Rabu, 23 Desember 2015

HIDUP BENAR DALAM BELARASA ALLAH

Orang Majus mendapat pesan lewat mimpi dan melihat bintang sebagai petunjuk kelahiran Sang Mesias harus menempuh perjalanan jauh untuk berjumpa dengan-Nya.  Bisa setahun atau lebih. Oleh sebab itu perjumpaan para Majus dengan Sang Mesias tidak lagi di tempat hewan ternak, melainkan sudah berada di rumah. Maka di Matius 2:11 dikatakan, “Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat ANak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia…” Sayangnya dalam drama-drama Natal menggabungkannya bersamaan dengan kunjungan para gembala sehingga pesannya menjadi tumpang-tindih.

Kunjungan para gembala lebih dekat dengan peristiwa kelahiran itu. Setidaknya, petunjuk kain lampin dan palungan menunjukkan itu. Peristiwa kelahiran Yesus dicatat Lukas 2:1-7. Berita itu disampaikan Malaikat kepada para gembala. Segera sesudah itu mereka mengikuti petunjuk Malaikat, mereka berjumpa dengan Sang Mesias itu. Hal ini menunjukkan bahwa jarak antara para gembala yang sedang menggembalakan kambing domba bisa ditempuh dalam hitungan jam atau hari. Tidak seperti para Majus dari Timur yang menghabiskan waktu berbulan-bulan. Banyak yang menduga bahwa para gembala itu adalah mereka yang terdapat di sekitar Yerusalem, yang berjarak sekitar 8 km saja. Mereka menggembalakan domba untuk keperluan kultus ibadah di Bait Suci Yerusalem.

Sejak lama orang bertanya tentang gembala, mengapa mereka yang pertama mendapat berita sukacita Natal? Mengapa pula mereka yang kemudian menjadi saksi kelahiran itu? Selanjutnya orang menghubungkannya dengan sifat, karakter dan asumsi gembala menurut tradisi kitab suci yang memberi kesan begitu positif terhadap gembala. Musa dan Daud sebelum dipakai Tuhan memimpin umat-Nya adalah seorang gembala. Mazmur 23 begitu rupa menggubah himne tentang gembala. Dan Yohanes 10 menyebutkan bahwa Yesus adalah Gembala yang baik. Lengkap sudah citra bahwa gembala adalah seorang yang baik!

Tetapi di kalangan orang Yahudi, setidaknya pada zaman kelahiran Yesus para gembala tidak populer. Mereka cenderung dilihat sebagai orang-orang kasar yang tidak mengindahkan kaidah dan syareat agama. Di daerah-daerah yang kekurangan air, mereka mengabaikan pembasuhan-pembasuhan yang diwajibkan dalam peraturan agama. Dalam mencari sumber-sumber makanan bagi domba-domba, mereka kerap kali bertikai, berebut lahan. Terkadang karena kekeringan, sulit mendapatkan padang rumput, mereka membawa domba-bomba itu ke lading milik orang. Jadi para imam Yahudi menganggap mereka tidak bisa dipercaya hingga, andaikata pun mereka melihat sebuah kejadian perkara, mereka tidak diperbolehkan menjadi saksi di pengadilan. Pertanyaannya, apakah gembala-gembala yang disebutkan dalam Lukas 2:8 ini, adalah mereka yang mempunyai karakter berbeda? Apakah mereka ini adalah orang-orang yang benar-benar merindukan kelahiran Sang Mesias, seperti Zakharia dan Elisabet atau Simeon dan Hana? Bisa saja mereka lebih baik dari para gembala yang ada. Namun, yang lebih logis, mereka sama dengan kebanyakan para gembala yang mendapat cap negative dari kalangan ulama.

Sama seperti Kristus lahir di tempat peristirahatan ternak, bukan di istana. Tampaknya peran para gembala sejajar dengan itu. Bukan saksi  terpelajar dan dianggap kredibel yang dipakai TUHAN. Namun, para gembala yang miskin dan hina; dan orang-orang ini tidak masuk hitungan, yang menurut aturan imam-imam Yahudi tidak boleh bertindak sebagai saksi di depan pengadilan, merekalah yang dipakai TUHAN menjadi saksi pertama dari Kristus!

Para gembala yang marjinal secara ekonomi dan martabat itu mendengar kabar gembira. Kabar itu bukan tentang pemberian hadiah oleh majikan mereka, atau berubahnya status dari gembala kepada pemilik domba. Tetapi “Jangan takut…!” (Lukas 2:10) Selanjutnya diungkapkan oleh malaikan alasan untuk tidak menjadi takut itu. Ada 3 alasan yang terungkap dalam Lukas 3:10. Pertama, “memberitakan” kata ini terjemahan dari euangelion atau Injil, artinya: “Aku memberitakan Injil” (Kabar Baik). Selanjutnya kata itu dicirikan oleh kata penting kedua, “kesukaan besar”. Dengan kalimat sederhana malaikat itu seolah mau mengatakan, “Dengar baik-baik hai para gembala, sebab kabar itu akan berisi kesukaan besar; dan adakah yang lebih berharga daripada kegirangan yang sejati? Dan sukacita itu tidak hanya terbatas kepada para gembala itu saja, tetapi menurut kata penting ketiga diperuntukkan bagi “seluruh bangsa”. Ungkapan ini berarti : untuk seluruh bangsa Israel. Benarkah Sang Mesias itu hanya untuk bangsa Israel? Bila kita lihat, Lukas menulis ini dalam Bahasa Aram, pada zaman itu adalah Bahasa rakyat, Bahasa pergaulan di Palestina. Maka artinya dapat menjadi luas. Sebab tema pokok yang menjadi pusat penulisan Injil Lukas adalah berkembangnya keselamatan dari kaum Yahudi kepada dunia bangsa-bangsa. Lukas kemudian mengungkapkan bahwa Subyek kabar baik itu adalah Yesus, dengan tiga gelar : Juruselamat, Kristus dan Tuhan (ayat 11).

Tanpa menunggu waktu lama, dengan keyakinan utusan Tuhan telah berbicara kepada mereka, kini mereka cepat-cepat pergi untuk menyambut sang Mesias itu. Mungkin di sini kita perlu melihat bahwa para gembala itu pergi bukan  untuk membuktikan kebenaran perkataan utusan Tuhan itu, melainkan mereka segera pergi ke sana untuk menyambut dan menjadi saksi atas kelahiran Itu! Terbukti ketika mereka tiba di sana, mereka menceritakan apa yang sudah didengar dari Malaikat!

Peran gembala di sini sangat penting. Kelahiran – yang tidak usah didramatisir dan bisa terjadi pada siapa saja pada saat seorang perempuan hamil tua tidak mendapat tempat – biasa menjadi luar biasa oleh karena apa yang diucapkan para gembala. Merekalah yang pertama membuka tabir di hadapan umum. “Dan ketika mereka melihat-Nya, mereka memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu. Dan semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu kepada mereka.” (Lukas 2:17,18). Menjadi jelaslah bahwa peristiwa kelahiran Yesus bukan di kandang terpencil, melainkan di sana sudah ada banyak orang. Bisa saja ada yang langsung percaya dengan perkataan para gembala, mungkin juga ada yang masih bingung, atau bahkan tidak  percaya sama sekali. Sikap ini adalah cerminan di sepanjang zaman.

Di sinilah peran para gembala menjadi luar biasa. Tuhan memakai mereka dari orang dengan ekomomi dan martabat yang dipandang rendah menjadi saksi  kunci kelahiran Mesias. Bukankah dengan cara yang sama di kemudian hari Tuhan memakai orang-orang sederhana untuk menjadi saksi-Nya?

Bercermin dari gembala, Tuhan dapat memakai kita yang sederhana untuk menjalankan misi-Nya yang luar biasa. Namun, sayangnya sering kali kita terlalu banyak berhitung. Para gembala yang mendapatkan kasih karunia dan kabar gembira dari Tuhan, mereka langsung menyambut dengan sukacita. Mereka tidak lagi kuatir akan domba-domba yang digembalakannya atau harta milik mereka sementara menyambut Sang Mesias. Kita sering memberatkan apa yang menjadi milik kita (meskipun sesungguhnya bukan milik kita) untuk mendahulukan kepentingan-Nya. Bahkan kita kebalikan dari para gembala itu; mengambil keuntungan dari apa yang disebut pelayanan!

Ada sebuah perubahan besar pada para gembala setelah mereka menyambut dan bersaksi tentang Mesias. Mereka tidak terus berlama-lama di sana tetapi kembali ke dalam tugasnya, namun kini dengan bersukacita. Bisakah kita juga mengalami perubahan? Mungkin kehidupan ekonomi dan karier kita tidak berubah; sama seperti para gembala juga tidak berubah langsung jadi juragan domba. Tetapi ada sukacita besar. Ketika kita mengalami perjumpaan dengan Sang Mesias, percaya dan mempercayakan diri kepada-Nya, pasti kita juga memiliki sukacita seperti yang dirasakan oleh para gembala itu.

Kini, kalau pada natal tahun ini tema kita tentang Hidup benar dalam belarasa Allah dengan mencontoh para gembala itu berarti percaya kepada kabar baik itu, menyambut dengan hati bersyukur dan kemudian meneruskan sukacita itu kepada setiap orang.

Selamat Natal, 25 Desember  2015 dan Tahun Baru, 1 Januari 2016

BELARASA ALLAH BAGI UMAT YANG TERTINDAS OLEH DOSA


Agustus sebenarnya bernama Octavianus. Agustus hanyalah salah satu gelar, nama lengkapnya ialah Gaius Julius Caesar Octavianus. Ia berkuasa dari tahun 30 sebelum Masehi sampai 14 Masehi, relatif panjang. Pada tahun 27 sebelum Masehi, ia mendapat gelar “Agustus”, artinya “yang mulia” bisa juga berarti “ia yang dapat melipatgandakan kemakmuran”. Octavianus bisa dianggap sebagai kaisar terbesar dan pendiri kekasisaran Romawi. Dia adalah anak angkat dari Julius Caesar. Julius mendidiknya dengan ilmu perang dan politik. Octavianus tumbuh menjadi anak pintar, gagah dan tanpan. Ia sangat piawai dalam menangani konflik dan meredam pemberontakan, ia menciptakan kedamaian (Pax Romano), kesejahteraan dan kemakmuran serta kemegahan di seluruh kekaisaran Romawi. Sehingga tidak mengherankan ia dimuliakan bagaikan dewa dan dianggap sebagai “juruselamat dunia” yang dinantikan itu, sebab dialah yang mewujudkan “zaman emas” untuk dunia. B.J. Boland mengungkapkan bahwa ada sebuah inskripsi yang terdapat di Halikarnassus (: Bodrum, di pantai Asia Kecil) berisi pujian yang berbunyi, “Kemanusiaan dianugerahi dewa tertinggi, ketika Kaisar Agustus dibangkitkan dalam hidup kita yang beruntung ini, yaitu bapa tanah air, orang Romawi yang Ilah dan Juruselamat seluruh kemanusiaan, yang dengan kedatangannya bukan hanya segala doa dikabulkan tetapi malahan lebih…!”

Meminjam beberapa catatan positif tentang Kaisar Agustus di mana ia memainkan peranan penting di dataran yang kini disebut Eropa, sebagian Asia dan sebagian lagi Afrika, bukankah ia adalah orang yang tepat untuk sebuah perwujudan manusia ideal yang membawa peradaban pada kedamaian, kemakmuran dan kemegahan? Mengapa tidak Agustus saja yang dipakai Allah untuk mewujudkan belarasa-Nya kepada umat yang tertindas, toh karyanya jelas, kemakmuran sudah begitu banyak dirasakan? Namun, mengapa justeru Allah menepati janji kelahiran Sang Mesias bukan kepadanya, melainkan Yesus? Injil Lukas seolah menempatkan Agustus dan Yesus berhadapan! Seakan-akan Lukas berkata, “Pada zaman pemerintahan Kaisar Agustus, kaisar yang gagah, perkasa, tanpan, pandai, pembawa kesejahteraan dan kemakmuran, serta banyak orang mengelarinya dengan sebutan dewa, kepala umat beragama dan juruselamat, kini lahir Juruselamat yang sebenarnya, yakni Yesus bukan Agustus!” Tidak mudah dipahami.

Hal ini berbeda dengan pengharapan yang tercatat dalam Yesaya 9:2-7. Penulis Yesaya mempunyai angan-angan bahwa, “Bangsa yang berjalan dalam kegelapan telah melihat terang.” Situasi kelam – kegelapan – bangsa Israel diawali setelah kematian Raja Uzia. Kekacauan dalam masyarakat tidak terkendali (Yesaya 5:8-25). Di sana tergambar sesama warga negeri saling memfitnah dan menjatuhkan bahkan membinasakan. Orang-orang kaya menindas orang miskin. Diperparah lagi bahwa orang yang melakukan tindakan kejahatan menyebut diri sedang berbuat baik. Jelas, semua tindakan kebusukan yang menyengsarakan umat ini bersumber dari dosa. Situasi ini menjadi penyebab keruntuhan Israel. Zaman ini berubah ketika Hizkia ditahbiskan menjadi raja. Tak pelak lagi, kehadiran Hizkia menjadi secercah sinar bagi Israel. Kelahiran Hizkia ibarat sang pemulih yang dinantikan itu. Hizkia, setidaknya pada masa itu adalah sosok yang sangat mudah dan gamblang dipahami sebagai jawaban Allah atas keprihatinan umat yang tertindas oleh dosa. Ia muncul di tengah kebobrokan, kesengsaraan dan penderitaan umat.  

Hizkia menjadi gambaran pengharapan umat terhadap pemulihan. Benih-benih pengharapan Mesianik telah lama bermunculan dalam Perjanjian Lama. Sejalan dengan itu Allah menjawab pengharapan itu. Allah tidak membiarkan umat itu harus menunggu ratusan tahun lamanya menunggu sang pembebas? Allah selalu menjawab dengan menghadirkan orang-orang yang pada zamannya mempunyai kualifikasi memulihkan, membarui dan melegakan. Namun, hal ini bersifat temporal, hanya berlaku pada konteks saat itu. Tidak hanya Hizkia, Koresh, raja Persia pada zamannya dipandang sebagai mesias: pembebas, pemberi kelegaan dan dialah yang membangun kembali Bait Allah. Tentang dia, Yesaya menulis, “Akulah yang berkata tentang Koresh: Dia gembala-Ku; segala kehendak-Ku akan digenapinya dengan mengatakan tentang Yerusalem. Baiklah ia dibangun! Dan tentang Bait Suci: Baiklah diletakkan dasarnya!” (Yesaya 44:28). Jadi TUHAN dapat memakai siapa saja untuk menjawab pergumulan umat-Nya.

Agustus menjadi alat dalam tangan Allah, sebab mau tidak mau dia dipakai dan diikutsertakan dalam kedatangan Juruselamat yang sesungguhnya, yang kerajaan-Nya akan mengatasi segala kerajaan oleh karena kerajaan-Nya kekal. Nilai-nilai luhur dan perjuangan Kerajaan-Nya itu tidak hanya berlaku temporal, melainkan sepanjang masa. Agustus, sebagaimana Daud, Hizkia atau Koresh pada zamannya memberi pencerahan, pembebasan dan kelegaan. Namun, ditinjau dalam rentang waktu panjang pasti ada banyak hal yang tidak bisa berlaku di sepanjang zaman. Semua raja-raja, kaisar atau pun pembesar yang dianggap membawa pembebasan, kedamaian, bahkan yang disanjung bagaikan dewa dan diberi gelar-gelar super hebat, mereka itu telah berjuangan dalam konteks dunia di mana ia ada. Mereka memerjuangankan apa yang dianggap ideal pada zamannya. Sebagian besar di antaranya berkelit-kelindan dengan memenuhi hasrat ambisi berkuasa dengan pelbagai cara; tidak segan menumpas lawan bahkan dengan menumpahkan darah! Jelas, ini tidak bisa dijadikan acuan sepanjang zaman.

Kebalikan dengan penguasa-penguasa lain, gelar kehormatan dan pengakuan terhadap Yesus sebagai Mesias justeru Ia peroleh ketika dengan sadar Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati di kayu salib (Filipi 2:5-11). Kerendahan itu tergambar sejak kelahiran-Nya (Lukas 2:1-7). Bagaikan tingginya langit dari bumi, demikian kontras Agustus dan Yesus. Orang tua Yesus harus ikut sensus bersama rakyat jelata lainnya yang ditetapkan pemerintah koloni. Yusuf dan Maria harus menempuh jarak Nazaret – Betlehem sekitar 170 km dengan berjalan kaki, jarak itu bisa ditempuh selama 4-5 hari. Tetapi karena panas terik, debu, dan medan berat ditambah lagi Maria sedang hamil besar bisa saja lebih dari 5 hari.

Betlehem pada waktu itu diperkirakan dihuni 1000 orang, jadi sebuah kota mungil, kini tiba-tiba kedatangan banyak tamu yang hendak melakukan pencatatan sensus. Adalah wajar kalua ada banyak orang yang tidak bisa tertampung dalam rumah-rumah penduduk di sana. Waktu kecil dalam drama natal, saya diminta memainkan peran sebagai pemilik penginapan. Dalam naskah dan adegan yang harus saya mainkan adalah menolak permintaan Yusuf dan Maria untuk menumpang bermalam karena tidak menguntungkan, bahkan cenderung merepotkan karena sudah hamil besar dan tiba saatnya untuk melahirkan. Saya hanya mau menerima tamu yang bersih dan berduit, sebab itu menguntungkan saya! Kini, setelah saya pelajari Injil Lukas, saya bertanya dari mana asalnya sumber naskah drama itu? Saya menduga, mungkin pesan moralnya adalah penolakan terhadap Sang Mesias.

Sulit dibayangkan bahwa kota mungil Betlehem itu komersil. Bukankah pada saat itu Israel sedang berada di bawah jajahan imperium Agustus dan pencatatan sensus itu juga demi keuntungan sang penguasa untuk memungut pajak dan ketentuan wajib militer. Jadi mestinya di antara kaum tertindas itu tumbuh subur semangat persaudaraan: senasib dan sepenanggungan. Jadi bisa saja ketiadaan tempat itu karena Yusuf dan Maria terlambat mendapatkannya lantaran susahnya menempuh perjalanan berat. Dan rasanya, tidak mungkin juga orang-orang yang sudah menerima tamu untuk menginap kemudian mengusir mereka dan memersilahkan Yusuf dan Maria masuk. Kalau itu terjadi maka kisah kelahiran Yesus akan dilukiskan bahwa Ia terpaksa menyingkirkan orang lain. Apakah ada cara lain yang lebih manusiawi? Ada! Orang yang telah terlebih dahulu punya tempat menginap atau pemilik penginapan itu merelakan kenyamanannya terganggu dan memberikannya kepada Maria. Namun, sayangnya hal itu tidak terjadi. Pada masa kini pun Yesus mengetuk setiap pintu hati kita, Ia tidak memaksa! Kita hanya bisa menyambut-Nya ketika rela ruang nyaman kita diberikan kepada-Nya.

Kisah ini sederhana, mereka tidak mendapatkan tempat karena semua sudah penuh dan akhirnya mereka mendapatkan semacam pesanggrahan, yang biasanya terdapat di sekitar pelataran atau pekarangan tengah. Di situlah orang-orang akan meletakkan hewan ternak yang mereka bawa selama dalam perjalanan untuk beristirahat, makan dan minum bahkan menginap. Jadi rasanya bukan di kandang domba yang jauh terpencil. 

Di tempat pesanggrahan atau perhentian hewan itulah Maria melahirkan Yesus. Mereka membungkus Anak Itu dengan kain lampin dan membaringkannya di dalam palungan, tempat memberi makan ternak. Kedua tanda ini, kain lampin dan palungan menjadi penting karena itulah yang akan menjadi petunjuk bagi para gembala untuk mengenali Sang Mesias. Allah yang peduli dengan pendetiaan manusia itu merelakan Anak-Nya lahir di tempat yang tidak semestinya. Dari situlah Dia mulai menyapa setiap manusia. Dia menyapa Anda dan saya! Dia akan melebihi Daud, Hizkia, Koresh bahkan Agustus oleh karena apa yang diperjuangkan, diajarkan, dan dihidupi-Nya tidak bersifat temporal melainkan tidak lekang oleh waktu, tidak habis di makan zaman, akan berlaku abadi. "Kekuasaan" dan "kerajaan-Nya" kekal sampai selama-lamanya. Mestinya, siapa pun yang mengikuti, percaya dan menyembah-Nya akan terus memerjuangkan hal yang sama; yakni meneruskan belarasa Allah kepada semua yang tertindas akibat dosa.