Serapion dikenal sebagai orang suci dari Mesir. Pakaian yang paling
berharga adalah mantel panjang terbuat dari kain yang sangat kasar, itu pun
sering ia gadaikan dan pada akhirnya ia jual demi menolong orang yang
membutuhkannya. Kadang kala ia “menggadaikan” dirinya sendiri – merelakan bekerja
kasar dalam waktu yang panjang – supaya mendapat sejumlah uang untuk menolong
memberi makan orang miskin.
Suatu hari, salah satu teman dekatnya terkejut melihat Serapion
berpakaian compang-camping. “Ada apa dengamu?” protesnya, “kenapa engkau begitu
buruk keadaanmu, tidak berpakaian pantas, tubuhmu kurus dan kumal?”
“Kamu akan tahu jawabannya bukan dengan menginterogasi saya melainkan
dengan memahaminya,” jawab orang suci itu. “Aku tidak tahan melihat orang-orang
yang tak berdaya mengalami penderitaan. Buku Panduan Prilaku Mulia menuntutnku untuk menjula semua hartaku dan
melayani orang miskin serta sangat membutuhkan.”
Sang sahabat bertanya lagi, “Bolehkah aku melihat Panduan Prilaku Mulia yang engkau gunakan itu?”
“Buku itu juga telah aku jual untuk membantu seorang kawan yang
membutuhkan bantuan,” sahut orang suci itu dengan cepat. “Buku itu dijual untuk
tujuan mulia – dan pembayarannya pun dua kali lipat, karena orang yang
membelinya akan diubah oleh semangat untuk melayani, dan ia akan melakukan
semua yang ia bisa untuk membantu mereka yang terabaikan dan miskin
segala-galanya.”
Bukankah kita semua “punya” buku itu? Ya, Panduan Prilaku Mulia! Semua buku yang disebut Kitab Suci adalah Panduan Prilaku Mulia. Menuntun manusia
yang memilikinya untuk dapat hidup mulia. Dan kemuliaan itu menurut Serapion
adalah memberi, melayani dan mengasihi orang lain setulus-tulusnya! Dalam buku Panduan Prilaku Mulia kita terdapat
kisah pelayanan dan kerendahan hati yang begitu agung. Kisah itu adalah tentang
Guru dan Tuhan yang membasuh kaki para murid-Nya!
“Kamu menyebut Aku Guru dan
Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau
Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib
saling membasuh kakimu.” (Yoh
13:13,14). Sebutan Guru dan Tuhan menyatakan jenis relasi yang terbangun antara
para murid dengan Yesus. Yesus adalah Guru, sehingga mereka datang mengikuti
Yesus untuk mendengarkan pengajaran-Nya. Sebagai seorang Guru pada zaman itu,
Yesus memiliki otoritas atas para murid-Nya. Oleh karena itu Ia juga sekaligus Tuan bagi mereka. Baik Guru – apalagi Tuan
– menandakan bahwa posisi Yesus jauh di atas mereka.
Yesus yang adalah Guru dan Tuhan menanggalakan segala kehormatan. Ia
melepas jubahnya, mengikat pinggangnya dengan kain lenan. Lalu, menempatkan
diri di hadapan mereka laksana budak di hadapan tuannya dan kemudian membasuhi
kaki mereka satu demi satu. Rasannya tidak ada di manapun dan kapan pun, atas
inisiatif sendiri dan tanpa tekanan, seorang Guru melakukan tindakan itu. Yesus
mewujudnyatakan di dalam diri-Nya apa yang diharapkan-Nya tumbuh di dalam diri
para murid: kerendahan hati untuk melayani.
Pembasuhan kaki itu oleh Yesus disebut sebagai sebuah “teladan” atau
contoh. Artinya, pembasuhan kaki itu merupakan sebuah cara hidup yang harus
dilaksanakan oleh para murid dalam relasi mereka satu dengan yang lainnya di
tengah-tengah minat manusia yang selalu ingin menjadi pusat perhatian dan
meninggikan diri. Mereka harus saling “membasuh kaki”, bukan hanya sebagaimana
yang Yesus telah lakukan. Mereka harus saling membasuh kaki karena Yesus sudah
melakukan hal itu kepada mereka. Pembasuhan kaki bukan soal meniru – kalau kita
mempraktikkannya mungkin hal itu baik, tetapi akan percuma dan sia-sia bahkan
menjadi cemooh apabila hanya berhenti di situ – dan tidak menerjemahkannya
dalam bentuk relasi pelayanan yang sesungguhnya! Yesus mewajibkan para murid
untuk saling membasuh kaki. Siapa pun yang mengaku pengikut Yesus pasti tidak
lebih tinggi dari Yesus: seorang hamba tidak lebih tinggi dari tuannya. Kalau Sang
Tuan telah membasuh kaki seorang hamba, maka sudah semestinya hamba itu
membasuh kaki hamba yang lain!
Buku Panduan Prilaku Mulia itu berkisah tentang Guru Agung yang rela
melayani, merendahkan diri, menderita dan memberikan segalanya: lebih daripada
Serapion yang menjadi gembel demi menolong dan melayani sesamanya.
Pertanyaannya sekarang, apakah kisah Prilaku
Mulia dari Sang Guru Agung itu menginspirasi dan memotivasi kita
meneladaninya atau tidak? Bertanyalah pada diri sendiri setelah berulang kali
membaca kisah ini bahkan mempraktikkannya (benar-benar membasuh kaki bahkan
sambil terharu dan menangis) adakah hal ini benar-benar mengubah prilaku kita?
Sebelum Yesus membasuh kaki para murid-Nya, Ia menanggalkan jubah dan
berpakaian layaknya hamba. Apa yang sudah kita “tanggalakan”? Betulkah ego dan
pementingan diri serta peninggian diri sendiri benar-benar tanggal? Bukankah
kita masih senang memakai pakaian “kemuliaan” tinimbang pakaian hamba?
Tidak ada jalan lain untuk menghormati dan mengasihi Yesus selain
melakukan apa yang Dia ingini: saling membasuh, saling melayani dan saling
merendahkan diri! Tentu, tidak harus seperti Serapion yang menjual
segala-galanya untuk kebaikan orang lain: cukuplah “Pedoman Kehidupan Mulia” dan kisah mulia dari Guru Agung itu
mengubah dari yang selalu ingin diperhatikan, kini memerhatikan; yang dulu
selalu ingin dilayani kini mau melayani; yang dulu suka akan kehormatan
sekarang mulai menghormati orang lain dan mengutamakannya!