Jumat, 17 Maret 2017

ANUGERAH ALLAH MENOPANG UMAT-NYA

Konon ada sebuah kisah : Dua orang biksu memulai perjalanan spiritual mereka melintasi pegunungan. Mereka ingin tahu banyak tentang diri mereka sendiri dan hubugan mereka dengan dunia. Untuk itu, mereka berniat mengunjungi sebuah biara di mana tinggal seorang guru yang terkenal memberikan petuah-petuah bijak untuk pengembangan spritual. Tidak semua perjalanan berjalan dengan mulus, dan para biksu tersebut sebenarnya tidak terlalu yakin apakah mereka dapat sampai ke hadapan sang guru bijak itu. Meskipun demikian mereka tetap memutuskan untuk berangkat, apa pun tantangan di depan akan dihadapi. Seandainya mereka takut akan ditimpa kemalangan, atau seandainya imajinasi mereka menampakan tantangan sebagai hal-hal yang perlu ditakuti dan dibuat ngeri, mereka mungkin tidak akan memutuskan untuk berkelana keluar dari dinding biara mereka yang nyaman. Hanya dengan memokuskan diri pada gagasan yang mereka telah tentukan, mereka siap menghadapi tantangan dan memulai perjalanan untuk menemukan pencerahan.

Belum lama berjalan, mereka harus menemui kesulitan pertama.  Sebuah sungai yang deras menghalangi jalan mereka. Selagi mereka berdiri termenung, memikirkan cara untuk mengarunginya, sesuatu telah menarik perhatian mereka. Di tengah gemuruh air yang deras, mereka mendengar isak tangis yang penuh dengan kesedihan dan keputusasaan. Sesudah mencari-cari sebentar, mereka menemukan sumber suara tersebut. Seorang wanita bersembunyi di balik batu sambil menangis.

“Aku diserang dan dirampok,” begitu katanya di tengah isak tangis. “Ketika sedang berjalan pulang dari pasar membawa sedikit makanan yang dapat kubeli untuk keluargaku dalam persediaan seminggu ke depan, segerombolan perampok menyerang aku. Mereka mengambil semua bahan makanan itu dan, sambil mengancam dengan pisau, memaksaku menyerahkan hampir semua pakaianku sehingga aku di sini kedinginan, kesepian dan nyaris telanjang!”

Biksu pertama dan tanpa ragu-ragu, melepaskan jubahnya. “Ini, ambil jubahku,” ia menawarkan jubahnya dan seketika itu juga menutupkan jubahnya pada tubuh perempuan yang nyaris telanjang itu. Ia kemudian menanyakan dari mana asalnya perempuan itu. “Aku berasal dari desa beberapa kilo dari seberang sungai ini,” katanya.

Biksu itu bertanya apakah dia bersedia dibawa menyeberangi sungai untuk memastikan dia tiba di seberang sungai itu dengan selamat. Sesudah perempuan itu menyetujui tawaran dari sang biksu, biksu tersebut membopongnya dan berjalan menyeberangi sungai dan, sesampainya di seberang, dengan lembut menurunkan perempuan itu. Dia kemudian mengantarkan perempuan itu sampai tiba di desanya karena kawatir kalau-kalau di tengah perjalanan perempuan itu mengalami kesulitan lagi. Tepat sebelum memasuki desa, ia mengambil persediaan makanan seadanya yang dibawanya sebagai bekal dan menyerahkannya kepada perempuan tadi. Dia mendoakan agar perempuan itu berbahagia.

Biksu kedua tak kuat lagi menahan emosinya, “Apa yang telah kau lakukan?” tanyanya curiga. “Kita telah bersumpah untuk tidak menyentuh perempuan, atau melakukan hubungan dengan mereka. Tadi engkau membopong seorang wanita yang nyaris telanjang, memeluknya dan membawanya menyeberangi sungai. Kamu telah berbuat intim dengan seorang wanita, sebuah perbuatan yang tidak pantas dilakukan seorang biksu!”

Suatu ketika Yesus harus melintasi daerah orang Samaria. Sudah sejak lama orang-orang Yahudi tidak berhubungan dengan orang Samaria. Masing-masing punya argumen bahwa merekalah yang meneruskan tradisi dan kemurnian anak- anak Abraham. Tak segan, satu dengan yang lainnya saling mengkafirkan. Apakah ketika melintasi daerah ini Yesus hanya numpang lewat saja? Atau dengan sebuah tujuan pemberitaan Injil ke daerah yang diberi lebel kafir itu? Atau karena Ia bersama para murid Yohanes pembaptis sedang dikenai pasal  pencemaran agama sehingga harus diburu dan ditumpas?

Ada benarnya, Yesus meninggalkan daerah Yudea oleh karena orang-orang Farisi bahwa Yesus kita sudah banyak pengikutnya. Orang-orang Farisi telah datang kepada Yesus dan mempertanyakan identitas dan pekerjaan-Nya. Yesus juga sudah masuk dalam pusaran konflik dengan orang-orang Yahudi karena peristiwa “pembersihan” di Bait Allah (Yoh.2:13-25). Kini, Yesus merupakan ancaman yang lebih mengerikan ketimbang Yohanes Pembaptis, maka para pemilik otoritas kesucian Taurat merasa terpanggil untuk menumpas gerakan baru yang sedang muncul itu. Terdesak ancaman itulah maka Yesus bersama-sama para murid-Nya meninggalkan Yudea. Setidaknya, itulah yang ditafsirkan Eko Riyadi dalam bukunya YOHANES, “Firman Menjadi Manusia.”

Dalam penyingkiran-Nya menuju Galilea, Yesus harus melewati daerah Sikhar yang mana di tempat itu terdapat “Sumur Yakub” Kalimat “Ia harus melewati Samaria”, memberi kesan bahwa seolah-olah itulah jalan satu-satunya untuk sampai ke Galilea. Padahal, secara geografis tidak benar. Sebab masih ada jalan lain, yakni melalui seberang sungai Yordan. Di sini kata “harus” dimaksudkan sebagai “keharusan ilahi”. Berarti Yesus masuk ke daerah orang Samaria bukanlah karena terpaksa, tidak ada jalan lain lagi. Melainkan karena kehendak Bapalah yang mengharuskan-Nya untuk singgah di daerah Samaria itu! (A.S. Hadiwiyata, 2007,h.59). Dengan memahami ini, jelaslah bahwa ketika Yesus meninggalkan Yudea juga bukan semata-mata karena Ia dan para murid-Nya terancam oleh otoritas Yahudi. Melainkan, ada yang mesti dituju. Ada yang harus mendengar kabar baik! Yakni perempuan Samaria.

Apa yang dilakukan Yesus yang berbicara hanya berdua saja dengan seorang perempuan Samaria di “Sumur Yakub”, di kota Sikhar, apalagi belakangan diketahui bahwa lawan bicara Yesus itu bukanlah perempuan baik-baik, pastilah dipandang sebagai perbuatan yang tidak  pantas dilakukan oleh seorang rabbi Yahudi. Yesus mengambil semua resiko demi penyelamatan seorang perempuan Samaria ini. Itulah juga yang menjadi seluruh corak pelayanan Yesus. Ia menanggalakan semua kemuliaan-Nya agar kasih karunia Allah Bapa disambut oleh umat manusia.

Biasanya para perempuan mengambil air di sumur pada sore hari. Tetapi ada yang tidak biasa dengan perempuan ini. Ia datang pada siang hari bolong. Bisa saja orang menduga bahwa perempuan ini memang sedang terdesak kehasuan dan di rumahnya tidak ada air, maka siang itu ia harus pergi ke sumur untuk menimba air. Namun, ketika Yesus mengangkat dialog kepada kehidupan pribadi si perempuan ini (Yoh.4:17-20), kita bisa menduga alasan kuat mengapa ia tidak lazim mengambil air di sumur itu; tengah hari bolong. Rupanya ia tidak mau kehidupan pribadinya yang sudah mempunyai lima suami dan yang sekarang ada padanya bukanlah resmi suami itu tidak mau menjadi bahan pergunjungan. Ia menarik diri atau bahkan juga dikucilkan oleh komunitasnya.

Berilah Aku minum!” Yesus membuka dialog. Sadar yang berbicara dengannya adalah orang Yahudi, perempuan itu menjawab, “Masakan Engkau, seorang Yahudi, meminta minum kepadaku, yang adalah seorang Samaria?” Yesus tahu stigma Yahudi – Samaria. Namun, Ia tidak mempermasalahkan hal itu. Ia langsung berbicara tentang kasih karunia Allah dan tentang identitas diri-Nya sebagai “Air Hidup” (hydor zon) yang juga dapat berarti “Air yang mengalir”. Sebagaimana Nikodemus yang sulit memahami perkataan Yesus tentang “dilahirkan kembali”, perempuan ini juga mengalami kesulitan memahami ucapan Yesus tentang Air Hidup itu.

Yesus tampaknya tidak mau masuk dalam perdebatan yang ditawarkan perempuan Samaria itu tentang sumur warisan Yakub itu Namun, Ia berbicara tentang kualitas air yang dapat Dia berikan. Pembandingnya, orang akan haus lagi setelah meminum air dari sumur itu. Sedangkan air yang diberikan Yesus tidak membuat orang “haus” lagi untuk selama-lamanya. Air itu bahkan akan menjadi mata air di dalam diri orang yang meminumnya. Perkataan Yesus ini mengingatkan kita pada peristiwa orang Israel di padang gurun. Mereka sering berkeluh kesah tentang makanan dan air. Dalam Keluaran 17: 1-7, orang Israel bertengkar dengan Musa di Masa dan Meriba, mereka menuntut, “Berikanlah air kepada kami, supaya kami dapat minum!” (Kel.7:2). Air itu tidak menjamin bahwa mereka tidak akan haus lagi. Yesus mampu memberikan “Air Hidup” itu, sehingga manusia tidak lagi terus menuntut dipuaskan dan selalu kurang. Melainkan akan bersykur, itulah “Air Hidup”!

Beruntunglah kemudian perempuan itu mengerti apa yang dimaksudkan Yesus. Di penghujung cerita, perempuan ini menyaksikan Yesus sebagai Mesias di kota itu. Banyak orang datang kepada Yesus dan mereka percaya, “Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia.” (Yoh.4:42). Terbuktilah ucapan Yesus, perempuan itu telah memancarkan aliran air kehidupan dalam dirinya. Sama seperti perempuan Samaria yang menikmati anugerah Allah sehingga hidupnya yang terpuruk boleh dipulihkan, ditopang oleh Air Hidup itu, sudahkah kita mengalami anugerah yang sama?

Jakarta, 17 Maret 2017

Jumat, 10 Maret 2017

MENJALANI HIDUP YANG PASTI

Kisah ini dituturkan oleh George W. Burns, seorang psikoterapis ketika mengunjungi Mesa Verde. Mesa Verde adalah sebuah keajaiban alam spektakuler, misterius dan unik. Sudah banyak arkeolog, antropolog dan sosiolog meneliti situs ini. Namun, tetap saja tidak mampu mengungkap seluruh misteri dan keajaibannya.

Salah satu misteri situs ini adalah, mengapa suku Indian Anasazi yang hidup di Mesa Verde sekitar tahun 700 – 1200 meninggalkan rumah-rumah mereka yang mudah dijangkau di dataran tinggi berpuncak datar dan kemudian mereka pindah ke serambi karang yang terjal dan sulit dijangkau. Bisa jadi faktor keamanan yang menjadi prioritas. Rumah di daerah dataran biasa dapat dengan mudah diserang musuh atau kawanan binatang buas. Rumah di tebing karang curam, tentu tidak mudah untuk disatroni. Di situ mungkin mereka merasa aman dan nyaman. Hampir semua naluri makhluk hidup – manusia termasuk di dalamnya – akan mencari tempat aman dan nyaman karena di situlah meraka dapat meneruskan kelangsungan hidup yang dianggap pasti dan lebih baik.

Pada 1996, Taman Nasional Mesa Verde merayakan ulang tahunnya yang ke-90, sepanjang tahun ini para arkeolog  menyurvei setiap situs yang bisa mereka temukan. Namun, selama musim panas. Soda Canyon terbakar hebat oleh api yang dipicu petir. Kebakaran selama empat hari mempunyai daya rusak luar biasa. Lebih dari 3000 hektar area situs musnah terbakar. Arang dan jelaga menutupi rumah-rumah bersejarah, bagian-bagian yang terbuat dari kayu terbakar habis hingga yang tersisa hanyalah abu dan batu-batu fondasi bangunan hancur menjadi serpihan atau retakan-retakan diterpa panas yang menggila.


Musnahnya bangunan-bangunan bersejarah berusia ribuan tahun membuat studi ilmiah yang dilakukan selama berpuluh-puluh tahun sia-sia dan menjadikan para pencinta situs ini banjir air mata. Di sebuah tempat bernama Battleship Rock, sebuah panel petroglif besar dengan ukiran yang tidak tergantikan setinggi empat meter, hancur berkeping-keping, dan lepas dari permukaan karang. Bagi para arkeolog, kerugian yang mereka derita tak ada taranya. Oleh karena itu jika mereka berduka karena kejadian tersebut, itu sudah pada tempatnya! Bayangkan saja jika Anda menjadi salah seorang arkeolog yang meneliti situs Mesa Verde: Anda akan merasakan kesedihan, dan, meskipun Anda tahu, sebagaimana semua perasaan, bahwa kesedihan tersebut akan sirna seiring berjalannya waktu. Benak Anda akan terus-menerus membisikkan bahwa Anda telah kehilangan sesuatu yang berharga untuk selama-lamanya.

Kisahnya belum berakhir. Api yang melalap dan menghancurkan situs Mesa Verde itu meninggalkan sisa. Ada sebuah lahan yang cukup luas; ada pueblo (perkampungan suku Indian) dengan banyak kamar, dan lebih dari  itu, sebuah gua bawah tanah. Api telah membakar habis hutan dan belukar yang telah begitu lama menyembunyikan misteri: situs menarik yang belum pernah terungkap. Memang benar, mereka tidak pernah akan bisa menggantikan kerugian akibat kebakaran hebat itu. Namun, situs yang baru terungkap itu tidak kalah menarik dan memberikan pengetahuan baru tentang sekelompok masyarakat misterius. Api yang berdaya hancur begitu dasyat ternyata telah memunculkan tidak kurang dari 400 situs yang belum pernah didokomentasikan selama ini!

Anda sudah hidup mapan, kaya, usia mengarah ke senja, di kelilingi kerabat dan sahabat. Anda hidup tentram. Aman dan nyama, tiba-tiba diminta meninggalkan semuanya itu, mengembara entah ke mana arah tujuannya hanya dengan berbekal sebuah janji. “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyur; dan engkau akan menjadi berkat” (Kej. 12:2). Ini seperti pribahasa “Melepas burung pipit yang digenggam, berharap mendapatkan merpati.” Bagaimana Anda merespons panggilan dan janji seperti ini? Dapatkah dengan segera, tanpa bertanya ini dan itu lagi, kemudian Anda berkemas dan segera pergi menuruti janji itu? Bisa jadi kita akan berpikir berulang-ulang untuk meninggalkan semua kenyamanan itu. Namun, tidak dengan Abram. Ia segera mengajak isterinya berkemas untuk memenuhi panggilan dan janji itu.

Lain Abram, beda pula Nikodemus. Nikodemus adalah seorang yang unik. Ia tampil sebagai simpatisan Yesus. Ia disebutkan seorang Farisi, salah seorang pemuka Yahudi, yang mengisyaratkan kemungkinan bahwa ia adalah anggota dari Sanhedrin (Mahkamah Agama Yahudi). Bagi penulis Injil Yohanes, Nikodemus ditampilkan sebagai seorang Yahudi, terpelajar dan mempunyai tujuan yang tulus, meskipun imannya kepada Yesus masih sama seperti orang kebanyakan yang terpesona dengan mujizat dan tanda. Nikodemus datang kepada Yesus dalam kegelapan malam. Bagi penulis Yohanes, malam yang berarti gelap mempunyai konotasi kehidupan dalam kegelapan kontras dengan Yesus yang tampil membawa terang.

Tentu saja, Nikodemus menghormati Yesus, itu terbukti dengan menyebut-Nya Rabbi dan pengakuannya bahwa Yesus adalah  seorang yang datang dari Allah (Yoh.3;2). Alih-alih merasa tersanjung dengan pujian Nikodemus yang menyatakan bahwa diri-Nya telah banyak melakukan tanda, Yesus beralih pada percakapan “tingkat tinggi”. Kini, Yesus berbicara tentang bagaimana caranya melihat Kerajaan Allah.

Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.”(Yoh.3:3). Nikodemus menyanggahnya, “Bagaimana mungkin seorang dilahirkan kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan lagi?”(Yoh.3:4). Tanggapan Nikodemus ini gak nyambung dengan ide yang disampaikan Yesus mengenai seseorang yang akan melihat Kerajaan Allah. Melihat Kerajaan Allah berarti mengalami, berpartisipasi dalam Kerajaan itu. Untuk dapat mengalami itu, kata Yesus, seseorang harus dilahirkan kembali. Kelahiran kembali yang dimaksud adalah dilahirkan oleh air dan Roh (ανώθέν έκ ΰδατος και πνευματος)

Kali ini Yesus berbicara lahir dari air dan Roh, apa maksudnya? Kata “air dan Roh” menyimbulkan Roh. Tentu Roh yang dimaksud adalah Roh Kudus. Kata “dan” mengandung makna epeksegetik sehingga dapat berarti, “lahir dari air, yaitu dari Roh”. Hidup alamiah orang di dunia ini ada karena Allah meniupkan roh (nefesy haya: nafas kehidupan) ke dalam daging manusia, sehingga manusia menjadi makhluk yang hidup, bergerak dan dinamis. Hidup abadi (baca: mengalami Kerajaan Allah) juga dimulai dari prakarsa Allah yang memberikan Roh Kudus itu  kepada manusia. Pernyataan Yesus itu mau menjelaskan perlunya mempunyai eksistensi atau keberadaan baru (populernya: hidup baru) untuk masuk dalam Kerajaan Allah. Hidup baru bukan tampilannya saja melainkan terbarukan dalam batin.

Dalam dialog selanjutnya, Yesus membuat kontras antara lahir dari Roh dan lahir dari daging / fisik. “Lahir dari daging/fisik” ditempatkan sejajar dengan lahir oleh keinginan laki-laki. Dengan demikian, lahir dari daging berarti lahir dari bapak dan ibu manusiawi, semua orang terlahir seperti itu. Ini jugalah yang dipersoalkan oleh Nikodemus, “Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan kembali?” Kelahiran seperti itu bukan jaminan seseorang masuk dalam Kerajaan Sorga. Yesus menegaskan kembali bahwa untuk masuk dalam Kerajaan Sorga, orang harus dilahirkan oleh Allah dalam air dan Roh Kudus. Di sinilah peran Roh Kudus, yakni memungkinkan manusia dapat “terlahir kembali.”

Seorang manusia yang baru dilahirkan dari rahim ibunya ia bisa dikatakan manusia baru (νεος, neos), baru nongol di dunia. Tetapi seorang berdosa yang menyadari kesalahannya, kini ia mengarahkan hidupnya ke jalan yang benar, mengubah tabiat dan prilakunya. Ia ada di jalan Tuhan. Mungkin tampilan fisiknya tidak berubah tetapi kini ia disebut manusia kainos (καινος), manusia baru! Hal ini sangat mungkin terjadi jika manusia itu mau menanggapi karya Roh Kudus yang bekerja di dalam dirinya. Kelahiran kembali merupakan anugerah Allah bagi setiap orang yang menyambutnya. Bukan diupayakan oleh usaha, kesalehan dan kepandaian manusia. Yohanes 3:16, mencatat, “Karena begitu besarnya kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”  Dari ayat ini jelaslah bahwa Allah sendiri yang mempunyai prakarsa membuka pintu agar manusia mengalami kehidupan yang sesungguhnya itu, yakni kehidupan yang kekal. Allah yang berinisiatif memanggil manusia untuk masuk dalam anugerahnya juga dapat kita temukan dalam Perjanjian Lama : Allah memanggil Abram (Kejadian 12).

Allah memanggil Abram dan mengikatnya dengan perjanjian istimewa  sama sekali bukan karena Abram itu lebih saleh dari orang-orang sejamannya. Alkitab mencatat bahwa leluhur Abram bukan penyembah Allah. Namun, Allah sendiri yang memanggil Abram dan Abram merespon panggilan itu. Paulus mencatat (Roma 4:3) bahwa Abraham memiliki hubungan yang baik dengan Allah, bukan karena ia melakukan semua perintah-perintah hukum, melainkan karena ia menyatakan diri sepenuhnya kepada janji-janji Allah itulah yang diperhitungkan sebagai sebuah tindakan yang benar.

Seperti para arkeolog yang memandang keruntuhan Mesa Verde dengan kesedihan dan kehilangan mendalam. Sama seperti Abram yang meninggalkan kampung halaman dan segala kemapanan serta kenyamanannya. Seperti juga Nikodemus dengan segala kehormatannya sebagai pemimpin Yahudi. Kita pun sangat mungkin punya perasaan “sayang” untuk meninggalkan hidup lama kita. Namun, percayalah seperti Mesa Verde yang memunculkan ratusan situs baru setelah dimusnahkan api, seperti Abram yang menjadi Abraham, bapa orang percaya yang melihat karya Allah dan Nikodemus yang mengenal Kristus. Mereka semua “melihat” Kerajaan Allah itu. Satu hal yang diminta-Nya dari kita: berani meninggalkan manusia lama!

Jakarta, 10 Mart 2017