Kamis, 30 Maret 2017

JIKA ENGKAU PERCAYA ENGKAU AKAN MELIHAT

Percaya dan melihat erat kaitannya. Bukankah kebanyakan orang akan lebih mudah percaya ketika melihat bukti? Mulanya saya tidak percaya ada berita seorang petani kelapa sawit ditelan ular piton besar di Desa Salubiro, Kecamatan Karossa, Kabupaten Mamuju Tengah, seminggu yang lalu. Namun, setelah beberapa media nasional memberitakan dan media online menampilkan videonya barulah saya percaya bahwa berita itu ternyata benar. Ular itu tidak lagi bisa bergerak karena isi perutnya yang begitu besar. Setelah seorang warga membedah bagian perut tersebut, tampaklah Akbar yang seharian dicari ada dalam perut ular tersebut, tentu saja sudah tidak bernyawa.

Manusia melihat bukti, baru kemudian dia percaya. Bukankah dalam setiap proses pencarian kebenaran di pengadilan juga berlaku prinsif ini? Lihat saja, untuk memutuskan sebuah perkara, hakim akan meminta para saksi menyatakan pendapat mereka. Para saksi adalah mereka yang melihat, mendengar dan merasakan sebuah peristiwa tindakan kriminal terjadi. Mereka adalah orang-orang yang dapat meyakinkan  hakim untuk percaya dan kemudian mengampil keputusan untuk menjatuhkan vonis.

Bagaimana sekarang jika posisinya dibalik, seperti tema kita hari ini, “Jika engkau percaya, engkau akan melihat,”? Oh, sungguh bukan perkara mudah! Apalagi dalam konteks peradaban manusia yang selalu menuntut bukti. Oop, tunggu dulu! Yang tidak mudah ini bukan berarti tidak mungkin terjadi. Sejarah membuktikan bahwa penemuan-penemuan besar yang mengubah peradaban dunia ini justeru ditemukan oleh orang-orang yang punya keyakinan, kepercayaan bahwa segala sesuatu pasti akan “ditemukan” dan menjadi lebih baik. Peter Nivio Zarlenga mengatakan, “Orang jenius adalah mereka yang melihat apa yang belum ada dan membuatnya menjadi nyata.” Ia yakin yang belum terlihat itu suatu saat akan menjadi kenyataan. Semangat seperti ini pulalah yang membuat Thomas Alva Edison tidak kenal lelah melakukan ribuan kali percobaan untuk menemukan sebuah lampu pijar! Untuk visi menemukan bola lampu pijar, Edison pernah protes terhadap surat kabar yang memberitakan tentang ribuan kali kegagalannya. Surat kabar itu memuat judul, “Setelah 9.955 gagal menemukan bola lampu pijar. Edison akhirnya menemukan bola lampu yang menyala.” Ia meminta judul itu diganti. Keesokan harinya, atas permintaan Edison, mengganti judul berita utamanya menjadi, “Setelah 9.955 kali menemukan lampu yang gagal menyala, Edison akhirnya menemukan lampu yang menyala.”

Sementara, ilmuwan ternama Albert Enstein mengatakan, “Kebanyakan orang mengatakan bahwa kecerdasanlah yang melahirkan seorang ilmuwan besar. Mereka salah, karakterlah yang melahirkannya. Tanda kecerdasan sejati bukanlah pengetahuan, melainkan imajinasi.” Christofer Colombus berlayar dan akhirnya menemukan benua Amerika bukan karena ia sudah melihat terlebih dahulu ada sebuah benua di luar Eropa. Namun, ia percaya bahwa di seberang lautan yang akan diarunginya ada sebuah daratan peradaban dan harapan baru. Banyak lagi tokoh-tokoh besar dengan karya-karya monumental yang terinspirasi dan melakukan sebuah karya bukan dimulai dari melihat terlebih dahulu – sebab kalau ini yang dilakukan maka tidak mungkin akan tercipta penemuan-pemenuan atau lompatan-lompatan besar dalam sejarah peradaban manusia.

“…: Jika engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?” (Yoh.11:40). Kalimat ini merupakan teguran Yesus terhadap Marta yang protes ketika Yesus meminta batu penutup kubur Lazarus dibuka. Bukan tanpa alasan Marta mencegah membukannya, “Tuhan, ia sudah berbau, sebab sudah empat hari ia mati.” Logika empiris manusia – siapa pun dia, pasti akan mengatakan hal yang sama seperti apa yang diucapkan Marta – tetapi sebelumnya, Yesus telah meyakinkan kedua saudara Lazarus itu untuk percaya. Dan mereka telah menyatakan kesediaan untuk percaya. Dalam peristiwa inilah, tampaknya benar bahwa Yesus ingin mengajar mereka untuk percaya. Sebelumnya, Yesus seolah memperlambat untuk datang ke rumah keluarga Maria dan Marta pada saat Lazarus sedang sekarat menjelang ajal. Yesus mengatakan, “Lazarus sudah mati; tetapi syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu, sebab demikian lebih baik bagimu, supaya kamu dapat belajar percaya. Marilah kita pergi sekarang kepadanya.” (Yoh. 11:14a, 15). Lalu kemudian Yesus mengajar tentang apa itu arti percaya kepada-Nya. Jelas responya tidak cukup hanya dengan tutur kata, tetapi juga harus dibuktikan ketika mereka diperhadapkan dengan kenyataan yang paling sulit diterima: kebangkitan orang mati!

Pada awal kisah pembangkitan Lazarus, Yesus tampil di Betania. Apa yang terjadi dalam kisah ini merupakan prefigurasi (gambaran awal) dari kebangkitan Yesus sendiri. Peristiwa Lazarus yang dibangkitkan ini juga merupakan saat yang tepat ketika Yesus memproklamirkan diri-Nya, “Akulah kebangkitan dan hidup, barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku tidak akan mati selama-lamanya.” (Yoh.11:25,26).

Melalui kisah Lazarus ini, Injil Yohanes menyiapkan para pembacanya untuk dapat memahami seperti apa nantinya kebangkitan Yesus itu. Kisah ini mau membuktikan bahwa Yesus benar-benar mempunyai kuasa kebangkitan itu. Oleh karena itu peristiwa pembangkitan Lazarus yang telah mati empat hari lamanya itu merupakan klimaks dari segala tanda yang dibuat oleh Yesus. Kebangkitan Lazarus menjelaskan inti ajaran yang disampaikan Yesus tentang kehidupan kekal: siapa yang percaya kepada-Nya akan memperoleh hidup kekal. Siapa yang percaya kepada-Nya akan melihat hal-hal yang dijanjikan-Nya!

Sekali lagi, kebanyakan kita adalah melihat dahulu lalu percaya. Melalui kisah Lazarus, Maria dan Marta kita diajak untuk memahami apa arti kata percaya itu. Jalas, bukan hanya pengakuan di lidah bibir kita saja. Melainkan, justeru ketika kita diperhadapkan dengan sebuah ketidakmungkinan: dalam hal ini adalah kematian. Yesus menjawab dan membuktikan bahwa ucapannya bukan sekedar “janji sorga”. Mereka yang percaya kepada-Nya dapat melihat hal-hal ajaib, termasuk kehidupan di balik kematian. Benar, saat ini tidak ada peristiwa seperti yang dialami oleh Lazarus: empat hari mati, lalu Yesus memangil dan Lazarus keluar dari kuburnya. Namun, buat setiap orang percaya hal ini setidaknya mencelikkan mata hati mereka. Di dalam Yesus, mereka dapat melihat kehidupan karena Yesuslah Sang empunya kuasa kebangkitan itu. Maut atau kematian bukan akhir dari segalanya. Dialah yang dapat memberikan kehidupan kekal.

Selain menjadi klimaks atau puncak dari semua mujizat yang dilakukan Yesus, kebangkitan Lazarus ini juga menjadi pertimbangan utama dalam keputusan Sanhedrin; Mahkamah Agama Yahudi itu untuk membunuh Yesus. Mengapa? Karena peristiwa pembangkitan Lazarus itu, semakin banyak orang yang percaya kepada Yesus (Yoh.12:8). Situasi ini tentu saja semakin mengancam kemapanan otoritas religius di Yerusalem. Orang-orang Farisi dan para imam kepala membawa persolan tentang Yesus ini ke Sanhedrin. Di sana terucap kata-kata kenabian sang imam agung Kayafas yang menyatakan bahwa adalah lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa dari pada seluruh bangsa menjadi binasa. Oleh karena itu, Sanhedrin pun bersepakat untuk membunuh Yesus (Yoh.11:45-46). Mereka tidak hanya menuntut kematian Yesus, tetapi juga kematian Lazarus yang telah dibangkitkan oleh Yesus. Mengapa Lazarus juga harus dibunuh? Ya, tentu saja karena dialah saksi hidup yang benar-benar telah mengalami kebangkitan itu sehingga semakin banyak orang percaya dan menjadi pengikut Yesus! Sejak saat itulah para pemimpin agama Yahudi berusaha menangkap Yesus.


Jakarta, 30 Maret 2017

Jumat, 24 Maret 2017

MELIHAT TAPI BUTA

Tersebutlah seorang anak laki-laki yang terlahir dengan cacat fisik parah. Salah satu kakinya begitu lemah sehingga harus dipasang logam penopang. Sedari kecil anak lelaki itu akrab dengan alat bantu di kakinya. Karena terbiasa dari kecil, ia tidak merasa terganggu sama sekali oleh cacat fisiknya. Namun, setelah ia mulai bersekolah, kesedihan mulai mengusiknya. Melihat tema-temannya bermain; berlari kian-kemari, ia menjadi sedih, ia juga tidak bisa memanjat pohon, bermain bola. Setiap hari hanya kesedihan demi kesedihan ia telan.

Merasakan kemuraman sang anak, ayahnya memutuskan untuk membawanya ke sebuah kuil yang terkenal di sebuah kota yang letaknya jauh dari kediamana mereka. Konon berbagai mujizat terjadi pada mereka yang bersungguh-sungguh berdoa memohon di kuil itu. Kabarnya, orang-orang cacat yang pergi mengunjungi kuil tersebut, membuang penopang kaki dan kruk mereka, dan bisa berjalan dengan leluasa. Mereka sembuh total!

Maka berangkatlah ayah dan anak ini berziarah ke kuil tersohor itu. Sesampainya di sana, mereka memanjatkan doa sangt khusyuk memohon kesembuhan kaki sang anak yang cacat dari semenjak lahir. Seketika, dirasakan oleh anak itu, perasaan hangat yang begitu indah dalam hatinya. Ia merasakan bahwa kakinya benar-benar sembuh. Ia membuka mata, menyelesaikan doanya dan bangkit berdiri. Saat ia melirik kakinya, dilihatnya kakinya tidak ada perubahan sama sekali. Masih layu seperti sebelumnya.

“Tidak ada gunanya berada di sini!” katanya kepada bapaknya, “Ayo kita pergi, Ayah. Tuhan tidak mendengarkan doa kita.” Dengan tertatih-tatih anak itu berdiri. Ketika hampir sampai di pintu gerbang kuil, sebuah perasaan luar biasa menyergapnya. Ia merasakan seolah-olah ada sebuah tangan besar yang meraih dan merangkulnya, dan anak itu berteriak, “Ayah, Ayah! Ayah benar! Aku sembuh! Aku sembuh!”

Ayahnya terkejut luar biasa. Dilihatnya kaki anak lelakinya itu, lalu tatapan itu menghampiri wajah sang anak, kembali tatapan itu tertuju pada kaki yang layu itu. Tidak ada tanda-tanda kesembuhan. Semua seperti semula; logam penopang kaki itu masih terpasang erat di tempatnya. “Bagaimana mungkin ia berkata, ‘aku telah sembuh!’ bermimpikah dia?” gumam ayahnya.

“Ayah, bukan logam penopang kaki ini yang telah Tuhan ambil dari diriku,” jelas sang anak, “Tapi logam yang tertanam dalam hati dan pikiranku! Aku tidak lagi merasa cacat. Aku tidak lagi merasa rendah diri. Tuhan sayang kepadaku dan aku bisa meneruskan kehidupan ini tanpa harus sedih dan meratapi diri. Aku bahagia, Ayah!”

Anak laki-laki ini dipulihkan tuhan bukan fisiknya melainkan hati dan pikirannya; spiritualitasnya. Sehingga kelemahan tubuhnya bukan lagi menjadi penghalang untuk merasakan kasih sayang Tuhan. Mata rohaninya dibukakan untuk melihat kebaikan Tuhan dalam hidupnya meski ia tidak seperti kebanyakan anak-anak yang lain. Namun sayangnya kisah ini bisa jadi hanya sebagai sebuah dongeng atau kalau pun ada sangat kecil jumlah orang yang mengalaminya. Kebanyaknya, justeru terbalik: mata hati rohani yang tidak dapat melihat kebaikan-kebaikan yang Tuhan berikan setiap saat, seperti tema kita, “Melihat tetapi buta.” Mungkinkah termasuk kita di dalamnya, tidak buta secara fisik namun tidak bisa melihat besarnya kasih sayang Tuhan dalam kehidupan kita sehingga sulit sekali untuk mengucap syukur.

Bacaan Injil dalam Minggu Pra-paskah IV diambil dari Injil Yohanes 9. Bercerita tentang Yesus yang menyembuhkan seorang yang buta sejak lahir pada hari Sabat. Berangkat dari kisah pemulihan orang buta secara fisik menuju kepada masalah yang lebih dalam dan seirus yakni penglihatan rohani dan kebutaan spiritualitas. Tidak berarti bahwa – melalui penulis Injil Yohanes – Yesus memandang penyembuhan kelemahan fisik manusia tidak punya arti, melainkan bahwa melalui peristiwa ini, Yesus memandangnya dalam konteks yang lebih luas, yakni hubungan manusia dengan Allah. Seperti seorang buta sejak lahir yang dipulihkan dan kemudian perlahan-lahan sampai kepada perjumpaan dengan Yesus yang menghasilkan iman yang sejati: Si buta itu disembuhkan baik secara fisik maupun rohaninya. Ia tidak hanya melihat, tetapi juga berjumpa dengan Sang Anak Manusia: Mesias itu! Lalu orang yang tadinya buta itu sujud menyembah Yesus.

Bermula dari “iman karena tanda”, orang buta itu disembuhkan oleh mujizat (tanda) yang dibuat Yesus, kemudian Yesus bertanya kepadanya, “Percayakah engkau kepada Anak Manusia?” Orang itu menjawab sederhana, “Aku percaya, Tuhan.” Iman si buta yang telah pulih itu kini beranjak kepada “iman karena sabda” Kita bisa melihat perkembangan iman si buta ini ketika menelusuri pengakuannya bahwa Yesus adalah: “orang itu” (ay.11), “seorang nabi” (ay.17), “seorang yang datang dari Allah” (ay.33), “Anak Manusia” (ay.35) dan akhirnya “Tuhan” (ay.38). Sekarang orang ini dianugerahi penglihatan yang sempurna karena pada akhirnya ia dapat melihat secara rohani, tidak hanya secara fisik.

Hal ini berbanding terbalik dengan para pemimpin agama, orang-orang Farisi itu tenggelam dalam keadaan yang menyedihkan. Mereka mengalami kebutaan secara sempurna. Para pemimpin agama itu, alih-alih bersukacita karena seorang buta sejak lahir dipulihkan, mereka mencari-cari alasan untuk menggugat tindakan penyembuhan itu. Apalagi dilakukan pada hari Sabat. Mereka tidak buta tetapi mereka tidak dapat melihat apa yang dikerjakan oleh Allah dalam diri orang buta itu. Para pemimpin agama itu menyombongkan diri bahwa mereka mempunyai pengetahuan akan kebenaran sebagai murid-murid Musa, oleh karena itu mereka merasa “melihat”. Namun, kenyataannya semakin lama semakin dalam jatuh ke dalam kegelapan karena tidak melihat. Mereka yang mengklaim dirinya dapat melihat ternyata “buta” dan mereka yang dianggap buta ternyata melihat.

Tentu, orang Farisi yang berhadapan dengan Yesus itu tidak puas dengan apa yang dikatakan Yesus. Mereka bertanya, “Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?” Yesus menjawab, “Sekiranya kamu tidak buta, kamu tidak berdosa.” Pada awal kisah, para murid bertanya tentang siapakah yang berdosa. Kini, Yesus menjawab, bahwa kebutaan fisik bukanlah dosa. Kebutaan fisik karena tidak dapat melihat tidak menutup jalan untuk mengenali pekerjaan Allah yang dilakukan Yesus. Akan tetapi dalam kenyataannya, orang-orang Farisi mengatakan, “Kami melihat” maka tetaplah dosa mereka. Penglihatan mereka tidak rusak sehingga mereka bisa melihat, tetapi mereka buta sehingga tidak mampu mengenali pekerjaan Allah yang dinyatakan di dalam diri Yesus bagi orang buta sejak lahir itu.

Bila selama ini kita cenderung memandang atau setidaknya berpraduga bahwa penderitaan seseorang itu terjadi akibat dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh orang tersebut. Kemudian menganggap diri jauh lebih baik maka saatnya kita harus mengoreksi pandangan itu. Yesus mengajak kita bukan untuk menambah berat beban penderitaan fisik orang tersebut dengan menambah label pendosa, melainkan menjadikannya sebagai kesempatan di mana pekerjaan Allah harus dinyatakan. Apa bedanya dengan orang-orang Farisi yang dikecam Yesus ketika kita merasa benar dan kemudian menghakimi atau mencari-cari kesalahan atas penderitaan orang lain? Waspadalah ketika kita merasa diri benar dan bersih, kita merasa “melihat” namun sebenarnya yang sedang terjadi adalah bahwa kita sedang menuju kepada kegelapan. Sebaliknya, ketika kita mengalami penderitaan, entah itu kemalangan atau cacat fisik, tidak perlu berkecil hati karena Tuhan pun mengasihi dan memberi kesempatan yang sama untuk dapat mengenal dan merasakan kasih karunia-Nya.

Sekarang, marilah sebagai orang-orang yang telah “melihat” dan dicelikkan untuk mengenal kasih karunia Allah, kita hidup sebagai orang-orang yang “melihat”. Seperti nasehat Paulus, “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran,...”(Efesus 5:8,9)


Jakarta, 24 Maret 2017