Hari Minggu ini, Gereja-gereja merayakan Hari Raya Kristus Raja.
Ungkapan Yesus Raja tersirat dalam Kitab Wahyu. “…dan dari Yesus Kristus, Saksi yang setia, yang pertama bangkit dari
antara orang mati dan yang berkuasa atas rja-raja bumi ini.” (Wahyu 1:5).
Selain kekuasaan-Nya di atas raja-raja bumi, Wahyu menyebut bahwa kekuasaan
Kristus itu Alfa dan Omega, huruf pertama dan terakhir abjad
Yunani. Status apa sebenarnya yang sedang dibicarakan Wahyu tentang Kristus?
Wahyu mau mengatakan bahwa Kristus sebagai Raja dengan kuasa di atas segala
kuasa dan kekuasaan-Nya dari sejak semula sampai selama-lamanya.
Adakah di bumi ini yang mempunyai kekuasaan setara dengan itu? Andaikata
pun ada, kira-kira apa yang akan dilakukan seseorang dengan kekuasaan seperti
itu? Belajar dari kekuasaan raja-raja di bumi , apa yang terjadi ketika Daud
diberi kuasa? Masihkah kita ingat kisah Daud dengan Bersyeba, kemelut di dalam
keluarga yang bersumber dari ketidakberesan menata keharmonisannya dengan para
istri dan anak-anaknya. Salomo yang begitu berkuasa pada zamannya, Alkitab
mencatat begitu banyak istri dan gundik-gundiknya. Tragis di akhir kekuasaanya,
Salomo jauh dari hikmat Tuhan yang dulu membuatnya begitu tenar. Dan akhirnya,
ia pun jatuh. Dalam era modern, nyaris semua orang yang berkuasa begitu kuat,
cenderung menggunakan kekuasaan untuk memenuhi kepentingan dan nafsu kedagingan
sendiri. Balas dendam kerap dilakukan. Kejadian terakhir dapat kita saksikan
ketika aksi teror merebak di Paris, Perancis. Pembalasan pun terjadi. Jet-jet
tempur dan mesin-mesin perang dikerahkan untuk membombardir musuh sebagai
pembalasan terhadap mereka.
Berbeda, Yesus menanpakkan karakter lain. Yesus melakukan apa yang Dia katakan. Dia
dipukul dan diludahi namun Dia tidak membalas, padahal Dia punya kapasitas
untuk membalas. Dia disiksa namun tidak melawan. Dia mengasihi mereka yang
membenci-Nya dan mengampuni mereka yang menghakimi-Nya. Yesus tidak meminta dan
mengajarkan agar orang-orang melakukan sesuatu yang Dia sendiri tidak pernah
atau akan melakukannya. David Augsburger berkata, “Yesus memilih jalan salib
untuk memerlihatkan cara Allah berurusan dengan kejahatan manusia, bukan dengan
cara membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan dengan kasih yang memberi
diri dan tidak mendendam.” Bayangkan, Allah di dalam Yesus dengan kekuasaan
tidak terbatas serta melampaui ruang dan waktu kalau digunakan hanya untuk
pemuasan diri-Nya sendiri?
Kristus Raja adalah tema yang menutup setiap tahun liturgi kita. Suara
kitab Wahyu ini digemakan justeru di tengah penderitaan orang-orang Kristen di
bawah kekuasaan Roma. Maksudnya jelas, bukan supaya menggugah umat berdoa
meminta Sang Raja Adikodrati itu turun tangan lalu kemudian membalaskan derita
dan kepedihan terhadap kekaisaran Roma. Wahyu menyapa umat agar tetap memiliki
semangat, pengharapan dan kekuatan untuk menapaki jalan yang tidak mudah itu.
Di samping itu, Wahyu juga hendak mengingatkan umat Tuhan agar meneladani
karakter Yesus itu. Penderitaan tidak dicari-cari, namun kalau toh itu menimpa kita, hal itu tidak
memudarkan iman, pengharapan dan kasih kita kepada Allah. Dalam kerangka
itulah, mengutip William Barclay, kata kunci yang dipakai Wahyu adalah hupomone. Sikap yang tabah dalam
menjalani penderitaan, tetapi juga berusaha mengubah hal yang sedang terjadi
(penderitaan itu) menjadi keagungan. Yesus menjalani kondisi itu dan akhirnya,
melalui penderitaan bahkan kematian-Nya, Ia memperoleh kemuliaan itu.
Dengan apa yang dilakukan Yesus, maka bagi murid-murid-Nya panggilan
untuk hidup secara hupomone atau
tawakal sangat mungkin dilakukan. Benar, keyakinan kita, seperti lagu anak-anak
Sekolah Minggu bahwa kita adalah “anak Raja”. Namun, bukan bermental manja,
bahwa semua rengekkan keinginan serta-merta terjadi dipenuhi. Anak Raja,
mestinya juga harus mempunyai karakter seperti Sang Raja itu. Bukan untuk
mengumbar nafsu duniawi, melainkan untuk hidup di dalam kemuliaan-Nya.
Apa sih yang membuat kita
mengalami kesulitan untuk hidup mempunyai karakter seperti karakter Kristus
itu? Pertama, adalah pemahaman yang
keliru tentang konsep Raja atau Kerajaan yang selalu dihubungkan dengan
kekuasaan, prestasi, kemakmuran. Dan kekuasaan itu yang mendorong seseorang
berlaku egois. Pemikiran dan sikap egois sangat mudah menghampiri kita terutama
pada saat-saat yang sulit dalam hidup kita. Tengok kembali ketika kita sakit,
kita mengharapkan seluruh perhatian tercurah kepada kita. Kita menjadi mudah
tersinggung, marah dan memberontak. Ketika mengalami ketertindasan dan tekanan,
kita menjadi lebih mudah menyalahkan pihak lain dan memosisikan diri sebagai
korban.
Kristus, dalam seluruh karya-Nya dapat mengubah potensi buruk itu menjadi
energi handal menghadapi penderitaan bahkan dalam keadaan seperti itu Ia dapat
mengubah keegoisan menjadi kemurahan hati. Kedua,
kita gagal menempatkan Yesus sebagai sentral kehidupan kita. Sebaliknya,
memberi ruang yang begitu banyak terhadap kepentingan, keegoisan dan hawa nafsu.
Bukan hal mustahil, pada masa sekarang pun penderitaan, kesulitan dan
penganiayaan dialami oleh umat Tuhan. Masalahnya, dalam menghadapi itu, apakah
kita juga memiliki karakter Kristus? Salah satunya adalah mengubah keegoisan
menjadi kemurahan hati.
Miroslav Volf, teolog kelahiran Kroasia menggambarkan bagaimana seorang
Kristen harus mampu meneladani bahkan membiarkan dirinya dikuasai oleh Kristus.
Jika Kristus itu Raja kita, mestinya setiap orang Kristen akan merasakan
kehidupan yang lebih dari cukup. “Jika
kita didiami oleh Kristus,” katanya, “Kristus yang telah menjadi miskin agar
kita menjadi kaya, maka kita akan menjadi kaya. Berapapun yang kita miliki,
kita akan selalu menjadi orang-orang yang lebih
dari cukup….Tetapi sebaliknya, tanpa menjadi lebih dari cukup, maka keinginan kita akan selalu melebih apa yang
kita miliki, dan kita akan merasa selalu capek dan terus kekurangan.”
Volf seakan mengingatkan kita bahwa Kristus Raja itu memenuhi bahkan
memerkaya kita. Namun, sering kita tidak memahami dan merasakannya. Kristus
memerkaya kita bukan dengan semua yang kita inginkan dapat segera terjawab dan
dipenuhi. Namun, dengan cara-Nya yang ajaib, kita akan dapat merasakan
kekayaan-Nya yang melimpah itu justeru dalam kesederhanaan kita. Itulah
sebenarnya kunci kebahagiaan. Pandanglah orang-orang yang kita anggap kaya raya
dan berkuasa, yang terus memburu kekayaan dan kekuasaan. Ini sebenarnya
cerminan bahwa mereka masih tetap miskin, merasa kurang di tengah kekayaan dan
kekuasaannya.
Kita menjadi lebih dari cukup
bukan karena simpanan, harta atau rekening di bank yang menumpuk atau karena
kesuksesan kita, tetapi karena Kristus tinggal di dalam kita. Sehingga
dampaknya, apa yang kita miliki menjadi besar, bermakna, dan kemudian kita
dapat mensyukurinya. Hal inilah yang kemudian membuat kita tidak hanya sanggup
menghadapi kesulitan, tetapi juga tidak mustahil sanggup memberi pengorbanan dengan apa yang
kita miliki. Di luar Kristus, Raja kita, kita menjadi orang-orang yang terus
merasa berkekurangan dan selalu mencari identitas dan kebahagiaan di dalam
kefanaan; keinginan kita melebihi apa yang kita inginkan, di sinilah letak
masalahnya. Kita akan terus menjadi orang yang miskin dan mengiba. Selanjutnya,
Volf menggambarkan mereka yang didiami oleh Kristus sebagai “orang kaya”.
Seorang yang kaya melihat masa depan dengan iman. Dia dapat memberi dan
tidak menahan-nahan karena takut kekurangan, melainkan percaya akan janji Allah
bahwa Allah menjaga dirinya. Biarpun terbatas dan terancam, seorang kaya terus memberi, karena hidupnya “dilindung
oleh Kristus” dalam kekekalan, keamanan, dan kemurahan Allah, yakni Tuhan kita
atas kemarin, hari ini dan selama-lamanya.
Seorang yang kaya secara rohani
adalah mereka yang “lebih dari cukup” yang sadar bahwa dirinya didiami oleh
Kristus, Sang Raja sesungguhnya itu. Mereka akan sanggup menyeberang dari
keegoisan kepada kemurahan karena mereka tidak takut untuk kekurangan. Allah di
dalam Kristus, Raja yang sesungguhnya itu bersama kita dan hadir bagi kita, Ia
lebih dari sanggup menyediakan kebutuhan kita. Pertanyaannya sekarang, apakah benar
kita telah membuka diri dan memberi tempat yang paling istimewa untuk Kristus,
sehingga Ia dengan leluasa dapat menggendalikan hidup kita. Ataukah, Kristus
Raja hanya sebagai salah satu perayaan liturgi gerejawi belaka?