Jumat, 24 Maret 2017

MELIHAT TAPI BUTA

Tersebutlah seorang anak laki-laki yang terlahir dengan cacat fisik parah. Salah satu kakinya begitu lemah sehingga harus dipasang logam penopang. Sedari kecil anak lelaki itu akrab dengan alat bantu di kakinya. Karena terbiasa dari kecil, ia tidak merasa terganggu sama sekali oleh cacat fisiknya. Namun, setelah ia mulai bersekolah, kesedihan mulai mengusiknya. Melihat tema-temannya bermain; berlari kian-kemari, ia menjadi sedih, ia juga tidak bisa memanjat pohon, bermain bola. Setiap hari hanya kesedihan demi kesedihan ia telan.

Merasakan kemuraman sang anak, ayahnya memutuskan untuk membawanya ke sebuah kuil yang terkenal di sebuah kota yang letaknya jauh dari kediamana mereka. Konon berbagai mujizat terjadi pada mereka yang bersungguh-sungguh berdoa memohon di kuil itu. Kabarnya, orang-orang cacat yang pergi mengunjungi kuil tersebut, membuang penopang kaki dan kruk mereka, dan bisa berjalan dengan leluasa. Mereka sembuh total!

Maka berangkatlah ayah dan anak ini berziarah ke kuil tersohor itu. Sesampainya di sana, mereka memanjatkan doa sangt khusyuk memohon kesembuhan kaki sang anak yang cacat dari semenjak lahir. Seketika, dirasakan oleh anak itu, perasaan hangat yang begitu indah dalam hatinya. Ia merasakan bahwa kakinya benar-benar sembuh. Ia membuka mata, menyelesaikan doanya dan bangkit berdiri. Saat ia melirik kakinya, dilihatnya kakinya tidak ada perubahan sama sekali. Masih layu seperti sebelumnya.

“Tidak ada gunanya berada di sini!” katanya kepada bapaknya, “Ayo kita pergi, Ayah. Tuhan tidak mendengarkan doa kita.” Dengan tertatih-tatih anak itu berdiri. Ketika hampir sampai di pintu gerbang kuil, sebuah perasaan luar biasa menyergapnya. Ia merasakan seolah-olah ada sebuah tangan besar yang meraih dan merangkulnya, dan anak itu berteriak, “Ayah, Ayah! Ayah benar! Aku sembuh! Aku sembuh!”

Ayahnya terkejut luar biasa. Dilihatnya kaki anak lelakinya itu, lalu tatapan itu menghampiri wajah sang anak, kembali tatapan itu tertuju pada kaki yang layu itu. Tidak ada tanda-tanda kesembuhan. Semua seperti semula; logam penopang kaki itu masih terpasang erat di tempatnya. “Bagaimana mungkin ia berkata, ‘aku telah sembuh!’ bermimpikah dia?” gumam ayahnya.

“Ayah, bukan logam penopang kaki ini yang telah Tuhan ambil dari diriku,” jelas sang anak, “Tapi logam yang tertanam dalam hati dan pikiranku! Aku tidak lagi merasa cacat. Aku tidak lagi merasa rendah diri. Tuhan sayang kepadaku dan aku bisa meneruskan kehidupan ini tanpa harus sedih dan meratapi diri. Aku bahagia, Ayah!”

Anak laki-laki ini dipulihkan tuhan bukan fisiknya melainkan hati dan pikirannya; spiritualitasnya. Sehingga kelemahan tubuhnya bukan lagi menjadi penghalang untuk merasakan kasih sayang Tuhan. Mata rohaninya dibukakan untuk melihat kebaikan Tuhan dalam hidupnya meski ia tidak seperti kebanyakan anak-anak yang lain. Namun sayangnya kisah ini bisa jadi hanya sebagai sebuah dongeng atau kalau pun ada sangat kecil jumlah orang yang mengalaminya. Kebanyaknya, justeru terbalik: mata hati rohani yang tidak dapat melihat kebaikan-kebaikan yang Tuhan berikan setiap saat, seperti tema kita, “Melihat tetapi buta.” Mungkinkah termasuk kita di dalamnya, tidak buta secara fisik namun tidak bisa melihat besarnya kasih sayang Tuhan dalam kehidupan kita sehingga sulit sekali untuk mengucap syukur.

Bacaan Injil dalam Minggu Pra-paskah IV diambil dari Injil Yohanes 9. Bercerita tentang Yesus yang menyembuhkan seorang yang buta sejak lahir pada hari Sabat. Berangkat dari kisah pemulihan orang buta secara fisik menuju kepada masalah yang lebih dalam dan seirus yakni penglihatan rohani dan kebutaan spiritualitas. Tidak berarti bahwa – melalui penulis Injil Yohanes – Yesus memandang penyembuhan kelemahan fisik manusia tidak punya arti, melainkan bahwa melalui peristiwa ini, Yesus memandangnya dalam konteks yang lebih luas, yakni hubungan manusia dengan Allah. Seperti seorang buta sejak lahir yang dipulihkan dan kemudian perlahan-lahan sampai kepada perjumpaan dengan Yesus yang menghasilkan iman yang sejati: Si buta itu disembuhkan baik secara fisik maupun rohaninya. Ia tidak hanya melihat, tetapi juga berjumpa dengan Sang Anak Manusia: Mesias itu! Lalu orang yang tadinya buta itu sujud menyembah Yesus.

Bermula dari “iman karena tanda”, orang buta itu disembuhkan oleh mujizat (tanda) yang dibuat Yesus, kemudian Yesus bertanya kepadanya, “Percayakah engkau kepada Anak Manusia?” Orang itu menjawab sederhana, “Aku percaya, Tuhan.” Iman si buta yang telah pulih itu kini beranjak kepada “iman karena sabda” Kita bisa melihat perkembangan iman si buta ini ketika menelusuri pengakuannya bahwa Yesus adalah: “orang itu” (ay.11), “seorang nabi” (ay.17), “seorang yang datang dari Allah” (ay.33), “Anak Manusia” (ay.35) dan akhirnya “Tuhan” (ay.38). Sekarang orang ini dianugerahi penglihatan yang sempurna karena pada akhirnya ia dapat melihat secara rohani, tidak hanya secara fisik.

Hal ini berbanding terbalik dengan para pemimpin agama, orang-orang Farisi itu tenggelam dalam keadaan yang menyedihkan. Mereka mengalami kebutaan secara sempurna. Para pemimpin agama itu, alih-alih bersukacita karena seorang buta sejak lahir dipulihkan, mereka mencari-cari alasan untuk menggugat tindakan penyembuhan itu. Apalagi dilakukan pada hari Sabat. Mereka tidak buta tetapi mereka tidak dapat melihat apa yang dikerjakan oleh Allah dalam diri orang buta itu. Para pemimpin agama itu menyombongkan diri bahwa mereka mempunyai pengetahuan akan kebenaran sebagai murid-murid Musa, oleh karena itu mereka merasa “melihat”. Namun, kenyataannya semakin lama semakin dalam jatuh ke dalam kegelapan karena tidak melihat. Mereka yang mengklaim dirinya dapat melihat ternyata “buta” dan mereka yang dianggap buta ternyata melihat.

Tentu, orang Farisi yang berhadapan dengan Yesus itu tidak puas dengan apa yang dikatakan Yesus. Mereka bertanya, “Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?” Yesus menjawab, “Sekiranya kamu tidak buta, kamu tidak berdosa.” Pada awal kisah, para murid bertanya tentang siapakah yang berdosa. Kini, Yesus menjawab, bahwa kebutaan fisik bukanlah dosa. Kebutaan fisik karena tidak dapat melihat tidak menutup jalan untuk mengenali pekerjaan Allah yang dilakukan Yesus. Akan tetapi dalam kenyataannya, orang-orang Farisi mengatakan, “Kami melihat” maka tetaplah dosa mereka. Penglihatan mereka tidak rusak sehingga mereka bisa melihat, tetapi mereka buta sehingga tidak mampu mengenali pekerjaan Allah yang dinyatakan di dalam diri Yesus bagi orang buta sejak lahir itu.

Bila selama ini kita cenderung memandang atau setidaknya berpraduga bahwa penderitaan seseorang itu terjadi akibat dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh orang tersebut. Kemudian menganggap diri jauh lebih baik maka saatnya kita harus mengoreksi pandangan itu. Yesus mengajak kita bukan untuk menambah berat beban penderitaan fisik orang tersebut dengan menambah label pendosa, melainkan menjadikannya sebagai kesempatan di mana pekerjaan Allah harus dinyatakan. Apa bedanya dengan orang-orang Farisi yang dikecam Yesus ketika kita merasa benar dan kemudian menghakimi atau mencari-cari kesalahan atas penderitaan orang lain? Waspadalah ketika kita merasa diri benar dan bersih, kita merasa “melihat” namun sebenarnya yang sedang terjadi adalah bahwa kita sedang menuju kepada kegelapan. Sebaliknya, ketika kita mengalami penderitaan, entah itu kemalangan atau cacat fisik, tidak perlu berkecil hati karena Tuhan pun mengasihi dan memberi kesempatan yang sama untuk dapat mengenal dan merasakan kasih karunia-Nya.

Sekarang, marilah sebagai orang-orang yang telah “melihat” dan dicelikkan untuk mengenal kasih karunia Allah, kita hidup sebagai orang-orang yang “melihat”. Seperti nasehat Paulus, “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran,...”(Efesus 5:8,9)


Jakarta, 24 Maret 2017

Jumat, 17 Maret 2017

ANUGERAH ALLAH MENOPANG UMAT-NYA

Konon ada sebuah kisah : Dua orang biksu memulai perjalanan spiritual mereka melintasi pegunungan. Mereka ingin tahu banyak tentang diri mereka sendiri dan hubugan mereka dengan dunia. Untuk itu, mereka berniat mengunjungi sebuah biara di mana tinggal seorang guru yang terkenal memberikan petuah-petuah bijak untuk pengembangan spritual. Tidak semua perjalanan berjalan dengan mulus, dan para biksu tersebut sebenarnya tidak terlalu yakin apakah mereka dapat sampai ke hadapan sang guru bijak itu. Meskipun demikian mereka tetap memutuskan untuk berangkat, apa pun tantangan di depan akan dihadapi. Seandainya mereka takut akan ditimpa kemalangan, atau seandainya imajinasi mereka menampakan tantangan sebagai hal-hal yang perlu ditakuti dan dibuat ngeri, mereka mungkin tidak akan memutuskan untuk berkelana keluar dari dinding biara mereka yang nyaman. Hanya dengan memokuskan diri pada gagasan yang mereka telah tentukan, mereka siap menghadapi tantangan dan memulai perjalanan untuk menemukan pencerahan.

Belum lama berjalan, mereka harus menemui kesulitan pertama.  Sebuah sungai yang deras menghalangi jalan mereka. Selagi mereka berdiri termenung, memikirkan cara untuk mengarunginya, sesuatu telah menarik perhatian mereka. Di tengah gemuruh air yang deras, mereka mendengar isak tangis yang penuh dengan kesedihan dan keputusasaan. Sesudah mencari-cari sebentar, mereka menemukan sumber suara tersebut. Seorang wanita bersembunyi di balik batu sambil menangis.

“Aku diserang dan dirampok,” begitu katanya di tengah isak tangis. “Ketika sedang berjalan pulang dari pasar membawa sedikit makanan yang dapat kubeli untuk keluargaku dalam persediaan seminggu ke depan, segerombolan perampok menyerang aku. Mereka mengambil semua bahan makanan itu dan, sambil mengancam dengan pisau, memaksaku menyerahkan hampir semua pakaianku sehingga aku di sini kedinginan, kesepian dan nyaris telanjang!”

Biksu pertama dan tanpa ragu-ragu, melepaskan jubahnya. “Ini, ambil jubahku,” ia menawarkan jubahnya dan seketika itu juga menutupkan jubahnya pada tubuh perempuan yang nyaris telanjang itu. Ia kemudian menanyakan dari mana asalnya perempuan itu. “Aku berasal dari desa beberapa kilo dari seberang sungai ini,” katanya.

Biksu itu bertanya apakah dia bersedia dibawa menyeberangi sungai untuk memastikan dia tiba di seberang sungai itu dengan selamat. Sesudah perempuan itu menyetujui tawaran dari sang biksu, biksu tersebut membopongnya dan berjalan menyeberangi sungai dan, sesampainya di seberang, dengan lembut menurunkan perempuan itu. Dia kemudian mengantarkan perempuan itu sampai tiba di desanya karena kawatir kalau-kalau di tengah perjalanan perempuan itu mengalami kesulitan lagi. Tepat sebelum memasuki desa, ia mengambil persediaan makanan seadanya yang dibawanya sebagai bekal dan menyerahkannya kepada perempuan tadi. Dia mendoakan agar perempuan itu berbahagia.

Biksu kedua tak kuat lagi menahan emosinya, “Apa yang telah kau lakukan?” tanyanya curiga. “Kita telah bersumpah untuk tidak menyentuh perempuan, atau melakukan hubungan dengan mereka. Tadi engkau membopong seorang wanita yang nyaris telanjang, memeluknya dan membawanya menyeberangi sungai. Kamu telah berbuat intim dengan seorang wanita, sebuah perbuatan yang tidak pantas dilakukan seorang biksu!”

Suatu ketika Yesus harus melintasi daerah orang Samaria. Sudah sejak lama orang-orang Yahudi tidak berhubungan dengan orang Samaria. Masing-masing punya argumen bahwa merekalah yang meneruskan tradisi dan kemurnian anak- anak Abraham. Tak segan, satu dengan yang lainnya saling mengkafirkan. Apakah ketika melintasi daerah ini Yesus hanya numpang lewat saja? Atau dengan sebuah tujuan pemberitaan Injil ke daerah yang diberi lebel kafir itu? Atau karena Ia bersama para murid Yohanes pembaptis sedang dikenai pasal  pencemaran agama sehingga harus diburu dan ditumpas?

Ada benarnya, Yesus meninggalkan daerah Yudea oleh karena orang-orang Farisi bahwa Yesus kita sudah banyak pengikutnya. Orang-orang Farisi telah datang kepada Yesus dan mempertanyakan identitas dan pekerjaan-Nya. Yesus juga sudah masuk dalam pusaran konflik dengan orang-orang Yahudi karena peristiwa “pembersihan” di Bait Allah (Yoh.2:13-25). Kini, Yesus merupakan ancaman yang lebih mengerikan ketimbang Yohanes Pembaptis, maka para pemilik otoritas kesucian Taurat merasa terpanggil untuk menumpas gerakan baru yang sedang muncul itu. Terdesak ancaman itulah maka Yesus bersama-sama para murid-Nya meninggalkan Yudea. Setidaknya, itulah yang ditafsirkan Eko Riyadi dalam bukunya YOHANES, “Firman Menjadi Manusia.”

Dalam penyingkiran-Nya menuju Galilea, Yesus harus melewati daerah Sikhar yang mana di tempat itu terdapat “Sumur Yakub” Kalimat “Ia harus melewati Samaria”, memberi kesan bahwa seolah-olah itulah jalan satu-satunya untuk sampai ke Galilea. Padahal, secara geografis tidak benar. Sebab masih ada jalan lain, yakni melalui seberang sungai Yordan. Di sini kata “harus” dimaksudkan sebagai “keharusan ilahi”. Berarti Yesus masuk ke daerah orang Samaria bukanlah karena terpaksa, tidak ada jalan lain lagi. Melainkan karena kehendak Bapalah yang mengharuskan-Nya untuk singgah di daerah Samaria itu! (A.S. Hadiwiyata, 2007,h.59). Dengan memahami ini, jelaslah bahwa ketika Yesus meninggalkan Yudea juga bukan semata-mata karena Ia dan para murid-Nya terancam oleh otoritas Yahudi. Melainkan, ada yang mesti dituju. Ada yang harus mendengar kabar baik! Yakni perempuan Samaria.

Apa yang dilakukan Yesus yang berbicara hanya berdua saja dengan seorang perempuan Samaria di “Sumur Yakub”, di kota Sikhar, apalagi belakangan diketahui bahwa lawan bicara Yesus itu bukanlah perempuan baik-baik, pastilah dipandang sebagai perbuatan yang tidak  pantas dilakukan oleh seorang rabbi Yahudi. Yesus mengambil semua resiko demi penyelamatan seorang perempuan Samaria ini. Itulah juga yang menjadi seluruh corak pelayanan Yesus. Ia menanggalakan semua kemuliaan-Nya agar kasih karunia Allah Bapa disambut oleh umat manusia.

Biasanya para perempuan mengambil air di sumur pada sore hari. Tetapi ada yang tidak biasa dengan perempuan ini. Ia datang pada siang hari bolong. Bisa saja orang menduga bahwa perempuan ini memang sedang terdesak kehasuan dan di rumahnya tidak ada air, maka siang itu ia harus pergi ke sumur untuk menimba air. Namun, ketika Yesus mengangkat dialog kepada kehidupan pribadi si perempuan ini (Yoh.4:17-20), kita bisa menduga alasan kuat mengapa ia tidak lazim mengambil air di sumur itu; tengah hari bolong. Rupanya ia tidak mau kehidupan pribadinya yang sudah mempunyai lima suami dan yang sekarang ada padanya bukanlah resmi suami itu tidak mau menjadi bahan pergunjungan. Ia menarik diri atau bahkan juga dikucilkan oleh komunitasnya.

Berilah Aku minum!” Yesus membuka dialog. Sadar yang berbicara dengannya adalah orang Yahudi, perempuan itu menjawab, “Masakan Engkau, seorang Yahudi, meminta minum kepadaku, yang adalah seorang Samaria?” Yesus tahu stigma Yahudi – Samaria. Namun, Ia tidak mempermasalahkan hal itu. Ia langsung berbicara tentang kasih karunia Allah dan tentang identitas diri-Nya sebagai “Air Hidup” (hydor zon) yang juga dapat berarti “Air yang mengalir”. Sebagaimana Nikodemus yang sulit memahami perkataan Yesus tentang “dilahirkan kembali”, perempuan ini juga mengalami kesulitan memahami ucapan Yesus tentang Air Hidup itu.

Yesus tampaknya tidak mau masuk dalam perdebatan yang ditawarkan perempuan Samaria itu tentang sumur warisan Yakub itu Namun, Ia berbicara tentang kualitas air yang dapat Dia berikan. Pembandingnya, orang akan haus lagi setelah meminum air dari sumur itu. Sedangkan air yang diberikan Yesus tidak membuat orang “haus” lagi untuk selama-lamanya. Air itu bahkan akan menjadi mata air di dalam diri orang yang meminumnya. Perkataan Yesus ini mengingatkan kita pada peristiwa orang Israel di padang gurun. Mereka sering berkeluh kesah tentang makanan dan air. Dalam Keluaran 17: 1-7, orang Israel bertengkar dengan Musa di Masa dan Meriba, mereka menuntut, “Berikanlah air kepada kami, supaya kami dapat minum!” (Kel.7:2). Air itu tidak menjamin bahwa mereka tidak akan haus lagi. Yesus mampu memberikan “Air Hidup” itu, sehingga manusia tidak lagi terus menuntut dipuaskan dan selalu kurang. Melainkan akan bersykur, itulah “Air Hidup”!

Beruntunglah kemudian perempuan itu mengerti apa yang dimaksudkan Yesus. Di penghujung cerita, perempuan ini menyaksikan Yesus sebagai Mesias di kota itu. Banyak orang datang kepada Yesus dan mereka percaya, “Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia.” (Yoh.4:42). Terbuktilah ucapan Yesus, perempuan itu telah memancarkan aliran air kehidupan dalam dirinya. Sama seperti perempuan Samaria yang menikmati anugerah Allah sehingga hidupnya yang terpuruk boleh dipulihkan, ditopang oleh Air Hidup itu, sudahkah kita mengalami anugerah yang sama?

Jakarta, 17 Maret 2017