Jumat, 25 Maret 2016

KASIHNYA MENGUBAHKU

Rasanya sulit mengelak dari pendapat yang mengatakan bahwa cinta mempunyai energi atau kekuatan dasyat. “…cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti duia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN!  Air yang banyak tidak dapat memadamkan cinta,…” Begitu kata Kidung Agung 8:6,7. Pantaslah kalau kita amati orang yang sedang jatuh cinta – terhadap apa pun – ia memiliki energi yang luar biasa. “Gak ada matinya!”, kata ungkapan anak muda. Seolah-olah tenaga dan antusias terus ada walaupun melakukan banyak aktivitas yang menguras energi. Masih ingat ketika kita jatuh cinta pada sang kekasih? Apa pun akan kita lakukan demi menyenangkan sang buah hati. Atau ketika kita menyaksikan anak-anak muda yang sedang tergila-gila oleh tarian Breakdance, jangankan keringat, menantang maut pun akan mereka lakukan. Cinta membuat orang bersemangat dan bergairah!

Selain cinta mempunyai energi yang dasyat, cinta juga memiliki sisi sentimentil egosentris yang kuat. Perhatikanlah orang yang sedang kasmaran, selain ia dapat melakukan apa saja buat sang kekasihnya, ia juga menuntut agar sang kekasih tidak membagi cintanya dengan orang lain. Ia ingin memilikinya sendiri. Ia ingin menahan cinta kasih itu untuk dirinya! Ada kisah-kisah yang tidak masuk akal – dan memang cinta terkadang tidak masuk akal – dari sisi egosentris cinta. Sebut saja Linda Chase. Chase tidak mau melepas suaminya yang sudah meninggal sehingga ia membalsam jasad sang suami lalu hidup selama dua tahun dengan jasad itu sampai polisi menemukannya. Kisah serupa terjadi dengan Le Vans, lelaki asal Vietnam yang begitu mencintai istrinya. Sehari sesudah istrinya dimakamkan, ia menggali kubur itu lalu membawa mayat sang istri ke rumah. Demi membuat jasad istrinya tahan lama, Le menutupi mayat isterinya dengan lilin, plester dan plastik. Ia menata rambut dan mendadaninya. Le tidak rela melepas sang isteri! Pasti kita akan menjumpai kisah-kisah aneh lagi tentang cinta kalau terus menggalinya.

Dalam bingkai cinta ini kita melihat apa yang terjadi dengan Maria Magdalena ketika berjumpa dengan Yesus yang bangkit (Yohanes 20:1-18). Maria Magdalena ingin terus memegang erat Yesus, ia tidak rela kalau kali ini Yesus meninggalkannya lagi. Menurut tradisi, Maria adalah seorang perempuan yang kedapatan berzinah. Ia terancam dihukum mati dengan cara rajam. Namun, Yesus telah melepaskan, mengampuni dan menyucikannya (William Barclay). Maka tidaklah mengherankan kalau ia mengasihi Yesus lebih dari pada yang lain. Ia tidak ingin Yesusnya itu pergi lagi. Perasaan dan sikap seperti ini bukan hanya milik Maria, melainkan semua orang; Anda dan saya termasuk di dalamnya. Kita tidak ingin dan tidak rela melepaskan orang yang kita kasihi begitu saja. 

William Barclay menjelaskan kata Yunani “janganlah memegang Aku” (me aptou) dalam suatu terjemahan keliru dari teks mula-mula yang ditulis dalam bahasa Aram. Dialog itu tentunya berlangsung dalam bahasa Aram dan bukan dalam bahasa Yunani; dan apa yang ditulis Yohanes adalah terjemahan dari Aram ke Yunani. Ada yang mengusulkan bahwa sebenarnya yang dikatakan Yesus adalah : “Jangan pegang Aku; akan tetapi sebelum AKu pergi kepada Bapa, pergilah kepada saudara-saudaramu dan beritakanlah kepada mereka…” Dalam hal ini, seolah-olah Yesus mengatakan: “Janganlah membuang-buang waktu terlalu banyak untuk menyembah/memegang Aku di sini karena kesukaan penemuanmu yang baru (melihat Aku yang bangkit). Tetapi pergilah dan beritakanlah kabar baik ini kepada semua murid-murid.”

Dalam bahasa Yunani digunakan bentuk present imperative, oleh karena itu kalimatnya dapat berarti: “Berhentilah memegang Aku!” Sepertinya Yesus mau berkata kepada Maria Magdalena: “Janganlah kau terus memegang Aku secara egosentris bagi dirimu sendiri. Dalam waktu dekat Aku akan pergi kepada Bapa. Aku ingin berjumpa dengan murid-murid-Ku sebanyak mungkin sebelum waktu itu tiba. Pergilah dan ceritakanlah kabar baik kepada mereka hingga tidak ada waktu - di mana kita dan mereka masih ada bersama-sama – akan terbuang!”

Jika kita memahami dialog ini dalam konteks seperti penafsiran di atas barulah kita mengerti bahwa cinta Maria Magdalena kepada Yesus membuatnya tidak rela untuk melepaskan Yesus. Ia terus menggandoli Yesus. Logikanya, kalau ini berlangsung lama – dalam arti Maria Magdalena terus-terusan memegangi Yesus – selain tidak ada gunanya juga membuang waktu percuma. Perjumpaan dengan Yesus yang bangkit itu ternyata telah menyadarkan Maria bahwa selama ini ia hanya ingin merasakan dan menggenggam cinta kasih Tuhan itu untuk memenuhi kepuasan diri. Namun, kini Tuhan memintanya untuk tidak terlalu lama memegangi-Nya. Sebab waktunya terbatas dan berita kebangkitan itu harus didengar oleh sebanyak mungkin orang. “…tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu…”. Yesus mengubahkan energi cinta yang egosentris menjadi energi pemberitaan kabar baik bagi semua orang.

Di sinilah kita dapat mengerti bahwa Yesus sanggup mengubahkan energi cinta yang super egosentri itu menjadi energi berita gembira, kabar suka cita bagi banyak orang. Maria Magdalena kemudian menyadari bahwa kasihnya kepada Yesus bukan diungkapkan dengan cara mengekang atau memenjarakan Yesus bagi diri sendiri melainkan menyebarkan berita gembira bagi banyak orang. Maria kemudian dapat melepaskan genggamannya dan ia berlari memberitakan pengalaman perjumpaannya dengan Yesus kepada murid-murid yang lain.

Bukankah kebanyakan kita seperti Maria Magdalena. Dan kita merasa tidak ada yang salah, ini wajar dan manusiawi kalau fokus cinta kasih kita itu adalah diri sendiri. Kita sering meminjam topeng pelayanan. Namun, yang terjadi pelayanan itu berpusat ke dalam diri sendiri, gereja sendiri. Ketika pelayanan itu mulai mengusik rasa aman dan nyaman kita cenderung menarik diri. Sehingga memuliakan Yesus menjadi sempit dan tereduksi dengan ukuran seberapa senang dan puas aku menikmatinya, ukurannya bukan lagi pemberdayaan orang lain supaya mendengar kabar sukacita dan mengalami cinta kasih Tuhan. Pelayanan kita pun hanya terpasung di gereja, dan untuk “kalangan sendiri”. Bukankah kalau kita jujur selama ini kehidupan kita berfokus pada capaian individu, pementingan kelompok, pendek kata bersumber dari egosentrime. Seharusnya, belajar dari perjumpaan Yesus yang bangkit dengan Maria Magdalena membawa perubahan mendasar bagi kita. Kita tidak terus-menerus “memegangi atau menggenggam kasih Yesus itu untuk diri sendiri atau “kalangan sendiri” melainkan menjadi cinta yang benar seperti yang Tuhan inginkan, yakni dengan menjadi alat dalam di dalam tangan-Nya untuk memberitakan damai sejahtera Allah dengan kata dan perbuatan bagi semua makhluk.

Kasih Yesus mengubah kasih egosentris Maria Magdalena, apakah kasih Yesus juga sudah mengubah kasih kita sehingga tidak lagi egois dan egosentris? Kalau kita – seperti Maria – telah mengalami perjumpaan dengan Yesus yang bangkit itu, maka sebuah keniscayaan terjadi: Kita berubah!
Selamat merayakan Paskah!


Kamis, 24 Maret 2016

TETAP TEGUH DAN SETIA

Banyak tokoh yang berperan di seputar penyaliban Yesus. Peran atau sepak terjang mereka kelak terus dikenang orang. Sebut saja si Penghianat, orang akan segera menghubungkannya dengan Yudas. Peran antagonis, dalam kalbu kita akan segera membayangkan ahli-ahli Taurat, imam-imam kepala dan orang Farisi. Lalu Petrus selalu dikenang sebagai orang yang pernah menyangkal Yesus, namanya dikaitkan juga dengan ayam. Pilatus, identik dengan tokoh yang suka cari aman sendiri, sehingga terkesan ambigu dalam mengambil keputusan. Sedangkan Yesus sendiri adalah figure hamba TUHAN yang setia menjalani penderitaan sampai kematian-Nya di gantung pada kayu salib di bukit Tengkorak.

Setelah penangkapan-Nya, Yesus diadili. Pelbagai upaya dikerahkan oleh para pejabat agama yang sekongkol dengan serdadu Romawi untuk dapat melenyapkan Yesus. Kesaksian palsu dan pelbagai tuduhan rekayasa dikaitkan dengan kiprah Yesus selama ini. Injil sinoptis (Matius, Markus, Lukas) menggambarkan Yesus seperti “anak domba yang dibawa ke pembantaian”, Ia diam saja dan sesekali mengiyakan apa yang dikatakan imam besar bahwa Ia adalah Mesias, “engkau telah mengatakannya.” (Matius 26:64). Hal yang sama terjadi ketika Pilatus menginterogasi-Nya, Yesus menjawab, “Engkau sendiri mengatakannya.” (Mat. 17:11). Selanjutnya Yesus diam seribu basa! Hal ini berbeda ketika kita membaca narasi penyaliban ini versi Yohanes. Yesus tidak bungkam, Ia menjawab tuduhan-tuduhan itu.

Yohanes mencatat ada dialog antara Yesus dan Hanas yang isinya menjelaskan bahwa Ia mengajar tidak dengan sembunyi-sembunyi, jika ingin mengetahui ajaran-Nya, Yesus menyuruh imam besar itu menanyakannya kepada orang banyak yang telah mendengarnya. Jawaban ini membuat marah seorang pengawal yang kemudian menampar muka Yesus. Yesus tidak diam! Ia membalas dengan mengatakan, “Jikalau kata-Ku itu salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalau kata-Ku itu benar, mengapakah engkau menampar Aku?” (Yoh.18: 23). Tampak sekali bedanya dibanding narasi Injil sinoptik. Yesus begitu tegar dan percaya diri. Ia yang mengajarkan kepada para murid-Nya bahwa kalau ditampar pipi kiri, berilah juga pipi kananmu. Kini, Ia tidak memberikan bagian muka yang lainnya, malah memprotes perlakuan tidak menyenangkan itu!

Yesus tidak diam juga ketika Ia berhadapan dengan Pilatus. Ketika Pilatus bertanya kepada-Nya mengenai tuduhan orang banyak bahwa Dia adalah orang Yahudi, Yesus kemudian menjelaskannya. Di situlah terjadi dialog yang berakhir dengan pernyataan bahwa diri-Nya datang ke dunia ini supaya memberi kesaksian tentang kebenaran. Dan Ia menegaskan bahwa setaiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan diri-Nya (Yoh. 18:37), perikop ini ditutup ngambang dengan pertanyaan Pilatus, “Apakah kebenaran itu?” (Yoh.18:38).

Namun, pada saat itu sebenarnya Pilatus mulai menyadari bahwa Yesus sama sekali tidak bersalah. Ia mulai mengerti tentang kebenaran yang diajarkan Yesus walaupun dalam waktu yang begitu singkat. Hal ini terbukti ketika Pilatus menyatakan di depan umum bahwa ia tidak mendapati kesalahan dalam diri Yesus dan sebenarnya sejak saat itu pula Pilatus berupaya untuk membebaskan Yesus dari tuntutan hukuman mati. “Sejak saat itu Pilatus berusaha untuk membebaskan Dia, tetapi orang-orang Yahudi berteriak, ‘Jikalau engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat kaisar. Setiap orang yang menganggap dirinya seorang raja, ia melawan kaisar.” (Yoh.19:12). Dalam kegamangannya itu, Pilatus berusaha mengorek Yesus lagi dengan mengatakan jaminan bahwa dirinya berkuasa untuk membebaskan Yesus. Namun kembali Yesus menyanggah bahwa Pilatus tidak mempunyai kuasa apa pun jika kuasa itu tidak diberikan  dari atas.  

Kini secercah kebenaran yang mulai menerangi hati Pilatus harus berhadapan dengan tuntutan orang banyak yang menghendaki kematian Yesus. Pilatus tidak berdaya mempertahankan kebenaran itu! Ia memilih menyerahkan Yesus kepada orang banyak untuk disalibkan. Namun, pada bagian akhir upayanya, Pilatus meminta para prajuritnya untuk menuliskan kalimat di atas kayu salib yang berbunyi, “Yesus orang Nazaret, Raja orang Yahudi” dalam tiga bahasa (Ibrani, Latin dan Yunani). Sangat mungkin, Pilatus menempatkan tulisan itu sebagai sindirian untuk membuat hati orang-orang Yahudi menjadi marah dan tersinggung. Bukankah baru saja mereka meneriakan bahwa mereka tidak mempunyai raja kecuali Kaisar. Mereka dengan tegas dan penuh kebencian menolak Yesus sebagai Raja (padahal belum sepekan mereka menyambut Yesus yang memasuki Yerusalem sebagai Raja, mereka mengelu-elukan Yesus dengan Hosana, diberkatilah Engkau yang datang sebagai Raja..!).

Rupanya sindiran Pilatus begitu mengena, sehingga para pemimpin Yahudi berkali-kali meminta kepadanya untuk menyingkirkan atau mengubah tulisan itu. Tetapi Pilatus menolaknya, “Apa yang kutulis tetap tertulis,” katanya. Di sini Pilatus bersikap keras dan tidak mau mundur padahal sebelumnya ia menyerah terhadap keinginan orang banyak untuk menyalibkan Yesus. Salah satu paradox dalam kehidupan manusia, termasuk kita adalah bersih keras terhadap perkara-perkara yang tidak penting, namun lemah terhadap hal-hal prinsip yang sangat penting. Kalau saja Pilatus teguh pada pendirian terhadap kebenaran yang disampaikan Yesus maka bisa jadi dia akan menang terhadap taktik intimidasi orang-orang Yahudi itu dan menolak untuk dipaksa menuruti keinginan mereka. Selanjutnya, mungkin saja dalam sejarah ia akan dikenal sebagai orang besar yang teguh pada pendiriannya yang kuat. Tetapi sayangnya, ia dikenal sebagai orang yang menyerah dalam hal penting tetapi teguh dalam hal yang tidak penting.

Yohanes mengisahkan perjalanan Yesus menuju salib Golgota adalah perjalanan Anak Manusia yang begitu tegar tidak sedikit pun gentar. Dia tidak memakai kesempatan yang ada, termasuk kuasa Pilatus yang memberikan tawaran untuk membebaskan-Nya. Tidak ada kesan Ia ketakutan dan berseru, “Eli, Eli lama sabaktani!” Ia mengerti, bahwa Sang Bapa menghendaki-Nya terus sampai di Golgota! Yesus dalam pandangan Yohanes bukanlah sosok yang dikorbankan bagi penebusan.  Melainkan, dengan penyerahan total terhadap kehendak Bapa, Ia mengorbankan diri-Nya sendiri. Ia tidak dibunuh, melainkan Ia menyerahkan diri-Nya! “Sesudah itu, karena Yesus tahu, bahwa segala sesuatu telah selesai, berkatalah Ia – supaya genaplah yang ada tertulis dalam Kitab Suci-: ‘Aku haus!” (Yoh.19:28).  

Yesus telah memberikan teladan tentang kesetiaan kepada Bapa. Jalan salib yang terjal dan menyakitkan bukan sebuah rintangan sehingga harus dihindari. Justeru melalui itu Yesus memuliakan Bapa-Nya dan dengan itu pula Bapa memuliakan diri-Nya. Di dunia yang segala kemungkinan bisa terjadi, kita diajar untuk setia kepada panggilan Bapa.