Percaya dan melihat erat kaitannya. Bukankah kebanyakan orang akan lebih
mudah percaya ketika melihat bukti? Mulanya saya tidak percaya ada berita
seorang petani kelapa sawit ditelan ular piton besar di Desa Salubiro,
Kecamatan Karossa, Kabupaten Mamuju Tengah, seminggu yang lalu. Namun, setelah
beberapa media nasional memberitakan dan media online menampilkan videonya
barulah saya percaya bahwa berita itu ternyata benar. Ular itu tidak lagi bisa
bergerak karena isi perutnya yang begitu besar. Setelah seorang warga membedah
bagian perut tersebut, tampaklah Akbar yang seharian dicari ada dalam perut
ular tersebut, tentu saja sudah tidak bernyawa.
Manusia melihat bukti, baru kemudian dia percaya. Bukankah dalam setiap
proses pencarian kebenaran di pengadilan juga berlaku prinsif ini? Lihat saja,
untuk memutuskan sebuah perkara, hakim akan meminta para saksi menyatakan
pendapat mereka. Para saksi adalah mereka yang melihat, mendengar dan merasakan
sebuah peristiwa tindakan kriminal terjadi. Mereka adalah orang-orang yang
dapat meyakinkan hakim untuk percaya dan
kemudian mengampil keputusan untuk menjatuhkan vonis.
Bagaimana sekarang jika posisinya dibalik, seperti tema kita hari ini, “Jika engkau percaya, engkau akan melihat,”?
Oh, sungguh bukan perkara mudah! Apalagi dalam konteks peradaban manusia yang
selalu menuntut bukti. Oop, tunggu dulu! Yang tidak mudah ini bukan berarti
tidak mungkin terjadi. Sejarah membuktikan bahwa penemuan-penemuan besar yang
mengubah peradaban dunia ini justeru ditemukan oleh orang-orang yang punya keyakinan,
kepercayaan bahwa segala sesuatu pasti akan “ditemukan” dan menjadi lebih baik.
Peter Nivio Zarlenga mengatakan, “Orang
jenius adalah mereka yang melihat apa yang belum ada dan membuatnya menjadi
nyata.” Ia yakin yang belum terlihat itu suatu saat akan menjadi kenyataan.
Semangat seperti ini pulalah yang membuat Thomas Alva Edison tidak kenal lelah
melakukan ribuan kali percobaan untuk menemukan sebuah lampu pijar! Untuk visi
menemukan bola lampu pijar, Edison pernah protes terhadap surat kabar yang
memberitakan tentang ribuan kali kegagalannya. Surat kabar itu memuat judul, “Setelah 9.955 gagal menemukan bola lampu
pijar. Edison akhirnya menemukan bola lampu yang menyala.” Ia meminta judul
itu diganti. Keesokan harinya, atas permintaan Edison, mengganti judul berita
utamanya menjadi, “Setelah 9.955 kali
menemukan lampu yang gagal menyala, Edison akhirnya menemukan lampu yang
menyala.”
Sementara, ilmuwan ternama Albert Enstein mengatakan, “Kebanyakan orang mengatakan bahwa
kecerdasanlah yang melahirkan seorang ilmuwan besar. Mereka salah, karakterlah
yang melahirkannya. Tanda kecerdasan sejati bukanlah pengetahuan, melainkan
imajinasi.” Christofer Colombus berlayar dan akhirnya menemukan benua
Amerika bukan karena ia sudah melihat terlebih dahulu ada sebuah benua di luar
Eropa. Namun, ia percaya bahwa di seberang lautan yang akan diarunginya ada
sebuah daratan peradaban dan harapan baru. Banyak lagi tokoh-tokoh besar dengan
karya-karya monumental yang terinspirasi dan melakukan sebuah karya bukan
dimulai dari melihat terlebih dahulu – sebab kalau ini yang dilakukan maka
tidak mungkin akan tercipta penemuan-pemenuan atau lompatan-lompatan besar
dalam sejarah peradaban manusia.
“…: Jika engkau percaya engkau
akan melihat kemuliaan Allah?”
(Yoh.11:40). Kalimat ini merupakan teguran Yesus terhadap Marta yang protes
ketika Yesus meminta batu penutup kubur Lazarus dibuka. Bukan tanpa alasan
Marta mencegah membukannya, “Tuhan, ia
sudah berbau, sebab sudah empat hari ia mati.” Logika empiris manusia –
siapa pun dia, pasti akan mengatakan hal yang sama seperti apa yang diucapkan
Marta – tetapi sebelumnya, Yesus telah meyakinkan kedua saudara Lazarus itu
untuk percaya. Dan mereka telah menyatakan kesediaan untuk percaya. Dalam
peristiwa inilah, tampaknya benar bahwa Yesus ingin mengajar mereka untuk
percaya. Sebelumnya, Yesus seolah memperlambat untuk datang ke rumah keluarga
Maria dan Marta pada saat Lazarus sedang sekarat menjelang ajal. Yesus
mengatakan, “Lazarus sudah mati; tetapi
syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu, sebab demikian lebih baik bagimu,
supaya kamu dapat belajar percaya. Marilah kita pergi sekarang kepadanya.”
(Yoh. 11:14a, 15). Lalu kemudian Yesus mengajar tentang apa itu arti percaya
kepada-Nya. Jelas responya tidak cukup hanya dengan tutur kata, tetapi juga harus
dibuktikan ketika mereka diperhadapkan dengan kenyataan yang paling sulit
diterima: kebangkitan orang mati!
Pada awal kisah pembangkitan Lazarus, Yesus tampil di Betania. Apa yang
terjadi dalam kisah ini merupakan prefigurasi
(gambaran awal) dari kebangkitan Yesus sendiri. Peristiwa Lazarus yang
dibangkitkan ini juga merupakan saat yang tepat ketika Yesus memproklamirkan
diri-Nya, “Akulah kebangkitan dan hidup,
barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap
orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku tidak akan mati selama-lamanya.”
(Yoh.11:25,26).
Melalui kisah Lazarus ini, Injil Yohanes menyiapkan para pembacanya
untuk dapat memahami seperti apa nantinya kebangkitan Yesus itu. Kisah ini mau
membuktikan bahwa Yesus benar-benar mempunyai kuasa kebangkitan itu. Oleh
karena itu peristiwa pembangkitan Lazarus yang telah mati empat hari lamanya
itu merupakan klimaks dari segala tanda yang dibuat oleh Yesus. Kebangkitan
Lazarus menjelaskan inti ajaran yang disampaikan Yesus tentang kehidupan kekal:
siapa yang percaya kepada-Nya akan memperoleh hidup kekal. Siapa yang percaya
kepada-Nya akan melihat hal-hal yang dijanjikan-Nya!
Sekali lagi, kebanyakan kita adalah melihat dahulu lalu percaya. Melalui
kisah Lazarus, Maria dan Marta kita diajak untuk memahami apa arti kata percaya
itu. Jalas, bukan hanya pengakuan di lidah bibir kita saja. Melainkan, justeru
ketika kita diperhadapkan dengan sebuah ketidakmungkinan: dalam hal ini adalah
kematian. Yesus menjawab dan membuktikan bahwa ucapannya bukan sekedar “janji
sorga”. Mereka yang percaya kepada-Nya dapat melihat hal-hal ajaib, termasuk
kehidupan di balik kematian. Benar, saat ini tidak ada peristiwa seperti yang
dialami oleh Lazarus: empat hari mati, lalu Yesus memangil dan Lazarus keluar
dari kuburnya. Namun, buat setiap orang percaya hal ini setidaknya mencelikkan
mata hati mereka. Di dalam Yesus, mereka dapat melihat kehidupan karena Yesuslah
Sang empunya kuasa kebangkitan itu. Maut atau kematian bukan akhir dari
segalanya. Dialah yang dapat memberikan kehidupan kekal.
Selain menjadi klimaks atau puncak dari semua mujizat yang dilakukan
Yesus, kebangkitan Lazarus ini juga menjadi pertimbangan utama dalam keputusan Sanhedrin;
Mahkamah Agama Yahudi itu untuk membunuh Yesus. Mengapa? Karena peristiwa
pembangkitan Lazarus itu, semakin banyak orang yang percaya kepada Yesus
(Yoh.12:8). Situasi ini tentu saja semakin mengancam kemapanan otoritas
religius di Yerusalem. Orang-orang Farisi dan para imam kepala membawa persolan
tentang Yesus ini ke Sanhedrin. Di sana terucap kata-kata kenabian sang imam
agung Kayafas yang menyatakan bahwa adalah lebih berguna jika satu orang mati
untuk seluruh bangsa dari pada seluruh bangsa menjadi binasa. Oleh karena itu,
Sanhedrin pun bersepakat untuk membunuh Yesus (Yoh.11:45-46). Mereka tidak
hanya menuntut kematian Yesus, tetapi juga kematian Lazarus yang telah
dibangkitkan oleh Yesus. Mengapa Lazarus juga harus dibunuh? Ya, tentu saja
karena dialah saksi hidup yang benar-benar telah mengalami kebangkitan itu
sehingga semakin banyak orang percaya dan menjadi pengikut Yesus! Sejak saat
itulah para pemimpin agama Yahudi berusaha menangkap Yesus.
Jakarta, 30 Maret 2017