Sejak dulu sampai sekarang baptisan selalu saja
diperdebatkan entah esensi maupun syareatnya. Bahkan terkadang gereja terlalu
sibuk menyusun dalil-dalil dokmatis apologet tentang baptisan tinimbang
menggali dan menerjemahkan serta memberi contoh dan teladan untuk menghidupkan
esensi baptisan itu sendiri dalam praktik hidup sehari-hari. Beberapa kelompok
aliran Kristen tertentu lebih senang berpolemik tentang kesahihan baptisan:
selam atau percik; anak boleh dibaptis atau tidak, harus belajar katekisasi atau
percaya langsung baptis, ketimbang memakai momentum itu sebagai titik berangkat
bertobat menuju pada hidup baru di dalam kasih karunia TUHAN.
Sejak Yohanes Pembaptis muncul, ia mengajar dan
membaptis lalu Yesus ikut-ikutan dibaptis juga telah menjadi polemik. Untuk apa
Yesus dibaptis? Mengingat pada waktu itu baptisan dipraktikan untuk orang-orang
di luar Yahudi yang bertobat dan ingin memeluk keyakinan Yahudi (proselit). Bangsa-bangsa di luar Yahudi
itukan dianggap nazis, kotor, dan berdosa jadi mereka harus bertobat dengan
sibolisasi diselamkan dalam air, dibersihkan dan kemudian dinyatakan sebagai
orang yang mendapat anugerah Tuhan. Nah, masalahnya Yesus kan orang Yahudi, maka tidaklah perlu baptisan proselit bagi-Nya. Apalagi baptisan sebagai bentuk pernyataan
pertobatan. Bukankah Yesus tidak berdosa? Itu berarti Ia tidak memerlukan
pertobatan dan kemudian dibaptiskan. Lalu apa maksudnya?
Gereja mula-mula menafsirkan bahwa Yesus dibaptis
oleh Yohanes hanya untuk menyenangkan hati ibunda-Nya, Maria. Kita tahu bahwa
Elisabet, sanak Maria itu adalah ibunda Yohanes, jadi dengan demikian Maria
senang bahwa anaknya itu mendukung dan mau ikut dalam arus yang digerakan
Yohanes. Bisa dibayangkan apakah sedangkal itu Yesus menghargai sebuah
baptisan. Bayangkan kalau anak Anda mau ikut katekisasi dan setelah selesai itu
ia dibaptiskan atau mengaku percaya. Belakangan Anda tahu bahwa apa yang
dilakukan anak Anda itu tidak sepenuh hati melainkan hanya untuk menyenangkan
Anda semata! Tentu, sebagai orang tua, kalau hal itu terjadi Anda pasti kecewa.
Orang tua yang baik tentunya menginginkan anaknya menjalani baptis kudus atau
sidi berdasarkan niat yang baik, tulus bahwa ia menyerahkan diri sepenuhnya
kepada Tuhan.
Perhatikan, ketika Yesus memutuskan diri untuk
dibaptiskan oleh Yohanes, usia-Nya sekitar 30 tahun. Usia yang sudah matang –
dewasa. Sejak kanak-kanak Ia telah menjalani serangkaian ritual tradisi Yahudi.
Disunat pada usia delapan hari, merayakan paskah di Yerusalem pada usia 12
tahun, dan kemudian hidup dalam bimbingan orang tua yang saleh. Jangan lupa,
Yesus juga manusia. Ia mengalami didikan dan pertumbuhan, sebagai pemuda
Nazaret, pastilah Ia juga sama dengan pemuda lainnya dalam hal bertanggungjawab
atas keluarga. Pasti juga Ia belajar bekerja sebagai tukang kayu, layaknya Yusuf
sebagai orang tua-Nya. Kesadaran-Nya akan panggilan yang sesungguh-Nya berangsur
tumbuh. Komitmen-Nya untuk berada dekat dengan Bapa-Nya menggugah-Nya terus
menguat.
Kini, Ia sendiri menyaksikan sebuah gerakan moral
yang dimotori Yohanes, sepupu-Nya itu. Tak pelak lagi Yohanes bagaikan
seseorang yang menghunus pedang dan menghujamkannya tepat di jantung keyakinan
Yahudi! Mereka bangga dengan keyakinan diri sebagai umat istimewa, umat pilihan
Allah. Oleh karena itu mereka yakin pasti mendapat tempat atau kedudukan lebih
dari orang-orang lain. Namun, kini mereka diminta untuk bertobat. Ya bertobat
seperti layaknya bangsa yang tidak mengenal Allah dan kini kembali kepada-Nya!
Bagi Yohanes, atribut kehayudian tidak ada korelasinya dengan keistimewaan di
hadapan Allah ketika mereka melakukan perbuatan yang bertolak belakang dengan
kehendak Allah. Bagaikan pohon yang siap ditembang dan dicampakkan ke dalam api
jika tidak berbuah, itulah gambaran yang diberitakan Yohanes.
Rupanya dengan gaya yang eksentrik dan teguran
tanpa tedeng aling-aling telah menggetarkan hati banyak orang. Mereka datang
berbondong-bondong, menyatakan diri dan dibaptiskan. Lukas menggambarkan dengan
lugas bahwa Yohanes telah berhasil memikat para petobat itu. Sehingga di antara
mereka ada yang menyangka bahwa dialah Mesias yang dijanjikan itu (Lukas 3:15).
Yohanes konsisten dengan apa yang diberitakannya. Ia tidak mau mengambil
kesempatan emas ditengah keterpesonaan orang banyak itu. Ia mengatakan, “Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia
yang lebih berkuasa dari padaku akan datang dan membuka tali kasut-Nya pun aku
tidak layak…” (Lukas 3:16). Seolah Yohanes berkata, “Kamu menyanjung aku
sebagai Mesias, bukan…aku bukan Mesias itu! Di hadapan-Nya, aku tidak ada
artinya sehingga membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak!” Yohanes seorang
besar dan Yesus pun menyatakan itu, kata-Nya, “Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak
pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis,..”(Matius
11:11) Namun, Yohanes yang hebat ini tidak besar kepala. Ia membuka jalan buat
Yesus!
Yesus ada di tengah kumpulan orang-orang berdosa
yang menerima baptisan Yohanes bukan karena Dia sendiri berdosa dan membutuhkan
pertobatan. Tetapi dengan sadar Ia harus menyamakan diri-Nya dengan gerakan
moral yang berbalik dari dosa menuju kepada Allah yang hidup. Bagi Yesus,
munculnya Yohanes adalah panggilan Allah untuk bertindak. Dan langkah
pertama-Nya adalah menyamakan diri dengan umat yang sedang mencari Allah.
Drama itu terjadi di sungai Yordan. Bayangkan,
Yohanes Pembaptis yang mengetahui di hadapannya adalah Mesias dan yang
kepada-Nya, membuka tali kasut-Nya pun tidak layak, kini datang dan memintanya
untuk membaptiskan-Nya! Dalam versi Injil Matius ada dialog singkat terjadi.
Yohanes mencegah-Nya untuk dibaptis dan menyatakan bahwa dirinyalah yang
seharusnya dibaptiskan Yesus. Namun, Yesus menjawabnya, “Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita
menggenapkan seluruh kehendak Allah.” (Matius 3:15). Jelas, Yesus menyadari
bahwa apa yang dilakukan-Nya adalah dalam rangka memenuhi misi Bapa-Nya.
Hanya dua ayat, Lukas melukiskan peristiwa
baptisan itu (Lukas 3:21-22). Yesus
terakhir dibaptiskan dan ketika peristiwa itu sedang berlangsung, “…turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati
ke atas-Nya. Dan terdengar suara dari langit: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi,
kepada-Mulah Aku berkenan.” Suara langit itu memberi pernyataan bagi diri
Yesus sendiri. Dengan jeli, William Barclay melihat formula kalimat dari langit
itu terdiri dari dua bagian: Pertama, “Engkaulah Anak-Ku yang kukasihi” ini
berasal dari Mazmur 2:7 dan biasanya difahami sebagai Mamur Raja Mesias. Kedua,
“Kepada-Mulah Aku berkenan –“ adalah
bagian dari Yesaya 42:1 yang merupakan rangkaian gambaran tentang “Hamba yang
menderita” (bnd. Yesaya 53). Dengan demikian dalam peristiwa baptisan itu telah
terjadi komfirmasi bahwa Yesus adalah Mesias, Raja yang diurapi Allah, dan
kedua, bahwa dalam hal ini mencakup bukan kuasa dan kemuliaan yang akan
ditonjolkan dalam pelayanan Yesus, melainkan penderitaan dan jalan salib,
layaknya hamba yang menderita itu. Salib yang harus dipikul-Nya bukannya tanpa
disadari sebeelumnya. Sejak semula Yesus telah menyadari hal itu harus
diterima-Nya!
Sejak saat itu, peran Yohanes mulai berkurang dan
Yesus tampil yang akhirnya menyelasikan tugas Bapa-Nya. Ia taat dan setia
sampai akhir. Baptisan, bagi Yesus adalah sarana diri-Nya menerima penyataan
dan sekaligus tugas perutusan. Baptisan bagi setiap kita yang menerimanya,
mestinya menjadi titik berangkat untuk melangkah dalam menjalankan tugas
panggilan kita sebagai anak-anak Allah di dalam Kristus sampai paripurna.
Setiap orang percaya rasanya lebih elok untuk berpikir, berujar, melangkah,
bertindak, berbuat dan berkarya seperti
apa yang Yesus lakukan ketimbang sibuk berpolemik tentang kesahihan syareat
baptisan itu sendiri!