Ada saja yang “bermain di air keruh”! Ketika Jakarta berbenah, waduk,
sungai dan bantaran sungai difungsikan kembali sebagaimana mestinya. Tentu saja
membawa dampak positif, sedikitnya kawasan kumuh Jakarta berkurang. Namun, tidak
dapat dipungkiri harus ada orang-orang yang “tergusur” antara lain orang-orang
yang sudah lama mendiami lahan tersebut harus hengkang. Kita menyaksikan
berita-berita bahwa sebelum melakukan proyek bersih-bersih itu Pemda DKI telah
menyediakan solusi memberi tempat yang lebih manusiawi agar orang-orang yang
tadinya tinggal di area waduk dan bantaran sungai tidak terlantar. Namun, yang
terjadi banyak perlawanan. Di balik perlawanan itu ada orang-orang yang
“simpati” terhadap mereka. Sehingga mereka mengadakan perlawanan. Ada yang
tulus membantu tapi ada juga yang memanfaatkan kondisi itu; “bermain di air keruh”.
Mencari pendukung dan popularitas. Sehingga dalam keadaan seperti itu tak heran
bermunculan tokoh-tokoh politik, anggota parlemen, bahkan kelompok-kelompok
yang mengatasnamakan agama. Bukankah situasi sulit ini sangat menguntungkan bagi para
petualang politik? Dengan menunjukkan keberpihakan kepada yang lemah dan
kemudian disorot pelbagai media. Iklan popularitas gratis!
Mencari popularitas di tengah ketidak berdayaan entah karena bencana
alam, malapetaka kemanusiaan, atau ketertindasan sangatlah mudah. Apakah Yesus
juga memergunakan kesempatan yang sama ketika Ia mulai melakukan pelayanan-Nya?
Apakah Dia mencoba mencari simpati dan popularitas di tengah masyarakat Yahudi
yang kerap kali mendiskriminasi, memilah antara orang saleh dan orang berdosa
menurut strata ketahiran Yudaisme yang katanya dirunut dari Taurat? Mungkin
bagi sebagian ahli sosio-politik demikian. Yesus membangun komunitas dan
pendukungNya dengan menyapa orang-orang yang tersisih bahkan terbuang dari
strata sosial kesalehan Yahudi. Contohnya saja: Ia merangkul pemungut cukai, Ia
sangat peduli dengan sepuluh orang kusta, Ia juga, dengan caranya yang unik,
membebaskan seorang perempuan yang kedapatan berzinah dari hukum rajam, dan
yang mencolok beberapa kali Yesus bersentuhan dan mengapresiasi iman
orang-orang Samaria. Jelas, kesemua kelompok tadi berada di luar sistem strata
kesalehan orang Yahudi. Mereka semua dikelompokan sebagai orang berdosa! Nah,
bukankah bukti-bukti itu menunjukkan gaya politik Yesus?
Seorang petualang politik pasti akan mencari celah dalam situasi apa pun
untuk popularitas dan keuntungan sendiri. Mereka tak segan menjual kemanusiaan
demi mendulang pengikut dan kekuasaan. Apa yang dilakukan Yesus justeru
terbalik. Ia rela kehilangan popularitas-Nya bahkan membayar harga yang teramat
mahal demi kepedulian-Nya terhadap masyarakat yang terdiskriminasi oleh strata
sosial Yudaisme. Jika alasannya hanya untuk menjaring pengikut
sebanyak-banyaknya, bukankah cukup hanya dengan melakukan banyak mujizat?
Bukankah ketika Ia mengusir setan, menyembuhkan banyak orang sakit, memberi
makan ribuan orang, hal itu sudah cukup bagi-Nya memesona banyak orang?
Kepedulian-Nya terhadap orang-orang yang terpinggirkan jelas bukanlah sensasi
mencari pengikut melainkan memang Ia berpihak dan peduli! Sehingga bagi Yesus,
tak mengapa orang mengelompokkan diri-Nya dengan orang berdosa ketika Ia mampir
makan di rumah Zakheus. Masa bodoh juga dengan orang yang menganggap-Nya nazis
karena bersentuhan dengan si kusta dan perempuan Samaria. Ia tak ambil pusing
ketika orang Yahudi memerotes tindakan-Nya lantaran menyembuhkan orang pada
hari Sabat. Bagi-Nya, kasih Allah, Bapa-Nya harus dapat dirasakan semua orang
tanpa sekat-sekat primordial kesalehan. Kasih dan kepedulian-Nya memuncak pada
peristiwa kematian-Nya di Golgota.
Salah satu bukti Yesus tidak mencari popularitas atas orang-orang
tersisih dari kalangan Yahudi adalah bahwa Ia memakai juga terminologi sistem
kesalehan orang Yahudi ketika Ia berjumpa dengan seorang ibu Siro-Fenisia. Ia
datang ke daerah di luar pusat-pusat
peradaban Yahudi. Tirus terletak 40 mil dari Barat Laut Kapernaum. Tirus
artinya batu karang disebut demikian
karena di daerah itu ada dua batu karang besar yang disatukan oleh sebuah bukit
sepanjang tiga ribu kaki. Ibu – orang Yunani bangsa Siro-Fenisia – memohon dengan
sangat, ia tersungkur di depan kaki-Nya dan memohon agar Yesus sudi mengusir
setan yang merasuki anaknya. Alih-alih Yesus segera memenuhi permintaan ibu
tadi, Ia menjawab, “…tidak patut
mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.”
(Markus 7:27).
Yesus faham betul strata sosial Yudaisme. Dalam kebencian
kelompok-kelompok Yahudi terhadap non Yahudi kata anjing sering ditujukan untuk
non Yahudi. Yesus memakai “cara” komunikasi Yahudi ini. Namun, menjadi menarik
kata yang digunakan Yesus bukan kelev
(Ibr) atau kuon (Yun) yang artinya “anjing”,
melainkan kunarion yang berarti
anjing-anjing peliharaan. Yesus yang tahu dan mengerti kebanggaan Yahudi
sebagai umat istimewa dan memandang redah bangsa lain kemudian menggunakan cara
pandang itu justeru untuk menampar Yudaisme yang diskriminatif dan kini dengan
terminologi yang sama dipakai untuk menunjukkan keprihatinannya terhadap ibu
Yunani tersebut.
Tampaknya Ibu tersebut menyadari keberadaannya di hadapan orang-orang
Yahudi sehingga dengan rendah hari ia menjawab, “Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah
yang dijatuhkan anak-anak.” (Markus 7:28) Jawaban ini bukan saja sebagai
bentuk perjuangan seorang Ibu yang begitu sayang dan kuatir akan anaknya tetapi
juga merupakan tindakan protes atas diskriminasi yang terbentuk oleh strata
sosial Yudaisme. Ia menunjukkan dengan rendah hari bahwa dirinya pun pantas
mendapat berkat Allah yang telah disia-siakan oleh orang-orang yang menyebut
diri anak-anak Allah atau umat istimewa. Ada ilustrasi dari Zohar in Exodus
untuk melukiskan kondisi ini:
Konon seorang raja menyediakan makan malam bagi putra-putranya. Sementara
mereka makan daging yang terhidang, raja ini memberikan tulang-tulang kepada
anjing. Akan tetapi karena putra-putra raja ini tidak menyenangkan hati sang
raja. Maka diberikannya daging-daging yang tehidang kepada anjing-anjing.
Demikianlah ketika bangsa Israel melakukan kehendak Allah, mereka makan
sehidangan di meja Allah dan pesta itu disediakan bagi mereka. Tetapi ketika
mereka tidak melakukan kehendak Allah, maka pesta itu diberikan untuk anjing
termasuk segala sisa-sisa makanan.
Dalam kisah ini kita melihat di hadapan Allah tidak ada perlakuan diskriminatif,
semua mendapat bagian dan semua dikasihi-Nya. Namun, seringkali manusialah yang
membatasi karya Allah itu. Kita sering lupa bahwa menganggap diri istimewa dan
mengabaikan orang atake lain membuat kita terlena dan akhirnya tidak melakukan
kehendak-Nya dengan baik. Dengan sikap seperti ini, kasih yang sudah diberikan
kepada kita bisa saja diambil dan diberikan kepada orang lain.
Belajar dari sikap Yesus
mestinya ketika kita melakukan sebuah kebajikan atau tindakan kasih bukan didasarkan
atas kepentingan politik dengan berpikir: Apa yang akan didapat sebagai
keuntungan jika aku melakukan ini dan itu? Kalau demikian kita akan memilah
siapa yang harus aku sapa dan aku perhatikan. Untuk itu Yakobus menasihatkan
kita, “Saudara-saudaraku, sebagai orang
yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, jangan iman itu kamu
amalkan dengan memandang muka.” (Yakobus 2:1) Atau bahkan menciptakan
suasana di mana kitalah yang tampil sebagai “pahlawan” bagi mereka yang
teraniaya. Sebuah tindakan keberpihakan kepada sesama khususnya yang sedang
mengalami kesulitan haruslah didasarkan oleh sikap seperti Yesus, yakni
meneruskan bela rasa Allah. Allah yang sangat peduli tehadap orang-orang yang
menderita, tersisihkan bahkan terbuang. Tentu perjuangan itu mengandung resiko
sama seperti yang dihadapi dan dialami Yesus. Setiap anak-anak Tuhan pasti akan
dapat meneruskan belarasa Allah ini tanpa pandang bulu karena di dalam dirinya
mengalir darah Kristus!