Kita sudah
terbiasa melihat pesakitan-pesakitan yang menempati kursi terdakwa mengenakan
pakaian gamis, baju koko dan peci di atas kepala, atau symbol-simbol keagamaan
lainnya. Padahal, dalam kesehariannya jarang sekali mereka mengenakan costum
seperti itu. Ya, mungkin sesekali kalau pas hari-hari raya keagamaan. Walahu’alam
apa motivasi di balik pakai itu, hanya dirinya dan Tuhan yang tahu. Namun,
karena pengenaannya di ruang publik, saya kira bolehkan dong kita menduganya? Bisa jadi, dengan mengenakan pakaian seperti
itu, si pesakitan mau menyampaikan pesan begini: “Lihatlah, aku ini seorang yang saleh maka
tidak sepatutnya sang hakim mengganjar aku dengan hukuman berat!” Atau, “Setelah
beberapa lama aku meringkuk di tahanan, kini aku telah bertobat! Lihat, setidaknya
pakaianku menunjukkan itu.”
Pemandangan lain
memerlihatkan beberapa terdakwa kasus korupsi menolak untuk dihadirkan dalam
persidangan karena yang bersangkutkan kini harus mendapatkan perawatan intensif
di rumah sakit. Kalau pun hadir, mereka datang dengan dipapah, memakai kursi
roda atau tempat tidur rumah sakit. Sangat memprihatinkan! Pesan, yang mau
disampaikan, “Lihatlah, aku yang sekarang sudah menderita sakit parah. Masih
tegakah hakim menghukum aku?”
Beberapa orang
pelaku korupsi memilih kompromi dengan penegak hukum. Mereka bersedia menjadi whistleblower, memberitahu siapa saja
yang terlibat dalam tindakan pidana itu. Tujuannya? Jelas supaya mendapat
keringanan hukuman. Dalam beberapa kasus yang naik ke media, para pelaku
bersedia mengemblikan uang hasil tindakan kejahatannya. Salah satunya oleh
mantan anggota
Komisi V DPR, Budi Supriyanto, ia menyerahkan hasil korupsinya
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berhasil melakukan oprasi
tangkap tangan (OTT) terhadap Damayanti Wisnu Putranti dan mantan Direktur
Windu Tunggal Utama Abdul Khoir. Dalam kasus yang melibatkan Damayanti,
disebutkan ada banyak kerugian negara, di antaranya menghentikan proyek jalan
di Maluku dan Maluku Utara sehingga menghambat kemajuan pembangunan (Kompas, 28/10/16). Untuk yang terakhir
ini, saya penah melintasi jalan yang dimaksud, di Maluku, tepatnya Trans Seram.
Jalan itu di beberapa bagian rusak parah, sempit dan perlu perbaikan segera. Rekan
pendeta yang mengantar kami mengatakan, “Seharusnya jalan ini sudah mulus dan
lebar. Namun, karena kasus ini (korupsi) menjadi terbengkalai dan transportasi yang
menunjang perbaikan ekonomi menjadi terhambat!” Semua tahu korupsi
menyengsarakan rakyat dan hanya menguntungkan – secara materi – segelintir orang.
Zakheus
mengatakan, “Tuhan, setengah dari milikku
akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari
seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” (Luk.19:8). Zakheus berniat
memberikan setengah dari hartanya dan mengembalikan empat kali lipat uang hasil
pemerasan terhadap rakyat Yahudi bukan karena ia tertangkap tangan oleh KPK dan
sekarang menjadi pesakitan menghadapi sidang pengadilan tipikor. Bukan itu!
Hampir
dipastikan, Zakheus juga melakukan tindakan yang kita namakan sekarang korupsi,
gratifikasi, dan markup setoran kepada negara. Dengan kedudukannya itu, sangat
mudah baginya menekan rakyat kecil untuk membayar pajak melebih ketentuan yang
berlaku. Makanya ia menjadi orang kaya. Banyaknya pengawal dan tentara,
memungkinkan juga baginya untuk melakukan tindakan pemerasan. Zakheus
disebutkan sebagai seorang kepala pemungut cukai. Mungkin mengherankan bagi kita.
Mengapa Kekaisaran Roma memilih Zakheus yang Yahudi,dan bukan orang Roma
sendiri yang menjadi kepala pemungut cukai? Hal ini bisa dijelaskan karena
orang Yahudi sendirilah yang mengetahui sedalam-dalamnya kehidupan ekonomi
mereka. Pemerintahan Roma membutuhkan orang seperti ini, sebab ada banyak
pungutan pajak yang harus disetor, mulai dari pajak kepala, pajak hasil tanah
pertanian, pajak bea penjualan, pajak barang mewah dan sebagainya yang hanya
diketahui oleh kalangan mereka sendiri. Tidak sembarangan orang Yahudi yang
diangkat menjadi kepala pemungut cukai; ia harus bisa baca tulis, menghitung
dan pandai berkomunikasi. Sebagai imbalannya, pemerintah Roma menyediakan
tentara atau pengawal. Menyedihkan, secara kedudukan dalam pemerintahan dan
harta benda, Zakheus termasuk orang berkuasa dan kaya. Namun, hidupnya terasing
dari komunitsnya. Ia dilabeli sebagai orang berdosa, penghianat bangsanya dan
dianggap seorang yang nazis, harus dijauhi!
Ternyata hukuman
sosial jauh lebih berat! Jelas Zakheus mengalami kesepian dan tertolak. Di tengah
kondisi ini, ia mendengar tentang Yesus. Yesus yang sudah banyak menjadi buah
bibir dapat mengusir setan, menyembuhkan pelbagai macam penyakit dan masih
banyak lagi mujizat yang dapat dilakukan-Nya. Tentu, ia juga mendengar
ajaran-ajaran yang disampaikan Yesus tentang Injil Kerajaan Allah, pertobatan
dan kasih Allah. Ada keinginan kuat untuk melihat seperti apa sih orangnya Yesus itu. Namun sayang,
Yesus bak artis tenar, ke mana pun Ia pergi dikerubuti banyak orang. Sulit
baginya untuk dapat melihat apalagi bertegur sapa karena kondisi badanya yang
pendek. Semangat dalam jiwanyalah yang kemudian menggerakkan tubuhnya yang
mungil untuk mencari cara bagaimana melihat Yesus. Ia naik ke atas sebatang
pohon di tepi jalan yang bakal dilalui Yesus. Benar, Yesus lewat di jalan itu
dan ternyata Ia melihat si pemungut cukai itu. “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di
rumahmu.” (Luk.19:5).
“Yesus mau menumpang
di rumah orang berdosa dan penghianat bangsanya sendiri, ah…tidak! Itu tidak
boleh terjadi!” Barangkali itulah suara hati orang-orang yang mendengar ucapan
Yesus. Bagaimana mungkin Yesus mencederai rasa keadilan kebanyakan orang Yahudi
yang telah mengalami tindakan penjajahan dan pemerasan koloni Romawi. Dan,
Zakheus ini salah seorang antek penjajah itu!
Ternyata
ucapan-Nya benar. Yesus bertandang ke rumah Zakheus pertanda Ia mau menerima
dan diterima oleh orang berdosa. Zakheus bangkit, “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan
sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali
lipat.” (ay.6). Saya kira, siapa pun – termasuk orang-orang yang mencibir –
akan terharu dan bersyukur mendengar ucapan dan komitmen seorang pendosa,
Zakheus. Itulah pertobatan sejati, metanoia!
Perjumpaannya dengan Yesus membuat Zakheus bertobat. Yesus tidak mengancam
Zakheus dengan pelbagai hukuman yang bakal diterimanya sebagai seorang pendosa.
Namun, Yesus berhasil menyentuh hatinya, Ia menawarkan pemulihan dengan kasih
sayang.
Dari buah
pertobatan itu, Zakheus tidak hanya berhenti memeras dan memperkaya diri,
melainkan ia bersedia membagikan apa yang ada pada dirinya untuk kepentingan
banyak orang. Kini, ia tidak lagi egois, memperkaya diri di atas penderitaan
orang lain, namun hati yang tersentuh itu menggerakkan dirinya untuk menjadi
berkat bagi mereka yang telah diperasnya. Pertobatannya bukan basa-basi, pemanis mulut.
Pertobatannya juga bukan hanya untuk kebaikannya sendiri supaya selamat, tetapi
berhasil memulihkan keadilan yang selama ini telah ia koyakkan!
Penyerahan harta
benda untuk menolong si miskin dan pengembalian uang empat kali lipat bukan
terjadi karena ia diseret ke meja hijau dan sedang dihakimi. Pertobatan Zakheus
bukan juga terdorong oleh ngerinya hukuman yang bakal dihadapinya – karena sejatinya
hukuman sosial itu sedang ia rasakan. Ia bertobat dan melakukan itu semua oleh karena
telah mengalami perjumpaan dengan Yesus yang merangkul, menerima dan
memulihkannya.
Setiap
pelanggaran atau dosa yang kita lakukan pada umumnya terkait dengan sesama.
Bisa lewat pandangan negative terhadap seseorang yang tidak kita sukai atau
tutur kata kita. Terlebih tindakan dan prilaku kita yang merugikan orang lain.
Ketika kita berdosa, kita pun dapat merobek, mengoyak-ngoyak keadilan.
Bagaimanakah ketika kita mengalami perjumpaan dengan Yesus? Sudahkah kita
mengalami sentuhan kasih-Nya dan membuahkan metanoia;
tidak hanya berhenti melakukan kesalahan, dosa atau pelbagai tindakan kejahatan
melainkan memulihkan keadilan yang terkoyak, menjahit kembali apa yang sudah
kita robek dan hidup menjadi berkat bagi sesama? Sudahkah pertobatan kita tidak
hanya memikirkan bagaimana menyelamatkan diri sendiri saja melainkan
kepentingan orang lain juga. Jika itu belum terjadi mungkin kita seperti
seperti para pesakitan yang duduk dikursi terdakwa dan memakai pakai gamis agar
terlihat saleh…