Jumat, 25 November 2016

BERJAGA-JAGALAH

Pagi itu, Selasa 22 November, gempa bumi berkekuatan 7,4 SR menghantam sisi Timur Laut Jepang dekat prefektur Fukuushima yang memicu peringatan tsunami sempat mengagetkan dunia. Gempa ini membuat banyak orang mengingat kembali gempa dasyat dengan kekuatan 9 SR pada 11 Maret 2011 di kawasan Tohoku, lepas pantai Samudera Pasifik, wilayah timur Sendai, Honsgu. Gempa Sendai menewaskan lebih dari 15 ribu orang, lebih dari 8 ribu orang hilang dan lebih dari 5 ribu orang terluka parah. Dengan skala gempa 9 SR, memicu tsunami setinggi 10 meter dan mengakibatkan kerusakan sangat parah, termasuk kerusakan reaktor nuklir di prefektur Fukushima, maka gempa Sendai 11 Maret 2011 disebut-sebut sebagai gempa bumi paling dasyat di dunia setelah 1200 tahun. Wajarlah kalau –tidak hanya orang Jepang – tetapi seluruh dunia menguatirkan dampak kerusakan gempa pada Selasa 22 November 2016 itu. Namun, ternyata dugaan banyak korban dan kerusakan parah meleset. Kantor berita Jepang, NHK meneruskan laporan kepolisian Jepang: hanya 2 orang terluka dalam peristiwa gempa pada 11 November itu: seorang wanita di Yabuki, Fukushima cedera karena tertimpa lemari dan seorang pria di kota Fukushima mengalami luka ringan. Korban dan kerusakan dapat diminimalkan oleh karena masyarakat Jepang telah berusaha mengantisipasi bangunan atau infrastruktur dan yang tidak kalah pentingnya, sistem peringatan dini berfungsi dengan baik. Semua mengikuti petunjuk peringatan itu, bahkan kapal-kapal yang berada di pinggir pantai segera berlayar meninggalkan pantai untuk menghindar gelombang tsunami yang dapat menyeret mereka ke daratan dan menimbulkan tabrakan.

Jepang dikenal sebagai negara yang “akrab” dengan gempa bumi. Para ilmuwan memperkirakan bahwa 20 % gempa bumi yang terjadi di seluruh dunia berada di Jepang dan sekitarnya. Hal ini tidak lantas membuat mereka menyesali alam di mana mereka tinggal. Dari hari ke hari masyarakat Jepang belajar menyesuaikan diri dengan bencana. Mereka merancang bangunan dengan memerhatikan guncangan jika gempa bumi terjadi. Mereka juga menciptakan peralatan peringatan dini ketika gempa terjadi. Mentalitas mereka terus digemleng ketika menghadapi situasi gempa. Hal inilah yang membuat rakyat Jepang dinilai oleh dunia sebagai masyarakat yang paling tanggap dalam menghadapi bahaya gempa. Dengan demikian tidaklah mengherankan kalau Jepang berhasil meminimalkan jumlah korban akibat bencana gempa. Kita dapat membayangkan apabila gempa 22 November itu terjadi di negara lain. Bisa saja korban baik materi maupun jiwa akan lebih banyak.

Para pakar geologi dapat meneliti lempengan-lempengan kerak bumi dan patahan-patahan yang terus bergerak. Mereka bisa menghitung kecepatan pergerakan itu. Mereka pun dapat menyimpulkan bahwa lempengan-lempengan di perut bumi itu pasti akan bertumbukan satu dengan yang lainnya. Ketika itu terjadi, maka akan memicu gempa. Seberapa besar skala gempa akan sangat tergantung pada seberapa besar dan kuatnya tumbukan lempeng bumi itu beradu. Meski para ahli dapat menghitung pergerakan lempeng bumi, namun sampai saat sekarang tidak ada seorang pun yang mampu menciptakan alat yang dapat memprediksi kapan gempa itu terjadi. Para ahli geologi hanya dapat berkata bahwa suatu saat akan terjadi gempa. Kapan hal itu terjadi? Tidak seorang pun tahu!

…seperti kilat memancar dari timur dan melontarkan cahayanya sampai ke barat, demikian pulalah kedatangan Anak Manusia.” (Matius 24:27). Akhir zaman yang ditandai dengan kedatangan Anak Manusia itu merupakan hal yang pasti terjadi. Namun, kapan harinya tidak seorang pun yang tahu, “Tetapi tentang hari dan saat itu tidak seorang pun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak dan Anak pun tidak, hanya Bapa sendiri! (Mat.24:36) Peristiwa itu seperti pencuri yang datang pada tengah malam (bnd. Mat.24:43). Yesus mengambil contoh peristiwa bencana air bah pada zaman Nabi Nuh. Orang-orang pada zaman Nuh tetap menjalankan kehidupan seperti biasa: Meraka makan, minum dan menikah. Seolah tidak akan terjadi apa pun. Namun, kecuali Nuh dan seisi bahteranya, mereka tenggelam dalam kebinasaan air bah selama 40 hari 40 malam. Begitulah akan terjadi pada akhir zaman. Ketika hal itu terjadi, bagi kebanyakan orang waktunya sudah akan terlambat untuk berbuat apa yang seharusnya dilakukan. Mengambil contoh peristiwa Nuh ini, Yesus hendak mengingatkan agar para murid-Nya tidak terlena dan merasa tenang-tenang saja dalam menyikapi kehidupan ini.

Yesus menggambarkan akhir zaman adalah sebuah peristiwa tentang kedatangan Anak Manusia, yakni diri-Nya sendiri. Ia datang kembali bukan dalam misi penyelamatan melainkan penghakiman. Penghakiman yang sama sekali tidak dapat diduga oleh manusia. Begitu cepat Ia datang dan kemudian menghakimi. Hal ini diibaratkan dengan perumpamaan. “Pada waktu itu kalau ada dua orang di lading, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan.”(ay.41). Manusia yang akan mengalami akhir zaman tidak akan sempat menyiapkan dirinya. Di mana manusia biasanya tidak melihat adanya suatu perbedaan, di situ justeru akan terjadi penyortiran, “yang seorang dibawa dan yang lain ditinggalkan.” Gambaran serupa diucapkan Yesus tentang contoh dua orang perempuan yang sedang memutar batu kilangan. Pemutaran batu kilangan untuk menggiling biji-bijian harus dilakukan dengan sinkron, tidak boleh melenceng sedikit pun, dan dua orang yang melakukannya mereka itu sudah terlatih dengan baik, memiliki ritme atau irama yang sama. Mereka sedang melakukan pekerjaan yang tampaknya benar-benar sama. Namun, pada saat penghakiman, yang tampaknya benar-benar sama ternyata di hadapan Sang Hakim yang sesungguhnya terdapat perbedaan: Yang satu diselamatkan sedangkan yang lain tidak! Hal ini menjadi peringatan bagi setiap orang: Mungkin saja kita melakukan segala tindakan-tindakan kebaikan yang sama. Sama-sama melayani, sama-sama mengerjakan kesalehan hidup. Namun, ingatlah betapa pun persisinya kita melakukan tindakan kebaikan, Tuhan melihat hati dan motivasi kita. Sehingga bisa  saja di antara orang yang melakukan kesalehan –meskipun sama – pada akhirnya ada yang diselamatkan dan ada yang harus binasa!

Pada Minggu Adven pertama ini, sekaligus permulaan tahun baru dalam kalender gerejawi kita, bacaan Injil kita (Matius 24:36-44) mengingatkan kita pada dua aspek pemberitaan Yesus tentang akhir zaman: Pertama, Yesus memberitakan keselamatan. Keselamatan akan menjadi bagian dari orang yang sungguh-sungguh melakukan kehendak-Nya. Dan kedua, Ia memberitakan bencana. Bencana akan terjadi bagi siapa saja yang mengabaikan peringatan Tuhan. Kedua hal ini semestinya tidak boleh dilupakan oleh manusia. Seruan agar manusia bertobat dan sekaligus pemberitaan tentang kedatangan Anak Manusia.

Seruan bertobat, merupakan kesempatan yang Tuhan berikan kepada setiap orang, termasuk kita sebelum semuanya (akhir zaman) itu terjadi. Hal ini seperti yang Paulus serukan kepada jemaat di Roma bahwa saatnya sudah tiba untuk berbenah diri. “…saatnya telah tiba bagi kamu untuk bangun dari tidur. Sebab sekarang keselamatan sudah lebih dekat bagi kita daripada waktu kita menjadi percaya. Hari sudah jauh malam, telah hampir siang. Sebab itu marilah kita menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang!” (Roma 13:11-12). Kita diminta untuk tidak terus “tidur” terlena dengan cara hidup yang lama, hidup yang berkanjang dalam dosa. Kini saatnya untuk bangun dari tidur. Tidur berarti lawan dari berjaga, waspada atau eling.

Kembali ke bangsa Jepang yang hidup di tengah-tengah potensi gempa dasyat. Mereka terus “berjaga” menghadapi bencana. Semakin lama, semakin sedikit kerusakan dan korban yang diderita jika diukur dari skala gempa yang sama. Mereka berjaga-jaga dengan belajar dan mencoba mempraktikkan apa yang dipelajari itu. Mereka setia mendengarkan dan mengikuti petunjuk para ahli. Hanya dengan cara itulah mereka terhindar dari bencana dan kepunahan. Jika kita diminta oleh Yesus untuk berjaga-jaga dan waspada untuk menghadapi akhir zaman, hal itu bukan berarti kita hanya menunggu dengan duduk diam dan berdoa saja. Melainkan dengan melakukan apa yang diajarkan dan diteladankan Yesus selama ini. Kita harus membuang segala kejahatan dan nafsu serakah kita untuk menyongsong kedatangan Tuhan kita, Sang Mesias yang akan menghakimi dunia ini. Kita harus mulai dari sekarang sebelum segala sesuatunya sudah terlambat!

Jakarta, Black Friday 2016

Jumat, 18 November 2016

YESUS KRISTUS RAJA SURGAWI SEJATI

Rezim korup, para ulama yang fatwanya bisa dipesan dan mudah dibeli dengan uang, para penegak hukum yang gampang disuap sehingga putusannya tumpul ke atas dan tajam ke bawah, pengusaha dan penguasa yang kongkalikong hampir ada di sepanjang zaman. Yeremia menyebut mereka dengan para gembala. Gembala yang dimaksud bukanlah dalam predikat baik, melainkan sebaliknya. Mereka menjadikan kambing domba gembalaan sebagai sapi perahan. Mereka ini adalah raja dan para penguasa Yehuda yang korup dan lalim. Untuk para gembala ini, TUHAN mengingatkan, “Kamu telah membiarkan kambing domba-Ku terserak dan tercerai-berai, dan kamu tidak menjaganya. Maka ketahuilah, Aku akan membalas kepadamu perbuatan-perbuatanmu yang jahat, demikianlah firman TUHAN.” (Yeremia 23:2)

TUHAN kecewa dengan para gembala ini, mereka tidak hanya membiarkan kambing dombanya tersesat, tetapi menggiring mereka ke dalam kehidupan yang bertolak belakang dengan kehendak Sang Gembala Agung. Akibatnya, bangsa itu berjalan dalam kesesatan. Mereka harus bertanggungjawab atas kehancuran Yehuda. Allah akan mengambil alih peran pemimpin yang korup dan zolim itu. Hukuman bagi mereka telah tersedia. Bangsa itu sedang berada di ambang kehancuran. Allah tidak segan menghukum dan membuang umat pilihan-Nya itu ketika mereka berpaling dari hadapan-Nya, hidup dalam penyembahan berhala dan pemuasan hawa nafsu. Jelas, para gembala mempunyai andil besar atas keberlangsungan suatu bangsa.

Meski demikian, peringatan nabi bukan sekedar berita penghukuman yang mengerikan saja. Yeremia juga mengingatkan bahwa kepemimpinan rezim korup itu segera akan berakhir. Dan Sang Gembala Agung itu sendiri akan mengambil alih kepemimpinan itu. Allah sendiri akan turun tangan untuk mengumpulkan kambing domba yang sudah tercerai berai. Ia akan mengganti para pemimpin korup dengan seorang yang berasal dari keturunan Daud. Seorang raja bijaksana yang akan melakukan keadilan dan kebenaran. Ia akan datang dengan memberikan ketentraman dan keselamatan atas Yehuda bahkan atas semua orang yang percaya kepada-Nya. Ia bukan seperti para gembala yang korup dan lalim itu, yang gemar mengelabui rakyatnya dengan memakai ayat-ayat suci. Ia bukan juga seperti kebanyakan tokoh politik yang gemar memanfaatkan rakyat jelata, mengadu domba untuk popularitas dan kekuasaannya. Ia bukan tipe penguasa yang gemar menghisap darah orang-orang kecil. Tetapi Dia adalah gembala yang mau berkorban demi domba-domba-Nya. Dia lebih memilih dinista menentang kelaliman supaya domba gembalaan-Nya mengalami kemuliaan. Ia memilih bertakhta dalam derita ketimbang bergelimang fasilitas mewah. Ia rela diberi mahkota duri agar domba-domba gembalaan-Nya kelak mengenakan mahkota kemuliaan. Ia rela diolok-olok dan dipermalukan demi mempertahankan kebenaran supaya manusia dibenarkan di hadapan Allah!

Dalam rezim korup yang terbiasa korup dan lalim, tentu kehadiran Raja surgawi sejati itu tidak mudah untuk dikenali. Mana ada gembala atau raja yang tidak korup. Sulit dipercaya kalau takhta Raja adalah derita dan olok-olok. Tidak mungkin Raja itu tidak mengorbankan rakyatnya. Omong kosong saja kalau ada Gembala mau mati untuk domba-dombanya. Itulah sebabnya, ketika Yesus tampil memenuhi segala kriteria yang telah disebutkan para nabi, salah satunya Yeremia, banyak orang tidak menyadari kehadiran-Nya itu. Alih-alih percaya dan menyembah Sang Raja itu, mereka sibuk mencari-cari kesalahan agar dapat menghukum bahkan membinasakan-Nya. Alasannya sederhana. Kehadiran Sang Raja ini benar-benar menelanjangi kebobrokan moral mereka. Topeng kemunafikan para gembala (kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat), tanpa tedeng aling-aling dibuka! Perkataan dan ajaran-Nya penuh kuasa sebab Ia melakukannya dengan integritas yang tinggi; apa yang diucapkan dan diajarkan sama dengan apa yang dilakukan-Nya. Hal ini menjadi ancaman bagi mereka. Jalan keluarnya adalah dengan membunuh Raja ini! Konspirasi pun segera dilakukan Sang Raja ditangkap, kepada-Nya dituduhkan tuduhan makar!

Pilatus berkali-kali memeriksa tetapi tidak menemukan sedikit pun kesalahan-Nya, apalagi setimpal dengan ganjaran hukuman mati! Pilatus berusaha membebaskan-Nya, namun nyalinya ciut ketika melihat desakan masa yang menuntut-Nya untuk segera dijatuhi hukuman mati. Pilatus tidak dapat menyatakan kebenaran karena tekanan dan ancaman orang banyak yang berhasil dihasut oleh para imam dan ahli Taurat. Dalam kebingungan, Pilatus cuci tangan dan Yesus pun disalibkan dengan kesimpulan akhir bahwa “Dia adalah Raja orang Yahudi”. Jelas, maksud tulisan yang dibuat Pilatus bukanlah bahwa dia dan orang banyak itu benar-benar mengakui bahwa Yesus adalah Raja orang Yahudi. Tulisan itu dimaksudkan untuk mengolok-olok Yesus. Para prajurit Romawi pun memakai kesempatan ini untuk mengolok-ngolok-Nya, “Jika Engkau adalah raja orang Yahudi, selamatkanlah dirimu!” (Lukas 23:37). Mereka mempermainkan-Nya dan menjadikan penderitaan-Nya sebagai bulan-bulanan.

Tidak hanya para gembala (para Farisi dan ahli Taurat) dan para tentara Romawi, tetapi juga salah seorang pejahat yang sama-sama disalibkan ikut mengolok-ngolok Yesus, katanya: “Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!” (Lukas 23:39). Bisa saja di balik olokannya, sang penjahat ini menaruh harapan bahwa kalau Yesus adalah benar-benar Mesias seperti angan-angan kebanyakan orang Yahudi, maka Yesus akan tampil dengan kekuatan dan kekuasaan-Nya. Bukankah Mesias yang sedang mereka nantikan adalah orang yang sungguh-sungguh mampu mengenyahkan penjajah Romawi?

Apa jadinya jika Yesus tampil memenuhi harapan-harapan seperti ini? Bukankah tidak ada bedanya dengan peran “para gembala” yang dikecam oleh para nabi yang menubuatkan kedatangan-Nya itu? Para gembala yang gemar menaklukan pihak-pihak lain di bawah kakinya! Yesus bukan raja seperti itu. Ia benar-benar tampil berbeda! Hal inilah yang tidak dapat dilihat oleh orang banyak. Hanya sedikit saja orang yang dapat melihat bahwa Yesus adalah Raja Surgawi Sejati. Salah satunya adalah seorang penjahat lain yang disalibkan bersama-sama dengan Yesus. Orang itu sadar akan segala kesalahannya. Ia menegur kawannya yang mengolok-olok Yesus bahwa memang semestinya mereka dihukum karena kejahatan mereka. Dalam ketiadaan pengharapan itu, orang ini hanya memohon belas kasihan kepada Yesus, “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” (Lukas 23:42)

Permohonan penjahat ini bukanlah harapan sumir yang lahir dari keputusasaannya, melainkan berangkat dari hati yang tulus. Ia merasa tidak berdaya dengan dosa yang dilakukannya. Ia membutuhkan pertolongan, dan harapan satu-satunya ada pada Yesus Sang Raja Sejati itu! Ternyata benar, harapan si penjahat ini menjadi kenyataan. Yesus menjamin keselamatannya. Ia mengatakan, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” (Lukas 23:43).

Kisah ini menolong kita untuk bertanya pada diri sendiri, apakah kita mampu melihat Yesus sebagai sosok Raja Surgawi sejati? Ataukah kita menantikan-Nya sebagai Raja superior yang dapat menginjak-injak semua musuh-Nya? Ketika kita mengalami perjumpaan dengan Raja Surgawi Sejati, mestinya kita akan dapat meneruskan visi-misi dan pekerjaan-Nya di bumi ini. Dengan tulus dan rendah hati kita mau menanggalakan segala keegoisan kita, merendahkan diri dan mau berkorban untuk orang lain. Tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, caci maki dengan caci maki, melainkan hidup semata-mata mendatangkan berkat dan rahmat Allah meski harus mengalami penderitaan.


Jakarta, 18 November 2016