Muhammad ed-Dib,
namanya menjadi begitu terkenal setelah pada Maret 1947 ia
mendapatkan apa yang kemudian disebut “penemuan terbesar dalam abad ini.” Apa yang
ditemukannya? Sejumlah guci yang berisi “naskah-naskah
Qumran”, di antaranya salinan Kitab Yesaya. Naskah-naskah itu berusia
sekitar dua ribu tahun (125 SM – 68 M)! Melalui naskah-naskah Qumran kita dapat
ditelusuri situasi kehidupan iman masyarakat Yahudi pada zaman Alkitab ditulis.
Muhammad ed-Dib, sampai ke gua-gua di Khirbet Qumran
bukanlah untuk mencari “harta karun” gulungan naskah-naskah yang terhubung
dengan Alkitab. Ia sampai di gua itu dengan maksud untuk mencari satu ekor
kambing gembalaannya yang terpisah dan hilang! Mohammad ed-Dib selalu mengembara
dengan 55 ekor kawanan kambing hitamnya di daerah sekitar Laut Mati, kira-kira
12 Km dari Yerikho. Kawasan itu ialah padang gurun yang dengan kontur
gunung-gunung batu dan banyak terdapat gua. Suatu hari, ia menghitung kawanan
kambingnya kira-kira pukul 11 pagi. Mestinya, ia melakukan penghitungan itu
pada sore menjelang malam sebelum istirahat. Namun, malam itu rupanya ia
terlampau kelelahan. Ketika selesai menghitungnya, ternyata kawanan kambing itu
kurang satu. Kemudian dengan segera ia meminta teman-temannya yang lain untuk
mengawasi kawanan kambingnya dan ia segera pergi untuk mencarinya.
Tanpa membuang waktu, Muhammad segera pergi mencari
kambingnya yang hilang. Ia menelusuri jalan dan tempat-tempat di mana ia pernah
melewatinya bersama dengan kawanan kambingnya itu. Maka sampailah ia di sebuah
gua di mana ia tidak menemukan kambingnya, melainkan mendapatkan “penemuan yang
paling berharga abad ini”.
Dari kisah “penemuan yang paling berharga abad ini”,
kita dapat memahami bahwa apa yang disampaikan Yesus dalam kisah “Perumpamaan tentang domba yang hilang”
(Lukas 15:1-7) merupakan kisah keseharian para gembala di kawasan Palestina – bahkan
sampai pada zaman moderen ini. Di daerah-daerah gersang para gembala masih
mengembara bersama kawanan kambing atau domba mereka. Menjelang sore, kawanan
itu dihitung. Jika seekor hilang, tentulah si gembala akan segera mencarinya.
Gembala yang diceritakan dalam perumpaan oleh Yesus ini
bertanggung jawab atas 100 ekor domba. Jika seekor dari kawanan itu hilang,
maka ia harus mencarinya, Para gembala itu adalah orang-orang yang ahli dalam
mencari jejak dan mereka dapat mengikuti jejak domba yang hilang tadi berkilo-kilometer melintasi bukit-bukit. Para
gembala dengan sekuat tenaga mengerahkan dayanya untuk mendapatkan kembali
dombanya yang hilang. Usaha mencari domba seperti itu, bagi seorang gembala
yang baik sudah menjadi adat yang berurat-berakar dalam hatinya. Sebab itu, si
gembala meninggalkan domba-domba yang lain – memang di bawah pengawasan seorang
teman atau dikumpulkan dalam sebuah gua – untuk mencari seekor yang hilang itu.
Seorang gembala yang baik akan terus mencari dombanya
yang hilang sampai ia dapat menemukannya, gembala itu harus membawa pulang ke rumah
paling tidak bulunya untuk memperlihatkan – sebagai bukti – bagaimana domba itu
mati. Kita dapat membayangkan bagaimana perasaan si gembala ketika ia berhasil
menemukan dombanya yang hilang. Tentulah kegembiraan yang amat sangat memenuhi
dirinya. Ia pasti memeluk, membelai dan melilitkan domba itu pada tengkuknya
serta membawanya pulang. Pastilah ia juga akan berteriak, berseru kepada
teman-temannya bahwa dombanya yang hilang kini sudah ditemukan!
Begitulah Allah memperlakukan manusia yang telah “hilang”
atau menyeleweng dari hadapan-Nya dan mengembara ke mana ia menuruti hawa
nafsunya serta kemudian terjebak dalam jurang kelam lumpur dosa yang akhirnya
akan binasa dalam kesukarannya. Begitulah Allah bertindak terhadap orang-orang
berdosa. Allah tidak saja digambarkan sebagai Allah yang Mahamurka terhadap
manusia berdosa. Musa pernah kerepotan dengan umat Israel yang menyeleweng dari
hadapan Allah dengan membuat berhala anak lembu emas. Mereka sujud
menyembahnya. Mereka bagaikan domba yang sesat. Atas dasar itu, Allah menjadi
murka dan berniat membinasakan umat itu (Keluaran 32:10). Namun, beruntunglah
Musa dapat melunakkan hati Allah. Di sisi lain, Dia juga bukanlah Allah yang
pasif menunggu manusia sadar diri dan kembali kepada-Nya. Allah tetap
memerhatikan manusia itu, sementara manusia itu sedang dalam keadaan tersesat.
Allah tetap mengasihinya, bahkan Allah sendiri mengambil inisiatif untuk
mencari manusia yang sesat itu dan menyelamatkannya. Dan, sudah tentu Allah
akan bergirang hati atas satu orang yang berdosa yang bertobat.
Di sinilah kita bisa memahami bahwa menemukan dan
menyelamatkan yang hilang itu akan lebih banyak memberikan kegembiraan
ketimbang memiliki apa yang tidak pernah hilang. Pesan ini bukan sama sekali
meniadakan, apalagi menganggap tidak berarti dengan mereka yang sudah dalam
keadaan “aman” yakni orang-orang benar itu. Tetapi yang mau disampaikan di sini
adalah bahwa “yang hilang” atau yang “tidak aman” itu juga penting!
Mendapatkannya kembali dengan susah payah, jelas-jelas akan membuat sukacita
luar biasa. Inilah yang tidak dilihat oleh orang-orang Farisi yang saat itu
menggugat Yesus lantaran Ia bergaul dan menerima para pemungut cukai dan orang-orang
yang disebut mereka sebagai kelompok orang berdosa.
Dalam kisah-kisah perumpamaan tentang yang hilang,
jelas yang dimaksudkan Yesus tentang “yang hilang” ini adalah mereka yang
dikelompokkan sebagai orang-orang berdosa. Dan bukan orang-orang yang
merasa benar. Mengapa Yesus ada bersama
dan menerima mereka? Di sinilah Yesus menjalankan misi sebagai Gembala yang
sedang mencari doamba yang hilang itu.
Jika dari pihak Gembala, dalam hal ini Allah menemukan
kembali yang hilang itu menimbulkan sukacita yang luar biasa, “Demikian juga akan ada sukacita karena di
sorga karena satu orang berdosa yang bertobat,…”(Luk.15:7). Lalu, kalau
sorga begitu rupa bersukacita, bagaimana dengan “yang hilang” yang sudah
kembali itu? Paulus, barangkali bisa mewakili “domba yang sesat” yang kemudian
ditemukan dan dibawa kembali pulang. Paulus mengatakan, “- aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang
ganas. Tetapi aku telah dikasihi-Nya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa
pengetahuan yaitu di luar iman.” (1 Timotius 1:13). Paulus menyadari bahwa sebelumnya
ia hidup di luar iman, bahkan ia seorang penganiaya dan penumpas pengikut
Kristus. Ia sangat sadar bahwa dirinya adalah orang yang paling berdosa. Namun,
pengalaman hidupnya menunjukkan bahwa Tuhanlah yang mencari dan menyapanya.
Yesuslah yang menangkap dan meraihnya dalam dekapan kasih. “Sebagai orang yang paling berdosa, Yesus
Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya. Dengan demikian aku menjadi contoh
bagi mereka yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal. Itulah
sebabnya Paulus sangat menyukuri kasih Tuhan itu (1 Tim1:12).
Tidak ada seorang pun bersih tanpa dosa. Kita bagai
domba yang tersesat mestinya ketika Tuhan mencari kita, tidaklah mengeraskan
hati melainkan menyambut kasih Tuhan itu. Setelah kita menyambut kasih Tuhan,
maka kita dibenarkan dan disucikan oleh darah Sang Gembala. Masalahnya, kita
sering lupa ketika kita sudah dibenarkan kemudian merasa hidup paling benar dan
merendahkan orang lain serta melecehkannya. Mengapa kita sering mengambil peran
seperti Farisi dan Ahli Taurat bukan seperti Paulus? Bukanlah Yesus menghendaki
kita selalu rendah hati, menghargai dan menjadi berkat bagi mereka yang belum
merasakan jamahan kasih Tuhan?
Jakarta 8 September 2016