Kamis, 08 Desember 2016

ENGKAU YANG AKAN DATANG

Pada Minggu Adven III, sebagian besar gereja menyalakan lilin ketiga dengan warna pink atau merah muda. Berbeda dari tiga lilin lainnnya. Mengapa? Pink menunjukkan warna sukacita. Jadi di tengah-tengah penantian yang diwarnai dengan perasaan harap-harap cemas itu, tetap ada sukacita karena yang dinanti itu pasti datang membawa sukacita dan pembebasan. Pada umumnya, ketika kita mengharapkan kedatangan seseorang yang dijanjikan dan dipercaya dapat memberi kelegaan dengan mengangkat beban berat penderitaan kehidupan kita, kita akan begitu merindukanya. Ada perasaan dalam hati, “Koq lama amat ya, jadi datang atau tidak?” Itulah mungkin yang disebut galau. Menyertai pengharapan dan kegalauan dalam hati kita sering muncul keraguan.

Keraguan itulah yang barangkali hinggap dalam diri Yohanes Pembaptis yang kini berada dalam jeruji penjara. Belum lama ia berseru dengan suara lantang di padang gurun. Baru sekejap rasanya ia menelanjangi ulama dan umaroh dengan menyebut mereka sebagai “keturunan ular beludak”. Kemarin sore ia mengatakan bahwa dirinya bukanlah Mesias itu. Ia hanya menyerukan pertobatan sedangkan Dia yang akan datang kemudian jauh lebih mulia dan berkuasa. Ia merasa terlalu hina jika dibandingkan dengan Sang Mesias itu, sehingga membuka kasutnya pun tidak layak. Yohanes yakin betul bahwa Mesias itu adalah Yesus sehingga ketika Yesus hendak ikut dibaptis, Yohanes mencegahnya karena merasa dirinyalah yang perlu dibaptis oleh Yesus (Matius 3 :14). Tetapi mengapa selang beberapa hari, Yohanes seolah ingin menarik kembali pernyataan yang belum lama disampaikannya itu. Ia meragukan apakah Yesus benar-benar “Dia yang akan datang itu”? Ada apa dengan Yohanes?

Yohanes Pembaptis dipenjara karena sebuah komitmen menegakkan kebenaran dan membuat orang segera bertobat sebab jika tidak, hukuman sudah di depan mata. Keberaniannya menegur sebenarnya berangkat dari kecemasannya terhadap murka Allah yang akan datang. Baginya, lebih baik bertobat sekarang dari pada binasa kemudian. Tanpa ragu juga ia menegur Herodes Antipas, penguasa Galilea dan Perea yang mengambil isteri saudaranya sendiri. Atas teguran itu, Herodes menganjar Yohanes dengan masuk penjara di benteng Makheront, sebelah timur Laut Mati.

Yohanes dan komunitasnya mempunyai pandangan sendiri tentang “Dia yang akan datang itu”. Dalam benak mereka, Mesias yang akan datang itu punya kriteria. Yohanes dalam khotbahnya membandingkan dengan petani yang mengambil kapak untuk menebang pohon “yang tidak berbuah”. Pohon itu akan dibuangnya ke dalam api. Ia membandingkan juga petani yang mengambil pelepah palem, membersihkan lantai tampiannya dan membakar apa saja yang bukan bulir gandum bermutu (bnd. Mat.3:10,12). Itulah sebabnya Yohanes dengan sekuat tenaga berseru supaya para pendosa segera bertobat. Lalu ia menawarkan kepada mereka suatu baptisan untuk pengampunan dosa. Mereka harus bergegas untuk menerimanya sebelum kedatangan Dia yang akan membaptis dengan Roh Kudus dan dengan api (Mat.3:11). Dengan kata lain, memandang “Dia yang akan datang itu” sebagai Hakim tanpa ampun, yang dengan api tak terpadamkan akan menyingkirkan semua pendosa dari muka bumi.

Mesias akan tampil sebagai Hakim perkasa, adil namun tanpa ampun. Karena itu Yohanes merasa wajib memersiapkan Israel akan penghakiman yang dasyat. Ia tidak ingin Israel binasa. Justeru karena Mesias akan tampil segera, maka Yohanes memberikan peringatan keras: Sia-sialah kamu, kalau Mesias sudah terlanjur datang; pendosa tidak mungkin berdiri di hadapannya!

Namun kini, di balik jeruji penjara, Yohanes menjadi bingung. Meski ia dipenjarakan, rupanya Herodes masih sedikit punya rasa segan sehingga murid-murid Yohanes masih bisa mengunjunginya. Murid-muridnya bercerita tentang apa yang dilakukan oleh orang yang dia sebut Mesias itu; Yesus. Yesus tidak pernah tampil sebagai Hakim yang keras dan berkuasa mutlak. Oleh karena itu, melalui para muridnya ini, Yohanes bertanya kepada Yesus, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” (Mat. 11;3).

Atas keraguan Yohanes itu, Yesus tidak memberikan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Ia bungkam, tidak menyatakan apa pun tentang diri-Nya. Tetapi Ia meminta murid-murid Yohanes melaporkan kepada guru mereka tentang apa yang telah mereka lihat dan dengar: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberikan kabar baik. Apa yang dikatakan Yesus itu menyatakan apa yang selama ini dikerjakan-Nya. Jawaban Yesus ini mengacu kepada nubuat Nabi Yesaya mengenai kedatangan keselamatan bagi umat Tuhan. “Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka. Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai; sebab mata air memancar di padang gurun, dan sungai di padang belantara,..” (Yesaya 35:5-6).

Jawaban Yesus juga memuat nubuat tentang Hamba Allah yang “Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku: Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberikan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN dan hari pembalasan Allah kita, untuk menghibur orang-orang berkabung, untuk mengaruniakan kepada mereka perhiasan kepala ganti abu, minyak untuk pesta ganti kain kabung, nyanyian puji-pujian ganti semangat yang pudar, supaya orang menyebut mereka ‘pohon terbantin kebenaran’, ‘tanaman TUHAN’ untuk memperlihatkan keagungan-Nya.” (Yesaya 61:1-3). Dengan menghubungkan Yesaya 35 dengan Yesaya 61, Yesus mau menunjukkan bahwa apa yang dikerjakan-Nya adalah apa yang seharusnya dikerjakan oleh “Dia yang akan datang itu”

….katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar…” Sekarang murid-murid Yohanes dan juga termasuk Yohanes harus menyimpulkan sendiri, apakah Yesus itu memang Dia yang akan datang itu! Yesus secara halus mau mengajak Yohanes untuk memandang Mesias bukan melulu seperti yang dibayangkan Yohanes dan mungkin juga oleh seluruh Israel: sosok Adidaya, Hakim yang keras, Penakluk dan penghukum para pendosa. Melainkan, Mesias yang peduli terhadap penderitaan umat berdosa. Mesias yang berbelarasa kepada beban atau kuk yang ditanggung manusia dan Dia yang akan datang itu menawarkan kelegaan, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.” (Mat.11:28).

Yesus menyadari bahwa mungkin saja jawaban yang diberikan-Nya tidak memuaskan Yohanes dan komunitasnya karena cara pandang tentang kiprah atau misi Sang Mesias itu berbeda. Harus diakui bahwa diri Yesus adalah ujian berat bagi Yohanes. Meski demikian Yesus menjamin, “..berbahagialah orang orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku.” (Mat.11:6). Dalam kalimat ini tersirat bahwa Yesus menghendaki Yohanes dan juga komunitasnya tetap percaya kepada-Nya sebagai Mesias tetapi dengan cara pandang baru.

Ada banyak perkara Tuhan ijinkan terjadi dalam kehidupa kita. Hari-hari kita lewati dengan berpegang teguh pada janji dan firman-Nya. Namun, kerap kali harapan yang kita inginkan tidak terjadi. Seperti Yohanes Pembaptis kita terbelenggu. Lalu kita bertanya, “Koq bisa begini?” Kita berharap Tuhan menampakkan keperkasaan-Nya. Ia segera menyingkirkan orang-orang lalim, munafik dan para pendosa lainnya. Tetapi mengapa mereka terlihat justeru makin perkasa dan makin angkuh? Ternyata, menang benar jalan Tuhan bukanlah jalan kita, rancangan-Nya juga tidak mudah kita tebak tetapi di balik itu pasti ada sesuatu yang terbaik sedang Ia rancangkan buat kita. Bukan rancangan kebinasaan, melainkan rancangan sukacita: bukan hanya untuk kita, tetapi buat orang lain juga!

Tidaklah keliru ketika Minggu ini kita menyalakan lilin ke-3, lilin pink sukacita! Di balik bayangan pemahaman Yohanes tentang Mesias sebagai penakluk, seorang perkasa yang akan menghabiskan nyawa pendosa karena murka Allah, ternyata bukan itu yang terjadi. Ia adalah Mesias pembawa kabar baik, kabar sukacita!

Jakarta, 12 Desember 2016

Sabtu, 03 Desember 2016

PEMBERITA KEMULIAANNYA

Abdur Rofi, Dosen Fakultas Geografi UGM dalam tulisannya di harian Kompas (Jumat, 2/12) dengan judul, “Pertarungan Para Konsultan Politik” mengingatkan para pembacanya untuk tidak hanya melihat pertarungan perebutan kekuasaan pada apa yang kasat mata, khususnya di DKI Jakarta. Masih ada peran tokoh-tokoh tertentu di belakang layar. Dan yang terakhir ini tidak kalah menjadi penentu dari sebuah kemenangan. Mereka berusaha memersiapkan calon yang akan bertarung, memengaruhi massa dan mendistribusikan berita-berita baik serta harapan-harapan perbaikan kondisi masyarakat ketika mereka terpilih nanti.

Rofi menuturkan, bahwa dalam kasus Pilkada DKI Jakarta fokus perhatian para calon pemilih cenderung kepada Agus -Silvy, Basuki (Ahok) – Djarot, dan Anis – Sandiaga yang sedang bertarung. Seandainya pun diperluas maka fokusnya akan merefleksikan pertarungan antara Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati, dan Prabowo. Banyak orang lupa peran tokoh-tokoh penting di balik pertarungan yang sedang terjadi ini. Siapa mereka? Para konsultan politik! Para konsultan politik akan mengelola isu-isu yang sedang berkembang di masyarakat dan kemudian menjadi bahan retorika kampanye. Konsultan yang sangat berpengalaman dapat menyelamatkan calon dari membuat kesalahan, membaca peluang dengan cepat dan mengambil keuntungan dari suasana yang berubah-ubah. Konsultan politik akan memoles kandidat yang diusungnya sehingga mencitrakan bahwa si kandidat yang diusungnya adalah orang yang benar-benar layak untuk dipilih dan dijadikan pemimpin.

Yohanes Pembaptis adalah sosok pembuka jalan. Ia bertugas untuk memersiapkan atau memperkenalkan sosok Mesias kepada masyarakat di sekitar Yudea. Ia berperan bagaikan juru kampanye: mengajak dan mendorong orang pada perubahan, yakni apa yang disebut dengan pertobatan. Ia bukanlah tokoh di belakang layar atau semacam konsultan politik yang berusaha memoles sosok yang diberitakannya, yakni Sang Mesias yang sedang datang itu. Ia juga bukan tokoh politik yang berusaha merongrong kewibawaan atau pamor dari Ahli Taurat, Farisi dan Saduki dengan cara orasi-provokatif. Ia juga bukanlah tokoh penghasut yang gemar menggretak para pendengarnya dengan pelbagai ancama. Namun, Yohanes memberitakan apa yang seharusnya diberitakan. Ia sama seperti nabi-nabi Allah terdahulu yang mengecam kebobrokan umat Tuhan yang sudah begitu parah. Yohanes tidak berusaha memoles kata-katanya dengan kata-kata halus dan santun agar tidak menyinggung pendengarnya. Tidak! Ia berani mengambil resiko terhadap apa yang diwartakannya. Yohanes tampil untuk memersiapkan jalan bagi Sang Mesias. Ia memberitakan Kerajaan Sorga telah dekat dan untuk menyiapkannya tidak ada jalan lain kecuali dengan bertobat! Yohanes digambarkan sebagai sosok yang dinubuatkan dalam Yesaya 40:3, “Ada suara yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya.” (Matius 3:3).

Berbeda dari konsultan politik yang berusaha meredam isu-isu negatif dan menonjolkan kebaikan yang mungkin hanya secuil saja, serta memoles kata-kata dengan kalimat santun. Yohanes menyuarakan pesan lugas, tegas apa adanya. Tanpa tedeng aling-aling, ia menunjuk hidung ahli Taurat, orang Farisi dan Saduki dengan “ular beludak”, sebuah sebutan celaan terhadap manusia munafik dan licik. Mengapa Yohanes mencela mereka? Meraka sering mengambil keuntungan dari rakyat jelata yang sungguh-sungguh ingin beribadah di Bait Allah. Memang benar tidak semua ahli Taurat, orang Farisi dan Saduki berbuat culas dan picik . Namun, kebanyakan dari mereka sudah terbiasa melakukan tindakan kesalehan hanya sebagai pencitraan belaka demi mendapatkan pujian dan keuntungan!

Yohanes Pembaptis menyerukan pertobatan di padang gurun Yudea, bukan di Yerusalem. Ia menyakini bahwa Kerajaan Sorga itu sudah di ambang pintu. Begitu dekatnya, maka ia menggambarkan dengan prasa “Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api.” (Matius 3:10).  Dengan datangnya Kerajaan Surga, maka datang pula penghakiman Allah atas manusia. Hukuman akan diterima bagi setiap manusia berdosa yang tidak mau bertobat. Kapak,  adalah lambang penghakiman Allah yang segera akan membinasakan orang-orang jahat, yaitu mereka (= pohon) yang tidak melakukan apa yang diharapkan Allah (= yang tidak menghasilkan buah yang baik). Seruan ini menuntut respon yang segera, tidak bisa ditunda-tunda lagi. Sebab jika tidak sekarang maka sudah tidak cukup waktu lagi untuk melakukannya; kapa sudah melayang, tinggal menebas. Betapa mengerikan azab yang harus diterima oleh orang-orang yang mengabaikan seruan Yohanes ini: ditebang dan dibakar!

“Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” seru Yohanes Pembaptis. Bertobat seperti apa yang dimaksud? Secara etimologis, kata “bertobat” yang dimaksud searti dengan “perubahan metalitas”. Artinya, perubahan itu dimulai dalam diri seseorang yang menyadari kekeliruan atau dosa-dosanya. Kini, manusia yang berdosa itu harus bertekad untuk mengubah arah hidupnya yang dulunya membelakangi Allah kini harus berbalik arah menghadap dan mengikuti segala apa yang dikehendaki-Nya. Pertobatan yang seperti ini tidak hanya cukup diucapkan atau diikrarkan bersama. Melainkan harus nyata dalam tindakan-tindakan yang sesuai dengan buah pertobatan. Buah pertobatan yang dimaksud adalah mencakup keseluruhan tingkah laku manusia, bukan hanya suatu bentuk menifestasi atau simbol kesalehan, misalnya menerima ritual baptisan.

Sikap Yohanes yang punya integritas tinggi, apa yang diucapkan sesuai dengan kenyataan yang dikerjakannya membuat kondisi terbalik: Mestinya orang banyak datang menuju Bait Allah di Yerusalem sebagai pusat ibadah. Namun, nyatanya banyak orang dari Yerusalem datang kepadanya dan mengaku dosa, bertobat dan dibaptiskan. Mengherankan, dalam tradisi Taurat ketika mereka menyesali dosa dan memohon pengampunan mestinya mereka menuju ke Yerusalem, ke Bait Allah membawa hewan kurban dan menyerahkannya kepada imam untuk disembelih sebagai korban pendamaian atau penghapus dosa. Namun, mereka tidak melakukan hal itu. Sangat mungkin mereka telah muak karena banyak dikecewakan oleh para pejabat Bait Allah, yang disebut “ular beludak” itu. Mereka memanifulasi dan mengambil keuntungan dari orang-orang yang dengan tulus hendak datang dan beribadah ke Bait Allah.

Di samping itu, Yohanes juga menunjukkan sikap rendah hati bahwa dirinya bukan apa-apa atau siapa-siapa. Ia menyadari posisinya, “Aku membaptis kamu dengan air sebagai tanda pertobatan, tetapi Ia yang datang kemudian dari padaku lebih berkuasa dari padaku dan aku tidak layak melepaskan kasut-Nya. Ia akan membaptiskan kamu dengan Roh Kudus dan dengan api.” (Matius 3:11) Dengan kata lain, Yohanes mau mengatakan, “Pekerjaanku hanya membawa kamu kepada kesadaran akan pertobatan tetapi Dialah (Yesus, Sang Mesias itu) yang berhak memberikan keselamatan kepadamu!” Yohanes telah bertindak dengan semestinya, ia mewartakan kemuliaan Yesus yang datang sebagai Mesias. Meskipun pada saat itu bisa saja ia memanfaatkan popularitas yang ada.

Bagaimana dengan kita? Apakah seruan Yohanes Pembaptis dalam Minggu Adven II ini menolong kita untuk hidup dalam pertobatan? Atau kita mengabaikannya sama seperti ahli Taurat, Orang Farisi dan Saduki? Sudah saatnya kita berbenah. Bukan lagi kesalehan dan ibadah semu yang kita praktekan, melainkan ibadah yang sesungguhnya, yang merombak mentalitas kita sehingga kita berani untuk “banting setir”, merubah haluan hidup kita yang semula berfokus pada kesenangan yang berpusat pada keegoisan dan kesombongan kita. Kini, mengarah kepada Kristus dengan mengerjakan segala yang diajarkan dan dicontohkan-Nya.

Kini saatnya kita pun dapat berperan seperti Yohanes Pembaptis. Berintegritas tinggi dalam kehidupan iman, namun punya kerendahan hati untuk dapat menjadi pewarta bagi kemuliaan nama-Nya. Tidak mungkin kita dapat memberitakan kemuliaan-Nya apabila kita masih egois, dan tinggi hati. Dalam Minggu Adven kedua ini, marilah kita bertekad untuk hidup dalam pertobatan, punya integritas iman dan moral yang baik serta berusaha untuk rendah hati agar kemuliaan Tuhan tidak terhalangi.  

Jakarta 2, Desember 2016