Rasanya sulit
mengelak dari pendapat yang mengatakan bahwa cinta mempunyai energi atau
kekuatan dasyat. “…cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti duia orang
mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN! Air yang banyak tidak dapat memadamkan
cinta,…” Begitu kata Kidung Agung 8:6,7. Pantaslah kalau kita amati orang yang
sedang jatuh cinta – terhadap apa pun – ia memiliki energi yang luar biasa. “Gak
ada matinya!”, kata ungkapan anak muda. Seolah-olah tenaga dan antusias terus
ada walaupun melakukan banyak aktivitas yang menguras energi. Masih ingat
ketika kita jatuh cinta pada sang kekasih? Apa pun akan kita lakukan demi
menyenangkan sang buah hati. Atau ketika kita menyaksikan anak-anak muda yang
sedang tergila-gila oleh tarian Breakdance, jangankan keringat, menantang maut
pun akan mereka lakukan. Cinta membuat orang bersemangat dan bergairah!
Selain cinta
mempunyai energi yang dasyat, cinta juga memiliki sisi sentimentil egosentris
yang kuat. Perhatikanlah orang yang sedang kasmaran, selain ia dapat melakukan
apa saja buat sang kekasihnya, ia juga menuntut agar sang kekasih tidak membagi
cintanya dengan orang lain. Ia ingin memilikinya sendiri. Ia ingin menahan
cinta kasih itu untuk dirinya! Ada kisah-kisah yang tidak masuk akal – dan
memang cinta terkadang tidak masuk akal – dari sisi egosentris cinta. Sebut
saja Linda Chase. Chase tidak mau melepas suaminya yang sudah meninggal
sehingga ia membalsam jasad sang suami lalu hidup selama dua tahun dengan jasad
itu sampai polisi menemukannya. Kisah serupa terjadi dengan Le Vans, lelaki
asal Vietnam yang begitu mencintai istrinya. Sehari sesudah istrinya
dimakamkan, ia menggali kubur itu lalu membawa mayat sang istri ke rumah. Demi
membuat jasad istrinya tahan lama, Le menutupi mayat isterinya dengan lilin,
plester dan plastik. Ia menata rambut dan mendadaninya. Le tidak rela melepas
sang isteri! Pasti kita akan menjumpai kisah-kisah aneh lagi tentang cinta
kalau terus menggalinya.
Dalam bingkai
cinta ini kita melihat apa yang terjadi dengan Maria Magdalena ketika berjumpa
dengan Yesus yang bangkit (Yohanes 20:1-18). Maria Magdalena ingin terus
memegang erat Yesus, ia tidak rela kalau kali ini Yesus meninggalkannya lagi.
Menurut tradisi, Maria adalah seorang perempuan yang kedapatan berzinah. Ia
terancam dihukum mati dengan cara rajam. Namun, Yesus telah melepaskan,
mengampuni dan menyucikannya (William Barclay). Maka tidaklah mengherankan
kalau ia mengasihi Yesus lebih dari pada yang lain. Ia tidak ingin Yesusnya itu
pergi lagi. Perasaan dan sikap seperti ini bukan hanya milik Maria, melainkan
semua orang; Anda dan saya termasuk di dalamnya. Kita tidak ingin dan tidak
rela melepaskan orang yang kita kasihi begitu saja.
William Barclay
menjelaskan kata Yunani “janganlah memegang Aku” (me aptou) dalam suatu terjemahan
keliru dari teks mula-mula yang ditulis dalam bahasa Aram. Dialog itu tentunya
berlangsung dalam bahasa Aram dan bukan dalam bahasa Yunani; dan apa yang
ditulis Yohanes adalah terjemahan dari Aram ke Yunani. Ada yang mengusulkan
bahwa sebenarnya yang dikatakan Yesus adalah : “Jangan pegang Aku; akan tetapi
sebelum AKu pergi kepada Bapa, pergilah kepada saudara-saudaramu dan
beritakanlah kepada mereka…” Dalam hal ini, seolah-olah Yesus mengatakan:
“Janganlah membuang-buang waktu terlalu banyak untuk menyembah/memegang Aku di
sini karena kesukaan penemuanmu yang baru (melihat Aku yang bangkit). Tetapi pergilah
dan beritakanlah kabar baik ini kepada semua murid-murid.”
Dalam bahasa
Yunani digunakan bentuk present imperative, oleh karena itu kalimatnya dapat
berarti: “Berhentilah memegang Aku!” Sepertinya Yesus mau berkata kepada Maria
Magdalena: “Janganlah kau terus memegang Aku secara egosentris bagi dirimu
sendiri. Dalam waktu dekat Aku akan pergi kepada Bapa. Aku ingin berjumpa
dengan murid-murid-Ku sebanyak mungkin sebelum waktu itu tiba. Pergilah dan
ceritakanlah kabar baik kepada mereka hingga tidak ada waktu - di mana kita dan
mereka masih ada bersama-sama – akan terbuang!”
Jika kita
memahami dialog ini dalam konteks seperti penafsiran di atas barulah kita
mengerti bahwa cinta Maria Magdalena kepada Yesus membuatnya tidak rela untuk
melepaskan Yesus. Ia terus menggandoli Yesus. Logikanya, kalau ini berlangsung
lama – dalam arti Maria Magdalena terus-terusan memegangi Yesus – selain tidak
ada gunanya juga membuang waktu percuma. Perjumpaan dengan Yesus yang bangkit
itu ternyata telah menyadarkan Maria bahwa selama ini ia hanya ingin merasakan
dan menggenggam cinta kasih Tuhan itu untuk memenuhi kepuasan diri. Namun, kini
Tuhan memintanya untuk tidak terlalu lama memegangi-Nya. Sebab waktunya
terbatas dan berita kebangkitan itu harus didengar oleh sebanyak mungkin orang.
“…tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa
sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu…”. Yesus mengubahkan energi
cinta yang egosentris menjadi energi pemberitaan kabar baik bagi semua orang.
Di sinilah kita
dapat mengerti bahwa Yesus sanggup mengubahkan energi cinta yang super
egosentri itu menjadi energi berita gembira, kabar suka cita bagi banyak orang.
Maria Magdalena kemudian menyadari bahwa kasihnya kepada Yesus bukan
diungkapkan dengan cara mengekang atau memenjarakan Yesus bagi diri sendiri
melainkan menyebarkan berita gembira bagi banyak orang. Maria kemudian dapat
melepaskan genggamannya dan ia berlari memberitakan pengalaman perjumpaannya
dengan Yesus kepada murid-murid yang lain.
Bukankah
kebanyakan kita seperti Maria Magdalena. Dan kita merasa tidak ada yang salah,
ini wajar dan manusiawi kalau fokus cinta kasih kita itu adalah diri sendiri. Kita
sering meminjam topeng pelayanan. Namun, yang terjadi pelayanan itu berpusat ke
dalam diri sendiri, gereja sendiri. Ketika pelayanan itu mulai mengusik rasa
aman dan nyaman kita cenderung menarik diri. Sehingga memuliakan Yesus menjadi
sempit dan tereduksi dengan ukuran seberapa senang dan puas aku menikmatinya,
ukurannya bukan lagi pemberdayaan orang lain supaya mendengar kabar sukacita
dan mengalami cinta kasih Tuhan. Pelayanan kita pun hanya terpasung di gereja,
dan untuk “kalangan sendiri”. Bukankah kalau kita jujur selama ini kehidupan
kita berfokus pada capaian individu, pementingan kelompok, pendek kata bersumber
dari egosentrime. Seharusnya, belajar dari perjumpaan Yesus yang bangkit dengan
Maria Magdalena membawa perubahan mendasar bagi kita. Kita tidak terus-menerus “memegangi
atau menggenggam kasih Yesus itu untuk diri sendiri atau “kalangan sendiri” melainkan
menjadi cinta yang benar seperti yang Tuhan inginkan, yakni dengan menjadi alat
dalam di dalam tangan-Nya untuk memberitakan damai sejahtera Allah dengan kata
dan perbuatan bagi semua makhluk.
Kasih Yesus
mengubah kasih egosentris Maria Magdalena, apakah kasih Yesus juga sudah
mengubah kasih kita sehingga tidak lagi egois dan egosentris? Kalau kita –
seperti Maria – telah mengalami perjumpaan dengan Yesus yang bangkit itu, maka
sebuah keniscayaan terjadi: Kita berubah!
Selamat
merayakan Paskah!