Ada sebuah “kenikmatan”
tersendiri ketika orang yang pernah menyakiti kita mendapatkan kesialan. Demi “kenikmatan”
itu orang rela “membelinya”. Berupaya keras untuk membalas agar mereka yang
telah merugikan kita juga dapat merasakan penderitaan. Kalau bisa lebih
menderita! Karena ada unsur “kenikmatan” itulah kita menjadi sulit melepas
keinginan untuk membalas. Namun apa kata Yesus?
Bacaan Injil
pada hari ini merupakan bagian akhir dari perikop pandangan Yesus yang bersinggungan langsung dengan hukum Taurat. Yesus tidak
bermaksud menggantikan apalagi anti terhadap Taurat, namun, Ia sedang memberi orientasi baru pada
ketaatan manusia terhadap hukum. Yesus tidak berhenti pada apa yang tertulis
tetapi menggenapi dan memerjelas apa yang kurang bahkan membongkar ulang pemahaman
orang-orang pada masa itu terhadap hukum Taurat. Hasilnya adalah semangat dasar
atau motivasi dari orang yang menjalankan hukum itu haruslah tampil ke
permukaan. Bukan memenuhi hukum yang terpenting, melainkan sikap dasar orang
yang melaksanakannya yang mau hidup dalam ketetapan Allah. Bukan dengan
keterpaksaan apalagi sebagai jalan melampiaskan pembalasan, tetapi karena ia
benar-benar mengasihi Allah maka berdampak bahwa mereka sanggup mengasihi
sesamanya, betapa pun sesamanya itu telah menyakiti dan merugikan mereka. Orang
semacam inilah yang disebut orang benar. Mereka dipanggil untuk menjadi
sempurna sebagaimana Bapa di sorga juga adalah sempurna!
Yesus memberi
sebuah pembedaan, sekali lagi tujuannya bukan untuk meniadakan Taurat tetapi
membongkar ulang pemahaman lama, (“Kamu
telah mendengar….Tetapi AKu berkata….”). Yesus membahas konsep yang umum
mengenai keadilan, yakni “mata ganti mata,” atau disebut juga “Hukum
Resiprokal.” Hukum Resiprokal atau lex
talionis, dipahami oleh para pendengar Yesus: “Siapa pun yang menyakiti
orang lain harus merasakan sakit yang sama; patah ganti patah, mata ganti mata,
gigi ganti gigi, seperti dibuatnya orang lain bercacat, begitulah harus dibuat
kepadanya” (Im. 24:19-20). Kalau demikian, apakah hukum Taurat itu mengakomodasi
pembalasan dendam? Sepintas kita menangkapnya begitu, bukankah mata ganti mata
atau gigi ganti gigi adalah prilaku pembalasan? Bukankah, naluri pembalasan
manusia akan selalu meminta pembalasan lebih parah dari yang diterimanya?
Banyak cerita tentang itu; seseorang dirugikan, dan dia membalas lebih parah
bahkan dengan menghabisi nyawa.
Lex talionis oleh sebagian
besar orang dianggap baik oleh karena konsep ini mengekang mereka untuk tidak
membuat kerusakan yang lebih parah dari semestinya ketika mereka melakukan
balas dendam: “seperti dibuatnya orang lain bercacat, begitulah juga dibuat
kepadanya.”
Yesus
mengajarkan dan membongkar pemahaman lama itu dan menawarkan solusi bahwa dalam
Kerajaan Allah ada cara yang lebih baik ketimbang lex talionis. Ia memberi
empat contoh ketidakadilan dan menunjukkan bagaimana sikapnya terhadap itu.
Sikap itu antara lain ketika:
1.
Seseorang menyerang dan menghina kita
“…siapa
pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu” (ay.39).
Pernahkah Anda ditampar? Bagaimana rasanya? Ada yang bilang, “Sakitnya sih tidak seberapa. Namun, malunya itu!”
Sangat jarang pada masa kini kita melihat adegan tampar-menampar. Kalau pun ada
bisa jadi berbeda konteksnya dengan apa yang dimaksudkan Yesus. Pada zaman
Yesus, adalah pemandangan lumrah menyaksikan seorang tuan menampar budaknya
ketika si budak tidak memenuhi kehendak hati dari tuannya. Pada umumnya,
orang-orang saat itu menggunakan tangan kanan. Menampar pipi kanan, berarti
orang tersebut menggunakan punggung tangan. Menampar menggunakan punggung
tangan ada maksudnya. Punggung tangan hanya digunakan untuk menampar budak atau
orang yang derajatnya lebih rendah. Sementara, telapak tangan, karena dapat
dikendalikan, biasanya dipakai untuk maksud pengajaran terhadap anak-anak. Ketika
sang tuan menampar, si budak akan menunduk pasrah. Si tuan akan terus menampar
si budak itu. Bisa saja, si budak melawannya tetapi ia akan segera menghadapi
resiko lebih besar lagi. Yesus mengajarkan respon yang mengejutkan: berikan
juga pipi kirimu!
Apa yang terjadi ketika seseorang ditampar
dengan punggung tangan kanan dan kemudian ia memberikan pipi kirinya? Ya,
tepat! Kalau si penampar masih menggunakan tangan kanan maka ia akan menampar
dengan menggunakan telapak tangan. Bukan lagi dengan punggung tangan. Hal ini
berarti – dalam budaya Yahudi – orang yang ditampar itu punya sikap bahwa
dirinya tidak lebih rendah (budak) dari si penampar.
Jika ada seseorang yang ditampar oleh seorang
yang derajatnya sama (bukan tuan terhadap budak), maka ia dapat melaporkan si
penampar ke pengadilan. Pada zaman Yesus, menampar seseorang dengan derajat
sama adalah tindakan yang bisa dihukum di pengadilan. Dan tindakannya
menawarkan pipi kanan akan membuat si tuan berpikir ulang karena dapat saja
tindakannya diadukan ke pengadilan.
Yesus mengajarkan para murid-Nya untuk mempunyai
solusi alternatif selain membalas dendam atau pergi ke
pengadilan. Respons itu adalah sebuah peringatan tanpa kekerasan! Tentu saja
kita tidak boleh terjebak pada legalisme (seperti yang sedang dikritik Yesus
mengenai legalisme Taurat) bahwa di mana pun kita harus bersikap seperti itu.
Ada waktu di mana kita harus melindungi diri sendiri. Yesus tidak sedang
memberikan hukum universal, melainkan sebuah prinsip Kerajaan Allah yang
menunjukkan cara yang berbeda dari bagaimana kita semestinya bereaksi terhadap
dunia ini.
2.
Seseorang menuntut kita atas hak miliknya
“dan kepada orang yang hendak mengadukan
engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu” (ay. 40). Pada zaman Yesus, nasib orang miskin
sangat tergantung pada belaskasihan orang kaya. Banyak orang miskin tidak
memiliki apa-apa selain baju yang melekat pada tubuh mereka. Jika terpaksa
mereka meminjam uang dari si kaya, maka mereka akan menggunakan pakaian mereka
sebagai jaminan, seperti misalnya jubah, yakni pakaian yang digunakan untuk
menutupi seluruh tubuh. Si kaya dapat meminta uangnya dikembalikan kapan pun.
Dan jika si miskin tidak dapat membayar, maka si kaya dapat merampas jubah si
miskin. Jelas, tindakan ini tidaklah adil bagi si miskin karena ia akan
mengalami kedinginan!
Yesus memberi solusi, “Serahkan juga jubahmu!”
Sikap ini mungkin terasa berlebihan. Jubah dipakai berlapis sebagai selimut,
dan ada pula larangan (Kel. 22:25-27) untuk mengambil jubah milik orang lain.
Mengapa Yesus menyuruh untuk memberikan jubah padahal ada larangan? Karena di
sinilah Yesus sedang berbicara tentang prinsip Kerajaan Allah, yang intinya
adalah kasih. Jika seseorang merampas sesuatu, maka reaksi yang wajar adalah
memertahankan apa yang menjadi miliknya. Tetapi mereka yang mengerti dan
memahami perlindungan Allah yang adalah sumber kasih akan bereaksi berbeda,
“Ini bajuku, jika tuan mau, ambilah juga jubahku. Tidak mengapa, sebab Allah
pasti melindungiku dari kedinginan!” Mestinya, si kaya itu akan merasa
“tertampar”, bagaimana mungkin si miskin begitu kaya dengan sikapnya yang
hendak memberikan juga jubahnya!
3.
Seseorang memaksa kita
“dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan
sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil” (ay. 41). Pada zaman Yesus, jika seorang
prajurit Roma meminta seorang Yahudi untuk membawakan barangnya, maka seorang
Yahudi itu diharuskan untuk membawa barang tersebut sejauh satu mil. Perhatikan
kalimat “memaksa engkau berjalan sejauh
satu mil.” Tidak ada satu pun orang Yahudi yang sudi melayani orang Roma
yang mereka benci. Orang Roma membuat peraturan satu mil agar prajurit tidak
semena-mena terhadap orang Yahudi membawakan barang mereka. Mereka membatasi
jarak hanya satu mil.”
Bagaimana sikap Yesus? Sekali lagi Yesus
menyuruh sikap yang tidak logis, “berjalanlah
bersama dia sejauh dua mil.” Tentu sikap ini tidak sama dengan memberi
tumpangan kepada orang lain atau menolong seorang teman pindah rumah. Kalau itu,
mungkin kita lakukan dengan senang hati . tetapi ini, orang Roma yang adalah
penjajah! Orang yang kita tolong bukan orang yang meminta pertolongan kita,
tetapi sedang memaksa kita! Tentu perintah harus berjalan dua mil dengan orang
yang memaksa kita adalah mengejutkan. Mengejutkan dan mengandung amarah apabila
dilakukan dengan hati yang dongkol, benci dan perasaan terjajah. Namun, dalam
prinsip Kerajaan Allah: kasih akan berbicara lain. Yang hendak Yesus katakan,
“Jangan hanya memikirkan dirimu sendiri dan kebebasanmu untuk melakukan apa
saja yang engkau sukai, tetapi pikirkanlah untuk selalu dapat membantu orang
lain. Kalau engkau diberi tugas, meskipun tugas itu Anda benci dan tidak masuk
akal, janganlah tugas jahat janganlah
ada dendam pada diri Anda; kerjakanlah tugas itu sebagai pelayanan dengan
gembira! Anda dapat memaknai dan memilihnya sebagai bentuk pelayanan yang
menyenangkan. William Barclay mengatakan, “Orang Kristen sejati bukan
pertama-tama menonjolkan kesukaan dan kemauannya. Sebaliknya, ia harus mengutamakan
kesediaannya untuk menolong, meskipun pihak yang memerlukan pertolongannya itu
bersikap tidak sopan, mengada-ada dan mendikte.
4.
Seseorang meminta kepada kita
“Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan
janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu” (ay.42). Pada zaman Yesus, masyarakat umum
hanya akan memberi uang kepada sanak saudara mereka sendiri dalam jumlah yang
tidak terlalu banyak. Menurut hukum Taurat, pemberian hanya diberikan kepada
orang dalam komunitas lokal, dan hanya sebanyak yang diperlukan (Ul. 15:7-8).
Namun, Yesus melangkah lebih jauh. Yesus menyatakan bahwa pemberian itu tidak harus
dibatasi hanya kepada sanak keluarga dan orang yang kita kenal.
Sikap meminta dan memberi menjadi rentan dalam
relasi. Mereka yang butuh harus merendahkan diri untuk meminta, dan mereka yang
diminta harus melepas apa yang menjadi milik mereka. Untuk meminta perlu
kerendahan hati dan untuk memberi perlu kepercayaan. Pemberian mestinya tidak
boleh menjadikan orang yang membutuhkan itu kemudian menjadi rendah diri
terhadap si pemberi. Melainkan, semata-mata untuk memberdayakannya, karena
pemberian itu bersifat pribadi maka sebaiknya dilakukan bukan dengan pamer.
Ingatlah semua yang kita berikan kepada orang lain pada hakekatnya bukan
berasal dari diri kita sendiri. Ketika kita mampu memberi, itu berarti kita
dipakai sebagai alat bagi saluran berkat-Nya.
Selanjutnya,
Yesus menutup perikop ini dengan perintah untuk mengasihi musuh. Ia mengatakan,
“Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah
musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi
mereka yang menganiaya kamu….” Batasan kasih dan hak membalas
dipelajari oleh orang Yahudi dari kitab Imamat: “Janganlah engkau menuntut balas,
dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan
kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Im.19:18).