Kamis, 26 November 2015

CERMAT MEMBACA TANDA-TANDA ZAMAN

Tanpa terasa kita memasuki masa Advent. Tidak banyak kemeriahan terjadi pada hari ini, berbeda dengan pergantian tahun. Ditutup dengan gemerlapnya pesta kembang api dan kemudian dibuka dengan pelbagai ucapan selamat tahun baru! Tidak ada di antara kita yang saling menyapa dengan ucapan selamat tahun baru gerejawi. Padahal hari ini merupakan awal tahun liturgi gerejawi kita! Tahun gerejawi dimulai pada Advent pertama. Sebagai umat Tuhan kita mengawali perjalanan tahun gerejawi ini dengan sebuah kesadaran akan penantian kedatangan Yesus Kristus kembali. Kesadaran yang seharusnya membimbing kita dalam seluruh ziarah kehidupan ini untuk tetap eling lan waspada. Sadar dan berjaga-jaga.

Advent mengajar kita untuk selalu siap dan berjaga-jaga. Sebagai umat Tuhan, kita hidup berada di antara “dua Advent”. Pada awalnya, Advent adalah masa penantian akan lahirnya Sang Juruselamat. Dan kini, Advent menjadi relevan bukan lagi untuk persiapan menyambut Sang Juruselamat atau Natal. Mengapa? Karena masa itu sudah lewat. Yesus Kristus, Sang Juruselamat sudah lahir. Ia telah hidup dan berkarya, mengajar dan melayani, menanggung sengsara dan mati, bangkit dan akhirnya naik ke sorga. “Dan dari sana Ia akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati…”– itu bunyi Pengakuan Iman yang setiap ibadah minggu diucapkan – Kedatangan-Nya kembali jelas bukan dalam misi penyelamatan melainkan penghakiman. Dengan keyakinan dan kesadaran inilah Advent menjadi relevan agar kita selalu siap untuk menyambut kedatangan-Nya kembali karena pada saat itu penentuan apakah kita termasuk orang yang menerima mahkota kehidupan kekal atau kematian kekal. Kapankah kedatangan-Nya itu terjadi? Tidak seorang pun tahu!

Di tengah ketidaktahuan – namun pasti akan terjadi – Yesus menyiratkan agar kita pandai membaca tanda zaman. Yesus mengatakan, “Perhatikanlah pohon ara atau pohon apa saja. Apabila kamu melihat pohon-pohon itu sudah bertunas, kamu tahu dengan sendirinya bahwa musim panas sudah dekat. Demikian juga, jika kamu melihat hal-hal itu terjadi, ketahuilah bahwa Kerajaan Allah sudah dekat.” (Lukas 21:29-31). Apa yang dimaksud Yesus dengan “hal-hal itu terjadi”? Dalam ayat 25,26, Yesus mengungkapkan akan adanya tanda-tanda kekacauan kosmik, bumi gonjang-janjing dan kuasa-kuasa di langit akan goncang yang menyebabkan ketakutan luar biasa dan kematian. Semua tampaknya akan terjadi dengan cepat.

Namun, dalam keadaan yang cepat itu, Yesus mengingatkan tidak tiba-tiba. Mestinya masih ada kesempatan manusia untuk berefleksi dan melihat adanya tanda-tanda peringatan. Masalahnya sekarang apakah kita harus menunggu tanda-tanda dasyat seperti ini dan kemudian baru menyentakkan hati kita? Ataukah apa yang disampaikan Yesus ini adalah sebuah gambaran yang sekarang sedang terjadi? Cobalah renungkan: Apakah Anda pernah mendengar pohon menangis karena hutan yang sekarat dibabat dan dibakar?  Apakah Anda pernah mendengar orangutan dan satwa liar lainnya merintih kesakitan dalam kecemasan karena tempat tinggal mereka diluluhlantakkan?  Apakah Anda pernah melihat danau, bendungan atau setu menangis lantaran sudah tidak ada lagi sumber air untuk menopang kehidupan? Anda pernah mendengar runtuhnya pasar saham, atau manusia saling memangsa dan pendulum materialisme berayun begitu kuatnya menghantam sendi-sendi moral dan akhirnya menghancurkan kehidupan. Lihatlah, ini terjadi tidak dengan tiba-tiba, ini adalah  tanda-tanda yang seharusnya membuat manusia menyadari bahwa semuanya akan menuju kepada kehancuran total!

Barangkali dalam konteks zaman Yesus hal-hal yang menakutkan itu begitu nyata mewujud dalam kebencian pemuka Yudaisme atau penganiayaan imperalis Romawi. Hal yang sama juga terjadi dalam masa-masa sulit pembuangan dalam konteks Perjanjian Lama. Semuanya itu menakutkan dan berpotensi meruntuhkan sendi-sendi iman. Sehingga dalam kodisi seperti ini yang paling dibutuhkan manusia bukanlah uang atau sesuap nasi melainkan pengharapan bahwa Allah ada di pihak mereka sehingga apapun yang terjadi mereka tetap berpegang pada prinsip-prinsip kebenaran!

Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya.”(Lukas 21:27). Kegelapan, ngeri dan ketakutan hanya dapat diatasi ketika seseorang berpaling dan melihat Anak Manusia. Dengan berpaling kepada-Nya, kita akan terbantu melihat realita yang ada. Langit dan awan adalah tanda kehadiran Allah. Pesan yang hendak disampaikan adalah bahwa Yesuslah yang akan membawa manusia dari kondisi kelam dan takut menuju kepada Allah yang penuh cinta dan kedamaian. Dari kematian menuju kepada kehidupan yang kekal. Perumpamaan pucuk-pucuk pohon ara mengingatkan itu. Dalam musim dingin semua pohon tampaknya mati membeku. Namun, setelah musim dingin berakhir akan terlihat kembali kehidupan. Pohon ara adalah simbol kuno umat Tuhan. Hosea mengatakan, “…seperti buah sulung sebagai hasil pertama pohon ara Aku melihat nenek moyangmu..”(Hosea 9:10). Suatu pengharapan baru yang memerlihatkan kehidupan seharus terjadi dan itu dimulai dari umat Tuhan.

Dalam kondisi yang tidak mudah bahkan ketiadaan pengharapan itu umat Tuhan dipanggil untuk terus berjaga-jaga, “Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa, supaya kamu beroleh kekuatan untuk luput dari semua yang akan terjadi itu, dan supaya kamu tahan berdiri di hadapan Anak Manusia.”(Lukas 21:36). Dengan cara apakah umat Tuhan berjaga-jaga? Dengan hidup dalam pertobatan, tidak menjadi sama dan serupa dengan dunia ini! Tidak serakah tetapi membangun kehidupan. Hal ini pulalah dulu yang menjadi doa Paulus untuk jemaat di Tesalonika, “Kiranya Dia menguatkan hatimu, supaya tak bercacat dan kudus, di hadapan Allah dan Bapa kita pada waktu kedatangan Yesus, Tuhan kita dengan semua orang kudus-Nya. “(1 Tesalonika 3:13).

Waktu kedatangan-Nya kembali tak seorang pun tahu. Namun Ia mengingatkan kita melalui tanda-tanda zaman bahwa dunia ini semakin menuju kebinasaan. Berkaitan dengan waktu, umumnya kita mengenal masa lalu, masa kini dan masa depan. Jika dihubungkan dengan karya Yesus; masa lalu Yesus telah berkarya, masa kini Ia mengingatkan kita supaya hidup berkenan kepada-Nya dan dengan demikian berarti kita memersiapkan menyambut-Nya di masa yang akan datang itu. Namun, seringkali kita lalai untuk memersiapkan menyambut Tuhan itu oleh karena kita lebih asyik mengurus keinginan kita malah kemudian kita hanyut di dalamnya. Sedangkan kedatangan-Nya itu berada di masa depan. Akibatnya, kita sering menunda-nunda persiapan itu. “Belum sekarang saatnya, nanti saja, aku kan ingin hidup juga seperti orang lain!” Beberapa dari kita mungkin saja mempunyai karakter seperti ini, menunda untuk hidup dalam pertobatan. Masih suka berkutat dalam kehidupan yang buruk tanpa keinginan untuk memperbaiki diri dengan dalih nanti saja kalau waktunya sudah tepat.

Jika seseorang mempunyai pemikiran seperti ini, maka kecil kemungkinan – untuk tidak mengatakan mustahil – ada perubahan dalam hidupnya ke arah yang lebih baik; untuk hidup di dalam Tuhan. Sekarang dan seterusnya Anda akan tetap seperti hari ini. Sebab apa yang Anda pikirkan tentang masa depan hanyalah ilusi. Hanya ilusi hidup mau berkenan dan memuliakan Tuhan. Masa depan adalah cermin proyeksi hari ini. Jika Anda sekarang termasuk orang yang gemar berbohong, di masa depanpun Anda akan tetap menjadi seorang pembohong apabila hari ini Anda tidak bersikeras untuk mengubahnya. Jika Anda sekarang penuh dendam dan kebencian, kapanpun Anda akan tetap seperti itu, jika sekarang tidak bertekad untuk membereskannya. Jika Anda sekarang seorang yang serakah, kapan dan di manapun Anda akan tetap serakah, jika hari ini tidak memaksakan diri untuk berubah!

Masa depan adalah hari ini yang belum terjadi. Ia akan menjadi kenyataan yang tidak jauh berbeda dengan hari ini. Kuncinya sederhana, jika Anda ingin mengubah masa depan, ubahlah hari yang sedang Anda jalani sekarang. Ingat, jangan sekali-kali menunda dan lengah berjaga-jaga menyambut hari Tuhan itu kalau tidak ingin kehilangan “kecolongan” kesempatan sebab Anda tidak pernah tahu kapan hari kedatangan-Nya itu terjadi dan berapa lama lagi jatah Anda hidup di dunia ini.

Kamis, 19 November 2015

BERKARAKTER RAJAWI DI TENGAH DERITA

Hari Minggu ini, Gereja-gereja merayakan Hari Raya Kristus Raja. Ungkapan Yesus Raja tersirat dalam Kitab Wahyu. “…dan dari Yesus Kristus, Saksi yang setia, yang pertama bangkit dari antara orang mati dan yang berkuasa atas rja-raja bumi ini.” (Wahyu 1:5). Selain kekuasaan-Nya di atas raja-raja bumi, Wahyu menyebut bahwa kekuasaan Kristus itu Alfa dan Omega, huruf pertama dan terakhir abjad Yunani. Status apa sebenarnya yang sedang dibicarakan Wahyu tentang Kristus? Wahyu mau mengatakan bahwa Kristus sebagai Raja dengan kuasa di atas segala kuasa dan kekuasaan-Nya dari sejak semula sampai selama-lamanya.

Adakah di bumi ini yang mempunyai kekuasaan setara dengan itu? Andaikata pun ada, kira-kira apa yang akan dilakukan seseorang dengan kekuasaan seperti itu? Belajar dari kekuasaan raja-raja di bumi , apa yang terjadi ketika Daud diberi kuasa? Masihkah kita ingat kisah Daud dengan Bersyeba, kemelut di dalam keluarga yang bersumber dari ketidakberesan menata keharmonisannya dengan para istri dan anak-anaknya. Salomo yang begitu berkuasa pada zamannya, Alkitab mencatat begitu banyak istri dan gundik-gundiknya. Tragis di akhir kekuasaanya, Salomo jauh dari hikmat Tuhan yang dulu membuatnya begitu tenar. Dan akhirnya, ia pun jatuh. Dalam era modern, nyaris semua orang yang berkuasa begitu kuat, cenderung menggunakan kekuasaan untuk memenuhi kepentingan dan nafsu kedagingan sendiri. Balas dendam kerap dilakukan. Kejadian terakhir dapat kita saksikan ketika aksi teror merebak di Paris, Perancis. Pembalasan pun terjadi. Jet-jet tempur dan mesin-mesin perang dikerahkan untuk membombardir musuh sebagai pembalasan terhadap mereka.

Berbeda, Yesus menanpakkan karakter lain.  Yesus melakukan apa yang Dia katakan. Dia dipukul dan diludahi namun Dia tidak membalas, padahal Dia punya kapasitas untuk membalas. Dia disiksa namun tidak melawan. Dia mengasihi mereka yang membenci-Nya dan mengampuni mereka yang menghakimi-Nya. Yesus tidak meminta dan mengajarkan agar orang-orang melakukan sesuatu yang Dia sendiri tidak pernah atau akan melakukannya. David Augsburger berkata, “Yesus memilih jalan salib untuk memerlihatkan cara Allah berurusan dengan kejahatan manusia, bukan dengan cara membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan dengan kasih yang memberi diri dan tidak mendendam.” Bayangkan, Allah di dalam Yesus dengan kekuasaan tidak terbatas serta melampaui ruang dan waktu kalau digunakan hanya untuk pemuasan diri-Nya sendiri?

Kristus Raja adalah tema yang menutup setiap tahun liturgi kita. Suara kitab Wahyu ini digemakan justeru di tengah penderitaan orang-orang Kristen di bawah kekuasaan Roma. Maksudnya jelas, bukan supaya menggugah umat berdoa meminta Sang Raja Adikodrati itu turun tangan lalu kemudian membalaskan derita dan kepedihan terhadap kekaisaran Roma. Wahyu menyapa umat agar tetap memiliki semangat, pengharapan dan kekuatan untuk menapaki jalan yang tidak mudah itu. Di samping itu, Wahyu juga hendak mengingatkan umat Tuhan agar meneladani karakter Yesus itu. Penderitaan tidak dicari-cari, namun kalau toh itu menimpa kita, hal itu tidak memudarkan iman, pengharapan dan kasih kita kepada Allah. Dalam kerangka itulah, mengutip William Barclay, kata kunci yang dipakai Wahyu adalah hupomone. Sikap yang tabah dalam menjalani penderitaan, tetapi juga berusaha mengubah hal yang sedang terjadi (penderitaan itu) menjadi keagungan. Yesus menjalani kondisi itu dan akhirnya, melalui penderitaan bahkan kematian-Nya, Ia memperoleh kemuliaan itu.

Dengan apa yang dilakukan Yesus, maka bagi murid-murid-Nya panggilan untuk hidup secara hupomone atau tawakal sangat mungkin dilakukan. Benar, keyakinan kita, seperti lagu anak-anak Sekolah Minggu bahwa kita adalah “anak Raja”. Namun, bukan bermental manja, bahwa semua rengekkan keinginan serta-merta terjadi dipenuhi. Anak Raja, mestinya juga harus mempunyai karakter seperti Sang Raja itu. Bukan untuk mengumbar nafsu duniawi, melainkan untuk hidup di dalam kemuliaan-Nya.

Apa sih yang membuat kita mengalami kesulitan untuk hidup mempunyai karakter seperti karakter Kristus itu? Pertama, adalah pemahaman yang keliru tentang konsep Raja atau Kerajaan yang selalu dihubungkan dengan kekuasaan, prestasi, kemakmuran. Dan kekuasaan itu yang mendorong seseorang berlaku egois. Pemikiran dan sikap egois sangat mudah menghampiri kita terutama pada saat-saat yang sulit dalam hidup kita. Tengok kembali ketika kita sakit, kita mengharapkan seluruh perhatian tercurah kepada kita. Kita menjadi mudah tersinggung, marah dan memberontak. Ketika mengalami ketertindasan dan tekanan, kita menjadi lebih mudah menyalahkan pihak lain dan memosisikan diri sebagai korban.

Kristus, dalam seluruh karya-Nya dapat mengubah potensi buruk itu menjadi energi handal menghadapi penderitaan bahkan dalam keadaan seperti itu Ia dapat mengubah keegoisan menjadi kemurahan hati. Kedua, kita gagal menempatkan Yesus sebagai sentral kehidupan kita. Sebaliknya, memberi ruang yang begitu banyak terhadap kepentingan, keegoisan dan hawa nafsu. Bukan hal mustahil, pada masa sekarang pun penderitaan, kesulitan dan penganiayaan dialami oleh umat Tuhan. Masalahnya, dalam menghadapi itu, apakah kita juga memiliki karakter Kristus? Salah satunya adalah mengubah keegoisan menjadi kemurahan hati.

Miroslav Volf, teolog kelahiran Kroasia menggambarkan bagaimana seorang Kristen harus mampu meneladani bahkan membiarkan dirinya dikuasai oleh Kristus. Jika Kristus itu Raja kita, mestinya setiap orang Kristen akan merasakan kehidupan yang lebih dari cukup. “Jika kita didiami oleh Kristus,” katanya, “Kristus yang telah menjadi miskin agar kita menjadi kaya, maka kita akan menjadi kaya. Berapapun yang kita miliki, kita akan selalu menjadi orang-orang yang lebih dari cukup….Tetapi sebaliknya, tanpa menjadi lebih dari cukup, maka keinginan kita akan selalu melebih apa yang kita miliki, dan kita akan merasa selalu capek dan terus kekurangan.”

Volf seakan mengingatkan kita bahwa Kristus Raja itu memenuhi bahkan memerkaya kita. Namun, sering kita tidak memahami dan merasakannya. Kristus memerkaya kita bukan dengan semua yang kita inginkan dapat segera terjawab dan dipenuhi. Namun, dengan cara-Nya yang ajaib, kita akan dapat merasakan kekayaan-Nya yang melimpah itu justeru dalam kesederhanaan kita. Itulah sebenarnya kunci kebahagiaan. Pandanglah orang-orang yang kita anggap kaya raya dan berkuasa, yang terus memburu kekayaan dan kekuasaan. Ini sebenarnya cerminan bahwa mereka masih tetap miskin, merasa kurang di tengah kekayaan dan kekuasaannya.

Kita menjadi lebih dari cukup bukan karena simpanan, harta atau rekening di bank yang menumpuk atau karena kesuksesan kita, tetapi karena Kristus tinggal di dalam kita. Sehingga dampaknya, apa yang kita miliki menjadi besar, bermakna, dan kemudian kita dapat mensyukurinya. Hal inilah yang kemudian membuat kita tidak hanya sanggup menghadapi kesulitan, tetapi juga tidak mustahil  sanggup memberi pengorbanan dengan apa yang kita miliki. Di luar Kristus, Raja kita, kita menjadi orang-orang yang terus merasa berkekurangan dan selalu mencari identitas dan kebahagiaan di dalam kefanaan; keinginan kita melebihi apa yang kita inginkan, di sinilah letak masalahnya. Kita akan terus menjadi orang yang miskin dan mengiba. Selanjutnya, Volf menggambarkan mereka yang didiami oleh Kristus sebagai “orang kaya”.

Seorang yang kaya melihat masa depan dengan iman. Dia dapat memberi dan tidak menahan-nahan karena takut kekurangan, melainkan percaya akan janji Allah bahwa Allah menjaga dirinya. Biarpun terbatas dan terancam, seorang kaya terus memberi, karena hidupnya “dilindung oleh Kristus” dalam kekekalan, keamanan, dan kemurahan Allah, yakni Tuhan kita atas kemarin, hari ini dan selama-lamanya.

Seorang yang kaya secara rohani adalah mereka yang “lebih dari cukup” yang sadar bahwa dirinya didiami oleh Kristus, Sang Raja sesungguhnya itu. Mereka akan sanggup menyeberang dari keegoisan kepada kemurahan karena mereka tidak takut untuk kekurangan. Allah di dalam Kristus, Raja yang sesungguhnya itu bersama kita dan hadir bagi kita, Ia lebih dari sanggup menyediakan kebutuhan kita. Pertanyaannya sekarang, apakah benar kita telah membuka diri dan memberi tempat yang paling istimewa untuk Kristus, sehingga Ia dengan leluasa dapat menggendalikan hidup kita. Ataukah, Kristus Raja hanya sebagai salah satu perayaan liturgi gerejawi belaka?