“Tujuan dari
doa bukan untuk memberi tahu Tuhan tentang kebutuhan-kebutuhan kita, tetapi
mengundang-Nya agar mengatur hidup kita.”
(Clarence Bauman)
“Hore! Doa kita
terkabul.” Teriak Eirene, anak kami yang kala itu berumur tiga tahun, dengan
begitu gembira. Pagi-pagi benar ia bangun untuk memeriksa freezer. Ternyata, air yang dituangkannya ke cetakan es yang
berbentuk bunga-bunga itu telah berhasil menjadi es! Mengapa ia begitu gembira?
Doanya didengar Tuhan!
Seperti biasa
ketika kami berkumpul malam menjelang tidur ada semacam ibadah kecil. Kami
bernyanyi dan doa. Setiap hari kami bergilir berdoa. Malam itu, Eirene mendapat
giliran berdoa. Dengan polosnya, ia berdoa, “Tuhan, malam ini saya memasukan
air ke pencetakan es. Tolonglah agar besok menjadi es. Dalam nama Tuhan Yesus
kami berdoa. Amin!” Mendengar doa itu, kami menahan tawa. Logika kami berpikir,
tidak usah didoakan pun air yang disimpan lebih dari 8 jam di freezer pasti akan membeku, menjadi es!
Namun, ketika kami menyelami lebih dalam, bukankah kalau aliran listrik mati
atau kulkasnya rusak, air itu tidak akan menjadi es? Orang dewasa cenderung
mengedepankan logika, namun di atas logika ternyata manusia punya banyak
keterbatasan. Di situlah perlu kerendahan hati untuk memohon pertolongan Tuhan.
Berdoa bukan
perkara aneh. Konon, keistimewaan manusia ditandai oleh kepekaan batinnya
terhadap kehadiran yang Ilahi. Manusia memiliki dorongan kuat untuk terhubung
dengan yang Ilahi itu. Doa diyakini sebagai kegiatan manusia untuk dapat
berkomunikasi dengan yang Ilahi itu. Bila doa adalah komunikasi manusia dengan
Tuhan, maka mestinya terjadi dialog antara si pendoa dengan Tuhan. Namun, jika
kita mengevaluasi doa-doa kita, harus diakui bahwa komunikasi sering kali
timpang. Hanya dari pihak kitalah yang terus berbicara dan kita mengabaikan
mendengar suara-Nya.
George Bernard
Shaw, seorang penulis Irlandia mencoba mengamati doa. Ia menemukan bahwa pada
umumnya manusia berdoa hanya untuk menyampaikan permohonan dan
keluhan-keluhannya. “Kebanyakan orang pada dasarnya tak berdoa, mereka hanya
memohon sesuatu, meminta!” katanya. Lain lagi pendapat Mahatma Gandhi, “Doa itu
bukan meminta! Berdoa adalah pancaran jiwa. Lebih baik berdoa dengan hati dan tanpa
kata-kata daripada berdoa dengan kata-kata namun tanpa hati.” Sedangkan Meister
Eckhart, seorang teolog Jerman mengatakan, “Bila satu-satunya doa yang Anda
sampaikan selama hidup Anda adalah bersyukur, itu sudah cukup.” Sementara
Norman Vincent Peale mengusulkan, “Doa adalah sebuah kesempatan untuk
mengucapkan apa pun. Lebih baik bila tidak memohon pelbagai hal melainkan
berterima kasih sebelumnya atas apa yang Anda inginkan lalu menyerahkannya
kepada Tuhan dan memvisualisasikan hasil yang baik. Silahkan terkejut melihat
efektivitasnya!”
Tentu, ketika
kita menggali dan membaca pelbagai sumber tentang doa, pasti ada begitu banyak
definisi, kajian dan hal-hal teknis praktis tentang doa dan cara mendaraskannya.
Pada masyarakat Yahudi zaman Yesus, pastilah doa dan ajaran-ajaran doa telah
begitu banyak. Suatu ketika Yesus berdoa, dan memang selalu seperti itu. Ketika
Ia selesai berdoa, berkatalah salah seorang murid-Nya, “Tuhan ajarlah kami
berdoa!” (Lukas 11:1)
Permohonan ini
terasa tidak biasa. Mengapa? Sebab semua murid Yesus itu adalah orang Yahudi
yang sejak kecil diajari berdoa. Mereka tahu berdoa dan mengenal berbagai jenis
doa. Umat Yahudi adalah umat pendoa. Mereka terampil mendaraskan doa-doa di
sinagoge maupun di Bait Allah. Lalu mengapa mereka masih meminta untuk diajari?
Bisa jadi mereka mempunyai pemahaman bahwa setiap rabbi atau guru Yahudi punya doa-doa khusus, seperti doa khas
para pengikut Yohanes Pembaptis. Atau mungkin
mereka melihat ada hal yang sangat menarik yang dipraktekan Yesus dalam
doa-doanya. Saya, kira yang terakhir yang lebih mendorong murid Yesus itu
meminta agar Dia mengajari mereka berdoa. Ada yang unik yang dipraktekan dalam
doa Yesus . Ia menyebut Allah sebagai “Bapa”. Namun, bukankah juga para nabi
dalam Perjanjian Lama juga menyebut Allah sebagai Bapa. Nabi Yesaya berdoa, “Bukankah Engkau Bapa kami?...Kami tanah liat. Engkau yang membentuk kami, kami
semua adalah buatan tangan-Mu. Jadi jangan murka!” (Yes 63:16; 64:8 dst).
Lalu apa bedanya dengan Yesus menyapa Allah sebagai Bapa?
Benar, para nabi
Perjanjian Lama juga menyapa Allah sebagai Bapa. Namun, demikian dalam doa
sehari-hari bangsa Yahudi hampir tidak pernah menyapa Allah sebagai Bapa.
Mengapa? Karena dalam perkembangan selanjutnya, bangsa Israel menggunakan gelar
“bapa” itu ditujukan kepada Abraham, Ishak, dan Yakub. Ketika Yesus mengajarkan
para murid menyapa Allah dengan “Bapa” hal ini mau menyatakan bahwa Allah begitu
dekat; seperti orang tua yang mau dan bersedia mendekap anak-anaknya dengan
kasih sayang. Apabila Yesus begitu akrab dengan Allah, Ia pun ingin keintiman
dengan Bapa-Nya itu dapat dirasakan juga oleh para murid-murid-Nya.
Dalam Injil
Lukas 11:2-4, Yesus mengajarkan “Doa Bapa Kami” dalam versi yang lebih pendek
dari Matius 6: Isi doa yang singkat ini
mengatakan bahwa sebelum memohon segala sesuatu, kita harus menyatukan
keinginan diri sendiri dengan kehendak Sang Bapa. Permohonan ini berbentuk
pasif, “Bapa dikuduskanlah nama-Mu.”
Artinya, nama Allah hanya dapat dikuduskan oleh Allah sendiri. Ia
menguduskannya dengan menegakkan kerajaan-Nya di bumi. “Datanglah Kerajaan-Mu” adalah doa supaya kuasa Allah berdaya guna
di bumi ini. Kedua permohonan yang terdapat dalam ayat 2 ini seharusnya menjadi
kerinduan setiap pengikut Kristus untuk mewujudkannya. Dua permohonan ini jelas
ditujukan demi kemuliaan Bapa. Dalam bagian ini manusia diajak untuk terlibat
dalam karya kasih Allah bagi dunia dan bukan mendahulukan apa yang menjadi
kebutuhan dan keinginannya. Barulah setelah itu Yesus mengajar untuk meminta. Apa yang diminta? Ada
tiga hal, yakni: makanan yang secukupnya, pengampunan dosa dan untuk tidak
terbawa dalam pencobaan.
Permintaan dalam
doa bukanlah sesuatu yang tabu. Namun, lihatlah apa yang diajarkan Yesus.
Meminta makanan yang secukupnya. Yesus tidak mengajarkan para murid-Nya untuk
hidup berlebihan. Cukup secukupnya! Siapa yang tahu persis kebutuhan kita
secukupnya itu? Bahkan kita sendiri pun kadang tidak bisa membedakan antara
mana kebutuhan dan keinginan. Jelas yang tahu kecukupan buat kita hanyalah
Bapa. Maka dengan segala kerendahan hati kita memohon dan menyerahkan kepada
Bapa untuk berkarya memberikan secukupnya. Tidak kurang dan tidak juga
berlebih!
Mengapa Yesus
mengajar supaya kita memohon pengampunan dosa? Karena tidak ada seorang pun
yang luput dari dosa (1 Yoh.1:8) dan dosa itulah yang menghalangi relasi kita
dengan Allah Bapa (Yes 59:1-2). Tidak ada cara lain agar pengampunan itu
benar-benar terjadi, kecuali dengan merendahkan diri di hadapan-Nya sambil
berharap anugerah-Nya. Sebab, tidak mungkin pengampunan itu terjadi ketika doa
itu hanya berhenti dalam ucapan saja!
Sebagai penutup
permohonan, Yesus mengajarkan, “…janganlah
membawa kami ke dalam pencobaan.” Doa ini jangan disalah mengerti bahwa
kita meminta Allah untuk membebaskan dari pelbagai pencobaan ,namun lebih dekat
kepada: supaya Bapa menolong kita untuk mengatasi pelbagai pencobaan itu.
Rabindranath Tagore mengingatkan, “Jangan
berdoa untuk berlindung dari bahaya, tetapi berdoalah untuk terbebas dari rasa
takut saat menghadapinya.” Semua permohonan ini akan menjadi basa-basi
dalam doa apabila tidak disertai dengan sikap hati yang mau merendah di hadapat
Allah. Lalu, seperti apakah sikap rendah hati di hadapan Allah? Kita dapat
meminjam perkataan Clarence Bauman, “Tujuan
dari doa bukan untuk memberi tahu Tuhan tentang kebutuhan-kebutuhan kita,
tetapi mengundang-Nya agar mengatur hidup kita.”