain yang sangat kasar, itu pun sering ia gadaikan dan pada akhirnya ia jual demi menolong orang yang membutuhkannya. Kadang kala ia “menggadaikan” dirinya sendiri – merelakan bekerja kasar dalam waktu yang panjang – supaya mendapat sejumlah uang untuk menolong memberi makan orang miskin.

Suatu hari, salah satu teman dekatnya terkejut melihat Serapion berpakaian compang-camping. “Ada apa dengamu?” protesnya, “kenapa engkau begitu buruk keadaanmu, tidak berpakaian pantas, tubuhmu kurus dan kumal?”

“Kamu akan tahu jawabannya bukan dengan menginterogasi saya melainkan dengan memahaminya,” jawab orang suci itu. “Aku tidak tahan melihat orang-orang yang tak berdaya mengalami penderitaan. Buku Panduan Prilaku Mulia menuntutnku untuk menjula semua hartaku dan melayani orang miskin serta sangat membutuhkan.”

Sang sahabat bertanya lagi, “Bolehkah aku melihat Panduan Prilaku Mulia yang engkau gunakan itu?”

“Buku itu juga telah aku jual untuk membantu seorang kawan yang membutuhkan bantuan,” sahut orang suci itu dengan cepat. “Buku itu dijual untuk tujuan mulia – dan pembayarannya pun dua kali lipat, karena orang yang membelinya akan diubah oleh semangat untuk melayani, dan ia akan melakukan semua yang ia bisa untuk membantu mereka yang terabaikan dan miskin segala-galanya.”

Bukankah kita semua “punya” buku itu? Ya, Panduan Prilaku Mulia! Semua buku yang disebut Kitab Suci adalah Panduan Prilaku Mulia. Menuntun manusia yang memilikinya untuk dapat hidup mulia. Dan kemuliaan itu menurut Serapion adalah memberi, melayani dan mengasihi orang lain setulus-tulusnya! Dalam buku Panduan Prilaku Mulia kita terdapat kisah pelayanan dan kerendahan hati yang begitu agung. Kisah itu adalah tentang Guru dan Tuhan yang membasuh kaki para murid-Nya!

“Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu.” (Yoh 13:13,14). Sebutan Guru dan Tuhan menyatakan jenis relasi yang terbangun antara para murid dengan Yesus. Yesus adalah Guru, sehingga mereka datang mengikuti Yesus untuk mendengarkan pengajaran-Nya. Sebagai seorang Guru pada zaman itu, Yesus memiliki otoritas atas para murid-Nya. Oleh karena itu Ia juga sekaligus Tuan bagi mereka. Baik Guru – apalagi Tuan – menandakan bahwa posisi Yesus jauh di atas mereka.

Yesus yang adalah Guru dan Tuhan menanggalakan segala kehormatan. Ia melepas jubahnya, mengikat pinggangnya dengan kain lenan. Lalu, menempatkan diri di hadapan mereka laksana budak di hadapan tuannya dan kemudian membasuhi kaki mereka satu demi satu. Rasannya tidak ada di manapun dan kapan pun, atas inisiatif sendiri dan tanpa tekanan, seorang Guru melakukan tindakan itu. Yesus mewujudnyatakan di dalam diri-Nya apa yang diharapkan-Nya tumbuh di dalam diri para murid: kerendahan hati untuk melayani.

Pembasuhan kaki itu oleh Yesus disebut sebagai sebuah “teladan” atau contoh. Artinya, pembasuhan kaki itu merupakan sebuah cara hidup yang harus dilaksanakan oleh para murid dalam relasi mereka satu dengan yang lainnya di tengah-tengah minat manusia yang selalu ingin menjadi pusat perhatian dan meninggikan diri. Mereka harus saling “membasuh kaki”, bukan hanya sebagaimana yang Yesus telah lakukan. Mereka harus saling membasuh kaki karena Yesus sudah melakukan hal itu kepada mereka. Pembasuhan kaki bukan soal meniru – kalau kita mempraktikkannya mungkin hal itu baik, tetapi akan percuma dan sia-sia bahkan menjadi cemooh apabila hanya berhenti di situ – dan tidak menerjemahkannya dalam bentuk relasi pelayanan yang sesungguhnya! Yesus mewajibkan para murid untuk saling membasuh kaki. Siapa pun yang mengaku pengikut Yesus pasti tidak lebih tinggi dari Yesus: seorang hamba tidak lebih tinggi dari tuannya. Kalau Sang Tuan telah membasuh kaki seorang hamba, maka sudah semestinya hamba itu membasuh kaki hamba yang lain!

Buku Panduan Prilaku Mulia itu berkisah tentang Guru Agung yang rela melayani, merendahkan diri, menderita dan memberikan segalanya: lebih daripada Serapion yang menjadi gembel demi menolong dan melayani sesamanya. Pertanyaannya sekarang, apakah kisah Prilaku Mulia dari Sang Guru Agung itu menginspirasi dan memotivasi kita meneladaninya atau tidak? Bertanyalah pada diri sendiri setelah berulang kali membaca kisah ini bahkan mempraktikkannya (benar-benar membasuh kaki bahkan sambil terharu dan menangis) adakah hal ini benar-benar mengubah prilaku kita? Sebelum Yesus membasuh kaki para murid-Nya, Ia menanggalkan jubah dan berpakaian layaknya hamba. Apa yang sudah kita “tanggalakan”? Betulkah ego dan pementingan diri serta peninggian diri sendiri benar-benar tanggal? Bukankah kita masih senang memakai pakaian “kemuliaan” tinimbang pakaian hamba?

Tidak ada jalan lain untuk menghormati dan mengasihi Yesus selain melakukan apa yang Dia ingini: saling membasuh, saling melayani dan saling merendahkan diri! Tentu, tidak harus seperti Serapion yang menjual segala-galanya untuk kebaikan orang lain: cukuplah “Pedoman Kehidupan Mulia” dan kisah mulia dari Guru Agung itu mengubah dari yang selalu ingin diperhatikan, kini memerhatikan; yang dulu selalu ingin dilayani kini mau melayani; yang dulu suka akan kehormatan sekarang mulai menghormati orang lain dan mengutamakannya!

Kamis Putih 2017 

Jumat, 07 April 2017

MEMENANGKAN KEKERASAN DENGAN KELEMBUTAN


Banyak hal di sekitar kita membenarkan bahwa hanya dengan kelembutan, kekerasan dapat ditaklukan. Batu cadas yang keras, lama-kelamaan akan terkikis habis oleh tetesan air yang lembut. Tutur kata lembut dan penuh hikmat dapat meluluhkan hati yang dikuasai amarah dan kebencian. Perjuangan Mahatma Gandhi dengan ahimsa-nya (perlawanan tanpa menggunakan kekerasan) berhasil mengusir penjajah. Nelson Mandela dan Uskup Desmon Tutu membuktikan bahwa pengampunan dan kelemah-lembutan berhasil mewujudkan perdamaian di Afrika Selatan! Meski banyak contoh dan logika nalar membenarkan keunggulan sifat lemah-lembut namun untuk melakukannya adalah perkara yang berbeda. Sulit! Sulit, seperti memahami Minggu ini: Palmarum sekaligus Sengsara. Yesus disambut dan dielu-elukan sekaligus juga nantinya dihujat, dihakimi: salibkan Dia! Salibkan Dia! Itulah paradoks.

Simon, saudara Yudas Makabeus pernah memimpin pemberontakan terhadap koloni Romawi dan berhasil mengusir serdadu Romawi itu dari Yerusalem. Ketika memasuki Yerusalem, ia disambut dengan kemeriahan luar biasa: “…Simon memasuki puri itu dengan kidung dan daun palem, diiringin dengan kecapi dan dandi, sambil menyanyikan madah dan gita. Sebab musuh besar Israel sudah digempur.” (1 Makabe 13:51). Penduduk Yerusalem yakin bahwa Simon adalah “mesias” yang akan kembali memulihkan takhta Daud melawan dengan pedang semua musuh mereka. Buktinya sudah terlihat, para musuh sudah meninggalkan Yerusalem. Sebentar lagi kemenangan besar itu akan terjadi! Namun, apa yang terjadi? Pemberontakan Yudas Makabeus dan Simon berhasil ditumpas. Tidak pernah mereka bisa memenuhi impian Israel. Bahkan keruntuhan Yerusalem dan kehancuran Bait Allah yang lebih dasyat terjadi kemudian di tahun 70 M.

Apa yang dilakukan penduduk Yerusalem terhadap Yesus. Yesus yang telah dikenal luas. Mereka mengenal-Nya sebagai orang yang penuh kuasa, bisa memerintahkan badai menghardik setan, mengusir sakit penyakit, membangkitkan orang mati, memberi makan beribu-ribu orang, tentulah bukan orang biasa. Dia itu orang yang linuwih, Dia pantas menjadi “mesias” itu. Yesus memenuhi kriteria dan harapan sebagai seorang yang dapat mengembalikan takhta kerajaan Daud itu!

Semangat itulah yang tidak membuat mereka ragu untuk menyambut Yesus ketika memasuki Yerusalem. Mereka berseru, “Hosana bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang datang di dalam nama Tuhan” (Mat.21:9).
Seruan ini diambil dari Mazmur 118:26 yang sekaligus menyatakan identitas Yesus sebagai Anak Daud. Meski Yesus hanya menunggang keledai betina, namun mereka tetap mau melaimbai-lambaikan daun palem, beberapa di antaranya melepas baju dan jubah dan kemudian mengelarnya di jalan yang akan dilalui oleh keledai yang ditunggangi Yesus. Orang-orang Yerusalem pun gempar tatkala Yesus mulai memasuki gerbang kota itu. Dulu, ketika Yesus lahir, Yerusalem pun digemparkan dengan berita yang bersumber dari orang-orang Majus bahwa telah lahir seorang Raja Yahudi dan mereka telah melihat bintangnya dan ingin datang untuk menyembah-Nya. Kegemparan itu memaksa seorang bertanya kepada yang lainnya tentang siapakah orang yang mereka sambut itu. Dan orang banyak menyahut, “Inilah Nabi Yesus dari Nazaret di Galilea!” (Matius 21:11).

Kisah Yesus memasuki Yerusalem dalam Injil Matius ini memang benar menyatakan bahwa Yesus adalah Sang Mesias, Anak Daud yang memasuki kota-Nya dengan penuh kuasa. Namun, kuasa yang bagaimana dan seperti apa; tidak selalu sama dengan pengharapan orang-orang yang menyambut-Nya di Yerusalem itu. Benar, Yesus datang penuh dengan kuasa. Namun, bukan kuasa pedang atau kuasa politik! Pasal-pasal berikutnya dalam Injil Matius menceritakan bagaimana Yesus yang penuh kuasa itu. Yesus membersihkan Bait Allah dari praktik-praktik yang menodainya. Dengan kuasa-Nya juga Ia membungkam musuh-musuh yang selalu mencari-cari kesalahan-Nya. Di Yerusalem juga Ia mengajar penuh dengan kuasa. Semua kisah ini menunjukkan kuasa Yesus sebagai Mesias.

Kisah Yerusalem adalah kisah kontroversi dan konfrontasi; paradoks! Yerusalem menyambut dan Yerusalem mengenyahkan. Meski tidak sedikit yang menyambut dan berharap banyak pada Yesus – harus diingat pula – Yerusalem adalah kota di mana tinggal penentang-penentang utama Yesus. Tidak mengherankan di Yerusalemlah konflik antara Yesus dan para penentangnya itu semakin memuncak. Para penentang mencobai dan berusaha menjerat Yesus. Dengan kelicikan, mereka berusaha menghasut dan menyebarkan propoganda penodaan agama. Di Yerusalem, meski berbeda minat dan perjuangan mereka: Farisi, Ahli Taurat, Saduki dan tentunya kekuasaan politik bergabung menjadi satu suara: enyahkan Yesus!

Tidaklah mengherankan, jika pekik sambut di gerbang Yerusalem : “Hosana! Hosana!” Kini, berubah menjadi “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” Ini ironi dan kontradisi! Ini paradoks: Palmarum dan Sengsara! Bukankah kita juga bisa seperti itu: Menyanjung dan memuji Yesus setinggi langit, mengumbar komitmen dan janji untuk setia, ketika kita punya harapan-harapan tertentu kepada-Nya atau ketika harapan dan doa kita terkabut. Sebaliknya, dengan mudah kita bisa meninggalkan-Nya manakala kecewa, sakit hati dan segudang harapan tidak terpenuhi!

Yesus tampaknya tidak silau dengan sanjungan dan tak gentar dengan cacian, hujatan dan aniaya. Ia terus berjalan menelusuri lorong Yerusalem sampai vonis dan penghakiman berhadapan dengan maut itu tiba. Ia tidak mengelak atau menyesali jalan hidup-Nya, “Tuhan Allah telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang. Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi.” (Yesaya 50:5,6).

Yesus mengerti dan sadar betul akan apa yang harus dijalani-Nya: menunaikan tugas Sang Bapa. Yesus menjalani lakon seorang Mesias: hamba yang menderita. Ia menggunakan kuasa-Nya bukan kuasa pedang dan penaklukan. Bukan kekerasan, namun kelemah-lembutan. Sebab pedang kekerasan tidak pernah akan menembus hati manusia! Hanya kelemah-lembutanlah yang memampukan manusia melihat kuasa kasih Allah. Yesus menanggalkan segala kuasa-Nya, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaran dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah mengosongkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Filipi 2:6-8).  Demikian Paulus melihat ketaatan dan pengosongan diri Yesus.

Palmarum dan kesengsaraan Yesus mengajarkan banyak hal kepada kita: Jangan silau tatkala kita disanjung dan dipuja. Kembalikanlah setiap sanjungan dan pujian kepada-Nya! Kita hanya sebagai alat ditangan-Nya untuk menjalankan tugas panggilan dengan setia. Oleh sebab itu jangan galau dan gelisah manakala badai datang menerpa. Taat dan setialah kepada-Nya serta tetap lemah-lembut karena tidak mustahi dengan cara seperti itu kita dapat menjangkau hati manusia. Bukan dengan pedang dan kekerasan kasih Allah dapat dirasakan oleh setiap orang. Melainkan dengan lemah-lembut dan kasih sanyang.

Palmarum 2017