Abdur Rofi,
Dosen Fakultas Geografi UGM dalam tulisannya di harian Kompas (Jumat, 2/12) dengan judul, “Pertarungan Para Konsultan Politik” mengingatkan para pembacanya
untuk tidak hanya melihat pertarungan perebutan kekuasaan pada apa yang kasat
mata, khususnya di DKI Jakarta. Masih ada peran tokoh-tokoh tertentu di
belakang layar. Dan yang terakhir ini tidak kalah menjadi penentu dari sebuah
kemenangan. Mereka berusaha memersiapkan calon yang akan bertarung, memengaruhi
massa dan mendistribusikan berita-berita baik serta harapan-harapan perbaikan
kondisi masyarakat ketika mereka terpilih nanti.
Rofi menuturkan,
bahwa dalam kasus Pilkada DKI Jakarta fokus perhatian para calon pemilih
cenderung kepada Agus -Silvy, Basuki (Ahok) – Djarot, dan Anis – Sandiaga yang
sedang bertarung. Seandainya pun diperluas maka fokusnya akan merefleksikan
pertarungan antara Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati, dan Prabowo. Banyak
orang lupa peran tokoh-tokoh penting di balik pertarungan yang sedang terjadi
ini. Siapa mereka? Para konsultan politik! Para konsultan politik akan
mengelola isu-isu yang sedang berkembang di masyarakat dan kemudian menjadi
bahan retorika kampanye. Konsultan yang sangat berpengalaman dapat
menyelamatkan calon dari membuat kesalahan, membaca peluang dengan cepat dan
mengambil keuntungan dari suasana yang berubah-ubah. Konsultan politik akan
memoles kandidat yang diusungnya sehingga mencitrakan bahwa si kandidat yang
diusungnya adalah orang yang benar-benar layak untuk dipilih dan dijadikan
pemimpin.
Yohanes
Pembaptis adalah sosok pembuka jalan. Ia bertugas untuk memersiapkan atau
memperkenalkan sosok Mesias kepada masyarakat di sekitar Yudea. Ia berperan
bagaikan juru kampanye: mengajak dan mendorong orang pada perubahan, yakni apa
yang disebut dengan pertobatan. Ia bukanlah tokoh di belakang layar atau semacam
konsultan politik yang berusaha memoles sosok yang diberitakannya, yakni Sang
Mesias yang sedang datang itu. Ia juga bukan tokoh politik yang berusaha
merongrong kewibawaan atau pamor dari Ahli Taurat, Farisi dan Saduki dengan
cara orasi-provokatif. Ia juga bukanlah tokoh penghasut yang gemar menggretak
para pendengarnya dengan pelbagai ancama. Namun, Yohanes memberitakan apa yang
seharusnya diberitakan. Ia sama seperti nabi-nabi Allah terdahulu yang mengecam
kebobrokan umat Tuhan yang sudah begitu parah. Yohanes tidak berusaha memoles
kata-katanya dengan kata-kata halus dan santun agar tidak menyinggung
pendengarnya. Tidak! Ia berani mengambil resiko terhadap apa yang
diwartakannya. Yohanes tampil untuk memersiapkan jalan bagi Sang Mesias. Ia
memberitakan Kerajaan Sorga telah dekat dan untuk menyiapkannya tidak ada jalan
lain kecuali dengan bertobat! Yohanes digambarkan sebagai sosok yang
dinubuatkan dalam Yesaya 40:3, “Ada suara
yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah
jalan bagi-Nya.” (Matius 3:3).
Berbeda dari
konsultan politik yang berusaha meredam isu-isu negatif dan menonjolkan
kebaikan yang mungkin hanya secuil saja, serta memoles kata-kata dengan kalimat
santun. Yohanes menyuarakan pesan lugas, tegas apa adanya. Tanpa tedeng
aling-aling, ia menunjuk hidung ahli Taurat, orang Farisi dan Saduki dengan “ular
beludak”, sebuah sebutan celaan terhadap manusia munafik dan licik. Mengapa
Yohanes mencela mereka? Meraka sering mengambil keuntungan dari rakyat jelata
yang sungguh-sungguh ingin beribadah di Bait Allah. Memang benar tidak semua
ahli Taurat, orang Farisi dan Saduki berbuat culas dan picik . Namun, kebanyakan
dari mereka sudah terbiasa melakukan tindakan kesalehan hanya sebagai pencitraan
belaka demi mendapatkan pujian dan keuntungan!
Yohanes
Pembaptis menyerukan pertobatan di padang gurun Yudea, bukan di Yerusalem. Ia
menyakini bahwa Kerajaan Sorga itu sudah di ambang pintu. Begitu dekatnya, maka
ia menggambarkan dengan prasa “Kapak
sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah
yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api.” (Matius 3:10). Dengan datangnya Kerajaan Surga, maka datang
pula penghakiman Allah atas manusia. Hukuman akan diterima bagi setiap manusia
berdosa yang tidak mau bertobat. Kapak, adalah lambang penghakiman Allah yang segera
akan membinasakan orang-orang jahat, yaitu mereka (= pohon) yang tidak
melakukan apa yang diharapkan Allah (= yang tidak menghasilkan buah yang baik).
Seruan ini menuntut respon yang segera, tidak bisa ditunda-tunda lagi. Sebab
jika tidak sekarang maka sudah tidak cukup waktu lagi untuk melakukannya; kapa
sudah melayang, tinggal menebas. Betapa mengerikan azab yang harus diterima
oleh orang-orang yang mengabaikan seruan Yohanes ini: ditebang dan dibakar!
“Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” seru Yohanes Pembaptis. Bertobat seperti apa yang dimaksud? Secara
etimologis, kata “bertobat” yang dimaksud searti dengan “perubahan metalitas”.
Artinya, perubahan itu dimulai dalam diri seseorang yang menyadari kekeliruan
atau dosa-dosanya. Kini, manusia yang berdosa itu harus bertekad untuk mengubah
arah hidupnya yang dulunya membelakangi Allah kini harus berbalik arah
menghadap dan mengikuti segala apa yang dikehendaki-Nya. Pertobatan yang
seperti ini tidak hanya cukup diucapkan atau diikrarkan bersama. Melainkan harus
nyata dalam tindakan-tindakan yang sesuai dengan buah pertobatan. Buah
pertobatan yang dimaksud adalah mencakup keseluruhan tingkah laku manusia,
bukan hanya suatu bentuk menifestasi atau simbol kesalehan, misalnya menerima
ritual baptisan.
Sikap Yohanes
yang punya integritas tinggi, apa yang diucapkan sesuai dengan kenyataan yang
dikerjakannya membuat kondisi terbalik: Mestinya orang banyak datang menuju
Bait Allah di Yerusalem sebagai pusat ibadah. Namun, nyatanya banyak orang dari
Yerusalem datang kepadanya dan mengaku dosa, bertobat dan dibaptiskan.
Mengherankan, dalam tradisi Taurat ketika mereka menyesali dosa dan memohon
pengampunan mestinya mereka menuju ke Yerusalem, ke Bait Allah membawa hewan
kurban dan menyerahkannya kepada imam untuk disembelih sebagai korban
pendamaian atau penghapus dosa. Namun, mereka tidak melakukan hal itu. Sangat
mungkin mereka telah muak karena banyak dikecewakan oleh para pejabat Bait
Allah, yang disebut “ular beludak” itu. Mereka memanifulasi dan mengambil
keuntungan dari orang-orang yang dengan tulus hendak datang dan beribadah ke
Bait Allah.
Di samping itu, Yohanes
juga menunjukkan sikap rendah hati bahwa dirinya bukan apa-apa atau
siapa-siapa. Ia menyadari posisinya, “Aku
membaptis kamu dengan air sebagai tanda pertobatan, tetapi Ia yang datang
kemudian dari padaku lebih berkuasa dari padaku dan aku tidak layak melepaskan
kasut-Nya. Ia akan membaptiskan kamu dengan Roh Kudus dan dengan api.”
(Matius 3:11) Dengan kata lain, Yohanes mau mengatakan, “Pekerjaanku hanya
membawa kamu kepada kesadaran akan pertobatan tetapi Dialah (Yesus, Sang Mesias
itu) yang berhak memberikan keselamatan kepadamu!” Yohanes telah bertindak
dengan semestinya, ia mewartakan kemuliaan Yesus yang datang sebagai Mesias.
Meskipun pada saat itu bisa saja ia memanfaatkan popularitas yang ada.
Bagaimana dengan
kita? Apakah seruan Yohanes Pembaptis dalam Minggu Adven II ini menolong kita
untuk hidup dalam pertobatan? Atau kita mengabaikannya sama seperti ahli
Taurat, Orang Farisi dan Saduki? Sudah saatnya kita berbenah. Bukan lagi
kesalehan dan ibadah semu yang kita praktekan, melainkan ibadah yang
sesungguhnya, yang merombak mentalitas kita sehingga kita berani untuk “banting
setir”, merubah haluan hidup kita yang semula berfokus pada kesenangan yang
berpusat pada keegoisan dan kesombongan kita. Kini, mengarah kepada Kristus
dengan mengerjakan segala yang diajarkan dan dicontohkan-Nya.
Kini saatnya
kita pun dapat berperan seperti Yohanes Pembaptis. Berintegritas tinggi dalam
kehidupan iman, namun punya kerendahan hati untuk dapat menjadi pewarta bagi
kemuliaan nama-Nya. Tidak mungkin kita dapat memberitakan kemuliaan-Nya apabila
kita masih egois, dan tinggi hati. Dalam Minggu Adven kedua ini, marilah kita
bertekad untuk hidup dalam pertobatan, punya integritas iman dan moral yang
baik serta berusaha untuk rendah hati agar kemuliaan Tuhan tidak terhalangi.