“Waw…!” Apakah
Anda pernah mengucapkan kata itu? Apa yang mendorongnya? Ya, kata “waw” atau “wow”
merupakan ungkapan kekaguman dan keheranan menakjubkan yang sebelumnya tidak
pernah terbayangkan akan terjadi. Membaca kisah Shandra Woworuntu yang hari ini menghiasi
rubrik Sosok (Kompas 4/10) seakan gambaran “waw”
dialaminya. Ia membayangkan, setelah menyelesaikan kuliahnya, terbang ke
Amerika Serikat dengan harapan untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan layak.
Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ia terjebak sindikat
perdagangan manusia. Selama lima belas tahun dirinya dijadikan budak seks.
Ancaman, intimidasi dan siksaan menjadi makanan sehari-harinya. Ia sudah kehilangan
segalanya. “Satu-satunya yang menjadi milik saya – di luar ‘seragam’ yang saya
kenakan – adalah sebuah tas kecil, yang berisi kamus, sebuah Alkitab kecil, dan
beberapa bolpen juga buku-buku permainan…”( www.bbc.com/ Indonesia/majalah/2016/04/160330).
Sekuat tenaga Shandra berjuang meloloskan diri dari jerat prostitusi itu. Namun,
beberapa kali gagal. Polisi yang dimintai pertolongannya cenderung tidak
percaya dan menolak untuk memberikan bantuan kepadanya. Perjumpaannya dengan
Eddy, seorang pelaut di Grand Ferry Park di Williamsburg menemukan titik cerah.
Dengan bantuan FBI, tidak saja Sandra lepas dari jerat perbudakan itu, bahkan
mereka dapat meringkus para pelaku perdagangan manusia itu. Kini, Shandra
menjadi seorang wakil presiden Mentari USA, lembaga nirlaba yang menyediakan
bantuan Cuma-Cuma bagi para korban perbudakan manusia. Ia pun didapuk Presiden
Barack Obama menjadi penasihat khususnya dalam bidang anti perdanganan manusia.
Waw..!
Ada perbedaan
namun juga terdapat kesamaan dari waw
yang kita pahami itu dengan “waw” kata Ibrani. Berbeda arti karena “waw” dalam
Ibrani biasa diartikan “tetapi”. Namun, kata ini jika ditempatkan pada konteks
penderitaan Ayub misalnya, akan terasa nuansa yang sama. “Tetapi aku tahu. Penebusku hidup dan akhirnya Ia akan bangkit di atas
debu.”(Ayub.19:25). Kalimat yang dilontarkan Ayub ini sangat kontras dengan
ayat-ayat yang mendahuluinya. Di tengah penderitaan yang begitu menyakitkan,
sahabat-sahabat Ayub justeru datang memvonisnya sebagai orang yang bersalah. Tentu
kondisi ini semakin menjadi tekanan. Dalam keterpurukan dan tekanan itu, Ayub
mengatakan “waw… (Tetapi) aku tahu Penebusku hidup! Ia melanjutkannya
“…mataku sendiri menyaksikan-Nya dan
bukan orang lain..” (ay.27)
Sebuah kontras
dasyat; dari keterpurukan, tekanan hidup akibat penderitaan luar biasa baik
fisik maupun mentalnya, Ayub dapat melihat hal menakjubkan, mengherankan atau
mencengangkan yang sebelumnyya tidak pernah dibayangkannya. Kini, ia yakin
dirinya punya go’el (Penebus) yang
tidak tinggal diam. Penebus itu hidup dan akan bertindak menolong dirinya.
Penebus dalam konteks umat Israel menunjuk kepada saudara terdekat yang bertindak
sebagai penolong kerabatnya yang bangkrut. Penebus akan membayar lunas segala
milik pusaka yang terlanjur digadaikan oleh karena kebangkrtutannya itu.
Penebus akan memulihkan kembali kerabatnya yang sudah terlanjur menjadi budak
karena kemiskinan atau ketidakberdayaannya menghadapi penguasa. Dan Ayub yakin,
penebusnya itu bukanlah manusia, melainkan Allah sendiri!
Penebusku hidup!
Senada dengan itu Yesus mengatakan, “Ia
bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua
orang hidup.” (Lukas 20:38). Kalimat penutup Ini merupakan bagian dari
dialog antara Yesus dengan orang-orang Saduki yang tidak percaya akan
kebangkitan dan lebih mengutamakan kitab Taurat (Pentateukh) daripada kitab yang lain. Tema perdebatan itu adalah tentang kebangkitan.
Para keturunan imam besar Zadok ini menanyakan – jika memang ada kebangkitan
orang mati – bagaimana jika seorang perempuan telah bersuamikan tujuh orang
lalu meninggal, siapakah di antara tujuh orang itu yang akan menjadi suaminya
pada hari kebangkitan itu? Dengan mengutif Taurat mengenai hukum pernikahan Levirat (menikahi ipar di mana sang
suami meninggal sebelum mempunyai keturunan), orang-orang Saduki memakai
ilustrasi ini sebagai ejekan. Mereka seolah mau mengatakan bahwa bukankah sudah
jelas bahwa Kitab Taurat tidak memuat satu pun ayat tentang kebangkitan. Bahkan
Taurat (menurut pendapat mereka) menegaskan bahwa kebangkitan itu merupakan
sebuah kebodohan. Sebab cobalah berpikir, kalau dalam kitab Taurat diwajibkan
perkawinan ipar tersebut, alangkah itu nantinya menyebabkan keadaan-keadaan
yang menggelikan, andai kata memang terjadi kebangkitan manusia.
Untuk menegaskan
pandangan mereka, para Saduki ini juga menggunakan kisah Musa yang berjumpa
dengan Allah yang menyatakan diri sebagai Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Kisah
ini dipakai untuk menunjukkan bahwa meskipun TUHAN mengatakan bahwa diri-Nya
adalah Allah Abraham, Ishak dan Yakub, toh
kenyataannya mereka itu tetap mati!
Jawaban Yesus
terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, Ia mengecam dan menolak bermacam-macam
khayalan berhubung dengan kebangkitan, sebagaimana lazim terjadi di kalangan
rakyat dan orang Farisi. Menurut mereka – khususnya kalangan Farisi – segala
keinginan yang tidak dapat dipenuhi di bumi ini akan diluluskan sepenuhnya nanti
setelah kebangkitan itu. Dan biasanya keinginan-keinginan itu berasal dari
nafsu egoistis manusia. Yesus menolak harapan egoistis itu, kebangkitan orang
mati bukan untuk meluluskan hasrat duniawi, melainkan sebuah realita kekuasaan
dan kemuliaan Allah dinyatakan sepenuhnya. Kebangkitan orang mati merupakan hidup
baru yang sama sekali berbeda daripada yang kita kenal di bumi. Salah satu
contoh yang diungkap orang Saduki tentang perkawinan. Di bumi ini memang haruslah
ada perkawinan untuk memungkinkan keturunan umat manusia tetap ada. Tetapi dalam kebangkitan dan kehidupan kekal,
perkawinan dengan maksud memertahankan keturunan (esensi yang terkandung dalam
perkawinan levirat) sudah tidak diperlukan lagi. Mengapa? Karena memertahankan
keturunan tidak lagi revan ketika manusia sudah dibangkitkan dan memeroleh
kehidupan kekal.
Bagian kedua,
dalam menjawab tentang Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Perseptif Yesus dan
Saduki sangat berbeda. Yesus menegaskan Allah bukanlah hanya Allahnya Abraham,
Ishak dan Yakub selama mereka hidup saja. Seolah-olah hubungan antara Allah dan
mereka terputus sama sekali pada saat mereka mati! Tidak, Allah tetap merupakan
Allahnya Abraham, Ishak dan Yakub; Ia tetap mengingat dan menyimpan nama-nama itu; bagi Allah mereka itu tidaklah mati tetapi
hidup. Sebab Ia bukanlah Allahnya orang mati, tetapi Allahnya orang-orang yang
hidup. Dengan begitu setiap kematian orang percaya berharga di hadapan-Nya.
Mengapa? Karena Ia mengingatnya. Hal ini berbeda kalau manusia itu berada dalam
dunia orang mati. Dalam keyakinan Yahudi, mereka yang berada dalam dunia orang
mati tidak pernah ada, tidak eksis
dan tidak pernah diingat!
Bagaimana kita
menghayati bahwa Allah adalah Penebus kita yang hidup dan Bahwa Allah adalah
Allah orang hidup? Dua contoh Shandra Woworuntu dan Ayub kiranya dapat menolong
kita. Mestinya, dalam setiap keadaan sulit, penderitaan menekan berat bahkan
kematian ada tepat di depan mata kita, kita dapat menemukan kata “waw”. Kita dapat mengatakan, “Walaupun
kondisiku berat, tetapi aku melihat Penebusku hidup! Tuhanku bukanlah Allah
orang mati!”
Sekalipun bisa
saja kematian karena penderitaan tidak bisa kita elakan. Namun, dalam keyakinan
iman bersama dengan Yesus Kristus, kita percaya TUHAN mengingat kita. Kita
tetap eksis seperti Abraham, Ishak dan Yakub eksis di hadapan Allah sampai
sekarang.
Ketika kita
yakin akan kebangkitan orang mati, maka keyakinan itu bukan berdasar kepada
khayalan kehidupan kekal dengan pemenuhan keinginan duniawi kita. Melainkan
sebagai kesempatan di mana kita mengalami realita kekuasaan dan kemuliaan itu
benar-benar dinyatakan dan dialami. Lihat contoh dari kehidupan Shandra Woworuntu
ketika ia berhasil menemukan kehidupan yang baru. Ia menggunakannya sebagai
kesempatan untuk menolong mereka yang tidak berdaya dan diperbudak oleh
sesamanya. Andaikan saja TUHAN mengizinkan kita melewati lembah air mata, pahit
getirnya kehidupan ini. Dan kemudian kita berhasil mengalami lompatan iman
bersama TUHAN, melihat dan merasakan TUHAN sebagai Penebus kita yang hidup,
maka sudah seharusnya sisa umur yang ada, kita gunakan untuk menjadi alat dalam
tangan-Nya. Temukan pengalaman “waw..” bersama-Nya dan Berjuanglah sebagai
penebus-penebus kecil…!