Jumat, 18 Desember 2015

MENGHAYATI KERENDAHAN HATI MARIA, IBU YESUS

Apa reaksi Anda ketika anak gadis Anda tiba-tiba datang dan berkata, “Mama, papa, aku hamil!” Atau Anda sebagai seorang pria, punya pacar. Anda begitu mengasihinya dan bertekad menjaga kesucian sampai hari pernikahan. Namun, suatu hari pacar Anda berkata, “Mas, aku hamil!” Rasanya reaksi yang bakal muncul bukan gembira apalagi bahagia. Sebaliknya, kecewa, marah bahkan murka. Bisa dibayangkan apa yang ada dalam benak Maria ketika ia diberitahu bahwa dirinya hamil. Padahal ia tidak pernah melakukan hubungan seks dengan pria mana pun. Tentu sebagai perempuan normal yang lugu, ia juga akan berpikir sebagaimana kebanyakan orang tentang reaksi keluarganya? Pasti mereka akan menyangka dirinya telah melakukan pelanggaran susila. Lalu bagaimana dengan Yusuf, tunangan yang dicintainya. Pasti ia akan kecewa dan marah. Dengannya Maria telah merencanakan banyak hal dalam membangun keluarga. Apakah Yusuf dapat memercayai penjelasannya? Bagaimana pula pandangan keluarga calon mertua. Pasti mereka akan memandang rendah dan menganggapnya tidak lebih dari perempuan jalang! Dan pastinya Maria membayangkan hukuman rajam yang menantinya ketika masyarakat tahu bahwa dirinya hamil di luar nikah!

Cobalah sejenak kita berada pada posisi Maria. Ketika Gabriel, sang Malaikat membawa berita itu pastilah yang ada dalam benaknya adalah Yusuf. Bukankah sesaat lagi ia akan dapat tidur di dekapan Yusuf? Bercerita manja sambil bercumbu dan bercinta! Ia akan melahirkan anak-anak, buah cintanya dengan Yusuf. Mereka akan membangun rumah sederhana, menatanya dengan perabotan sederhana pula. Sebagaimana pada umumnya pasangan suami-isteri Israel, Yusuf dan Maria juga pasti berangan-angan punya anak-anak yang akan mereka rawat, didik, dan dibesarkan sesuai tradisi menjadi anak-anak yang mengenal Tuhan. Namun, apa yang terjadi dengan kehadiran Malaikat Gabriel di tengah mimpi yang sekejap lagi akan diraihnya? Kini, Maria harus bergumul untuk memilih: Mewujudkan mimpi-mimpi indah bersama dengan Yusuf ataukah rela mengubur mimpi itu demi sebuah tugas mulia, yakni merelakan rahimnya yang masih suci itu dipakai untuk mengandung Sang Mesias? Setidaknya, kita dapat menyimpulkan ada dua hal yang menjadi beban pergumulan Maria ketika ia menyatakan bersedia menjawab “ya” atas rencana Tuhan itu. Pertama, menyangkut nama baik; resiko dipandang sebagai perempuan sundal dan kedua, melupakan mimpi-mimpi indah bersama dengan kekasihnya, Yusuf. Lukas mencatat begitu singkat pergumulan yang dialami Maria.  Hanya 13 ayat Lukas menceritakan pemberitahuan Malaikat Gabriel tentang rencana Allah dalam diri Maria untuk mengandung dan melahirkan Anak Allah (Lukas 1:26-38). Kisah ini diakhiri dengan pernyataan Maria, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah kepadaku menurut perkataanmu itu.”

Pada akhirnya, Maria dapat menyelesaikan pergumulan, kegelisahan dan kekuatirannya dengan menyediakan diri sebagai hamba Tuhan. Maria bersedia mengorbankan mimpi dan kepentingannya sendiri demi serta berani menanggung resiko apa pun dari pandangan masyarakat terhadap dirinya demi terlaksananya rencana Allah dalam menyelamatkan manusia dan dunia ini. Maria bisa melihat perkara yang lebih besar, agung dan mulia di balik rencananya sendiri yang memang juga indah. Di sinilah kita dapat melihat kerendahan hatinya yang tidak mementingkan diri sendiri. Sering orang melupakan peran dan sebutan hamba kepada Maria. Kebanyakan Maria dikenang sebagai wanita hebat, mulia dan ibu Yesus, Tuhan dan Sang Juruselamat itu. Namun, kita sering lupa menempatkan Maria sebagai manusia biasa, bersahaja, yang mempunyai mimpi sederhana. Kita lupa bahwa untuk sebuah tugas maha mulia itu, semua resiko harus dihadapinya. Maria memilih menjadi hamba, artinya melepaskan kepentingannya sendiri demi kepentingan yang lebih besar.

Salah satu sikap hamba adalah kerendahan hati, Maria menyadari bahwa dalam hidupnya harus ada yang diutamakan, yakni kehendak Tuannya. Kerendahan hati merupakan lawan dari tinggi hati atau sombong. Maria kini menyadari bahwa janin yang dikandungnya adalah Mesias namun hal ini tidak membuatnya pongah; besar kepala. Memang ada yang berubah dalam diri Maria tapi bukan tinggi hati melainkan sukacita yang besar dalam dirinya. Hamba yang sejati adalah hamba yang mau mengikuti apa yang diperintahkan Sang Tuan bukan dengan terpaksa melainkan dengan hati rela dan sukacita.

Maka tidak heran, setelah terjadi dialog dengan Elisabet, sepupunya yang juga mendapat karunia mujizat dengan mengandung pada masa tuanya yang disebut mandul itu, Maria mengucapkan madah pujian syukur. Ia berkata, “Jiwaku memuliakan Tuhan dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku  dan nama-Nya adalah kudus.” (Lukas 1:46-49)

Dalam pujian ini, kita dapat merasakan kebahagiaan orang yang mendengarkan Sabda Allah dan memeliharanya dengan penuh cinta di dalam hatinya. Inilah yang kita lihat dari benang merah tanggapan para nabi terhadap panggilan Tuhan. Mereka memuliakan Tuhan dengan cara menjadi hamba-Nya. Maria senada dan seolah satu tarikan nafas dengan Habakuk: “Aku akan bersorak-sorai di dalam Tuhan…Allah yang menyelamatkan aku”. Nabi ini menulis juga bahwa, “orang yang benar itu akan hidup oleh imannya.” (Habakuk 3:18; 2:4). Kegembiraan Habakuk jelas bukan terletak pada jasa-jasa, kehebatan atau karyanya, melainkan pada kepercayaan teguh terhadap TUHAN. Kata-kata nabi Yesaya juga menggema dalam kidung Maria ini: “Aku bersukaria di dalam TUHAN, jiwaku bersorak-sorai di dalam Allahku.”(Yesaya 61:10). Terlebih kita juga mengingat pada Hana, ibu dari Samuel, yang mengalami pergumulan sama seperti Elisabet yang dibebaskan dari aib kemandulannya. Seperti Hana, Maria pun memaklumkan bahwa anugerah yang paling besar hanya diberikan Allah kepada mereka yang bersemangat menjadi hamba-Nya dan dengan rela merendahkan hati. Dalam madah Magnifikat ini, Maria seolah bertindak sebagai juru bicara semua manusia yang tertebus dan hidup dalam rancangan-Nya. Dengan bahasa teknis yang dipakai oleh para ahli Kitab Suci, Maria menjadi semacam wakil yang menjadi model pembawa harapan-harapan, kebutuhan-kebutuhan, kemenangan-kemenangan serta sukacita kegembiraan bagi kaum papa dan miskin milik Allah.

Maria dapat menerima anugerah terbesar dari Allah justeru ketika ia memilih menjadi hamba-Nya ketimbang mewujudkan mimpi-mimpinya. Maria tentu mengetahui dari mazmur-mazmur bahwa kerendahan hati membuka rakhmat Allah yang dapat membangkitkan sukacita dan kebahagiaan sejati. Maria meneruskan kidungnya, “Ia memeprlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh pergi orang kaya dengan tangan hampa.”(Lukas 1:51-53) Menghayati kerendahan hati Maria, maka setidaknya kita belajar dua hal: Pertama, siap menanggung segala resiko demi melaksanakan kehendak-Nya. Kedua, rela melepaskan keinginan dan ambisi diri sendiri, dan mengantinya dengan mengutamakan kehendak-Nya. Sampai di sini kemudian orang bertanya: Bagi Maria enak bisa langsung mendengar kehendak Allah melalui pernyataan Malaikat Gabriel. Nah, buat kita, bagaimana mendengar suara dan kehendak Tuhan itu?”

Benar, Maria mudah mengerti kehendak-Nya karena Malaikat Tuhan sendiri yang berbicara kepada-Nya. Kini, kita tidak perlu menunggu Malaikat Gabriel menyatakan kehendak Tuhan kepada kita. Bukankah setiap hari, setiap saat Tuhan juga berbicara kepada kita? Ia bisa berbicara melalui mimbar gereja, renungan harian, orang-orang di sekeliling kita, peristiwa-peristiwa yang Tuhan izinkan menyapa kita. Nah, itu semua dapat dipakai-Nya untuk menyatakan kehendak-Nya. Tinggal kita mengasah kepekaan untuk menangkapnya. Setiap orang yang bergaul akrab dengan Tuhan pasti sangat mudah baginya untuk menangkap, mendengar dan mengerti kehendak-Nya itu. Beranikah kita bersikap dan bertindak seperti Maria bersikap dan bertindak dalam merespon suara Tuhan? Setiap orang pastinya ingin merasakan dan mengalami rakhmat Allah yang bermuara kepada sukacita. Namun, sayangnya tidak setiap orang rela melepaskan impian, ambisi, dan rencananya demi mengutamakan rencana dan kehendak-Nya.

Jumat, 11 Desember 2015

SIAP DITAMPI OLEH PENGHAKIMAN-NYA

Namanya Zefanya dan pastinya keturunan priyayi atau bangsawan. Mengapa? Nama leluhurnya melekat padanya: Zefanya bin Kusy bin Gedalya bin Amarya bin Hizkia (Zefanya 1:1) sulit dibayangkan kalau ia hanya rakyat jelata dengan punya empat garis keturunan yang menyertai namanya. Kitabnya dimulai dengan catatan zamannya. Ia hidup dalam zaman Yosia bin Amon, raja Yehuda. Yosia adalah raja yang melakukan pembenahan dan pembaruan. Raja Yosia memerintah dari tahun 642-609 SM dan memulai membangun bangsanya sekitar 622 SM. Untuk menuju sebuah reformasi, khususnya spiritual tidaklah mudah. Pengaruh kultus ibadah Baal pada masa-masa awal Yosia berkuasa ternyata masih begitu melekat menjadi gaya hidup Yehuda.

Peribadatan terhadap berhala membawa kepada pemikiran, sikap hidup dan tingkah laku egois. Mengapa? Ini sebenarnya sangat logis. Perhatikanlah orang-orang yang menyembah berhala. Pada dasarnya mereka tidak sedang melayani atau mengabdi kepada berhala yang mereka sembah itu. Mereka sedang melayani dan mengabdi kepada diri sendiri. Sesajen, persembahan, korban, apa pun namanya, bukankah itu semua diberikan agar kelak mereka mendapatkannya lagi dalam bentuk perlindungan, hasil panen, kesehatan, terhindar dari kerugian, mendapatkan kuasa, kekayaan, pendeknya semua yang mereka kehendaki terpenuhi. Ibadah terhadap berhala itu berujung pada memikirkan diri sendiri, ketamakan dan cemburu, bahkan tidak ragu-ragu untuk menindas, memeras, menyingkirkan sesamanya. Saya kira karena dampaknya seperti ini maka ibadah kepada berhala menjadi salah! Hal ini sangat berbeda sekali ketika manusia beribadah kepada TUHAN. Mereka yang beribadah kepada-Nya harus menjadi saluran berkat, hidup berdamai dan mengasihi sesama. Jadi jika saja ada orang yang mengaku beribadah kepada TUHAN tetapi cara berpikir, bertindak dan tingkah lakunya sama seperti para penyembah berhala maka dapat dipastikan ia sedang membuat TUHAN sebagai berhala!

Apa akibatnya penyembahan berhala yang terjadi pada era nabi Zefanya? Mereka menolak untuk sebuah pembaruan. Tidak mau berubah. Hakim-hakim mereka bertindak tak ubahnya seperti serigala (lih. Yeremia 5:26); imam-imam dan para nabinya tidak melaksanakan kewajiban, mereka hanya melayani para pembesar dan bernubuat sekehendak sendiri. Mereka sering mencatut nama TUHAN demi kepentingan sendiri (Yeremia 2:8; 6:13). Bagaimana dengan orang-orang yang berlaku jahat? Mereka sudah tidak kenal kata malu (Zef.3:5 “…Tetapi orang lalim tidak kenal malu.”). Kejahatan dipertontonkan dengan terang-terangan (lih. Yeremia 3;3). Yang menyedihkan lagi adalah ketika para pemimpin  menindas umat seperti singa dan serigala tak seorang pun dari mereka mau berbalik kepada TUHAN. Mereka lebih percaya dan mengandalkan kekuatan dan perhitungan sendiri dan membuang jauh-jauh keyakinan kepada TUHAN.

Bila kita meminjam catatan Alkitab, kenyataan ini terus terjadi bahkan sampai 600 tahun sesudah itu ketika Yohanes pembaptis menyerukan pertobatan. Apa yang terjadi dengan manusia yang dilengkapi akal budi, nalar dan kehendak bebas? Ternyata, 2600 tahun setelah zaman Zefanya pun, keadaanya nyaris sama terjadi. Sekarang ini, kita melihat bagaimana para pemimpin dan penguasa sibuk memertahankan, melanggengkan dan memperbesar kekuasaanya. Demi nafsu berkuasa tidak segan mengorbankan siapa pun termasuk kawan sendiri. Kongkalikong terjadi di mana-mana untuk meraup keuntungan yang semakin besar. Memburu rente, bancakan proyek, manipulasi data dan kebohongan publik dianggap biasa dan lumrah sebagai budaya politik. Bencana kebakaran hutan, lumpur dan limbah tambang serta sederet lagi kerusakan lingkungan tidak menggoyahkan nurani.

Bagaimana dengan para hakim, penegak hukum, penegak moral dan etika? Sama bobroknya. Keadilan muncul terbalik. Seperti pisau yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Maling ayam ditebus nyawa tetapi korupsi triliunan rupiah hukuman hanya alakadarnya. Perkara orang lemah gampang diputuskan tetapi orang kaya, berkuasa; keputusan bisa diatur.

Lalu bagaimana dengan para penjahat? Tidak kalah! Tidak ada budaya malu ketika melakukan kejahatan dan kebejatan moral. Di negeri ini, siapa yang menjadi saksi dan melaporkan tindakan kejahatan justeru dihakimi, diadili dan dipertanyakan. Bukan sebaliknya dihargai dan dilindungi. Semakin hari kita menyaksikan semakin orang tidak lagi berpikir ulang terhadap tindakan kejahatan yang dilakukannya.

Dengan cara hidup demikian, Zefanya menyebut bahwa bangsanya telah menghianati TUHAN. Mengapa? Karena TUHAN menghendaki keselamatan, dan damai sejahtera bagi semua orang (Zef.3:5). Apa yang pantas diberikan kepada penghianat? Penghancuran habis-habisan (Zef. 3:6-8) atau dalam Bahasa Yohanes Pembaptis ,”Hai kamu keturunan orang beludak! Siapakah yang mengatakan kepada kamu supaya melarikan diri dari murka yang akan datang?...Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api.” (Lukas 3:7,9).

Pada zaman Zefanya ancaman itu bukanlah ancaman kosong. Kota-kota bobrok dengan Menara-menara jaganya, memang merupakan pemandangan yang lazim dan mengerikan.  Serbuan Asyur di tahun 701 meninggalkan pemandangan seperti itu. Rumusan yang diucapkan Zefanya memberikan tekanan bahwa ancaman itu bukan pepesan kosong, melainkan akan dilaksanakan dengan kekuatan hukum TUHAN. Kejahatan akan berhadapan dengan hukum yang setimpal!

Apakah masih ada celah untuk dapat terhindar dari malapetaka besar itu? Ada! Zefanya 3:12-13, “ Di antara kamu akan Kubiarkan hidup suatu umat yang rendah hati dan lemah, dan mereka akan mencari perlindungan pada nama TUHAN, yakni sisa Israel itu. Mereka tidak akan melakukan kelaliman atau berbicara bohong; dalam mulut mereka tidak akan terdapat lidah penipu; ya mereka akan seperti domaba yang makan rumput dan berbaring dengan tidak ada yang mengganggunya.” Atau seperti Bahasa Yohanes Pembaptis bahwa mereka yang bertobat dan menghasilkan buah pertobatan itulah yang akan selamat dari azab yang akan datang! Zefanya meneruskan dalam ayat 14-20 bahwa mereka yang setia kepada TUHAN akan melihat Yerusalem dipulihkan, TUHAN akan menjadi Raja bagi mereka dan tentunya damai sejahtera meliputi seluruh negeri!

Beruntunglah Zefanya, yang walaupun keturunan ningrat, dia tidak ikut-ikutan menjadi penindas. Lebih beruntung lagi mereka punya raja seperti Yosia yang bersedia mendengar suara TUHAN sehingga akhirnya sang raja membersihkan praktek-praktek ibadah berhala dan kembali kepada kehendak-Nya. Setidaknya, pada zaman itu ketentraman meliputi negeri itu. Meskipun dua atau tiga generasi berikutnya mengulangi kekeliruan yang sama.

Berkaca dari kisah umat TUHAN ini, sudah jelas kehancuran yang sedang mengintai bangsa kita akibat kebobrokan moral dan kejahatan yang terus terjadi tanpa kenal malu segera menimpa. Pastilah TUHAN menuntut perhitungan dan pengadilan. Seberapa pun sumber alam dan kekayaan perut bumi kita tidak akan menjadi berkat kemakmuran bagi negeri ini jika saja segenap elemen bangsa ini mengalami kebobrokan moral dan tidak mau mengalami pembaruan radikal.  Sebelum saat azab itu benar-benar datang, alangkah baiknya kita menggunakan waktu yang ada ini dengan berbenah diri. Bertobat, tidak usah malu mengaku kesalahan dan kebobrokan masa lalu demi kebaikan akan akan datang.  Zefanya, seperti juga nabi-nabi Allah lainnya selalu mengingatkan bahwa di tengah murka Allah atas kejahatan manusia, pintu pertobatan itu tetap terbuka! Pertobatan sebuah bangsa dimulai dari setiap pribadi. Mulailah dari diri sendiri, sekarang ini juga dan jangan tuntut orang lain terlebih dulu!