Jumat, 19 Agustus 2016

TUHAN MELEPASKAN IKATAN PENGHAMBAT HIDUP

Sudah menjadi tradisi, setiap tanggal 16 Agustus Presiden Republik Indonesia menyampaikan pedato kenegaraan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia dalam persidangan DPR di komplek Senayan. Isinya sudah dapat diduga, siapa pun presidennya pasti akan menyampaikan cerita sukses dan rencana-rencana program kerja populis mendatang. Selesai berpidato, maka akan segera bermunculan pengamat, politisi bahkan masyarakat umum yang diwawancarai wartawan tentang tanggapan mereka terhadap pidato kenegaraan itu. Sudah dapat ditebak pula, yang pro pemerintahan akan berpandangan positif dan mendukung capaian dan langkah-langkah yang diambil oleh presiden dan jajarannya. Sebaliknya, yang kontra akan berpandangan sebaliknya.

Pidato kenegaraan Presiden Jokowi kali ini pun sama, tidak lepas dari pro-kontra. Namun, ada hal menarik yang terus dipergunjingkan sampai saat ini bukanlah capaian atau program-program kerja sang Presiden dan para menterinya, melainkan doa penutup sidang yang diucapkan oleh salah seorang anggota DPR dari partai yang berseberangan dengan penguasa. Isi doa yang disampaikan Muhammad Syafi’I menyangkut masalah hukum, ekonomi masyarakat, kezaliman apparat negara dan sikap penguasa yang tidak amanah.  “Jauhkan kami dari pemimpin yang khianat, yang hanya memberi janji-janji palsu, harapan-harapan kosong, dan kekuasaan yang bukan untuk memajukan dan melindungi rakyat ini, tapi seakan-akan arogansi kekuatan berhadap-hadapan dengan kebutuhan rakyat….Allah, kalau ada mereka yang ingin bertaubat, terimalah taubat mereka ya Allah. Tapi kalau mereka tidak bertaubat dengan kesalahan yang dia perbuat, gantikan dengan pemimpin yang lebih baik di negara ini, ya Allah…”

Doa sang legislator segera saja menjadi viral di media-media sosial. Doa itu banyak menuai pujian, khususnya dari lawan-lawan politik rezim kabinet kerja. Sebaliknya, caci maki dan kritikan tidak kalah banyak dari mereka yang pro pemerintah. Bagaimana pun, doa itu kini telah menjadi “doa politik” karena terlanjur bergulir dipolitisasi. Sangat disayangkan, doa semestinya merupakan bagian dari ibadah, yakni sebagai sarana komunikasi dengan Sang Adikodrati, secara kreatif telah dipakai untuk kepentingan-kepentingan politik pencitraan diri dan kelompok yang ujung-ujungnya menebar pengaruh demi mencapai kekuasaan.

Doa dan ibadah dipolitisir? Bukan hal yang baru! Suatu hari diceritakan Lukas, Yesus sedang mengajar dalam sinagoge (Lukas 13: 10-17). Dalam kerumunan orang banyak yang mendengarkan ajaran-Nya, rupanya mata Yesus tertuju kepada seorang perempuan yang sedang menderita. Di situ ada seorang perempuan yang sudah delapan belas tahun dirasuk oleh roh sehingga ia sakit sampai bungkuk dan tidak dapat berdiri dengan tegak. Pada zaman itu, sakit dan penderitaan yang membelenggu manusia lazim dimengerti oleh karena kuasa roh jahat. Roh jahat telah mengikat si perempuan ini sehingga ia begitu menderita dan tidak leluasa untuk bergerak. Tanpa meminta dan tanpa terlebih dahulu perempuan ini percaya kepada Yesus, Yesus memintanya untuk tampil ke depan dan Ia mengatakan, “Hai ibu, penyakitmu telah sembuh.” Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas perempuan itu, dan memuliakan Allah.  Perempuan ini sangat bersukacita oleh karena beban penderitaan yang membelenggunya selama delapan belas tahun sudah dilepaskan oleh Yesus.

Alih-alih ikut bersyukur, kepala sinagoge yang telah memberi izin kepada Yesus untuk mengajar menjadi gusar dan menuduh Yesus telah menodai Hukum Sabat. Ia berkata kepada orang banyak – tujuan yang sebenarnya untuk menyinggung Yesus, “Ada enam hari untuk bekerja. Karena itu datanglah pada salah satu hari itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari Sabat.” Lihat, bagaimana terampilnya sang kepala rumah ibadah ini menggunakan hukum keagamaannya untuk sebuah maksud lain, yakni menampikkan kelepasan yang sudah dialami oleh perempuan itu. Tak segan-segan pula ia menafsirkan hukum Taurat melebih apa yang sebenarnya dimaksudkan, atau menambah-nambahkan kehendaknya sendiri dengan memandang bahwa penyembuhan dengan jamahan tangan, atau dengan kata-kata yang diucapkan, merupakan suatu pekerjaan yang dilarang pada hari Sabat. Padahal, kesembuhan sangat jelas merupakan pekerjaan Allah yang penuh belas kasihan. Khesed, berarti “belas kasihan” mencakup arti “saleh”. Orang yang saleh pasti punya kepedulian belas kasih kepada sesamanya yang menderita. Orang yang saleh berkenan kepada Allah, dan karena itu berbelas kasih pada Hari Sabat adalah perkara yang pantas dilakukan.

Hai orang munafik!” Itu jawaban Yesus terhadap gugatan kepala rumah ibadah tersebut. Munafik dalam konteks ini berarti mengetahui kebenaran tetapi tidak untuk dilakukan melainkan dipakainya untuk menghakimi orang lain. Doa-doa politis sering diucapkan oleh orang-orang munafik. Mereka bisa mengucapkan dan memakainya untuk menyerang lawan tetapi tidak bagi diri sendiri. Betapa mudahnya, mulut-mulut anggota DPR membangun wacana anti korupsi, anti penindasan, keadilan sosial dan sebagainya yang enak didengar, namun tidak untuk membangun dirinya sendiri! Hal, serupa sering terjadi pada lembaga-lembaga rohani / keagamaan yang selalu menuntut orang lain berbuat benar tetapi dihindari bahkan sengaja tidak dilakukan oleh diri sendiri.

Yesus membuktikan kemunafikan mereka yakni dengan cara melihat kebiasaan orang Yahudi yang tidak pernah dilarang dalam memberi minum hewan ternak pada hari Sabat. Hewan ternak yang dikurung di dalam kandang biasanya dilepaskan pada Hari Sabat, dan dibawa ke tempat mereka bisa minum. Sungguh keterlaluan jika mereka tidak melakukan tindakan itu. Yesus menerapkan analogi ini terhadap penderitaan perempuan yang telah disembuhkan-Nya. Dengan kata sederhana Yesus mengatakan, “Haruskah lembu dan keledai diberi belas kasihan pada Hari Sabat, dan diberi begitu banyak waktu dan tenaga untuk diurus setiap Hari Sabat, untuk dilepaskan dari kandang, dibawa ke tempat minum yang mungkin jauh, dan kemudian dibawa kembali ke kandang. Sedangkan, perempuan ini, tidak bolehkah ia, hanya dengan jamahan tangan dan ucapan kata-kata, dilepaskan dari penderitaannya yang jauh lebih dasyat dari pada yang dirasakan hewan ternak yang dikurung di dalam kandang seharian tanpa diberi minum? Seba, itu pertimbangkanlah! Dia ini seorang keturunan Abraham, bapa leluhur yang membuat kamu bangga menjadi bangsa pilihan. Dia ini saudarimu, jadi, apakah dia tidak boleh menerima kebaikan yang kamu sendiri berikan kepada keledai atau lembumu dengan sedikit tidak mengindahkan ketentuan hukum pada Hari Sabat itu? Dia ini diikat oleh Iblis, Iblislah yang merusak kehidupannya, jadi apakah AKu tidak boleh membuka ikatan itu?”

Mendengar jabawan itu ia merasa malu dan semua orang banyak bersukacita karena segala perkara mulia, yang telah dilakukan-Nya. Nah, sekarang kita ada di bagian mana? Orang yang malukah atau yang bersukacita. Kita, khususnya sebagai bangsa harusnya merasa malu. Selalu memandang dan meragukan kewarganegaraan, ras dan agama saudara-saudara sebangsa kita  – yang sebenarnya mereka lebih baik dalam berjuang, mencintai dan menghargai tanah air kita. Berapa banyak orang atau lembaga keagamaan dan politik yang mengusung dan meneriakkan ajaran agama dan moralitas yang tinggi, padahal sudah terbukti bahwa justeru merekalah yang sering jadi pengacau dan penghasut. Rasanya bukan zamannya lagi membawa hukum, kaidah moral dan ajaran nilai-nilai luhur agama hanya untuk membangun citra dan kebanggaan diri.

Lihatlah, Yesus berhasil melepaskan ikatan yang membuat perempuan itu delapan belas tahun lamanya menderita. Namun, yang kini terjadi justeru masih banyak orang yang mengikatkan diri dengan kemunafikan mereka. Hal ini, jauh lebih berbahaya, sebab – kalau perempuan itu “diikat” oleh kuasa jahat dan yang menderita hanya dia sendiri. Nah, sekarang, jika seseorang dibelenggu dan diikat oleh kemunafikannya, maka yang terjadi korbanya adalah orang lain. Ya, ia bisa menghasut, memfitnah, menyerang dan membinasakan yang lain.

19 Agustus 2016

Jumat, 12 Agustus 2016

MEMELIHARA KONSISTENSI PANGGILAN JIWA

Apa yang terjadi bila tubuh kita terus-menerus bekerja, tidak cukup istirahat dan asupan gizi? Sakit! Sama seperti daya tahan tubuh, spiritualitas kita pun bisa mengalami penurunan dan sakit. Pada saat menghadapi pelbagai macam tantangan, ketahanan iman kita menjadi rapuh. Tanda-tandanya, kita mulai pesimis, menyerah, tidak lagi mau peduli dengan tugas panggilan pelayanan sebagai orang percaya.  Bisa jadi saat ini kita sedang mengalami kondisi seperti ini: Pada awalnya menggebu-gebu, merasa terpanggil untuk melayani Tuhan. Firman Tuhan begitu rupa menyentuh jiwa. Rasanya Allah begitu dekat mendekap dan menyapa. Lalu kita bertekad untuk melayani-Nya dengan sungguh-sungguh. Api-Nya berkobar dalam diri kita, itulah panggilan jiwa! Namun, Seiring berjalannya waktu, semakin nyata realita pelayanan itu. Tidak selalu indah!
Ada banyak faktor yang membuat kita tidak dapat memertahankan konsistensi panggilan pelayanan itu. Faktor-faktor itu antara lain: apa yang kita lakukan disalahmengerti oleh orang lain, hasil yang tidak kunjung terlihat, jenuh, tidak dihargai, kelelahan fisik, ekonomi, beban yang terlalu berat, ancaman dan intimidasi, ada kegiatan lain yang lebih menarik, komunitas yang tidak mendukung dan yang semacam itu. Lalu, apakah kita harus berhenti dalam mengerjakan panggilan pelayanan yang Tuhan percayakan kepada kita? Menyadari bahwa spiritualitas panggilan jiwa kita tidak luput dari kelelahan, kerapuhan dan inkonsisten, maka kita harus dengan sengaja memeliharanya. Berikut ini ada beberapa cara agar tugas panggilan kita dapat dilakukan dengan konsisten.
1.    Retret
Ibarat telepon genggam, ia membutuhkan daya untuk dapat berfungsi. Ada saatnya hand phone itu harus berhenti digunakan dan di-charger agar baterainya terisi kembali. Demikian juga dengan kita, tidak mungkin kita terus-menerus mengerjakan tugas panggilan pelayanan itu tanpa henti. Kita membutuhkan “waktu jeda” bersama dengan Tuhan, retret. Pemahaman retret yang dimaksud adalah mengambil jarak dari tugas panggilan pelayanan untuk menikmati saat-saat yang indah bersama dengan Tuhan. Tidak harus keluar kota, di rumah pun bisa. Bukankah Yesus juga melakukan itu? Sesibuk apa pun dalam menunaikan tugas pelayanan, Ia selalu mencari tempat yang sunyi dan menyisihkan waktu menyendiri untuk berdoa dan bersekutu dengan Bapa-Nya, entah itu pagi sekali (Markus 1:35) atau malam hari (Lukas 6:12). Terlebih lagi ketika akan menghadapi masa-masa yang berat dalam hidup-Nya, Yesus telah menyiapkannya dengan berdoa.

2.    Mengingat kembali panggilan yang mula-mula
Pada umumnya, kita akan mengingat kapan pertama kalinya Tuhan menyentuh hati kita. Momen itu ada yang menamakannya, “lahir baru” atau “pertobat”. Apa pun istilahnya, yang penting makna pengalaman perjumpaan dengan Tuhan di balik peristiwa itu. Ingatan itu sedikit banyak menolong kita untuk merenungkan kembali bahwa betapa sayangnya Tuhan kepada kita; Ia menebus, mengampuni dan mendekapnya dengan kasih sayang. Ia mau agar kita terus menjalani tugas panggilan bersama-Nya. Paulus pernah memberikan nasihat kepada jemaat di Korintus, agar mereka mengingat sewaktu dipanggil menjadi pengikut Kristus, “Selanjutnya hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil…” (1 Korintus 7:17). Ingatan pada panggilan mula-mula dapat menolong kita untuk terus konsisten menjalani tugas panggilan-Nya.

3.    Berdamai dengan kenyataan
Pengalaman-pengalaman pahit dalam pelayanan tentu menimbulkan bekas yang tidak nyaman bahkan luka dan membuat kita tidak hanya malas melanjutkan tugas panggilan tetapi juga mengakhirinya. Namun, itulah kenyataan yang harus kita hadapi. Tidak mungkin kita bisa mengatur dan memilih agar semuanya menyenangkan. Berkaca pada konsistensi pelayanan Yesus, begitu banyak Ia mengalami penolakan, derita dan aniaya bahkan kematian yang mengerikan. Namun, Ia tidak pernah menyerah! Cobalah kita memandang dari sudut pandang Tuhan, bisa jadi kenyataan yang tidak menyenangkan itu dipakai-Nya untuk membentuk kita agar semakin dewasa di dalam iman. Pengalaman dan perlakuan yang mengecewakan itu tidak perlu kita sesali dan tidak perlu juga kita berusaha menghapusnya. Terimalah dan berdamailah, dengan cara pandang baru, yakni bahwa semuanya itu Tuhan izinkan terjadi untuk kebaikan kita.

4.    Fokuslah kepada yang kita layani; bukan pada diri sendiri
Sebagian besar kekecewaan yang kita rasakan disebabkan karena keinginan yang tidak terpenuhi. Biasanya keinginan-keinginan itu berpusat pada diri sendiri. Tanpa sadar mungkin saja kita menginginkan pujian atau keuntungan lainnya dari sebuah pelayanan. Banyak orang melakukan tugas panggilan pelayanan mengatakan untuk melayani Tuhan. Cobalah kita renungkan kembali, kalau benar kita melayani Tuhan maka mestinya kita selalu bertanya, “Apakah yang aku lakukan ini menyenangkan hati-Nya?” Jangan-jangan prioritas utamanya justeru diri kita sendiri. Akibatnya, ketika tidak mendapatkan apa yang diharapkan, kita menjadi kecewa dan berhenti melayani. Sekarang, marilah kita ubah fokus perhatian kita, yakni bukan pada diri sendiri, melainkan hanya untuk Tuhan. Di sini kita juga menyadari bahwa tidak ada seorang pun yang dapat melayani Tuhan secara langsung. Kita hanya dapat melayani-Nya melalu sesama. Ingatlah perkataan Yesus, “…Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matius 25:40) Pandanglah dalam diri sesama yang kita layani ada wajah Yesus, sehingga kita dapat melayani mereka dengan sukacita.

5.    Berusaha hidup dalam komunitas yang saling membangun
Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, ia pasti membutuhkan orang lain untuk kelangsungan hidupnya. Hal ini juga berlaku dalam kehidupan iman, pada kenyataannya kehidupan beriman bukanlah urusan pribadi semata. Kita membutuhkan orang lain, jemaat atau komunitas untuk tumbuh bersama. Paulus pernah mengatakan, “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.”(Galatia 6:2). Jadi, setiiap kita membutuhkan orang lain agar turus tumbuh di dalam iman. Sejak terbentuk jemaat Kristen mula-mula (Kisah Para Rasul 2:41-47), persekutuan itu dikenal sebagai komunitas yang sehati sepikir saling berbagi, peduli dan membangun. Mestinya, di mana ada jemaat kristiani di situlah terdapat komunitas yang saling membangun dan menguatkan. Ketika kita mengalami tantangan dan beban berat yang dapat menggoyahkan panggilan jiwa kita, berbagilah dengan saudara-saudara seiman kita.

Jakarta, 12 Agustus 2016