Jumat, 06 Mei 2016

SEMUA ADALAH SATU

James Bryan Smith pengarang The Good and Beautiful Community pernah punya pengalaman menyakitkan ketika diminta berbicara Spirituality Formation di hadapan enam puluh pemimpin sebuah denominasi gereja yang datang dari pelbagai penjuru Amerika Serikat. Surpise dan antusias mungkin kata itu yang paling tepat menggambarkan respon Jim. Selama enam bulan ia menyiapkan bahan presentasi tentang formasi spiritual.

Lalu ia memulai topiknya dan menyampaikan kalimat, “Allah memberi kita banyak anugerah – baik itu doa, solitude, berdiam diri, membaca Alkitab, berpuasa dan lain sebagainya – untuk dapat memperdalam hubungan kita dengan Allah dan mengembangkan karakter Kristus agar kita dapat hidup secara dinamis bersama-Nya dan berdampak bagi dunia.” Bagaimana respon mereka? Jim baru menyadari bahwa mereka teguh dengan doktrin bahwa Allah hanya memberi  dua anugerah saja bagi gereja, yakni : baptisan dan perjamuan kudus! Semua aspek yang disebutkannya, menurut mereka, bukanlah anugerah.

Sejak kalimat itu meluncur para peserta seminar itu berubah seolah memusuhinya. Tidak ada lagi orang yang memerhatikan pembicaraannya. Lima belas menit berikutnya, ada kepala-kepala yang menggeleng karena tidak setuju. Tiga puluh menit kemudian ada seorang pria memutar kursinya ke belakang dan berbicara dengan orang di belakangnya. Dia bisa saja pergi ke luar ruangan. Namun, tampaknya dia menginginkan agar semua orang tahu akan kejijikkannya terhadap Jim. Pada menit keempat puluh ada tiga orang yang mumutar kursi mereka ke belakang. Akhirnya, pada menit kelima puluh, Jim berkata, “Saya kira ini waktu yang tepat untuk beristirahat.” Pria yang sebelumnya menjeput dirinya di bandara menghampiri dengan wajah sedih berkata, “Presiden merasa sangat bersalah dan dia merasa suasana semakin menjadi rumit, jadi kami harus menghentikannya.” Padahal waktu yang disediakan baginya masi tersisa empat jam lagi!

Atas peristiwa itu James Bryan Smith mengambil kesimpulan bahwa hal yang kecil – tiga kata saja – bisa menciptakan permusuhan. Lalu ia mulai berefleksi: Sebuah kebenaran umum namun menyedihkan bahwa gereja Yesus Kristus terpecah menjadi pelbagai golongan yang menolak untuk bersekutu satu dengan yang lainnya. Meskipun mereka mengklaim memiliki satu Tuhan, satu iman dan satu baptisan, namun mereka berjalan dalam keterpisahan, penghakiman, kecurigaan dan bahkan permusuhan. Saat ini ada lebih dari tiga puluh ribu denomitasi Protestan dan kebanyakan dari mereka menolak demoninasi yang berbeda dengan diri mereka sendiri. Mengapa begitu? Mereka memiliki konsep bahwa mereka harus memisahkan diri mereka jika mereka berbeda dalam hal penampilan, status atau prinsip. “Jika Anda tidak sama dengan kami, bersikap seperti kami, beribadah seperti cara kami, atau berpikir seperti kami, maka kami tidak wajib untuk bergaul dengan Anda.”

Orang Anglo beribadah dengan orang Anglo saja; orang Hispanik beribadah dengan orang Hispanik saja, orang kaya beribadah dengan sesama orang kaya saja, orang miskin beribadah bersama dengan mereka yang miskin. Orang yang percaya bahwa Alkitab itu inheren hanya boleh beribadah dengan mereka yang memiliki doktrin yang sama, orang yang percaya bahwa homoseksualitas adalah gaya hidup yang diperbolehkan hanya akan beribadah dengan mereka yang berpendapat sama. Selanjutnya: Apakah Anda berbicara dalam bahasa lidah? Apakah Anda menyanyikan himne atau lagu kontemporer? Apakah Anda percaya bahwa perempuan diperbolehkan menjadi pendeta? Apakah Anda menggunakan band atau orkestra di gereja? Apakah Anda dibaptis selam atau percik? Pertanyaan-pertanyaan ini sering mengemuka untuk mengetahu prisip bergereja seseorang. Jawaban mereka akan menentukan apakah kita bisa beribadah bersama dengan mereka atau tidak. Beberapa orang bahkan akan bertanya tentang konsep keselamatan apakah sesuai dengan si penanya atau tidak.
Keterpisahan ini bukanlah apa yang diharapkan Yesus. Konsep bahwa, “jika kita berbeda, maka kita harus berpisah,” adalah penyebab dari perpecahan. Dan kita tahu bahwa penghancur terbesar dari kehidupan bergereja bukanlah penderitaan akibat tekanan, penganiayaan dan penindasan. Malah untuk alasan yang terakhir ini justeru semakin dibabat, semakin merambat; semakin dianiaya semakin bertambah banyak orang Kristen. Dalam sejarah gereja, terbukti perpecahan membuat berkeping-kepingnya gereja. Lihat saja di Turki tempat kelahiran Paulus dan jemaat-jemaat yang kepada mereka Wahyu Yohanes ditujukan, di Mesir, Siria, Aljazair, semenanjung Arab, Lebanon dan sekitarnya, adakah kekristenan di sana? Nyaris punah! Ini semua akibat perpecahan.

Banyak orang Kriisten merasa skisma (perpecahan gereja) adalah suatu keniscayaan karena kita harus memisahkan diri dengan mereka yang berbeda dari kita. Namun, setidaknya dalam iman kepada Yesus Kristus yang adalah Tuhan bersama mestinya kita berpikir bahwa krtidaksetujuan boleh terjadi karena kesatuan tidak sama dengan keseragaman, namun mestinya hal itu tidak menimbulkan perpecahan. Kita tidak perlu setuju dengan gaya ibadah, susunan liturgi atau hal-hal minor dalam doktrin, namun kita dapat dan harus bersekutu jika kita memang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Jika hati Anda berdetak dalam kasih kepada Yesus, maka gandenglah tangan saya dan mari kita saling bersekut. Yesus adalah Tuhan bagi mereka yang tidak setuju apabila perempuan boleh melayani. Yesus juga adalah Tuhan bagi mereka yang setuju kalau perempuan dapat menjadi pendeta. Yesus juga adalah Tuhan bagi kaum Baptis dan Episkopal, juga Tuhan bagi mereka yang berbahasa lidah atau tidak!

Sebuah tantangan besar mewujudkan doa Tuhan Yesus dalam Yohanes 17 ketika Ia meminta kepada Bapa-Nya agar para murid hidup dalam kesatuan, saling mengasihi, menopang dan menguatkan. Alih-alih bersatu kini, Protestan saja telah menjadi lebih dari tiga puluh ribu denominasi! Dan tidak dapat dielakan satu dengan lain denominasi bersaing bahkan saling menjatuhkan. Di dalam doanya, Yesus menginginkan kesatuan di dalam diri murid-murid-Nya sama seperti keesaan diri-Nya dengan Sang Bapa. Keesaan itu terjalin sedemikian rupa dan pengikatnya adalah kasih.

Bagaimana kita seharus memertahankan keutuhan kesatuan tubuh Kristus dengan realita yang ada sekarang ini di mana masing-masing orang Kristen menganggap dirinya paling benar? Stanley Hauerwas mengatakan, “Kasih yang merupakan sifat Kerajaan Allah ini hanya dimiliki oleh mereka yang telah diampuni – yakni mereka yang telah belajar untuk tidak perlu takut dengan orang lain yang berbeda…hanya ketika diri kita – yakni karakter diri saya – telah dibentuk oleh kasih Allah, maka pada saat itulah saya tidak memiliki alasan untuk takut dengan orang lain.” Hauerwas menyatakan apa yang menjadi masalah adalah bahwa kita menjadi takut dengan orang lain! (Padahal kasih yang benar membebaskan orang dari ketakutan). Dengan kata lain Hauerwas menengarai bahwa ketiadaan Kristus itulah yang menjadikan manusia terus mengasihani diri sendiri akibatnya selalu takut dan curiga terhadap orang atau kelompok yang berbeda. Rasa takut itu sebenarnya dapat diatasi dengan cara meningkatkan pemahaman kita terhadap orang yang berbeda. Di atas semuanya itu, kita dapat mengatasi rasa takut dengan cara menjadi orang yang telah diampuni dan dibentuk oleh kasih Allah.

Agustinus mengatakan, “Dalam hal-hal esensi, bersatulah; dalam masalah yang tidak bisa dipastikan, jangan kaku; dalam segala sesuatu berbuat baiklah.” Kalimat ini mula-mula dimaksudkan untuk mendinginkan persoalan dalam gereja. Namun, prinsip ini menolong kita untuk tetap dapat bersatu bahkan jika kita mengalami perbedaan pendapat. John Wesley, tokoh Metodis menyarankan bahwa satu-satunya cara agar gereja dapat bersatu adalah dengan cara membedakan hal esensi dengan yang bukan esensi, lalu menemukan cara menerima perbedaan itu tidak lebih dominan dari iman kita bersama. Wesley percaya bahwa kasih dan komitmen kepada Yesus adalah hal esensi. Segala sesuatu di luar itu bersifat tidak esensi. Hal yang tidak esensi tidak harus membuat kita terpecah.

Ingatlah juga apa yang dikatakan Paulus dalam 1 Korintus 12, bahwa perbedaan-perbedaan itu lebih bersifat seperti tubuh Kristus yang menjalankan fungsi yang berbeda-beda tetapi dengan tujuan prisnsip yakni menyatakan kasih Kristus kepada dunia ini.

Daiav0sahv-wb

Rabu, 04 Mei 2016

PERGI MEMBERI KEPERCAYAAN


“…pada hari ketiga bangkit pula dari antara orang mati, naik ke sorga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa,..”

Sepenggal kalimat ini adalah bagian dari Pengakuan Iman Rasuli yang setiap Ibadah Minggu kita ucapkan. Setelah menyelesaikan tugas perutusannya, Yesus kembali ke sorga. Ia naik ke sorga! Kenaikan Yesus ke sorga menandakan berakhirnya semua penampakan Yesus setelah peristiwa kebangkitan-Nya. Berakhir pula segala pekerjaan fisik Yesus di bumi ini. Hanya empat ayat, Lukas melukiskan peristiwa kenaikan Yesus (Lukas 24:50-53). Singkat sekali. Yesus membawa para murid-Nya ke dekat Betania, Dia memberkati mereka di sana. “Dan ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia terpisah di antara mereka dan terangkat ke sorga.”(Luk. 24:51).

Yesus terangkat dan naik ke sorga! Jadi, apakah benar sorga itu ada di atas? Bukankah gambaran ini membawa kesan bahwa alam semesta ini terdiri dari tiga lapisan; ada alam bawah, yakni dunia orang mati. Ada alam semesta yang di dalamnya kita hidup saat sekarang ini. Dan kemudian ada alam atas, yakni sorga? Tentu, kita memahami sekarang bahwa sorga bukan semata-mata sebuah tempat. John Calvin pernah mengungkapkan sorga mestinya lebih dipahami sebagai sebuah situasi dan kondisi di mana manusia dapat berhubungan intim dengan Allah. Namun, dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada cara untuk menggambarkan pemindahan total antara manusia dan Yesus yang kembali ke sorga, kecuali sebagai gerakan ke atas. “Atas” merupakan bayangan atau kesadaran manusia untuk menunjuk pada situasi dan kondisi mulia. Sulit di bayangkan kalau Yesus pergi ke sorga, lalu Ia bergerak ke kiri atau ke kanan atau ke depan dan belakang. Lebih tidak masuk akal lagi kalau kepergian-Nya ke sorga Ia menembus bumi. Peristiwa-peristiwa dalam Perjanjian Lama tentang Henokh dan Elia memerlihatkan gerak yang sama, ke atas. Lagi pula “naik dan terangkat” merupakan kata-kata liturgis. Kita ingat, Perjanjian Lama juga memakai kata-kata ini untuk korban-korban persembahan. Hal itu pulahlah yang kita lakukan ketika berdoa dan bernyanyi, tanpa sadar kita mengatakan, “Marilah kita menaikkan doa”, atau, “marilah kita menaikkan pujian NKB no…” Kita memahami bahwa Allah ada di atas maka doa dan nyanyian ibarat persembahan yang terangkat dan naik kepada Allah Bapa. Demikianlah seluruh rangkaian kehidupan, pelayanan, pengorbanan Yesus merupakan persembahan yang naik dalam kemuliaan kepada Bapa-Nya yang di sorga.

Yesus pergi ke sorga, mau tidak mau memakai gagasan ruang, tetapi gerakan naiknya Yesus ke sorga bukanlah sebagai tujuan utama pesan itu. Pusat perhatiannya justeru pada awan yang kemudian menutupi Yesus. Awan adalah gambaran takhta kemuliaan Allah. Kenaikan Yesus mendapatkan maknanya bukan karena gerekan Yesus yang naik, tetapi karena merupakan penutup dari rangkaian kisah pelayanan Yesus di bumi ini. Pemandangan ini didukung oleh pernyataan suara Langit, “Mengapakah kamu berdiri melihat ke langit?” (Kis 1:11) Namun kemudian, suara dari langit itu mengarahkan perhatian mereka untuk menantikan ke datangan Yesus kembali.

Tampaknya penulis Lukas belum puas dengan empat ayat untuk melukiskan Yesus yang naik ke sorga (Luk. 24:51-53). Dalam tulisan kedua yang ditujukan kepada Teofilus, ia kembali menggambarkan peristiwa kenaikan itu (Kisah Para Rasul 1:1-11). Sempat ada dialog dengan para murid. Dialog itu terjadi di meja makan dan Yesus berpesan agar mereka tidak meninggalkan Yerusalem. Mereka harus menantikan peristiwa baptisan oleh Roh Kudus, artinya menerima pencurahan Roh Kudus yang akan melengkapi mereka dengan pelbagai karunia untuk meneruskan pemberitaan Injil. Meski demikian, sepertinya para murid belum sungguh-sungguh memahami. Mereka masih membayangkan – seperti orang Yahudi pada umumnya – bahwa Yesus akan segera memulihkan kerajaan Daud secara politis (Kis 1:6-8). Alih-alih menjawab permintaan mereka, Yesus menjanjikan bahwa mereka akan menerima kuasa kalau Roh Kudus turun dan meminta mereka untuk menjadi saksi-Nya sampai ke ujung-ujung bumi.

Roh Kudus itu akan memampukan mereka mengerti Mesias seperti apa  Yesus itu. Roh Kudus juga akan memberikan kuasa kepada mereka untuk berani dan cakap menjadi pemberita Injil. Dari sini kita memahami, para murid adalah orang-orang biasa yang sederhana. Mereka bukan orang hebat. Mereka sering terjebak dalam pola piker dan keinginan seperti kebanyakan orang lain juga. Ingin merdeka, mempunyai kedudukan, mulia dan terhormat. Namun, Yesus memercayakan tugas yang tidak mudah ini kepada mereka. Tugas meneruskan pemberitaan yang sudah Ia mulai!

Mereka adalah orang-orang yang pernah jatuh dalam imannya. Mereka pernah menyangkal dan kocar-kacir ketika menyaksikan Sang Guru harus menanggung banyak penderitaan, mati dibunuh dengan cara mengerikan. Namun, Yesus kembali meneguhkan, memulihkan dan meluruskan iman mereka. Perjumpaan-Nya selama empat puluh hari dirasa cukup untuk memulihkan kondisi para murid. Kini, Ia harus “naik” kembali kepada Bapa yang telah mengutus-Nya.

Tanpa ada yang bisa mencegah, Yesus terus naik dana wan itu menutup-Nya. Mereka tidak lagi melihat-Nya dengan kasat mata seperti tiga tahun sebelumnya ketika bersama-sama menelusuri Nazaret, Galilea, Samaria dan Yesuralem. Ketika awan itu benar-benar menutup-Nya, Yesus hilang dari pandangan mereka, maka berkatalah dua orang yang berpakaian putih, “Hai orang-orang Galilea, mengapakah engkau berdiri melihat langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga.” (Kis 1:11). Setelah mendengar pernyataan itu mereka pulang ke Yerusalem dengan sukacita (Luk 24:52). Selanjutnya, apa yang mereka lakukan? Kis 2:12 dan seterusnya menceritakan bagaimana mereka bertekun menantikan penggenapan ucapan Yesus tentang pencurahan Roh Kudus. Selanjutnya, ketika Roh Kudus dicurahkan pada Hari Pentakosta, mereka melakukan tugas perutusan itu. Mereka menyaksikan Injil itu betapa pun harus mengalami penderitaan dan penganiayaan mereka melakukannya dengan sukacita.

Orang-orang sederhana yang semula jatuh bangun dalam iman mereka, kini dipercaya meneruskan karya Yesus dari Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ujung-ujung bumi. Pada pihak lain, para murid, dalam bimbingan Roh Kudus terus berkarya. Mereka berusaha menjadi orang-orang yang pantas dan dapat dipercaya.

Kini, berita Injil itu sampai kepada kita. Bagaimana kita menyikapi? Mestinya, sama seperti para murid, kita pun turut terlibat dalam karya penyelamatan Allah bagi dunia ini. Sama seperti para murid, pada umumnya kita bukanlah orang-orang hebat. Kebanyakan kita adalah orang yang pernah jatuh dalam dosa. Kita pernah gagal memelihara iman. Banyak cacat cela! Namun, dalam kenyataannya, Tuhan justeru memakai orang-orang seperti ini.  Cerita kesaksian para murid Tuhan justeru menggambarkan bahwa Tuhan sendirilah yang pada akhirnya melengkapi mereka dengan pelbagai karunia agar mampu menjalankan tugas perutusan itu dengan sebaik-baiknya. Satu saja yang diharapkan-Nya dari kita, yakni kesediaan hati untuk menyambut tugas kepercayaan yang diberikan-Nya kepada kita. Nah, apakah kita mau menyambut kepercayaan itu? Masihkah kita berdalih untuk menolaknya? Kalau kita menyatakan kesediaan menyambut tugas kepercayaan itu, pertahankanlah. Jadilah orang-orang yang pantas dan dapat dipercaya. Buktikanlah dengan mengerjakan perkara-perkara sederhana dengan kesungguhan hati dan dengan cinta yang besar!