(Palmarum: Mzm 118:1-2, 19-29;
Luk. 19:28-40. Sengsara: Yes.50:4-9, Mzm. 31:9-16, Fil.2:5-11, Luk.23:26-32)
Konsisten lazim
diartikan: tetap (tidak
berubah-ubah), taat azas, ajeg, selaras
dan sesuai. Sedangkan ambigu bermakna
lebih dari satu, keragu-raguan, kabur, ketidakjelasan sikap. Tentu saja, kalau
kita diminta memilih, kita akan lebih suka sikap yang konsisten karena konsisten
merupakan sikap ideal. Namun, nyatanya untuk memertahankan sikap konsistensi
ini tidak mudah. Paling gampang kita dapat melihatnya dalam dunia politik
praktis. Hari ini bisa berkualisi dengan partai A, besok lusa bisa akrab dengan
partai B, minggu depan menjalin MOU dengan
partai C, sebulan kemudian menjelek-jelekkan parta A. Di tataran pusat bisa
menjadi lawan tetapi di daerah mereka bisa menjadi kawan. Hari ini mendukung
dan menyanjung si X, besok lusa menjilat si Y, dan minggu berikutnya ia mengatakan
tidak kenal si X yang tengah diperiksa pihak KPK. Kenyataan ini semakin
menegaskan kebenaran adagium politik, yakni tidak
ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada kepentingan abadi. Dalam batas tertentu sikap seperti ini bisa
disebut konsisten juga. Ya, konsisten terhadap kepentingan diri sendiri!
Aristoteles
menyebut manusia adalah makhluk politis yang berjuang agar apa yang menjadi
kepentingannya tergapai. Pada umumnya manusia adalah makhluk paling konsisten
berjuang untuk ambisi, kebutuhan dan kepentingan diri sendiri. Oleh karenanya
mereka berpotensi melakukan apa pun untuk mendapatkan apa yang diingininya
termasuk mengingkari kebenaran, menghianati persahabatan dan mengabaikan
moralitas. Hanya sedikit saja orang, yang berani menerapkan konsistensi dalam
memegang kebenaran meskipun harus berhadapan dengan resiko dengan mengorbankan
kepentingan sendiri.
Peristiwa sekitar
Minggu Palem dan Minggu Sengsara setidaknya menegaskan begitu banyak manusia
yang konsisten pada ambisinya sendiri, sehingga inkonsisten terhadap perkataan
dan keyakinannya. Yesus, yang sudah semakin populer dengan banyak pengikutnya
lantaran melakukan pengajaran dan mujizat, pada waktu itu telah menyiapkan
segala sesuatunya dengan cermat untuk memasuki Yerusalem. Ia datang bukan
dengan kendaraan perang (kuda), melainkan keledai. Pada saat itulah orang
banyak mengelu-ngelukan Dia. Mereka melambai-lambaikan daun palem dan rela
melepas pakaian mereka lalu mengelarnya di jalanan yang akan dilalui Yesus.
Mereka bersorak, “Diberkatilah Dia yang
datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di
tempat yang mahatinggi.” (Lukas 19:38). Sangat mungkin mereka berseru
ketika melihat arak-arakan itu karena terpesona dengan apa yang selama ini
dilakukan Yesus dan kemudian mereka mengingat Mazmur 118:26. Mereka merasa
Mazmur yang biasa dinyanyikan pada Hari Raya Pondok Daun itu sangat cocok
dikenakan sebagai pujian buat Yesus yang
kini ada di hadapan mereka. Tidak perlu menunggu lebih lama, kini sebelum
Paskah pun mereka meneriakkan seruan itu. Yesus tidak menolak pujian itu.
Bahkan ketika orang Farisi melarangnya, Yesus justeru mengatakan, “…jika mereka ini diam, maka batu ini akan
berteriak..” (Luk. 19:40).
Namun, sayangnya
apa yang dilakukan orang banyak itu gagal
paham dengan misi utama yang sedang dilakukan Yesus! Orang banyak yang
berseru mengelu-elukan Yesus dengan memakai kutipan Mazmur 118:26 adalah bentuk
konsistensi mereka yang menginginkan Yesus memenuhi keinginan mereka yakni,
akan segera menduduki Yerusalem dengan menaklukan penjajah Romawi dan
memulihkan takhta kekuasaan Daud. Mesias politik!
Konsistensi dengan
mengedepankan kepentingan sendiri semakin kentara. Belum sepekan mereka memakai
Mazmur 118 dalam menyambut Yesus sebagai Mesias. Kini, mereka berubah drastis. Mereka
mulai ambigu ketika Yesus diseret ke
pengadilan penuh rekayasa dan kemudian dinyatakan sebagai terdakwa.
Orang banyak yang sebelumnya menyambut Yesus sebagai Raja. Kini mereka
berteriak, “Salibkan Dia! Salibkan Dia!”
(Luk.23:21). Bisa jadi sepekan itu, alih-alih melihat tanda-tanda Yesus
menggulingkan kekuasaan Roma, mereka kecewa karena Yesus bungkam. Mungkin juga
mereka merasa terancam ikut dihakimi juga ketika menampakkan tanda-tanda
keberpihakkan kepada Yesus.
Bukankah hal serupa
kerap terjadi dalam dunia modern ini? Kita banyak menaruh harapan terhadap
pemimpin baru. Pujian bertebaran. Namun, seiring berjalannya waktu ternyata apa
yang kita harapkan tidak juga terjadi. Dengan mudah kita mencemoohnya.
Yesus menghadapi
sendiri pengadilan dan vonis rekayasa itu. Dia harus memikul salib, terjatuh
dan tidak berdaya. Barulah pada saat itu Simon dari Kirene dipaksa prajurit
Roma untuk membantu memikul salib Yesus. Mungkin saja Simon dari Kirene pada
saat itu merasa ketiban sial. Namun, justeru pengalaman pahit getir bersama
Yesus menuju Bukit Tengkorak itu kelak akan mengubah kehidupan Simon. Markus
kemudian mencatata tentang Simon. Ia adalah ayah dari Alexander dan Rufus
(Markus 15:21). Rufus selanjutnya dikenal sebagai seorang yang saleh. Paulus
pun mengenal baik keluarga ini. Ia begitu menghormati ibunda Rufus, yang
berarti isteri dari Simon (Roma 16:13). Simon berbeda dengan ambisi orang
banyak, mungkin saja awalnya ia dipaksa
memikul salib, namun melalui peristiwa itulah kemudian menjadikan keluarga Simon kelak
menjadi orang-orang yang takut, mengasihi dan berperan dalam pekerjaan Tuhan.
Bisa jadi
pengalaman kita mengikut Tuhan seperti Simon dari Kirene. Tak sengaja “ketiban
sial” harus memikul tanggungjawab. Tunggu dulu! Jangan cepat furstasi, teruslah
berjalan bersama-Nya dengan setiap maka perlahan namun pasti kehidupan kita
akan berubah. Pada saat ini, sebagaian gereja dalam lingkup GKI melakukan
peneguhan penatua. Bisa jadi Anda yang terpilih menjadi penatua baru awalnya
merasa seperti “Simon dari Kirene”. Jangan menyerah, pasti bukan kebetulah
Tuhan memilih Anda. Berjalanlah terus di belakan-Nya, pikullah salibmu dan
nantikanlah perubahan yang akan terjadi dalam kehidupan Anda!
Ternyata, tidak
semua orang membenci dan menghendaki kematian Yesus, di tengah-tengah orang
banyak itu, ada sejumlah perempuan yang peduli. Mereka menangisi dan meratapi
Yesus. Yesus tidak memanfaatkan kondisi yang memang memprihatinkan untuk mendulang
belas kasihan. Melainkan, Ia menjadikannya sebagai peringatan untuk penduduk
kota Yerusalem itu. “Hai putri-putri
Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri
dan anak-anakmu!” (Luk. 23:28). Mengapa Yesus meminta mereka untuk
menangisi diri sendiri? Jawab-Nya, “Sebab
jikalau orang berbuat demikian dengan kayu hidup, apa yang akan terjadi dengan
kayu kering?” (Luk.23:31). Yesus membandingkan diri-Nya dengan kayu hidup
dan penduduk Yerusalem kayu mati/kering. Nah, jika penderitaan dan kematiaan
ini dilakukan terhadap Yesus (oleh manusia, tetapi sesuai dengan rencana
Allah), maka alangkah berat dan tragisnya nasib yang akan menimpa Yerusalem.
Dengan kata lain, kalau Yesus yang tidak bersalah saja akan mengalami
penderitaan dan kematian seperti itu, maka alangkah mengerikannya orang-orang
Yerusalem yang betul-betul jahat dan bersalah itu! (bnd. Amsal 11:31).
Apa yang diucapkan
Yesus bukanlah ancam melainkan empati yang ditujukan-Nya terhadap Yerusalem
yang akan mengalami kehancuran. Bagi-Nya sendiri, pergumulan menuju Golgota
sudah Ia selesaikan di Getsemani. Kini, Ia segera menuntaskan-Nya dalam
ketaatan sebagai hamba Tuhan yang menderita (Yesaya 50:4-9). Yesus konsisten
dengan misi Bapa-Nya walaupun kondisi terpahit yang harus dijalani-Nya. Ia
tidak mencari celah untuk menyelamatkan diri. Tidak juga kasih-Nya berubah
menjadi kebencian terhadap orang-orang yang menghina dan menyakiti-Nya. Yesus,
dalam Kritologi Paulus (Efesus 2:5-11) mengatakan “yang walaupun dalam rupa
Allah namun rela mengambil rupa manusia, merendahkan diri sebagai hamba dan
mati di kayu salib. Dengan cara itu Yesus
memenangkan hati manusia bukan dengan jalan menaklukkan mereka dengan kuasa,
melainkan dengan menunjukkan kasih-Nya secara total kepada mereka. Ternyata,
cinta kasih yang tulus melaupaui kekuasaan apa pun dalam menyentuh hati
manusia!
Selama ambisi dan nafsu menjadi pandu bagi kehidupan maka kita akan konsisten
memerjuangkanya. Kita akan terlihat ambigu sekarang berkata begini nanti kita
akan berkata begitu dan berikutnya kita akan menyangkal apa yang kita katakana.
Kita akan menutup mata terhadap kebenaran, kaidah moral dan keluhuran
persahabatan. Belajarlah mengasihi Tuhan dan sesama dengan konsisten seperti
yang dilakukan Yesus!