Sudah menjadi
tradisi, setiap tanggal 16 Agustus Presiden Republik Indonesia menyampaikan
pedato kenegaraan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia dalam
persidangan DPR di komplek Senayan. Isinya sudah dapat diduga, siapa pun
presidennya pasti akan menyampaikan cerita sukses dan rencana-rencana program
kerja populis
mendatang. Selesai berpidato, maka akan segera bermunculan pengamat, politisi
bahkan masyarakat umum yang diwawancarai wartawan tentang tanggapan mereka terhadap
pidato kenegaraan itu. Sudah dapat ditebak pula, yang pro pemerintahan akan
berpandangan positif dan mendukung capaian dan langkah-langkah yang diambil
oleh presiden dan jajarannya. Sebaliknya, yang kontra akan berpandangan
sebaliknya.
Pidato
kenegaraan Presiden Jokowi kali ini pun sama, tidak lepas dari pro-kontra. Namun, ada hal
menarik yang terus dipergunjingkan sampai saat ini bukanlah capaian atau
program-program kerja sang Presiden dan para menterinya, melainkan doa penutup
sidang yang diucapkan oleh salah seorang anggota DPR dari partai yang
berseberangan dengan penguasa. Isi doa yang disampaikan Muhammad Syafi’I menyangkut
masalah hukum, ekonomi masyarakat, kezaliman apparat negara dan sikap penguasa
yang tidak amanah. “Jauhkan kami dari
pemimpin yang khianat, yang hanya memberi janji-janji palsu, harapan-harapan
kosong, dan kekuasaan yang bukan untuk memajukan dan melindungi rakyat ini,
tapi seakan-akan arogansi kekuatan berhadap-hadapan dengan kebutuhan rakyat….Allah,
kalau ada mereka yang ingin bertaubat, terimalah taubat mereka ya Allah. Tapi
kalau mereka tidak bertaubat dengan kesalahan yang dia perbuat, gantikan dengan
pemimpin yang lebih baik di negara ini, ya Allah…”
Doa sang
legislator segera saja menjadi viral di media-media sosial. Doa itu banyak
menuai pujian, khususnya dari lawan-lawan politik rezim kabinet kerja. Sebaliknya, caci maki
dan kritikan tidak kalah banyak dari mereka yang pro pemerintah. Bagaimana pun,
doa itu kini telah menjadi “doa politik” karena terlanjur bergulir dipolitisasi.
Sangat disayangkan, doa semestinya merupakan bagian dari ibadah, yakni sebagai
sarana komunikasi dengan Sang Adikodrati, secara kreatif telah dipakai untuk
kepentingan-kepentingan politik pencitraan diri dan kelompok yang
ujung-ujungnya menebar pengaruh demi mencapai kekuasaan.
Doa dan ibadah dipolitisir? Bukan hal yang baru! Suatu
hari diceritakan Lukas, Yesus sedang mengajar dalam sinagoge (Lukas 13: 10-17). Dalam kerumunan orang banyak
yang mendengarkan ajaran-Nya, rupanya mata Yesus tertuju kepada seorang
perempuan yang sedang menderita. Di situ
ada seorang perempuan yang sudah delapan belas tahun dirasuk oleh roh sehingga
ia sakit sampai bungkuk dan tidak dapat berdiri dengan tegak. Pada zaman
itu, sakit dan penderitaan yang membelenggu manusia lazim dimengerti oleh karena kuasa roh jahat. Roh
jahat telah mengikat si perempuan ini sehingga ia begitu menderita dan tidak
leluasa untuk bergerak. Tanpa meminta dan tanpa terlebih dahulu perempuan ini
percaya kepada Yesus, Yesus memintanya untuk tampil ke depan dan Ia mengatakan,
“Hai ibu, penyakitmu telah sembuh.” Lalu
Ia meletakkan tangan-Nya atas perempuan itu, dan memuliakan Allah. Perempuan ini sangat bersukacita oleh karena
beban penderitaan yang membelenggunya selama delapan belas tahun sudah
dilepaskan oleh Yesus.
Alih-alih ikut
bersyukur,
kepala sinagoge yang telah memberi izin kepada Yesus untuk mengajar menjadi
gusar dan menuduh Yesus telah menodai Hukum Sabat. Ia berkata kepada orang
banyak – tujuan yang sebenarnya untuk menyinggung Yesus, “Ada enam hari untuk bekerja. Karena itu datanglah pada salah satu hari
itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari Sabat.” Lihat, bagaimana
terampilnya sang kepala rumah ibadah ini menggunakan hukum keagamaannya untuk
sebuah maksud lain, yakni menampikkan kelepasan yang sudah dialami oleh
perempuan itu. Tak segan-segan
pula ia menafsirkan hukum Taurat melebih apa yang
sebenarnya dimaksudkan, atau menambah-nambahkan kehendaknya sendiri dengan
memandang bahwa penyembuhan dengan jamahan tangan, atau dengan kata-kata yang
diucapkan, merupakan suatu pekerjaan yang dilarang pada hari Sabat. Padahal,
kesembuhan sangat jelas merupakan pekerjaan Allah yang penuh belas kasihan. Khesed, berarti “belas kasihan” mencakup
arti “saleh”. Orang yang saleh pasti punya kepedulian belas kasih kepada
sesamanya yang menderita. Orang yang saleh berkenan kepada Allah, dan karena itu
berbelas kasih pada Hari Sabat adalah perkara yang pantas dilakukan.
“Hai orang munafik!” Itu jawaban Yesus
terhadap gugatan kepala rumah ibadah tersebut. Munafik dalam konteks ini
berarti mengetahui kebenaran tetapi tidak untuk dilakukan melainkan dipakainya
untuk menghakimi orang lain. Doa-doa politis sering diucapkan oleh orang-orang
munafik. Mereka bisa mengucapkan dan memakainya untuk menyerang lawan tetapi
tidak bagi diri sendiri. Betapa mudahnya, mulut-mulut anggota DPR membangun
wacana anti korupsi, anti penindasan, keadilan sosial dan sebagainya yang enak didengar, namun
tidak untuk membangun dirinya sendiri! Hal, serupa sering terjadi pada
lembaga-lembaga rohani / keagamaan yang selalu menuntut orang lain berbuat
benar tetapi dihindari bahkan sengaja tidak dilakukan oleh diri sendiri.
Yesus
membuktikan kemunafikan mereka yakni dengan cara melihat kebiasaan orang Yahudi
yang tidak pernah dilarang dalam memberi minum hewan ternak pada hari Sabat.
Hewan ternak yang dikurung di dalam kandang biasanya dilepaskan pada Hari
Sabat, dan dibawa ke tempat mereka bisa minum. Sungguh keterlaluan jika mereka
tidak melakukan tindakan itu. Yesus menerapkan analogi ini terhadap penderitaan
perempuan yang telah disembuhkan-Nya. Dengan kata sederhana Yesus mengatakan, “Haruskah lembu dan keledai diberi belas kasihan
pada Hari Sabat, dan diberi begitu banyak waktu dan tenaga untuk diurus setiap
Hari Sabat, untuk dilepaskan dari kandang, dibawa ke tempat minum yang mungkin
jauh, dan kemudian dibawa kembali ke kandang. Sedangkan, perempuan ini, tidak
bolehkah ia, hanya dengan jamahan tangan dan ucapan kata-kata, dilepaskan dari
penderitaannya yang jauh lebih dasyat dari pada yang dirasakan hewan ternak
yang dikurung di dalam kandang seharian tanpa diberi minum? Seba, itu
pertimbangkanlah! Dia ini seorang keturunan Abraham, bapa leluhur yang membuat
kamu bangga menjadi bangsa pilihan. Dia ini saudarimu, jadi, apakah dia tidak
boleh menerima kebaikan yang kamu sendiri berikan kepada keledai atau lembumu
dengan sedikit tidak mengindahkan ketentuan hukum pada Hari Sabat itu? Dia ini
diikat oleh Iblis, Iblislah yang merusak kehidupannya, jadi apakah AKu tidak
boleh membuka ikatan itu?”
Mendengar
jabawan itu ia merasa malu dan semua orang banyak bersukacita karena segala
perkara mulia, yang telah dilakukan-Nya. Nah, sekarang kita ada di bagian mana?
Orang yang malukah atau yang bersukacita. Kita, khususnya sebagai bangsa
harusnya merasa malu. Selalu memandang dan meragukan kewarganegaraan, ras dan
agama saudara-saudara sebangsa kita –
yang sebenarnya mereka lebih baik dalam berjuang, mencintai dan menghargai
tanah air kita. Berapa banyak orang atau lembaga keagamaan dan politik yang
mengusung dan meneriakkan ajaran agama dan moralitas yang tinggi, padahal sudah
terbukti bahwa justeru merekalah yang sering jadi pengacau dan penghasut.
Rasanya bukan zamannya lagi membawa hukum, kaidah moral dan ajaran nilai-nilai
luhur agama hanya untuk membangun citra dan kebanggaan diri.
Lihatlah, Yesus
berhasil melepaskan ikatan yang membuat perempuan itu delapan belas tahun
lamanya menderita. Namun, yang kini terjadi justeru masih banyak orang yang
mengikatkan diri dengan kemunafikan mereka. Hal ini, jauh lebih berbahaya,
sebab – kalau perempuan itu “diikat” oleh kuasa jahat dan yang menderita hanya
dia sendiri. Nah, sekarang, jika seseorang dibelenggu dan diikat oleh
kemunafikannya, maka yang terjadi korbanya adalah orang lain. Ya, ia bisa
menghasut, memfitnah, menyerang dan membinasakan yang lain.
19 Agustus 2016