Berita utama Kompas hari ini (21/10/16) menulis “Menangi Seluruh Debat Capres, Hillary
Diyakini Jadi Presiden”. Hillary tiga kali berturut-turut memenangi debat
dengan rivalnya, Donald Trump. Para pengamat tampaknya sepakat bahwa kekalahan
Trump dalam tiga kali debat lebih disebabkan karena karakter Trump sendiri.
Hillary mengenal deengan baik bahwa rivalnya tidak tahan kritik, tidak sabar
mendengar dan biasa memotong pembicaraan orang serta mengeluarkan kalimat
kasar. Contoh, ketika Hillary berbicara tentang Obamacare (pajak jaminan sosial) yang berakibat kontribusi pajak
menjadi lebih tinggi. Hillary menyentil
Trump dengan kalimat, “….tentunya dia tidak tahu bagaimana cara menghindarinya.” Trump yang tak tahan jika dikritik, langsung
terprovokasi dan mengatakan, “Dasar perempuan rendah (nasty women).
Salah satu momen
dramatic dalam debat kemarin adalah ketika Chris Wallace (moderator) menanyakan,
jika kalah, apakah Trump bersedia menerima hasil pemilu. Trump menolak menjawab
ya atau tidak. Ia akan melihat situasi terlebih dahulu, baru kemudian akan
memutuskan. The Washington Post menyebutkan,
pernyataan Trump itu merupakan kesalahan besar (killer mistake). Komentar-komentar Trump dalam debat selama ini
gagal mengatasi ketertinggalan dari Hillary. Trump mungkin berhasil memuaskan
pendukung panatiknya, namun tidak mampu memperluas dukungan dari kalangan
perempuan dan minoritas kulit hitam dan Latino. Pernyataan Trump juga telah
memancing pro dan kontra di kubunya sendiri. Senator Lindsey Graham (Republik)
mengatakan, “Jika Trump kalah, itu bukan karena sistemnya dicurangi, melainkan
karena dia memang gagal sebagai kandidat.”
Masih ada waktu
kurang dari sebulan pemilu AS diselenggarakan (8 November 2016) kita tidak tahu
siapa yang akan jadi pemenangnya, Trump atau Hillary. Namun, The New York Times menyebutkan, jika
pemilu dilaksanakan hari ini, peluang Hillary untuk menang adalah 92%.
Kemenangan yang fantastis! Percaya diri berlebihan, arogansi, mau menang
sendiri dan merendahkan orang lain selalu menjadi faktor penentu kejatuhan
seseorang. Sejarah berulang kali
membukukan banyak pesohor dan orang-orang hebat tumbang justeru karena terlalu
bangga diri dan meremehkan lawannya.
Setiap orang
berpotensi mengembangkan arogansi dan kebanggaan diri. Beberapa contoh yang
disajikan oleh James Brian Smith ini patut kita renungkan:
- Ketika saya sukses dalam suatu hal
atau menerima penghargaan atas prestasi, saya ingin segera memberi tahu orang
lain. (Saya akan segera membagikan foto-foto keberhasilan saya di jejaring
sosial)
- Saya selalu berusaha agar orang
lain tidak mengetahui kelemahan-kelemahan dan kegagalan saya (kalau ada yang
mengunggah kelemahan saya di jejaring sosial, saya akan marah). Dalam kedua
catatan ini jelas, saya selalu ingin agar orang lain mempunyai pandangan yang
baik dan hebat tentang diri saya.
- Dalam setiap pembicaraan, saya selalu
ingin terlihat rendah hati, tetapi saya juga ingin agar orang lain tahu betapa
hebatnya saya. Saya selalu menceritakan kesuksesan saya dan itu diusahakan
tanpa terlihat sombong. Jika cerita saya berhasil, mereka tidak sadar jika saya
sedang ingin terlihat hebat.
- Saya tidak perlu menyebutkan nama
siapa pun. Semua teman dekat saya tahu orang terkenal mana saja yang telah saya
temui dan habiskan waktu bersama (lihat foto-foto di jejaring sosial saya,
dengan siapa saya mejeng)
- Semua pelayanan yang saya lakukan
diketahui oleh semua orang – semua orang harus tahu (makanya saya muat di
jejaring sosial).
- Ketika melihat anak saya dalam
pertandingan olah raga atau seni, saya lebih ingin agar anak saya tampil lebih
baik di depan orang banyak dari pada menikmati apa yang dilakukan oleh anak
saya sendiri.
Kebanyakan kita mengenal hanya mengenal tujuh dosa maut, tetapi gereja
Ortodoks menambah kesombongan sebagai dosa kedelapan. Kesombongan berasal dari
ketidaknyamanan diri dan didorong oleh keinginan untuk diakui oleh orang lain.
Dosa ini tersembunyi dan sangat sulit dideteksi. Andrew Murray menuliskan, “Tidak
ada kebanggaan yang lebih membahayakan, tersembunyi dan busuk, daripada
kebanggaan akan kekudusan diri.” Kesombongan tersembunyi di balik kebaikan.
Penyakit ini menyerang tepat di dalam kebaikan manusia. Sombong adalah
satu-satunya dosa yang memerlukan kebaikan agar bisa memiliki eksistensinya.
Yesus banyak membahas tentang kesombongan. Dalam Khotbah di Bukit, Dia memberi tiga
contoh mengenai orang-orang yang melakukan kebajikan agar dipuji orang lain
serta terlihat saleh untuk menutupi kemunafikan mereka. Tiga aktivitas itu
ialah: memberi sedekah, berdoa dan berpuasa.
Orang Farisi pada zaman Yesus sering dipakai contoh dari kesombongan.
Yesus mengajar mereka melalu perumpamaan, “Dan
kepada bebrapa orang yang menganggap diri benar dan memandang rendah semua
orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini:” (Lukas 18:9-14). Dikisahkan-Nya ada seorang
Farisi dan seorang pemungut cukai, sama-sama datang dan berdoa di Bait Allah.
Orang Farisi menyampaikan daftar kebaikannya agar semua orang tahu. Daftar
kesalehan itu mengungkapkan fakta yang telah dilakukannya dan itu memang benar
menurut keyakinan orang Yahudi. Tidak ada yang salah. Ia telah memilih dan
melakukan yang baik; bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah,
berpuasa, memberikan persembahan...semua orang setuju, perbuatan ini adalah
baik dan benar. Namun, menjadi keliru kalau dengan itu seseorang menuntut agar
Tuhan mengganjarnya dengan imbalan, seolah Tuhan berhutang kepadanya. Menjadi
keliru ketika dengan kesalehannya, orang Farisi ini berkata, “…dan bukan seperti pemungut cukai ini!”
Orang Farisi ini merupakan gambaran orang yang merasa benar dengan memperlihatkan
kebobrokan orang lain. “Saya bukan seperti dia, maka saya harus mendapat
perlakuan istimewa!” begitu kira-kira. Bagi Farisi ini, doa bukan lagi sarana
untuk mendengar apa yang Allah inginkan atau menyelaraskan kehendak diri dengan
kehendak-Nya yang menghasilkan pembenaran. Melainkan sarana pamer kesalehan dan
tuntutan upah. Aktifitas kesalehan yang dilaporkan dalam doa itu dianggap dapat
menentukan imbalan rahmat yang harus diberikan Allah kepadanya.
Kontras sekali dengan apa yang dilakukan oleh si pemungut cukai. “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”
Apakah dosanya? Apakah ia seorang lalim, pezinah, pelanggar Taurat. Yesus tidak
menyebutkan dosanya. Namun kadung, orang telah melebelinya dengan pendosa
karena ia bekerja sama dengan penjajah Romawi dalam memeras teman sebangsanya.
Tidak ada lagi pembela bagi si pemungut cukai ini. Ia hanya mengandalkan
rahmat, belas kasihan Tuhan semata. Baginya, segala perbuatannya tidak mungkin
dapat membayar agar Allah merahmatinya; ia tidak mampu dan tidak punya sesuatu
apa pun yang dapat memengaruhi keputusan Allah. Hidupnya kini hanya semata-mata
tergantung pada kebaikan Allah.
“Orang ini pulang ke rumahnya
sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain tidak. Sebab barangsiapa
meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan
ditinggikan.” (Luk. 18:14) Begitulah kesimpulan Yesus. Yesus membenarkan
pemungut cukai itu. Kerendahan hati dan doa yang berserah, membuat pemungut
cukai itu mendapatkan rahmat Allah. Ia begitu dekat dengan kasih Allah.
Sebaliknya, Farisi itu jauh dari rahmat Allah. Kasih Allah pun akan begitu
dekat dengan kita ketika kita mau merendahkan hati, merendahkan diri di
hadapan-Nya. Kita ini bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa jika Allah tidak
memberikannya kepada kita. Jadi kalau dipikir-pikir kesombongan atau arogansi
diri itu banyak ruginya. Mari belajar rendah hari karena dengan begitu pasti
kita lebih dekat dengan cinta-Nya!