Jumat, 29 April 2016

KASIH KRISTUS KEKUATAN YANG BARU DALAM MELAKSANAKAN VISI YANG BARU

Entah berapa tahun yang lalu saya tidak ingat lagi waktunya kapan. Namun, percakapan dengan sang nahkoda kapal atau tepatnya perahu tradisonal tidak pernah terlupa. Pagi-pagi buta kami menyiapkan perlengkapan memancing. Lepas dari dermaga nelayan menuju tengah laut. Tidak ada GSP atau peralatan navigasi elektronik. Kami menembus pekatnya kegelapan. “Bagaimana sampai di spot yang akan kita tuju?” tanya saya penuh keheranan, “dan…bagaimana nanti kita kembali ke dermaga ini?” Sang nahkoda tersenyum, sambil mengarahkan kemudi perahu itu, ia menjawab, “Tenang saja Pak! Kami sudah terbiasa dan tidak mungkin tersesat. Mengapa? Lihatlah tuh, di langit penuh bertaburan penunjuk arah. Ya, bintang-bintang itu patokan kita mengarahkan kemudi perahu ini!”

Kehidupan mirip-mirip seperti kita berlayar di samudera raya. Kita membutuhkan kompas atau penujuk arah agar tidak tersesat. Hanya orang-orang yang dapat melihat tanda-tanda penunjuk arahlah yang tidak akan tersesat. Hanya mereka yang mengerti tujuan untuk apa mereka hidup di dunia inilah yang akan mampu menggerakkan tubuh dan pikirannya untuk maju melangkah, bekerja, berkarya bahkan sampai titik darah penghabisan demi mewujudkannya. Itulah visi.

Apakah visi hidup seseorang dapat berubah? Ya. Setidaknya, dapat kita lihat dalam diri Paulus. Sebelum mengalami perjumpaan dengan Yesus, Paulus mempunyai visi memelihara Taurat Tuhan. Tidak boleh ada orang Yahudi menodai tradisi Yudaisme itu. Apa yang terjadi ketika ada sekelompok orang yang mengaku murid Yesus mengajarkan bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang mati disalibkan, bangkit dan naik ke sorga, Paulus berang. Atas visinya itu, ia menjalankan misi menghabisi setiap orang yang percaya kepada keyakinan itu. Di tengah-tengah misi pemurnian agama itulah terjadi perjumpaan dengan Yesus. Perjalanan ke Damsyik demi menegakkan syariat Taurat menjadi titik awal visi dan misi yang berubah dan sejak saat itu arah hidupnya justeru didedikasikan untuk pemberitaan Injil. Kini ia tidak hanya menjadi pengikut Yesus, melainkan menjadi pekabar Injil yang sebelumnya ia tentang. Itulah visi baru yang mengarahkan misi hidupnya menjadi baru pula.

Dahulu Paulus menjalankan syariat hukum Taurat oleh karena menurut keyakinannya hanya dengan jalan menaati detil hukum itulah hubungan baik dan pengampunan dosa dari Allah dapat dialami manusia. Ganjarannya adalah berkat. Sebaliknya, ketika manusia tidak mau tunduk atau gagal melaksanakan hukum-hukum itu, imbalannya adalah petaka; murka. Jelaslah di dalam melaksanakan hukum itu ada motivasi ketakutan. Manusia melaksanakan hukum itu oleh karena ada ancaman. Sebaliknya, jika mampu melaksanakannya, maka seseorang merasa berhak mendapatkan imbalan! Namun kini perubahan itu terjadi, setelah Paulus mengenal kasih karunia Allah di dalam Kristus, yang memotivasinya bukan lagi ketakutan melainkankan cinta kasih. Ia melakukan tugas pekabaran Injil bukan lagi karena takut dihukum Yesus. Melainkan karena ia mengasihi Yesus dan ia ingin orang lain juga merasakan cinta kasih Yesus itu.

Motivasi cinta kasih ternyata lebih dasyat dibanding motivasi ketakutan dan pamrih upah. Paulus dan murid Tuhan yang lainnya bergeming; alih-alih menyesal, mengeluh dan kecewa karena penganiayaan, justeru mereka bersukacita dan menganggap bahwa penderitaan demi Yesus Kristus adalah sebuah kasih karunia.  Benar, orang yang termotivasi oleh cinta kasih pasti akan melakukan segala sesuatu dengan rela dan dengan senang hati. Seolah energinya tidak ada habis-habisnya, dera dan penjara tidak pernah bisa membendung cinta kasih itu. Itulah yang kita lihat dari sosok para murid termasuk Paulus.

Paulus pergi ke mana saja untuk perjalanan pekabaran Injil yang seakan tidak pernah lelah. Suatu ketika ia di temani Silas dan Lukas berhenti di Troas setelah berkeliling melintasi Misia. Bagaimana pun Paulus memerlukan petunjuk ke mana ia harus pergi lagi. Dalam penglihatannya, ada seorang Makedonia yang memberikan arah bagi perjalanan Paulus berikutnya. Siapa yang dilihat Paulus itu? Beberapa orang menduga bahwa orang itu adalah Lukas sendiri, penulis Kisah Para Rasul yang adalah orang Makedonia. Sebagian lagi, merasa tidak ada gunanya membahasi siapa orang yang dilihat oleh Paulus itu sebab itu hanya penglihatan, seperti mimpi yang tidak memerlukan penjelasan.

William Barclay mengusulkan sebuah teori yang menurutnya menarik diperhatikan. Teori  itu mengatakan bahwa yang dilihat Paulus itu adalah Aleksander Agung. Kelihatannya, situasilah yang membuatnya sedemikian rupa sehingga Paulus mengingatnya. Paulus ada di Troas saat itu. Nama lengkap Troas adalah Aleksander Troas. Hanya menyeberang sedikit saja dari Troas sudah bertemu kota Filipi, yang didirikan menurut nama ayah Aleksander. Agak jauh sedikit dari Troas, ada kota Tesalonika, nama yang diberikan menurut nama saudara perempuan Aleksander. Jadi di distrik itu – jika orang mengingat sejarahnya – selalu berkaitan dengan Aleksander. Dan Alkesander adalah orang yang pernah berkata, bahwa visinya adalah, “untuk mempersatukan timur dan barat,” dan dengan demikian menjadi satu dunia. Bisa jadi visi Aleksander Agung adalah menaklukan dunia, dan memang benar seluruh hidupnya derusaha untuk itu. Sangat mungkin gagasan Aleksander Agung ini menginspirasi Paulus; boleh saja Aleksander Agung punya visi menaklukan dunia bagi dirinya sendiri. Namun kini, Yesus yang telah memasuki kehidupan Paulus dengan kasih-Nya, merasuki dirinya dan memperlihatkan visi bahwa “timur dan barat” harus mengenal kasih Kristus, bukan ditaklukan untuk Aleksander!

Dari visi yang dilihat di Troas inilah kemudian Paulus, Silas dan Lukas berangkat menuju Samotrake, Neapolis dan Filipi. Di Filipi Paulus dan teman-temannya berbicara dengan beberapa perempuan yang mereka temui. Termasuk Lidia, seorang saudagar kaya penjual kain ungu yang kemudian menjadi murid Tuhan. Reaksi spontan dari Lidia ialah menawarkan bagi Paulus dan teman-temannya untuk tinggal. Ketika Paulus menjelaskan tentang sifat orang Kristen, ia mengatakan bahwa orang Kristen harus “selalu memberikan tumpangan” (bnd. Roma 12:13). Ketika Petrus menganjurkan kepada orang-orang yang bertobat tentang tugas orang Kristen, dia mengatakan, “Berilah tumpangan seorang akan yang alin dengan tidak bersungut-sungut” (1 Petrus 4:9). Rumah orang Kristen adalah rumah yang pintunya selalu terbuka. Cerita selanjutnya, Injil tersebar di daratan Eropa!

Injil diterima dan kemudian tersebar ke Eropa dan sampai ujung-ujung bumi, tentu bukan dengan cara penaklukan seperti Aleksander Agung menaklukan dunia. Injil “menguasai dunia” bukan dengan cara penaklukan memakai kekuasan. Kegagalan pemberitaan Injil yang mendompleng aksi kolonialis pada abad-abad yang lalu tentu menjadi catatan kelam sejarah pemberitaan Injil. Luka dan trauma sejarah terus terungkit. Hal ini sangat berbeda ketika Injil disebarkan dengan cinta kasih karena dilandasi visi dan motivasi menyebarkan cinta. Yesus mengajarkan kepada para murid-Nya bukan untuk menyebarkan “nama-Nya” dengan model penaklukan, melainkan meneruskan cinta kasih dan damai sejahtera yang diberikan-Nya kepada semua murid-Nya. Yesus mengatakan bahwa damai sejahtera yang diberikan kepada semua murid-Nya tidak sama seperti yang diberikan dunia (Yohanes 14:27).

Jadi berbeda dengan cara-cara dunia, berita Kabar Baik harus disampaikan dengan cinta kasih. Inilah kekuatan yang baru yang harus menjadi dasar setiap orang yang terpanggil hidup dalam visi yang baru. Bagaimana dengan kita? Apakah haluan visi kita selama ini hanya untuk”menaklukkan” segala sesuatu demi kepentingan dan kesenangan pribadi. Ataukah, kita kelah takluk dalam kasih Kristus, sehingga perjuangan kehidupan kita kini adalah berusaha sekuat tenaga menyalurkan cinta kasih Tuhan hingga terwujudnya suatu tatanan baru: “Yerusalem yang baru itu.”


Jumat, 22 April 2016

KASIH KRISTUS, KEKUATAN YANG BARU BAGI KOMUNITAS YANG BARU

Seingat saya di Indonesia belum ada survai dan polling tentang perbedaan sikap dan prilaku antara orang Kristen dengan orang yang bukan Kristen dalam kehidupan sehari-hari. Jika ada, kira-kira apa ya hasil survai itu? Mari coba kita cermati sekarang, bukankah sikap dan prilaku Kristen atau bukan Kristen sama saja. Di jalan raya, misalnya  mobil dengan gantungan salib dan sticker Kristen tetap saja sama: melanggar marka dan rambu, manakala tidak ada polisi yang bertugas. Jumlah remaja yang terlibat kenakalan, seks bebas, minuman keras dan narkoba,  banyak yang mengaku diri  Kristen. Miskipun perceraian dalam kekristenan tabu dan dilarang, namun nyatanya banyak yang melakukannya baik yang terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi. Yang selingkuh, koruptor, melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga, tidak sedikit juga yang berkatepe Kristen. Pengusaha ilega loging, pembakar hutan dan perusak lingkungan di sana pun ada Kristen. Begitu pun praktek-praktek medis illegal dan pengemlang pajak tidak luput dari keterlibatan orang Kristen. Lalu apa yang membedakan kita dari kebanyakan orang lain yang tidak mengenal Kristus?

Apakah murid Yesus memang harus berbeda? Seharusnya, jawabannya iya! Sebab jika sama saja, pertanyaanya buat apa kita repot-repot menjadi murid Yesus dan menyatakan diri Kristen? Untuk apa pula kita bersulit-sulit mendirikan rumah ibadah yang memang banyak dihambat? Dan kemudian menyibukkan diri dengan sejumlah kegiatan yang mengatasnamakan pelayanan? Mestinya ada sesuatu yang khas yang membedakan kita. Kita sering mengutip 1 Petrus 2:9, “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus,….” King James menggunakan kata peculiar untuk kata “kudus”. Kamus mengartikan kata ini sebagai berbeda, aneh, ganjil, dan janggal. Dengan kata lain peculiar berarti berbeda atau unik. Jadi mestinya dipahami bahwa orang-orang Kristen itu memiliki keunikan yang berbeda dari orang-orang lain pada mumumnya.

Keunikan seperti apa yang seharusnya dimiliki oleh para pengikut Yesus sehingga berbeda dari orang lain? Kita bisa mengambil contoh, Jika Anda – tentunya dengan pertolongan Roh Kudus – bisa menyampaikan kejujuran di tengah-tengah kemunafikan, maka Anda akan terlihat aneh. Jika Anda memilih tidak korupsi – padahal situasi dan kondisinya sangat memungkinkan – di tengah-tengah lingkungan yang korup, maka Anda akan terlihat janggal. Jika Anda memilih hidup tanpa dikuasai oleh keserakahan dan kemarahan, maka sudah dapat dipastikan Anda orang yang ganjil. Jika memilih mendoakan dan berusaha mengasihi orang yang memusuhi Anda, jelas Anda akan disebut makhluk langka! Mengapa? Ya, karena dunia ini tidak seperti itu! Hanya orang yang hidup dalam Kerajaan Allah saja yang mampu bersikap demikian. Jumlahnya pasti tidak banyak.

Oop, tunggu dulu! Bukankah ada juga orang bukan Kristen yang dapat menyampaikan kejujuran, hidup tanpa dikuasai oleh kemarahan, dan bisa mengasihi musuh mereka. Murid Yesus memang tidak memiliki hak ekslusif atas kebaikan-kebaikan unik universal ini. Namun, perbedaannya tetap ada, yakni terletak pada bagaimana dan alasan apa yang mendorong kita untuk hidup dalam keunikan tersebut. Alasanya: Kita melakukannya karena kita adalah murid Yesus, yakni teladan, guru dan Juruselamat kita!

Mengapa Anda – sebagai orang Kristen – itu unik? Karena Allah kita adalah unik! Allah yang mengasihi kita, yang kepada-Nya kita beribadah sangat jauh berbeda dengan allah-allah lain yang diciptakan oleh manusia. Ambil contoh, ketika orang Yunani dan Romawi menciptakan panteon, dewa dan dewi mereka, dewa-dewi itu terlihat persis dengan manusia, begitu pula dengan sifat mereka. Dewa-dewi ini bisa berdusta, berbuat curang dan membunuh. Mereka berzinah dan menyerang satu dengan yang lain dengan kemarahan dan keirihatian. Kehidupan mereka penuh intrik!

Berbeda, Allah yang kita kenal di dalam Yesus Kristus ini unik, berbeda . Allah yang berkenan disebut Bapa sangat mengasihi manuysia sehingga Dia menjadi sama dengan ciptaan-Nya sendiri bahkan mati bagi mereka. Allah mengampuni mereka, yang sebenarnya tidak layak untuk diampuni.  Allah bermurah hati dan tidak ingin membalas dendam. Jika Allah menunjukkan murka-Nya, justeru karena Ia adalah Allah yang baik dan mengasihi, sebab dosa dapat menghancurkan anak-anak-Nya. Allah dalam Yesus Kristus berbeda dari allah-allah lain. Allah bekerja dengan cara yang berbeda, Dia seperti ayah yang diperlakukan tidak adil oleh anak yang tidak tahu diri, namun masih mau menerima anak itu (Lukas 15:11-32). Para pendengar Yesus akan sangat aneh ketika mendengar pengajarannya. Allah itu seperti seorang majikan yang membayar upah penuh kepada mereka yang hanya bekerja satu jam (Matius 20:1-16). Yesus menyatakan Allah yang lain dengan apa yang mereka pernah dengar. Allah ini memang sungguh-sungguh unik. Jadi, logikanya wajar saja jika Allah itu unik; Allah itu berbeda, kita pun yang menyembah-Nya harus berbeda!

Di sinilah komunitas baru itu menjelma dengan segala keunikannya. Komunitas yang dibentuk karena pemahaman yang baru tentang cinta kasih Allah. Sebelum Yesus menempuh jalan salib, (Yohanes menyebutnya sebagai kemulian) Yesus menegaskan kembali tentang sebuah peritah baru, yakni agar mereka saling mengasihi (Yohanes 13:31-35). Pertanyaannya, apakah Yesus adalah orang pertama yang mengajarkan untuk saling mengasihi? Tentu saja tidak! Perintah saling mengasihi sudah sejak lama menjadi peraturan hidup dalam tradisi Perjanjian Lama (Imamat 19:18). Di luar Yahudi juga hal saling mengasihi tidak asing lagi sebagai prinsip kehidupan bersama dalam sebuah komunitas.

Apa yang membuat perintah Yesus dalam Yohanes 13 :31-35 ini disebut baru? Yang memberi kebaruan dalam perintah Yesus ini adalah kualifikasi “sama seperti Aku telah mengasihi kamu”. Jadi bukan kasih dari motif-motif lain.  Kasih inilah yang selanjutnya mengalir dan mendarah daging dalam kehidupan setiap murid Yesus. Kasih itu adalah kasih yang mereka terima dari Yesus. Yesus terlebih dulu telah memanggil dan mengasihi para murid. Dia juga telah memanggil dan mengsihi kita bahkan sebelum kita mengenal Allah. Kasih inilah yang harus diteruskan oleh para murid termasuk kita. Kita saling mengasihi bukan supaya terjaminnya kesejahteran bersama dalam sebuah komunitas kita, bukan juga demi terbangunnya sebuah solidaritas bersama, melainkan agar semua orang yang bersentuhan dengan mengalami kasih Yesus seperti yang telah kita alami. Sehingga perkara mengasihi bukan lagi semacam tuntutan etis, melainkan sebuah identitas kemuridan. Hal ini sangat jelas dalam pernyataan Yesus bahwa orang-orang akan mengenal setiap murid-Nya dari apa yang mereka lakukan atau kerjakan, yakni ketika setiap murid Yesus itu menjadikan cinta kasih sebagai gaya hidup! Di situlah keunikan atau perbedaan murid-murid Yesus.

Tidak ada ciri keunikan lain yang begitu menonjol dalam kehidupan para murid, kecuali cinta kasih. Sejarah kekristenan diwarnai oleh begitu banyaknya orang-orang yang menerima aliran cinta kasih dari Kristus. Paulus menyatakan diri bahwa hidupnya bukan dirinya lagi, melainkan Kristus yang hidup di dalamnya, Anak Allah yang telah mengasihinya (Galatia 2:20). Dampaknya dasyat sekali: tidak ada yang dapat menghalanginya untuk menyalurkan cinta kasih Kristus itu kepada banyak orang. Demikian juga dengan Petrus, tradisi keagamaan yang begitu beku telah mencair. Bagi orang di luar Yahudi tidak mungkin ada keselamtan, namun Allah sendiri, melalui Roh Kudus-Nya memakai Petrus untuk menyelamatkan Kornelius dan seisi rumahnya untuk dapat merasakan kasih Allah itu.

Sejarah kekristenan adalah sejarah cinta kasih, ya cinta kasih yang unik. Apakah kini Anda dan saya  juga merupakan pelaku sejarah yang meneruskan cinta kasih itu? Ataukah kita sama saja, tidak ada bedanya dengan orang lain?