Kemarin (1 Oktober 2015) ada dua momen penting dalam sejarah kehidupan
bangsa dan dunia. Pertama, dalam sejarah dunia, dunia mengakui otoritas dan
eksistensi Palestina sebagai sebuah negara merdeka. Bendera negara itu
dikibarkan di Markas PBB, New York City. Banyak sudah perjuangan, darah dan air
mata untuk meraih kemerdekaan Palestina itu. Mereka punya cita-cita dan
kemudian memerjuangkannya. Kedua, kita memeringati hari Kesaktian Pancasila. Pancasila
disebut sakti bukan karena lima kalimat pernyataan itu sakral bak mantera.
Melainkan, karena sebagian besar orang Indonesia menyakini bahwa di dalamnya
terkandung filosofi hidup yang luhur di tengah kemajemukan bangsa Indonesia.
Pancasila disebut sakti karena ada orang-orang yang dengan gigih dan berani
berjuang di tengah maraknya ancaman ideologi sektoral baik yang berbau agama
tertentu, ras, golongan dan faham tertentu. Kesaktiannya teruji melalui rentang
generasi ke generasi.
Namun, bagaimana selanjutnya, apakah Pancasila masih mumpuni menghadapai
tantangan masa depan? Banyak tokoh berwawasan kebangsaan angkat bicara seperti
yang dilangsir Kompas (2/10) bahwa
Pancasila jangan jadi slogan kosong! Apa artinya? Saya berpikir mungkin selama
ini kita banyak mengagungkan Pancasila namun hanya berhenti sebagai slogan.
Tidak merembes pada daging, tulang dan sumsum kita! Ada seorang nara sumber
ketika ditanya tentang efektifitas nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari. Ia membandingkannya dengan kehidupan masyarakat Jepang. Di Jepang
tidak ada Pancasila atau slogan yang seperti itu. Namun, masyarakatnya lebih
beradab, tahu berterimakasih, sangat bangga terhadap produksi negara sendiri, bertanggungjawab,
dan sederet lagi etos-etos kerja yang baik. Saya tertegun dan mengamini
peringatanang disampaikan oleh Yudi Latif, Ahmad Syafii Maarif, Salahuddin
Wahid, Franz Magnis Suseno, Azyumardi Azra bahwa Pancasila jangan hanya jadi
jargon atau slogan kosong. Ia harus dihidupi dan diperjuangkan.
Saya kira mungkin Eka Darmaputera akan menangis, seandainya saja dia
masih hidup saat ini. Mengapa? Di Boston College ia memertahankan disertasinya
yang berjudul, Pancasila and the Search for Identity
and Modernity in Indonesian Society - An Ethical and Cultural Analysis. Eka berargumentasi bahwa Pancasila
adalah sebuah ideologi yang sangat tepat bagi masyarakat Indonesia yang majemuk
karena ideologi ini bersifat inklusif. Pemikiran ini berbeda dengan penafsiran Pancasila
yang muncul pada masa pemerintahan Orde Baru,
khususnya pada tahun-tahun terakhirnya, yang justru mengharamkan perbedaan pendapat dan kemajemukan budaya Indonesia. Pemikiran-pemikiran Eka
Darmaputera tidak luput dari perhatian pendidikan teologi di dunia, sehingga
pada Desember 1999, Seminari Teologi Princeton di New Jersey, Amerika Serikat, menganugerahkan kepadanya Kuyper Prize for Excellence in
Reformed Theology and Public Life (Sumber
: Wikipedia) Namun, hingga saat ini Pancasila hanya berhenti sebagai
slogan. Buktinya, bangsa ini masih tetap saja terjadi diskriminasi, ketimpangan kesejahteraan sosial
dan tidak lebih beradab ketimbang pada saat Eka menulis disertasinya!
Saya kira kita setuju bahwa Pancasila dan apa yang sejenisnya tidak akan
pernah menjadi nilai-nilai yang hidup sehingga dapat menjadi suatu identitas
dalam sebuah masyarakat jika masyarakatnya itu tidak berusaha memerjuangkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang sama terjadi pada agama. Agama hanya akan
menjadi slogan kosong bahkan bahan tertawaan jika para pemeluknya tidak sungguh-sungguh
memelihara dengan jalan berjuang menjadikannya hidup. Kekristenan akan menjadi
bahan ejekan orang jika setiap pengikutnya tidak mampu meneladani Kristus. Jadi
pada dasarnya hidup beriman kepada Kristus adalah hidup seperti Kristus hidup;
berjuang seperti Kristus berjuang. Tidak hanya puas dengan argumen-argumen
sebuah doktrin atau ajaran yang adi luhung!
Apa sih yang diperjuangkan
Yesus selama hidup-Nya? Alkitab mencatat, perjuangannya bukan perjuangan ambisi
meraup pengikut sebanyak-banyaknya. Perjuangannya bukan untuk menciptakan kenyamanan
bagi diri dan pengikut-Nya. Perjuangan-Nya bukan supaya Israel bebas secara
politis dari penjajahan Romawi. Perjuangannya bukan ambisi nafsu duniawi!
Namun, mewujudnyatakan kehendak Allah di muka bumi. Perjuangan-Nya adalah menerjemahkan
bahasa cinta kasih dan kemuliaan Allah agar dimengerti manusia yang pada era
sebelumnya sulit dimengerti (bnd. Ibrani 1:1-3).
Penulis Ibrani melihat bahwa Yesus adalah Anak Allah yang menyampaikan
wahyu atau kehendak Allah secara utuh kepada manusia. Sejak dari awal
tulisannya, Ibrani mengajak para pembacanya untuk melihat peran nabi-nabi yang
diutus Allah. Entah karena kedegilan hati para pendengarnya atau karena
keterbatasan para nabi yang diutus itu sehingga umat Allah tetap tidak mau
peduli untuk hidup di bawah kehendak dan anugerah Allah. Sehingga pada akhirnya,
Allah mengutus Anak-Nya. Penulis Ibrani menunjukkan siapa Yesus. Ia adalah
cahaya kemuliaan Allah. Cahaya itu adalah terang abadi. Yesus adalah pancaran
sinar kemuliaan Allah yang tinggal di antara manusia. Allah yang berinkarnasi
dalam diri manusia Yesus tampak hadirdalam sejarah hidup manusia. Ia
memeragakan dengan jelas hakekat dan kehendak Sang Bapa sehingga umat dapat
melihat dengan jelas manifestasi cahaya ilahi itu secara langsung dalam diri
Yesus.
Mestinya, orang yang melihat kehidupan dan karya Yesus ini dapat
mengerti apa yang kemudian harus dilakukannya. Ketika seseorang tahu, mengerti
dan kemudian berjuang untuk melakukan kehendak Allah, di situlah ia disebut
sebagai seorang Kristen sejati. Selanjutnya, setiap orang yang menyatakan dirinya
Kristen dengan sadar diri ia akan turut ambil bagian dalam apa yang
diperjuangkan oleh Kristus. Adalah aneh, jika ada seorang yang mengaku dirinya
Kristen ia dapat menutup mata mana kala ada ketidakadilan, penindasan,
pelecehan seksual, kemunafikan dan lain sebagainya. Hal yang ganjil pula jika
ada kekerasan terhadap keluarga, khususnya perempuan dan kemudian diam saja
karena sudah dianggap lumrah! Bukankah salah satu perjuangan Yesus adalah anti
kekerasan dan kesetaraan hak antara kaum laki-laki dan perempuan.
Pada zaman-Nya, perempuan hampir tidak punya hak sama sekali dalam
kehidupan masyarakat Yudaisme termasuk pernikahan. Sehingga suami bisa dengan
mudahnya menceraikan isterinya. Dan yang mengherankan, mereka menggunakan dalil
agama sebagai pembenaran dari tindakannya itu. Ulangan 24:1 biasanya menjadi
dasar bagi semua pokok perceraian. Tidak hanya itu, para ahli agama
membawa tema perceraian ini sebagai alat
untuk menjebak Yesus. Di sini kita bisa melihat perjuangan atau keprihatinan
Yesus. Ia mematahkan argumen atau dalil agama dengan mengatakan, “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa
menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan
mereka laki-laki dan perempuan….sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Markus 10:6,8,9).
Bagaimanapun juga, Yesus memandang Ulangan 24:1 sebagai hukum yang berlaku dalam situasi
tertentu dan tidak dimaksudkan untuk mempunyai kekuatan secara permanen. Jawab
yang Yesus kutif menunjukkan otoritas jauh ke belakang sebelum kitab Ulangan
ada. Untuk memberi jawaban atas jebakan pertanyaan itu, Yesus mengacu kepada
kisah penciptaa (Kejadian 1:27 dan 2;24). Pandangan Yesus sendiri tentang
pernikahan itu, berdasarkan sifatnya adalah permanen, kalau dua orang itu telah
dipersatukan itu menyatu dalam ikatan sedemikian rupa sehingga keduanya tidak
dapat dipisahkan lagi. Yesus percaya bahwa hukum alam semesta, pernikahan itu
dimaksudkan sebagai suatu ikatan yang mutlak permanen. Hukum Musa – yang sebetulnya
dimaksudkan untuk situasi sementara – dengan demikian tidak dapat
membatalkannya. Jelaslah Yesus memperjuangkan kedudukan perempuan yang rentan
kekerasan dan bisa dengan mudahnya diceraikan tanpa jaminan apa pun.
Dalam salah satu perjuangan-Nya
ini, Yesus sangat peduli dengan hak dan kesetaraan perempuan dalam keluarga.
Maka sudah sepantasnyalah kita ikut ambil bagian di dalamnya. Memelihara dan
menciptakan hubungan yang baik dalam keluarga sehingga kata “cerai” tidak ada
lagi dalam kamus keluarga Kristen. Berjuangan dalam kesetaraan gender dan berjuang
bagi keluarga-keluarga yang sedang dalam keadaan disharmonis dan tidak hanya
menggunakan ayat-ayat Alkitab sebagai mantera saja melainkan menghidupinya
seperti Yesus telah menghidupi firman itu dalam diri-Nya.