Tempat-tempat
perayaan ritual ibadah sering disebut rumah
Tuhan. Mengapa demikian? Mereka percaya, di situlah Tuhan dapat dijumpai,
apalagi ketika kultus ritual sedang berlangsung. Jangan coba-coba menodainya.
Nanti Tuhan Marah! Pemahaman di rumah
itu Tuhan berkenan hadir menggugah
manusia membangun sarana tempat ibadah itu sebaik mungkin. Di tempat-tempat
tertentu ada rumah ibadah dengan altar batu granit, mimbar kayu jati pesanan
khusus, lampu-lampu kristal super bening, karpet dari Timur Tengah, salib besar
terbuat dari emas, bahkan ada rumah ibadah dengan kubah emas. Tentu tidaklah terlalu
keliru kalau kita membangun rumah ibadah dengan segala kemegahannya. Bukankah
sejak umat Israel keluar dari Mesir, di padang gurun, mereka diperintahkan
membuat Kemah Suci dengan bahan-bahan terbaik? Dan sesudah mereka menetap di
Kanaan, Salomo membangun Bait Suci super megah.
Saya kira, semua
orang, apa pun agamanya, akan sangat bangga bila memiliki rumah ibadah dengan
segala kemegahannya itu. Sebab di situlah simbol bahwa mereka mengagungkan dan
memberikan tempat – yang bukan hanya layak, melainkan juga terbaik untuk Tuhan
mereka. Di situlah pemujaan terhadap Yang Ilahi terjadi! Tak terkecuali,
orang-orang Yahudi sangat bangga dengan Bait Suci mereka. Mereka rela berkorban
untuk memlihara dan menghiasi bangunan Bait Suci itu. Setiap hari mereka
melakukan ibadah-ibadah. Pada hari-hari tertentu mereka membawa hewan ternak
pilihan – tidak boleh ada yang cacat untuk sebuah ritual pengurbanan. Pujian,
Mazmur, tarian dengan iringan musik meriah menghantar perayaan ibadah-ibadah
mereka. Dengan begitu, mereka yakin Tuhan berkenan menerimanya. Mereka merasa
diri aman sebagai umat pilihan Allah yang dengan setia memelihara ritual
turun-temurun!
Andai kita seorang
Yahudi, berada di dekat Bait Allah itu, sangat mungkin akan merasakan kekaguman
yang sama dengan mereka. Bait itu dibangun dengan material mewah pada zamannya.
“Dihiasi dengan batu yang indah-indah dan
dengan berbagai-bagai barang persembahan” (Luk.21:5). Bait Suci itu
dibangun kembali setelah Israel mengalami pembuangan ke Babel. Di bawah
Zerubabel, Bait Suci yang dihancurkan Nebukadnezar pada 586 itu didirikan
kembali. Hampir tujuh puluh tahun dihabiskan untuk pembangunan itu. Raja
Herodes memperluas dan mempercantik bangunan itu. Ia juga mendirikan
tembok-tembok dan taman-taman baru. Pekerjaan itu diteruskan meski Herodes
sudah tiada dan berakhir pada tahun 63. Lengkaplah sudah Bait Allah sebagai
simbol kehadiran Allah, sekaligus juga memoar mercusuar bagi orang-orang yang
membangunnya.
Ketika pembangunan
Bait Allah masih terus dikerjakan di bawah komando Herodes. Layaknya sebuah proyek mercusuar, banyak
orang membicarakan dan mengaguminya. Hal ini percis seperti yang terekam dalam
Lukas 21:5. Namun, atas dasar komentar dan kekaguman beberapa orang, Yesus
berkomentar, “Apa yang kamu lihat di situ
– akan datang harinya di mana tidak ada satu batupun akan dibiarkan terletak di
atas batu yang lain; semuanya akan diruntuhkan.”(Luk 21:6). Mengapa Yesus
berkata begitu? Dapat dibayangkan, bagaikan tersambar petir di siang hari
bolong. Begitulah kira-kira reaksi orang yang mendengarkan nubuat Yesus.
Sekiranya ada di situ, mungkin kita akan bertanya-tanya, “Apakah Yesus tidak
senang dengan pembangunan dan perluasan Bait Suci yang megah itu? Atau mungkin
Yesus merasa tersisih di lingkungan Bait Allah sehingga ucapan-Nya menjadi
sinis?”
Mengenai hal
ini, Injil tidak berbicara. Namun, sama seperti tradisi para nabi dalam
Perjanjian Lama. Yesus mengingatkan akan kehancuran umat Israel mana kala
mereka merasa aman dan tentram hanya dengan merawat kultus ritual di Bait
Allah, mempercantiknya dengan benda ornamen mewah, sementara ibadah
sesungguhnya, yakni ketaatan sepenuh hati kepada Allah dalam keseluruhan hidup
diabaikan. Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Amos dan yang lainnya telah dipakai
Allah untuk mengingatkan umat-Nya bahwa Allah membenci manipulasi ibadah.
Sementara mereka memelihara bangunan Bait Suci, mengadakan ritual ibadah dengan
hewan-hewan kurbannya, pada waktu yang bersamaan, perbuatan mereka bertentangan
sama sekali dengan kehendak Allah. Mereka melakukan ketidakadilan, menindas,
menganiaya, pesta pora, percabulan dan lain sebagainya.
Kultus, ritual
dan kemewahan Bait Suci begitu diperhatikan, namun sesungguhnya mereka sedang
menista Allah. Sebab, secara hakiki mereka tahu apa yang seharusnya dilakukan:
kebenaran, keadilan dan cinta kasih. Namun itu semua hanya sekedar teori dan
mereka gunakan untuk menekan orang lain.
Yesus
mengingatkan para murid-Nya, bahwa bisa saja apa yang menimpa nenek moyang
mereka, kini akan segera terjadi mana kala mereka melakukan dosa-dosa yang
sama. Benar, ucapan Yesus ini terbukti, Bait Allah hancur total dengan
kebakaran hebat oleh orang-orang Romawi pada tahun 70 M. Namun, Yesus tidak
membahas hal ini dari sisi politik, melainkan menempatkannya sebagai peringatan
pada peristiwa eskatologi atau akhir zaman, yang biasa dihubungkan dengan
kedatangan-Nya kembali. Murid-murid-Nya bertanya, “Guru, bilamanakah itu akan terjadi? Dan apakah tandanya kalau itu akan
terjadi?” (Luk.21;7). Kebanyakan orang sama seperti para murid; mereka
menanyakan bukan, “Apa yang harus kami perbuat untuk menyongsong hari itu?”
Melainkan, “Kapan peristiwa itu terjadi?”
Yesus menjawab, “Waspadalah supaya kamu jangan disesatkan…”(Luk.
21:8). Selanjutnya Ia memberi gambaran sebelum hari itu terjadi ada banyak
orang yang mencatut nama-Nya untuk kepentingan sendiri, akan terjadi banyak
peperangan, bencana dan berbagai penganiayaan. Namun, Yesus mengingatkan bahwa
Ia akan menyertai dan memberikan hikmat-Nya kepada para pengikut-Nya. Yesus
menjamin mereka, “tetapi tidak sehelai
pun dari rambut kepalamu akan hilang.”(Luk. 21:18). Kemudian Yesus
mengakhirinya dengan, “Kalau kamu
bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu.” (Luk.21:19)
Kata kunci dalam
menghadapi atau menyambut akhir zaman adalah waspadalah dan bertahan.
Kita tidak tahu kapan akhir zaman itu terjadi. Setiap saat, bisa saja hal itu
terjadi. Atau setiap saat sangat mungkin hidup kita berakhir. Untuk itu sikap
waspada harus diterjemahkan dengan melakukan kehendak Tuhan setiap saat tanpa
jeda. Meminjam Maleakhi 4:1, kita diminta untuk tidak gegabah dan tidak melakukan
kefasikan, sebab hukumannya sangat berat, mereka akan, “…menjadi seperti jerami dan akan terbakar oleh hari yang datang
itu, firman TUHAN semesta alam, sampai
tidak ditinggalkannya akar dan cabang mereka. Tetapi kamu yang takut akan
namak-Ku, bagimu akan terbit surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya.
Kamu akan keluar dan berjingkrak-jingkrak seperti anak lembu lepas kandang.”
(Mal.4:1,2)
Kalau kita
mengacu pada peringatan para nabi Perjanjian Lama dan peringatan Yesus tentang
akhir zaman rasanya, kita diminta waspada bukan hanya sekedar memerhatikan
ritual ibadah di tempat-tempat kebaktian, mempercantik rumah Tuhan, atau
menonjolkan simbol-simbol keagamaan belaka. Melainkan, dengan berjuang menerjemahkan
ritual ibadah itu dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah di rumah Tuhan jelas
penting. Namun, tanpa ditindaklnjuti dalam keseharian hidup, maka kita akan
mengulangi kesalahan yang sama dengan orang-orang yang dikecam Yesus dan para
nabi dalam perjanjian lama.
Yang kedua
bertahan. Bertahan memertahankan prisnsip-prinsip kebenaran. Tidak mudah bagi
seseorang yang berpegang pada prinsip kebenaran dan iman ketika di
sekelilingnya adalah orang-orang fasik dan munafik. Caci maki, intimidasi,
tekanan, ancaman bahkan penganiayaan dan pembunuhan bisa saja terjadi. Di
sinilah batu uji itu, apakah kita menyerah dan mengikut arus atau justeru
bertahan dengan keyakinan iman yang benar!
Ingatlah apa
yang kita pilih dan lakukan hari ini mempunyai dampak bagi kehidupan kita di
masa depan. Hidup hari ini menentukan, apakah kita akan menerima kemuliaan yang
diberikan Allah kepada kita ataukah justeru kita akan dibakar seperti jerami.
Maka memperjuangkan hidup di hari ini menjadi pertaruhan di masa depan.