Jumat, 07 April 2017

MEMENANGKAN KEKERASAN DENGAN KELEMBUTAN


Banyak hal di sekitar kita membenarkan bahwa hanya dengan kelembutan, kekerasan dapat ditaklukan. Batu cadas yang keras, lama-kelamaan akan terkikis habis oleh tetesan air yang lembut. Tutur kata lembut dan penuh hikmat dapat meluluhkan hati yang dikuasai amarah dan kebencian. Perjuangan Mahatma Gandhi dengan ahimsa-nya (perlawanan tanpa menggunakan kekerasan) berhasil mengusir penjajah. Nelson Mandela dan Uskup Desmon Tutu membuktikan bahwa pengampunan dan kelemah-lembutan berhasil mewujudkan perdamaian di Afrika Selatan! Meski banyak contoh dan logika nalar membenarkan keunggulan sifat lemah-lembut namun untuk melakukannya adalah perkara yang berbeda. Sulit! Sulit, seperti memahami Minggu ini: Palmarum sekaligus Sengsara. Yesus disambut dan dielu-elukan sekaligus juga nantinya dihujat, dihakimi: salibkan Dia! Salibkan Dia! Itulah paradoks.

Simon, saudara Yudas Makabeus pernah memimpin pemberontakan terhadap koloni Romawi dan berhasil mengusir serdadu Romawi itu dari Yerusalem. Ketika memasuki Yerusalem, ia disambut dengan kemeriahan luar biasa: “…Simon memasuki puri itu dengan kidung dan daun palem, diiringin dengan kecapi dan dandi, sambil menyanyikan madah dan gita. Sebab musuh besar Israel sudah digempur.” (1 Makabe 13:51). Penduduk Yerusalem yakin bahwa Simon adalah “mesias” yang akan kembali memulihkan takhta Daud melawan dengan pedang semua musuh mereka. Buktinya sudah terlihat, para musuh sudah meninggalkan Yerusalem. Sebentar lagi kemenangan besar itu akan terjadi! Namun, apa yang terjadi? Pemberontakan Yudas Makabeus dan Simon berhasil ditumpas. Tidak pernah mereka bisa memenuhi impian Israel. Bahkan keruntuhan Yerusalem dan kehancuran Bait Allah yang lebih dasyat terjadi kemudian di tahun 70 M.

Apa yang dilakukan penduduk Yerusalem terhadap Yesus. Yesus yang telah dikenal luas. Mereka mengenal-Nya sebagai orang yang penuh kuasa, bisa memerintahkan badai menghardik setan, mengusir sakit penyakit, membangkitkan orang mati, memberi makan beribu-ribu orang, tentulah bukan orang biasa. Dia itu orang yang linuwih, Dia pantas menjadi “mesias” itu. Yesus memenuhi kriteria dan harapan sebagai seorang yang dapat mengembalikan takhta kerajaan Daud itu!

Semangat itulah yang tidak membuat mereka ragu untuk menyambut Yesus ketika memasuki Yerusalem. Mereka berseru, “Hosana bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang datang di dalam nama Tuhan” (Mat.21:9).
Seruan ini diambil dari Mazmur 118:26 yang sekaligus menyatakan identitas Yesus sebagai Anak Daud. Meski Yesus hanya menunggang keledai betina, namun mereka tetap mau melaimbai-lambaikan daun palem, beberapa di antaranya melepas baju dan jubah dan kemudian mengelarnya di jalan yang akan dilalui oleh keledai yang ditunggangi Yesus. Orang-orang Yerusalem pun gempar tatkala Yesus mulai memasuki gerbang kota itu. Dulu, ketika Yesus lahir, Yerusalem pun digemparkan dengan berita yang bersumber dari orang-orang Majus bahwa telah lahir seorang Raja Yahudi dan mereka telah melihat bintangnya dan ingin datang untuk menyembah-Nya. Kegemparan itu memaksa seorang bertanya kepada yang lainnya tentang siapakah orang yang mereka sambut itu. Dan orang banyak menyahut, “Inilah Nabi Yesus dari Nazaret di Galilea!” (Matius 21:11).

Kisah Yesus memasuki Yerusalem dalam Injil Matius ini memang benar menyatakan bahwa Yesus adalah Sang Mesias, Anak Daud yang memasuki kota-Nya dengan penuh kuasa. Namun, kuasa yang bagaimana dan seperti apa; tidak selalu sama dengan pengharapan orang-orang yang menyambut-Nya di Yerusalem itu. Benar, Yesus datang penuh dengan kuasa. Namun, bukan kuasa pedang atau kuasa politik! Pasal-pasal berikutnya dalam Injil Matius menceritakan bagaimana Yesus yang penuh kuasa itu. Yesus membersihkan Bait Allah dari praktik-praktik yang menodainya. Dengan kuasa-Nya juga Ia membungkam musuh-musuh yang selalu mencari-cari kesalahan-Nya. Di Yerusalem juga Ia mengajar penuh dengan kuasa. Semua kisah ini menunjukkan kuasa Yesus sebagai Mesias.

Kisah Yerusalem adalah kisah kontroversi dan konfrontasi; paradoks! Yerusalem menyambut dan Yerusalem mengenyahkan. Meski tidak sedikit yang menyambut dan berharap banyak pada Yesus – harus diingat pula – Yerusalem adalah kota di mana tinggal penentang-penentang utama Yesus. Tidak mengherankan di Yerusalemlah konflik antara Yesus dan para penentangnya itu semakin memuncak. Para penentang mencobai dan berusaha menjerat Yesus. Dengan kelicikan, mereka berusaha menghasut dan menyebarkan propoganda penodaan agama. Di Yerusalem, meski berbeda minat dan perjuangan mereka: Farisi, Ahli Taurat, Saduki dan tentunya kekuasaan politik bergabung menjadi satu suara: enyahkan Yesus!

Tidaklah mengherankan, jika pekik sambut di gerbang Yerusalem : “Hosana! Hosana!” Kini, berubah menjadi “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” Ini ironi dan kontradisi! Ini paradoks: Palmarum dan Sengsara! Bukankah kita juga bisa seperti itu: Menyanjung dan memuji Yesus setinggi langit, mengumbar komitmen dan janji untuk setia, ketika kita punya harapan-harapan tertentu kepada-Nya atau ketika harapan dan doa kita terkabut. Sebaliknya, dengan mudah kita bisa meninggalkan-Nya manakala kecewa, sakit hati dan segudang harapan tidak terpenuhi!

Yesus tampaknya tidak silau dengan sanjungan dan tak gentar dengan cacian, hujatan dan aniaya. Ia terus berjalan menelusuri lorong Yerusalem sampai vonis dan penghakiman berhadapan dengan maut itu tiba. Ia tidak mengelak atau menyesali jalan hidup-Nya, “Tuhan Allah telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang. Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi.” (Yesaya 50:5,6).

Yesus mengerti dan sadar betul akan apa yang harus dijalani-Nya: menunaikan tugas Sang Bapa. Yesus menjalani lakon seorang Mesias: hamba yang menderita. Ia menggunakan kuasa-Nya bukan kuasa pedang dan penaklukan. Bukan kekerasan, namun kelemah-lembutan. Sebab pedang kekerasan tidak pernah akan menembus hati manusia! Hanya kelemah-lembutanlah yang memampukan manusia melihat kuasa kasih Allah. Yesus menanggalkan segala kuasa-Nya, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaran dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah mengosongkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Filipi 2:6-8).  Demikian Paulus melihat ketaatan dan pengosongan diri Yesus.

Palmarum dan kesengsaraan Yesus mengajarkan banyak hal kepada kita: Jangan silau tatkala kita disanjung dan dipuja. Kembalikanlah setiap sanjungan dan pujian kepada-Nya! Kita hanya sebagai alat ditangan-Nya untuk menjalankan tugas panggilan dengan setia. Oleh sebab itu jangan galau dan gelisah manakala badai datang menerpa. Taat dan setialah kepada-Nya serta tetap lemah-lembut karena tidak mustahi dengan cara seperti itu kita dapat menjangkau hati manusia. Bukan dengan pedang dan kekerasan kasih Allah dapat dirasakan oleh setiap orang. Melainkan dengan lemah-lembut dan kasih sanyang.

Palmarum 2017

Kamis, 30 Maret 2017

JIKA ENGKAU PERCAYA ENGKAU AKAN MELIHAT

Percaya dan melihat erat kaitannya. Bukankah kebanyakan orang akan lebih mudah percaya ketika melihat bukti? Mulanya saya tidak percaya ada berita seorang petani kelapa sawit ditelan ular piton besar di Desa Salubiro, Kecamatan Karossa, Kabupaten Mamuju Tengah, seminggu yang lalu. Namun, setelah beberapa media nasional memberitakan dan media online menampilkan videonya barulah saya percaya bahwa berita itu ternyata benar. Ular itu tidak lagi bisa bergerak karena isi perutnya yang begitu besar. Setelah seorang warga membedah bagian perut tersebut, tampaklah Akbar yang seharian dicari ada dalam perut ular tersebut, tentu saja sudah tidak bernyawa.

Manusia melihat bukti, baru kemudian dia percaya. Bukankah dalam setiap proses pencarian kebenaran di pengadilan juga berlaku prinsif ini? Lihat saja, untuk memutuskan sebuah perkara, hakim akan meminta para saksi menyatakan pendapat mereka. Para saksi adalah mereka yang melihat, mendengar dan merasakan sebuah peristiwa tindakan kriminal terjadi. Mereka adalah orang-orang yang dapat meyakinkan  hakim untuk percaya dan kemudian mengampil keputusan untuk menjatuhkan vonis.

Bagaimana sekarang jika posisinya dibalik, seperti tema kita hari ini, “Jika engkau percaya, engkau akan melihat,”? Oh, sungguh bukan perkara mudah! Apalagi dalam konteks peradaban manusia yang selalu menuntut bukti. Oop, tunggu dulu! Yang tidak mudah ini bukan berarti tidak mungkin terjadi. Sejarah membuktikan bahwa penemuan-penemuan besar yang mengubah peradaban dunia ini justeru ditemukan oleh orang-orang yang punya keyakinan, kepercayaan bahwa segala sesuatu pasti akan “ditemukan” dan menjadi lebih baik. Peter Nivio Zarlenga mengatakan, “Orang jenius adalah mereka yang melihat apa yang belum ada dan membuatnya menjadi nyata.” Ia yakin yang belum terlihat itu suatu saat akan menjadi kenyataan. Semangat seperti ini pulalah yang membuat Thomas Alva Edison tidak kenal lelah melakukan ribuan kali percobaan untuk menemukan sebuah lampu pijar! Untuk visi menemukan bola lampu pijar, Edison pernah protes terhadap surat kabar yang memberitakan tentang ribuan kali kegagalannya. Surat kabar itu memuat judul, “Setelah 9.955 gagal menemukan bola lampu pijar. Edison akhirnya menemukan bola lampu yang menyala.” Ia meminta judul itu diganti. Keesokan harinya, atas permintaan Edison, mengganti judul berita utamanya menjadi, “Setelah 9.955 kali menemukan lampu yang gagal menyala, Edison akhirnya menemukan lampu yang menyala.”

Sementara, ilmuwan ternama Albert Enstein mengatakan, “Kebanyakan orang mengatakan bahwa kecerdasanlah yang melahirkan seorang ilmuwan besar. Mereka salah, karakterlah yang melahirkannya. Tanda kecerdasan sejati bukanlah pengetahuan, melainkan imajinasi.” Christofer Colombus berlayar dan akhirnya menemukan benua Amerika bukan karena ia sudah melihat terlebih dahulu ada sebuah benua di luar Eropa. Namun, ia percaya bahwa di seberang lautan yang akan diarunginya ada sebuah daratan peradaban dan harapan baru. Banyak lagi tokoh-tokoh besar dengan karya-karya monumental yang terinspirasi dan melakukan sebuah karya bukan dimulai dari melihat terlebih dahulu – sebab kalau ini yang dilakukan maka tidak mungkin akan tercipta penemuan-pemenuan atau lompatan-lompatan besar dalam sejarah peradaban manusia.

“…: Jika engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?” (Yoh.11:40). Kalimat ini merupakan teguran Yesus terhadap Marta yang protes ketika Yesus meminta batu penutup kubur Lazarus dibuka. Bukan tanpa alasan Marta mencegah membukannya, “Tuhan, ia sudah berbau, sebab sudah empat hari ia mati.” Logika empiris manusia – siapa pun dia, pasti akan mengatakan hal yang sama seperti apa yang diucapkan Marta – tetapi sebelumnya, Yesus telah meyakinkan kedua saudara Lazarus itu untuk percaya. Dan mereka telah menyatakan kesediaan untuk percaya. Dalam peristiwa inilah, tampaknya benar bahwa Yesus ingin mengajar mereka untuk percaya. Sebelumnya, Yesus seolah memperlambat untuk datang ke rumah keluarga Maria dan Marta pada saat Lazarus sedang sekarat menjelang ajal. Yesus mengatakan, “Lazarus sudah mati; tetapi syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu, sebab demikian lebih baik bagimu, supaya kamu dapat belajar percaya. Marilah kita pergi sekarang kepadanya.” (Yoh. 11:14a, 15). Lalu kemudian Yesus mengajar tentang apa itu arti percaya kepada-Nya. Jelas responya tidak cukup hanya dengan tutur kata, tetapi juga harus dibuktikan ketika mereka diperhadapkan dengan kenyataan yang paling sulit diterima: kebangkitan orang mati!

Pada awal kisah pembangkitan Lazarus, Yesus tampil di Betania. Apa yang terjadi dalam kisah ini merupakan prefigurasi (gambaran awal) dari kebangkitan Yesus sendiri. Peristiwa Lazarus yang dibangkitkan ini juga merupakan saat yang tepat ketika Yesus memproklamirkan diri-Nya, “Akulah kebangkitan dan hidup, barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku tidak akan mati selama-lamanya.” (Yoh.11:25,26).

Melalui kisah Lazarus ini, Injil Yohanes menyiapkan para pembacanya untuk dapat memahami seperti apa nantinya kebangkitan Yesus itu. Kisah ini mau membuktikan bahwa Yesus benar-benar mempunyai kuasa kebangkitan itu. Oleh karena itu peristiwa pembangkitan Lazarus yang telah mati empat hari lamanya itu merupakan klimaks dari segala tanda yang dibuat oleh Yesus. Kebangkitan Lazarus menjelaskan inti ajaran yang disampaikan Yesus tentang kehidupan kekal: siapa yang percaya kepada-Nya akan memperoleh hidup kekal. Siapa yang percaya kepada-Nya akan melihat hal-hal yang dijanjikan-Nya!

Sekali lagi, kebanyakan kita adalah melihat dahulu lalu percaya. Melalui kisah Lazarus, Maria dan Marta kita diajak untuk memahami apa arti kata percaya itu. Jalas, bukan hanya pengakuan di lidah bibir kita saja. Melainkan, justeru ketika kita diperhadapkan dengan sebuah ketidakmungkinan: dalam hal ini adalah kematian. Yesus menjawab dan membuktikan bahwa ucapannya bukan sekedar “janji sorga”. Mereka yang percaya kepada-Nya dapat melihat hal-hal ajaib, termasuk kehidupan di balik kematian. Benar, saat ini tidak ada peristiwa seperti yang dialami oleh Lazarus: empat hari mati, lalu Yesus memangil dan Lazarus keluar dari kuburnya. Namun, buat setiap orang percaya hal ini setidaknya mencelikkan mata hati mereka. Di dalam Yesus, mereka dapat melihat kehidupan karena Yesuslah Sang empunya kuasa kebangkitan itu. Maut atau kematian bukan akhir dari segalanya. Dialah yang dapat memberikan kehidupan kekal.

Selain menjadi klimaks atau puncak dari semua mujizat yang dilakukan Yesus, kebangkitan Lazarus ini juga menjadi pertimbangan utama dalam keputusan Sanhedrin; Mahkamah Agama Yahudi itu untuk membunuh Yesus. Mengapa? Karena peristiwa pembangkitan Lazarus itu, semakin banyak orang yang percaya kepada Yesus (Yoh.12:8). Situasi ini tentu saja semakin mengancam kemapanan otoritas religius di Yerusalem. Orang-orang Farisi dan para imam kepala membawa persolan tentang Yesus ini ke Sanhedrin. Di sana terucap kata-kata kenabian sang imam agung Kayafas yang menyatakan bahwa adalah lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa dari pada seluruh bangsa menjadi binasa. Oleh karena itu, Sanhedrin pun bersepakat untuk membunuh Yesus (Yoh.11:45-46). Mereka tidak hanya menuntut kematian Yesus, tetapi juga kematian Lazarus yang telah dibangkitkan oleh Yesus. Mengapa Lazarus juga harus dibunuh? Ya, tentu saja karena dialah saksi hidup yang benar-benar telah mengalami kebangkitan itu sehingga semakin banyak orang percaya dan menjadi pengikut Yesus! Sejak saat itulah para pemimpin agama Yahudi berusaha menangkap Yesus.


Jakarta, 30 Maret 2017