Entah berapa
tahun yang lalu saya tidak ingat lagi waktunya kapan. Namun, percakapan dengan
sang nahkoda kapal atau tepatnya perahu tradisonal tidak pernah terlupa.
Pagi-pagi buta kami menyiapkan perlengkapan memancing. Lepas dari dermaga
nelayan menuju tengah laut. Tidak ada GSP atau peralatan navigasi elektronik.
Kami menembus pekatnya kegelapan. “Bagaimana sampai di spot yang akan kita
tuju?” tanya saya penuh keheranan, “dan…bagaimana nanti kita kembali ke dermaga
ini?” Sang nahkoda tersenyum, sambil mengarahkan kemudi perahu itu, ia
menjawab, “Tenang saja Pak! Kami sudah terbiasa dan tidak mungkin tersesat.
Mengapa? Lihatlah tuh, di langit
penuh bertaburan penunjuk arah. Ya, bintang-bintang itu patokan kita
mengarahkan kemudi perahu ini!”
Kehidupan
mirip-mirip seperti kita berlayar di samudera raya. Kita membutuhkan kompas
atau penujuk arah agar tidak tersesat. Hanya orang-orang yang dapat melihat
tanda-tanda penunjuk arahlah yang tidak akan tersesat. Hanya mereka yang
mengerti tujuan untuk apa mereka hidup di dunia inilah yang akan mampu menggerakkan
tubuh dan pikirannya untuk maju melangkah, bekerja, berkarya bahkan sampai
titik darah penghabisan demi mewujudkannya. Itulah visi.
Apakah visi
hidup seseorang dapat berubah? Ya. Setidaknya, dapat kita lihat dalam diri
Paulus. Sebelum mengalami perjumpaan dengan Yesus, Paulus mempunyai visi
memelihara Taurat Tuhan. Tidak boleh ada orang Yahudi menodai tradisi Yudaisme
itu. Apa yang terjadi ketika ada sekelompok orang yang mengaku murid Yesus
mengajarkan bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang mati disalibkan, bangkit
dan naik ke sorga, Paulus berang. Atas visinya itu, ia menjalankan misi
menghabisi setiap orang yang percaya kepada keyakinan itu. Di tengah-tengah
misi pemurnian agama itulah terjadi perjumpaan dengan Yesus. Perjalanan ke
Damsyik demi menegakkan syariat Taurat menjadi titik awal visi dan misi yang
berubah dan sejak saat itu arah hidupnya justeru didedikasikan untuk
pemberitaan Injil. Kini ia tidak hanya menjadi pengikut Yesus, melainkan
menjadi pekabar Injil yang sebelumnya ia tentang. Itulah visi baru yang
mengarahkan misi hidupnya menjadi baru pula.
Dahulu Paulus
menjalankan syariat hukum Taurat oleh karena menurut keyakinannya hanya dengan
jalan menaati detil hukum itulah hubungan baik dan pengampunan dosa dari Allah
dapat dialami manusia. Ganjarannya adalah berkat. Sebaliknya, ketika manusia
tidak mau tunduk atau gagal melaksanakan hukum-hukum itu, imbalannya adalah
petaka; murka. Jelaslah di dalam melaksanakan hukum itu ada motivasi ketakutan.
Manusia melaksanakan hukum itu oleh karena ada ancaman. Sebaliknya, jika mampu
melaksanakannya, maka seseorang merasa berhak mendapatkan imbalan! Namun kini
perubahan itu terjadi, setelah Paulus mengenal kasih karunia Allah di dalam
Kristus, yang memotivasinya bukan lagi ketakutan melainkankan cinta kasih. Ia
melakukan tugas pekabaran Injil bukan lagi karena takut dihukum Yesus.
Melainkan karena ia mengasihi Yesus dan ia ingin orang lain juga merasakan
cinta kasih Yesus itu.
Motivasi cinta
kasih ternyata lebih dasyat dibanding motivasi ketakutan dan pamrih upah.
Paulus dan murid Tuhan yang lainnya bergeming; alih-alih menyesal, mengeluh dan
kecewa karena penganiayaan, justeru mereka bersukacita dan menganggap bahwa
penderitaan demi Yesus Kristus adalah sebuah kasih karunia. Benar, orang yang termotivasi oleh cinta kasih
pasti akan melakukan segala sesuatu dengan rela dan dengan senang hati. Seolah
energinya tidak ada habis-habisnya, dera dan penjara tidak pernah bisa
membendung cinta kasih itu. Itulah yang kita lihat dari sosok para murid
termasuk Paulus.
Paulus pergi ke
mana saja untuk perjalanan pekabaran Injil yang seakan tidak pernah lelah.
Suatu ketika ia di temani Silas dan Lukas berhenti di Troas setelah berkeliling
melintasi Misia. Bagaimana pun Paulus memerlukan petunjuk ke mana ia harus
pergi lagi. Dalam penglihatannya, ada seorang Makedonia yang memberikan arah
bagi perjalanan Paulus berikutnya. Siapa yang dilihat Paulus itu? Beberapa
orang menduga bahwa orang itu adalah Lukas sendiri, penulis Kisah Para Rasul
yang adalah orang Makedonia. Sebagian lagi, merasa tidak ada gunanya membahasi
siapa orang yang dilihat oleh Paulus itu sebab itu hanya penglihatan, seperti
mimpi yang tidak memerlukan penjelasan.
William Barclay
mengusulkan sebuah teori yang menurutnya menarik diperhatikan. Teori itu mengatakan bahwa yang dilihat Paulus itu
adalah Aleksander Agung. Kelihatannya, situasilah yang membuatnya sedemikian
rupa sehingga Paulus mengingatnya. Paulus ada di Troas saat itu. Nama lengkap
Troas adalah Aleksander Troas. Hanya menyeberang sedikit saja dari Troas sudah
bertemu kota Filipi, yang didirikan menurut nama ayah Aleksander. Agak jauh
sedikit dari Troas, ada kota Tesalonika, nama yang diberikan menurut nama
saudara perempuan Aleksander. Jadi di distrik itu – jika orang mengingat
sejarahnya – selalu berkaitan dengan Aleksander. Dan Alkesander adalah orang
yang pernah berkata, bahwa visinya adalah, “untuk mempersatukan timur dan
barat,” dan dengan demikian menjadi satu dunia. Bisa jadi visi Aleksander Agung
adalah menaklukan dunia, dan memang benar seluruh hidupnya derusaha untuk itu.
Sangat mungkin gagasan Aleksander Agung ini menginspirasi Paulus; boleh saja
Aleksander Agung punya visi menaklukan dunia bagi dirinya sendiri. Namun kini,
Yesus yang telah memasuki kehidupan Paulus dengan kasih-Nya, merasuki dirinya
dan memperlihatkan visi bahwa “timur dan barat” harus mengenal kasih Kristus,
bukan ditaklukan untuk Aleksander!
Dari visi yang
dilihat di Troas inilah kemudian Paulus, Silas dan Lukas berangkat menuju
Samotrake, Neapolis dan Filipi. Di Filipi Paulus dan teman-temannya berbicara
dengan beberapa perempuan yang mereka temui. Termasuk Lidia, seorang saudagar
kaya penjual kain ungu yang kemudian menjadi murid Tuhan. Reaksi spontan dari
Lidia ialah menawarkan bagi Paulus dan teman-temannya untuk tinggal. Ketika
Paulus menjelaskan tentang sifat orang Kristen, ia mengatakan bahwa orang
Kristen harus “selalu memberikan tumpangan” (bnd. Roma 12:13). Ketika Petrus menganjurkan
kepada orang-orang yang bertobat tentang tugas orang Kristen, dia mengatakan, “Berilah
tumpangan seorang akan yang alin dengan tidak bersungut-sungut” (1 Petrus 4:9).
Rumah orang Kristen adalah rumah yang pintunya selalu terbuka. Cerita
selanjutnya, Injil tersebar di daratan Eropa!
Injil diterima
dan kemudian tersebar ke Eropa dan sampai ujung-ujung bumi, tentu bukan dengan
cara penaklukan seperti Aleksander Agung menaklukan dunia. Injil “menguasai
dunia” bukan dengan cara penaklukan memakai kekuasan. Kegagalan pemberitaan Injil
yang mendompleng aksi kolonialis pada abad-abad yang lalu tentu menjadi catatan
kelam sejarah pemberitaan Injil. Luka dan trauma sejarah terus terungkit. Hal
ini sangat berbeda ketika Injil disebarkan dengan cinta kasih karena dilandasi
visi dan motivasi menyebarkan cinta. Yesus mengajarkan kepada para murid-Nya
bukan untuk menyebarkan “nama-Nya” dengan model penaklukan, melainkan
meneruskan cinta kasih dan damai sejahtera yang diberikan-Nya kepada semua
murid-Nya. Yesus mengatakan bahwa damai sejahtera yang diberikan kepada semua
murid-Nya tidak sama seperti yang diberikan dunia (Yohanes 14:27).
Jadi berbeda
dengan cara-cara dunia, berita Kabar Baik harus disampaikan dengan cinta kasih.
Inilah kekuatan yang baru yang harus menjadi dasar setiap orang yang terpanggil
hidup dalam visi yang baru. Bagaimana dengan kita? Apakah haluan visi kita
selama ini hanya untuk”menaklukkan” segala sesuatu demi kepentingan dan
kesenangan pribadi. Ataukah, kita kelah takluk dalam kasih Kristus, sehingga
perjuangan kehidupan kita kini adalah berusaha sekuat tenaga menyalurkan cinta
kasih Tuhan hingga terwujudnya suatu tatanan baru: “Yerusalem yang baru itu.”