Apa reaksi Anda ketika anak gadis Anda tiba-tiba datang dan berkata, “Mama,
papa, aku hamil!” Atau Anda sebagai seorang pria, punya pacar. Anda begitu
mengasihinya dan bertekad menjaga kesucian sampai hari pernikahan. Namun, suatu
hari pacar Anda berkata, “Mas, aku hamil!” Rasanya reaksi yang bakal muncul
bukan gembira apalagi bahagia. Sebaliknya, kecewa, marah bahkan murka. Bisa
dibayangkan apa yang ada dalam benak Maria ketika ia diberitahu bahwa dirinya
hamil. Padahal ia tidak pernah melakukan hubungan seks dengan pria mana pun.
Tentu sebagai perempuan normal yang lugu, ia juga akan berpikir sebagaimana
kebanyakan orang tentang reaksi keluarganya? Pasti mereka akan menyangka
dirinya telah melakukan pelanggaran susila. Lalu bagaimana dengan Yusuf,
tunangan yang dicintainya. Pasti ia akan kecewa dan marah. Dengannya Maria
telah merencanakan banyak hal dalam membangun keluarga. Apakah Yusuf dapat
memercayai penjelasannya? Bagaimana pula pandangan keluarga calon mertua. Pasti
mereka akan memandang rendah dan menganggapnya tidak lebih dari perempuan
jalang! Dan pastinya Maria membayangkan hukuman rajam yang menantinya ketika
masyarakat tahu bahwa dirinya hamil di luar nikah!
Cobalah sejenak kita berada pada posisi Maria. Ketika Gabriel, sang Malaikat
membawa berita itu pastilah yang ada dalam benaknya adalah Yusuf. Bukankah
sesaat lagi ia akan dapat tidur di dekapan Yusuf? Bercerita manja sambil
bercumbu dan bercinta! Ia akan melahirkan anak-anak, buah cintanya dengan Yusuf.
Mereka akan membangun rumah sederhana, menatanya dengan perabotan sederhana
pula. Sebagaimana pada umumnya pasangan suami-isteri Israel, Yusuf dan Maria
juga pasti berangan-angan punya anak-anak yang akan mereka rawat, didik, dan
dibesarkan sesuai tradisi menjadi anak-anak yang mengenal Tuhan. Namun, apa
yang terjadi dengan kehadiran Malaikat Gabriel di tengah mimpi yang sekejap
lagi akan diraihnya? Kini, Maria harus bergumul untuk memilih: Mewujudkan
mimpi-mimpi indah bersama dengan Yusuf ataukah rela mengubur mimpi itu demi
sebuah tugas mulia, yakni merelakan rahimnya yang masih suci itu dipakai untuk
mengandung Sang Mesias? Setidaknya, kita dapat menyimpulkan ada dua hal yang
menjadi beban pergumulan Maria ketika ia menyatakan bersedia menjawab “ya” atas
rencana Tuhan itu. Pertama, menyangkut nama baik; resiko dipandang sebagai
perempuan sundal dan kedua, melupakan mimpi-mimpi indah bersama dengan
kekasihnya, Yusuf. Lukas mencatat begitu singkat pergumulan yang dialami
Maria. Hanya 13 ayat Lukas menceritakan
pemberitahuan Malaikat Gabriel tentang rencana Allah dalam diri Maria untuk
mengandung dan melahirkan Anak Allah (Lukas 1:26-38). Kisah ini diakhiri dengan
pernyataan Maria, “Sesungguhnya aku ini
adalah hamba Tuhan; jadilah kepadaku menurut perkataanmu itu.”
Pada akhirnya, Maria dapat menyelesaikan pergumulan, kegelisahan dan
kekuatirannya dengan menyediakan diri sebagai hamba Tuhan. Maria bersedia
mengorbankan mimpi dan kepentingannya sendiri demi serta berani menanggung
resiko apa pun dari pandangan masyarakat terhadap dirinya demi terlaksananya
rencana Allah dalam menyelamatkan manusia dan dunia ini. Maria bisa melihat
perkara yang lebih besar, agung dan mulia di balik rencananya sendiri yang
memang juga indah. Di sinilah kita dapat melihat kerendahan hatinya yang tidak
mementingkan diri sendiri. Sering orang melupakan peran dan sebutan hamba
kepada Maria. Kebanyakan Maria dikenang sebagai wanita hebat, mulia dan ibu
Yesus, Tuhan dan Sang Juruselamat itu. Namun, kita sering lupa menempatkan
Maria sebagai manusia biasa, bersahaja, yang mempunyai mimpi sederhana. Kita lupa
bahwa untuk sebuah tugas maha mulia itu, semua resiko harus dihadapinya. Maria
memilih menjadi hamba, artinya melepaskan kepentingannya sendiri demi
kepentingan yang lebih besar.
Salah satu sikap hamba adalah kerendahan hati, Maria menyadari bahwa dalam
hidupnya harus ada yang diutamakan, yakni kehendak Tuannya. Kerendahan hati merupakan
lawan dari tinggi hati atau sombong. Maria kini menyadari bahwa janin yang
dikandungnya adalah Mesias namun hal ini tidak membuatnya pongah; besar kepala.
Memang ada yang berubah dalam diri Maria tapi bukan tinggi hati melainkan
sukacita yang besar dalam dirinya. Hamba yang sejati adalah hamba yang mau
mengikuti apa yang diperintahkan Sang Tuan bukan dengan terpaksa melainkan
dengan hati rela dan sukacita.
Maka tidak heran, setelah terjadi dialog dengan Elisabet, sepupunya yang
juga mendapat karunia mujizat dengan mengandung pada masa tuanya yang disebut
mandul itu, Maria mengucapkan madah pujian syukur. Ia berkata, “Jiwaku memuliakan Tuhan dan hatiku bergembira
karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia memperhatikan kerendahan hamba-Nya.
Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku
berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar
kepadaku dan nama-Nya adalah kudus.” (Lukas
1:46-49)
Dalam pujian ini, kita dapat merasakan kebahagiaan orang yang mendengarkan
Sabda Allah dan memeliharanya dengan penuh cinta di dalam hatinya. Inilah yang
kita lihat dari benang merah tanggapan para nabi terhadap panggilan Tuhan. Mereka
memuliakan Tuhan dengan cara menjadi hamba-Nya. Maria senada dan seolah satu
tarikan nafas dengan Habakuk: “Aku akan
bersorak-sorai di dalam Tuhan…Allah yang menyelamatkan aku”. Nabi ini
menulis juga bahwa, “orang yang benar itu
akan hidup oleh imannya.” (Habakuk 3:18; 2:4). Kegembiraan Habakuk jelas bukan
terletak pada jasa-jasa, kehebatan atau karyanya, melainkan pada kepercayaan
teguh terhadap TUHAN. Kata-kata nabi Yesaya juga menggema dalam kidung Maria
ini: “Aku bersukaria di dalam TUHAN,
jiwaku bersorak-sorai di dalam Allahku.”(Yesaya 61:10). Terlebih kita juga
mengingat pada Hana, ibu dari Samuel, yang mengalami pergumulan sama seperti
Elisabet yang dibebaskan dari aib kemandulannya. Seperti Hana, Maria pun
memaklumkan bahwa anugerah yang paling besar hanya diberikan Allah kepada
mereka yang bersemangat menjadi hamba-Nya dan dengan rela merendahkan hati.
Dalam madah Magnifikat ini, Maria
seolah bertindak sebagai juru bicara semua manusia yang tertebus dan hidup
dalam rancangan-Nya. Dengan bahasa teknis yang dipakai oleh para ahli Kitab
Suci, Maria menjadi semacam wakil yang menjadi model pembawa harapan-harapan,
kebutuhan-kebutuhan, kemenangan-kemenangan serta sukacita kegembiraan bagi kaum
papa dan miskin milik Allah.
Maria dapat menerima anugerah terbesar dari Allah justeru ketika ia
memilih menjadi hamba-Nya ketimbang mewujudkan mimpi-mimpinya. Maria tentu
mengetahui dari mazmur-mazmur bahwa kerendahan hati membuka rakhmat Allah yang
dapat membangkitkan sukacita dan kebahagiaan sejati. Maria meneruskan kidungnya,
“Ia memeprlihatkan kuasa-Nya dengan
perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia
menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang
yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan
menyuruh pergi orang kaya dengan tangan hampa.”(Lukas 1:51-53) Menghayati
kerendahan hati Maria, maka setidaknya kita belajar dua hal: Pertama, siap
menanggung segala resiko demi melaksanakan kehendak-Nya. Kedua, rela melepaskan
keinginan dan ambisi diri sendiri, dan mengantinya dengan mengutamakan
kehendak-Nya. Sampai di sini kemudian orang bertanya: Bagi Maria enak bisa
langsung mendengar kehendak Allah melalui pernyataan Malaikat Gabriel. Nah,
buat kita, bagaimana mendengar suara dan kehendak Tuhan itu?”
Benar, Maria mudah mengerti
kehendak-Nya karena Malaikat Tuhan sendiri yang berbicara kepada-Nya. Kini,
kita tidak perlu menunggu Malaikat Gabriel menyatakan kehendak Tuhan kepada
kita. Bukankah setiap hari, setiap saat Tuhan juga berbicara kepada kita? Ia
bisa berbicara melalui mimbar gereja, renungan harian, orang-orang di
sekeliling kita, peristiwa-peristiwa yang Tuhan izinkan menyapa kita. Nah, itu
semua dapat dipakai-Nya untuk menyatakan kehendak-Nya. Tinggal kita mengasah
kepekaan untuk menangkapnya. Setiap orang yang bergaul akrab dengan Tuhan pasti
sangat mudah baginya untuk menangkap, mendengar dan mengerti kehendak-Nya itu.
Beranikah kita bersikap dan bertindak seperti Maria bersikap dan bertindak dalam
merespon suara Tuhan? Setiap orang pastinya ingin merasakan dan mengalami
rakhmat Allah yang bermuara kepada sukacita. Namun, sayangnya tidak setiap
orang rela melepaskan impian, ambisi, dan rencananya demi mengutamakan rencana
dan kehendak-Nya.