Apa yang terjadi
bila tubuh kita terus-menerus bekerja, tidak cukup istirahat dan asupan gizi?
Sakit! Sama seperti daya tahan tubuh, spiritualitas kita pun bisa mengalami
penurunan dan sakit. Pada saat menghadapi pelbagai macam tantangan, ketahanan iman
kita menjadi rapuh. Tanda-tandanya, kita mulai pesimis, menyerah, tidak lagi
mau peduli dengan tugas panggilan pelayanan sebagai orang percaya. Bisa jadi saat ini kita sedang mengalami
kondisi seperti ini: Pada awalnya menggebu-gebu, merasa terpanggil untuk
melayani Tuhan. Firman Tuhan begitu rupa menyentuh jiwa. Rasanya Allah begitu
dekat mendekap dan menyapa. Lalu kita bertekad untuk melayani-Nya dengan
sungguh-sungguh. Api-Nya berkobar dalam diri kita, itulah panggilan jiwa!
Namun, Seiring berjalannya waktu, semakin nyata realita pelayanan itu. Tidak
selalu indah!
Ada banyak
faktor yang membuat kita tidak dapat memertahankan konsistensi panggilan
pelayanan itu. Faktor-faktor itu antara lain: apa yang kita lakukan
disalahmengerti oleh orang lain, hasil yang tidak kunjung terlihat, jenuh, tidak
dihargai, kelelahan fisik, ekonomi, beban yang terlalu berat, ancaman dan
intimidasi, ada kegiatan lain yang lebih menarik, komunitas yang tidak
mendukung dan yang semacam itu. Lalu, apakah kita harus berhenti dalam
mengerjakan panggilan pelayanan yang Tuhan percayakan kepada kita? Menyadari
bahwa spiritualitas panggilan jiwa kita tidak luput dari kelelahan, kerapuhan
dan inkonsisten, maka kita harus dengan sengaja memeliharanya. Berikut ini ada
beberapa cara agar tugas panggilan kita dapat dilakukan dengan konsisten.
1. Retret
Ibarat telepon genggam, ia
membutuhkan daya untuk dapat berfungsi. Ada saatnya hand phone itu harus berhenti digunakan dan di-charger agar baterainya terisi kembali. Demikian juga dengan kita,
tidak mungkin kita terus-menerus mengerjakan tugas panggilan pelayanan itu
tanpa henti. Kita membutuhkan “waktu jeda” bersama dengan Tuhan, retret.
Pemahaman retret yang dimaksud adalah mengambil jarak dari tugas panggilan
pelayanan untuk menikmati saat-saat yang indah bersama dengan Tuhan. Tidak
harus keluar kota, di rumah pun bisa. Bukankah Yesus juga melakukan itu?
Sesibuk apa pun dalam menunaikan tugas pelayanan, Ia selalu mencari tempat yang
sunyi dan menyisihkan waktu menyendiri untuk berdoa dan bersekutu dengan
Bapa-Nya, entah itu pagi sekali (Markus 1:35) atau malam hari (Lukas 6:12).
Terlebih lagi ketika akan menghadapi masa-masa yang berat dalam hidup-Nya,
Yesus telah menyiapkannya dengan berdoa.
2. Mengingat kembali
panggilan yang mula-mula
Pada umumnya, kita akan mengingat
kapan pertama kalinya Tuhan menyentuh hati kita. Momen itu ada yang
menamakannya, “lahir baru” atau “pertobat”. Apa pun istilahnya, yang penting
makna pengalaman perjumpaan dengan Tuhan di balik peristiwa itu. Ingatan itu
sedikit banyak menolong kita untuk merenungkan kembali bahwa betapa sayangnya
Tuhan kepada kita; Ia menebus, mengampuni dan mendekapnya dengan kasih sayang. Ia
mau agar kita terus menjalani tugas panggilan bersama-Nya. Paulus pernah
memberikan nasihat kepada jemaat di Korintus, agar mereka mengingat sewaktu dipanggil
menjadi pengikut Kristus, “Selanjutnya
hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan
baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil…” (1 Korintus 7:17).
Ingatan pada panggilan mula-mula dapat menolong kita untuk terus konsisten
menjalani tugas panggilan-Nya.
3. Berdamai dengan
kenyataan
Pengalaman-pengalaman pahit dalam
pelayanan tentu menimbulkan bekas yang tidak nyaman bahkan luka dan membuat
kita tidak hanya malas melanjutkan tugas panggilan tetapi juga mengakhirinya.
Namun, itulah kenyataan yang harus kita hadapi. Tidak mungkin kita bisa
mengatur dan memilih agar semuanya menyenangkan. Berkaca pada konsistensi
pelayanan Yesus, begitu banyak Ia mengalami penolakan, derita dan aniaya bahkan
kematian yang mengerikan. Namun, Ia tidak pernah menyerah! Cobalah kita
memandang dari sudut pandang Tuhan, bisa jadi kenyataan yang tidak menyenangkan
itu dipakai-Nya untuk membentuk kita agar semakin dewasa di dalam iman. Pengalaman
dan perlakuan yang mengecewakan itu tidak perlu kita sesali dan tidak perlu
juga kita berusaha menghapusnya. Terimalah dan berdamailah, dengan cara pandang
baru, yakni bahwa semuanya itu Tuhan izinkan terjadi untuk kebaikan kita.
4. Fokuslah kepada yang
kita layani; bukan pada diri sendiri
Sebagian besar kekecewaan yang kita
rasakan disebabkan karena keinginan yang tidak terpenuhi. Biasanya
keinginan-keinginan itu berpusat pada diri sendiri. Tanpa sadar mungkin saja kita
menginginkan pujian atau keuntungan lainnya dari sebuah pelayanan. Banyak orang
melakukan tugas panggilan pelayanan mengatakan untuk melayani Tuhan. Cobalah kita
renungkan kembali, kalau benar kita melayani Tuhan maka mestinya kita selalu
bertanya, “Apakah yang aku lakukan ini menyenangkan hati-Nya?” Jangan-jangan
prioritas utamanya justeru diri kita sendiri. Akibatnya, ketika tidak
mendapatkan apa yang diharapkan, kita menjadi kecewa dan berhenti melayani.
Sekarang, marilah kita ubah fokus perhatian kita, yakni bukan pada diri
sendiri, melainkan hanya untuk Tuhan. Di sini kita juga menyadari bahwa tidak
ada seorang pun yang dapat melayani Tuhan secara langsung. Kita hanya dapat
melayani-Nya melalu sesama. Ingatlah perkataan Yesus, “…Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu
yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini,
kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matius 25:40)
Pandanglah dalam diri sesama yang kita layani ada wajah Yesus, sehingga kita
dapat melayani mereka dengan sukacita.
5. Berusaha hidup dalam
komunitas yang saling membangun
Manusia
diciptakan sebagai makhluk sosial, ia pasti membutuhkan orang lain untuk
kelangsungan hidupnya. Hal ini juga berlaku dalam kehidupan iman, pada
kenyataannya kehidupan beriman bukanlah
urusan pribadi semata. Kita membutuhkan orang lain, jemaat atau komunitas untuk
tumbuh bersama. Paulus pernah mengatakan, “Bertolong-tolonganlah
menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.”(Galatia 6:2).
Jadi, setiiap kita membutuhkan orang lain agar turus tumbuh di dalam iman. Sejak
terbentuk jemaat Kristen mula-mula (Kisah Para Rasul 2:41-47), persekutuan itu dikenal
sebagai komunitas yang sehati sepikir saling berbagi, peduli dan membangun. Mestinya,
di mana ada jemaat kristiani di situlah terdapat komunitas yang saling
membangun dan menguatkan. Ketika kita mengalami tantangan dan beban berat yang
dapat menggoyahkan panggilan jiwa kita, berbagilah dengan saudara-saudara
seiman kita.
Jakarta, 12 Agustus 2016