Bergulirnya sang waktu dapat membuktikan kebenaran dari tutur kata kita.
Minggu ketiga dari hitungan tahun yang baru segera bergulir. Banyak orang –
mungkin di antaranya kita – melakukan refleksi pada malam tahun baru. Hasil
refleksi itu membuahkan resolusi, tekad, niat atau komitmen untuk melangkah
lebih baik lagi di tahun yang baru ini. Kita bertekad untuk meninggalkan kekurarang,
kegagalah, kesalahan, dosa bahkan segala kepahitan, gantinya adalah prilaku
hidup yang lebih baik dengan kerja keras dalam ketaatan dan integritas yang
lebih baik agar berkenan kepada-Nya. Pertanyaanya sekarang, setelah menjalani
beberapa minggu di tahun yang baru, adakah resolusi, komitmen, tekad, atau
niatan itu masih bergetar di hati kita? Ataukah sudah mulai memudar? Benar,
tidak selalu mudah menjaga “nyala api” dalam jiwa. Kita membutuhkan penyemangat
dan pandu yang dapat menolong agar fokus pada niatan yang baik itu.
Mari kita belajar dari Yohanes Pembaptis. Tampaknya ia benar-benar
menghayati tugas panggilannya sebagai pandu bagi orang-orang di zamannya untuk
berjumpa dengan Sang Mesias. Setidaknya, dua hari setelah peristiwa pembaptisan
Yesus, ia masih berada di sekitar sungai Yordan. Injil Yohanes 1:29 mencatat, “Pada keesokan harinya Yohanes melihat
Yesus..”. Saya membyangkan kegembiraan luar biasa tidak bisa disembunyikan
dari raut muka Yohanes. Kini, berdasarkan apa yang ia saksikan sendiri dari
peristiwa pembaptisan, yakni bahwa Roh Allah turun ke atas Yesus dalam bentuk
merpati dan tinggal di atas-Nya, tak pelak lagi: inilah dia, “Sang Ank domba Allah, yang menghapus dosa
dunia.”
Besoknya lagi terjadi hal yang sama. Yohanes masih berdiri di tempat
yang sama, ia melihat Yesus lewat dan ia berkata, “Lihatlah Anak domba Allah!” (Yoh.1:35-36). Kini, ucapannya didengar
oleh kedua muridnya. Lalu kedua murid Yohanes itu meninggalkan dirinya dan
pergi mengikuti Yesus.
Coba bayangkan, bagaimana kalau kita berada pada posisi Yohanes? Bukankah
sebuah kebanggaan ketika ada banyak orang menjadi pengikut, mau belajar dan
berguru. Bukankah selama ini berbagai cara dilakukan orang untuk dapat menarik
simpati dan menjaring orang menjadi pengikutnya? Apa yang terjadi ketika
pengikut beralih ke lain hati dan meninggalkan sang guru begitu saja? Pada
umumnya orang menjadi kecewa atau marah! Namun, itu tidak terjadi pada Yohanes.
Mengapa? Karena ia tahu benar apa yang menjadi tugas panggilannya: mempersiapakan
jalan bagi Tuhan, menolong orang lain berjumpa dengan Sang Mesias.
Apakah sebenarnya yang dimaksudkan dalam pernyataan Yohanes tentang
Yesus? Atau konsep manakah yang melatarbelakangi pernyataan tentang Anak domba
Allah? Ada beberapa pandangan tentang Anak domba Allah. Bisa saja Anak domba Allah
menjadi figur eskatologi yang akan datang pada akhir zaman seperti yang ditulis
dalam Kitab Wahyu. Atau dalam Kitab Deutero Yesaya yang digambarkan sebagai
Anak domba yang menanggung dosa manusia. Kita tahu bahwa domba dalam Perjanjian
Lama kerap dipergunakan sebagai korban bagi penebusan dosa. Namun, Yohanes
dengan jelas mengatakan bahwa Yesus bukanlah korban. Yohanes tidak menyebutkan
bahwa, “Anak domba Allah itu yang menanggung dosa dunia.” Melainkan, “Anak
domba Allah yang menghapus dosa dunia!” Oleh karena itu gelar Anak domba Allah
ini menunjukkan pada kuasa yang dimiliki Yesus untuk menghapus dosa dunia!
Dalam pemahaman inilah, Yohanes mewartakan bahwa Yesus itulah yang akan membawa
dunia dalam rekonsiliasi dengan Allah.
Yohanes menyadari bahwa Yesus datang dengan kuasa menghapus dosa dunia,
sedangkan dia datang tidak dengan kuasa itu. Pelayanannya tidak lebih dari
membersihkan dengan air terhadap mereka yang datang kepadanya untuk bertobat,
tetapi ia tidak berkuasa untuk menghapus dosa mereka. Yohanes yang membaptis
dengan air sekarang mewartakan Dia yang akan membaptis dengan Roh Kudus karena
Roh itu telah turun ke atas-Nya. Yohanes memberi kesaksian tentang siapa Yesus:
Dia adalah Anak Allah.
Tak pelak lagi, Yohanes Pembaptis adalah seorang altruis. Altruisme
dikemukakan oleh pendiri sosiologi dan filsuf pengetahuan asal Perancis pada
abad 18-19 Auguste Comte. Pada hakekatnya, menurut Comte, ada dua motivasi
seseorang dalam prilaku menolong: pertama, prilaku menolong untuk mendapatkan
manfaat bagi penolong, atau mengambil manfaat dari orang yang ditolong. Dalam
kalimat sederhana: menolong dengan pamrih. Misalnya, seorang pengusaha menolong
anak seorang pejabat dalam urusan sekolah, dengan harapan si pejabat dapat
memuluskan perizinan bagi urusan bisnisnya. Yang kedua, perilaku menolong
altruis yaitu menolong yang ditujukan semata-mata untuk kebaikan orang yang
ditolong. Misalnya, seorang pemuda menolong menyeberangkan seorang nenek tua,
semata-mata agar si nenek sampai di seberang jalan.
Walstren dan Piliavin (Deaux, 1976), menyatakan perilaku altruistik
adalah perilaku menolong yang timbul bukan karena tekanan atau kewajiban.
Melainkan sebuah tindakan sukarela dan tidak berdasarkan norma-norma tertentu.
Tindakan tersebut sejatinya merugikan penolong, dari soal waktu, tenaga dan
materi tanpa ada suatu imbal balik apa pun. Altuisme adalah lawan dari egoisme.
Altruis berasal dari kata “alter” yang berarti “orang lain”. Penekanan
pada kepentingan “orang lain”, itulah esensi dari altruisme. Yohanes Pembaptis
melakukan itu! Ia tidak mengambil keuntungan sama sekali untuk dirinya ketika
ia menolong orang lain berjumpa dengan Sang Mesias. Tidak ada perasaan “terganggu”
ketika para muridnya meninggalkan dirinya untuk tinggal bersama-sama dengan
Yesus. Bisa jadi, ia melepas para muridnya itu dengan senyuman, karena mereka
kini dapat berjumpa dengan Sang penghapus dosa itu!
Mumpung belum pudar resolusi, niat, tekad atau apa pun namanya di tahun
yang baru ini: apakah langkah kehidupan kita masih dapat disebut punya
integritas, satunya kata dan perbuatan? Pemimpin spiritual Dalai Lama pernah
memberi nasehat, “Tujuan hidup yang utama dalam kehidupan kita adalah menolong
sesama. Dan bila Anda tidak dapat melakukannya, sekurang-kurangnya, jangan
sakiti orang lain.” Les Brown, seorang motivator tahun 50-an pernah mengatakan,
“Tolonglah orang lain untuk meraih mimpi mereka; dan Anda akan meraih mimpi
Anda.” Sedangkan motivator Ruth Smeltzer memberi saran, “Anda belum menjalani
hari sempurna, walaupun telah mendapatkan uang, kecuali Anda telah melakukan
sesuatu untuk orang lain yang takkan pernah dapat membalasnya.”
Hal mendasar dalam kehidupan iman kristiani adalah tentang komitmen
melakukan tindakan kasih. Dan belajar dari Yohanes Pembaptis, mestinya kita
tidak hanya sibuk membahas dan membicarakannya, melainkan melakukannya dengan
tulus untuk kebaikan orang lain dan sama sekali tidak mencanangkan sedikit pun
keuntungan bagi diri sendiri. Berbekal wacana, resolusi, tekad dan niat,
marilah kita melangkah dengan penuh integritas: Mengasihi Allah melalui sesama
tanpa pamrih!