Jumat, 04 September 2015

TIDAK DISKRIMINATIF, NAMUN BERBELA RASA

Ada saja yang “bermain di air keruh”! Ketika Jakarta berbenah, waduk, sungai dan bantaran sungai difungsikan kembali sebagaimana mestinya. Tentu saja membawa dampak positif, sedikitnya kawasan kumuh Jakarta berkurang. Namun, tidak dapat dipungkiri harus ada orang-orang yang “tergusur” antara lain orang-orang yang sudah lama mendiami lahan tersebut harus hengkang. Kita menyaksikan berita-berita bahwa sebelum melakukan proyek bersih-bersih itu Pemda DKI telah menyediakan solusi memberi tempat yang lebih manusiawi agar orang-orang yang tadinya tinggal di area waduk dan bantaran sungai tidak terlantar. Namun, yang terjadi banyak perlawanan. Di balik perlawanan itu ada orang-orang yang “simpati” terhadap mereka. Sehingga mereka mengadakan perlawanan. Ada yang tulus membantu tapi ada juga yang memanfaatkan kondisi itu; “bermain di air keruh”. Mencari pendukung dan popularitas. Sehingga dalam keadaan seperti itu tak heran bermunculan tokoh-tokoh politik, anggota parlemen, bahkan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama. Bukankah situasi  sulit ini sangat menguntungkan bagi para petualang politik? Dengan menunjukkan keberpihakan kepada yang lemah dan kemudian disorot pelbagai media. Iklan popularitas gratis!
Mencari popularitas di tengah ketidak berdayaan entah karena bencana alam, malapetaka kemanusiaan, atau ketertindasan sangatlah mudah. Apakah Yesus juga memergunakan kesempatan yang sama ketika Ia mulai melakukan pelayanan-Nya? Apakah Dia mencoba mencari simpati dan popularitas di tengah masyarakat Yahudi yang kerap kali mendiskriminasi, memilah antara orang saleh dan orang berdosa menurut strata ketahiran Yudaisme yang katanya dirunut dari Taurat? Mungkin bagi sebagian ahli sosio-politik demikian. Yesus membangun komunitas dan pendukungNya dengan menyapa orang-orang yang tersisih bahkan terbuang dari strata sosial kesalehan Yahudi. Contohnya saja: Ia merangkul pemungut cukai, Ia sangat peduli dengan sepuluh orang kusta, Ia juga, dengan caranya yang unik, membebaskan seorang perempuan yang kedapatan berzinah dari hukum rajam, dan yang mencolok beberapa kali Yesus bersentuhan dan mengapresiasi iman orang-orang Samaria. Jelas, kesemua kelompok tadi berada di luar sistem strata kesalehan orang Yahudi. Mereka semua dikelompokan sebagai orang berdosa! Nah, bukankah bukti-bukti itu menunjukkan gaya politik Yesus?
Seorang petualang politik pasti akan mencari celah dalam situasi apa pun untuk popularitas dan keuntungan sendiri. Mereka tak segan menjual kemanusiaan demi mendulang pengikut dan kekuasaan. Apa yang dilakukan Yesus justeru terbalik. Ia rela kehilangan popularitas-Nya bahkan membayar harga yang teramat mahal demi kepedulian-Nya terhadap masyarakat yang terdiskriminasi oleh strata sosial Yudaisme. Jika alasannya hanya untuk menjaring pengikut sebanyak-banyaknya, bukankah cukup hanya dengan melakukan banyak mujizat? Bukankah ketika Ia mengusir setan, menyembuhkan banyak orang sakit, memberi makan ribuan orang, hal itu sudah cukup bagi-Nya memesona banyak orang? Kepedulian-Nya terhadap orang-orang yang terpinggirkan jelas bukanlah sensasi mencari pengikut melainkan memang Ia berpihak dan peduli! Sehingga bagi Yesus, tak mengapa orang mengelompokkan diri-Nya dengan orang berdosa ketika Ia mampir makan di rumah Zakheus. Masa bodoh juga dengan orang yang menganggap-Nya nazis karena bersentuhan dengan si kusta dan perempuan Samaria. Ia tak ambil pusing ketika orang Yahudi memerotes tindakan-Nya lantaran menyembuhkan orang pada hari Sabat. Bagi-Nya, kasih Allah, Bapa-Nya harus dapat dirasakan semua orang tanpa sekat-sekat primordial kesalehan. Kasih dan kepedulian-Nya memuncak pada peristiwa kematian-Nya di Golgota.
Salah satu bukti Yesus tidak mencari popularitas atas orang-orang tersisih dari kalangan Yahudi adalah bahwa Ia memakai juga terminologi sistem kesalehan orang Yahudi ketika Ia berjumpa dengan seorang ibu Siro-Fenisia. Ia datang ke daerah  di luar pusat-pusat peradaban Yahudi. Tirus terletak 40 mil dari Barat Laut Kapernaum. Tirus artinya batu karang disebut demikian karena di daerah itu ada dua batu karang besar yang disatukan oleh sebuah bukit sepanjang tiga ribu kaki. Ibu – orang Yunani bangsa Siro-Fenisia – memohon dengan sangat, ia tersungkur di depan kaki-Nya dan memohon agar Yesus sudi mengusir setan yang merasuki anaknya. Alih-alih Yesus segera memenuhi permintaan ibu tadi, Ia menjawab, “…tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” (Markus 7:27).
Yesus faham betul strata sosial Yudaisme. Dalam kebencian kelompok-kelompok Yahudi terhadap non Yahudi kata anjing sering ditujukan untuk non Yahudi. Yesus memakai “cara” komunikasi Yahudi ini. Namun, menjadi menarik kata yang digunakan Yesus bukan kelev (Ibr) atau kuon (Yun) yang artinya “anjing”, melainkan kunarion yang berarti anjing-anjing peliharaan. Yesus yang tahu dan mengerti kebanggaan Yahudi sebagai umat istimewa dan memandang redah bangsa lain kemudian menggunakan cara pandang itu justeru untuk menampar Yudaisme yang diskriminatif dan kini dengan terminologi yang sama dipakai untuk menunjukkan keprihatinannya terhadap ibu Yunani tersebut.
Tampaknya Ibu tersebut menyadari keberadaannya di hadapan orang-orang Yahudi sehingga dengan rendah hari ia menjawab, “Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.” (Markus 7:28) Jawaban ini bukan saja sebagai bentuk perjuangan seorang Ibu yang begitu sayang dan kuatir akan anaknya tetapi juga merupakan tindakan protes atas diskriminasi yang terbentuk oleh strata sosial Yudaisme. Ia menunjukkan dengan rendah hari bahwa dirinya pun pantas mendapat berkat Allah yang telah disia-siakan oleh orang-orang yang menyebut diri anak-anak Allah atau umat istimewa. Ada ilustrasi dari Zohar in Exodus untuk melukiskan kondisi ini:
Konon seorang raja menyediakan makan malam bagi putra-putranya. Sementara mereka makan daging yang terhidang, raja ini memberikan tulang-tulang kepada anjing. Akan tetapi karena putra-putra raja ini tidak menyenangkan hati sang raja. Maka diberikannya daging-daging yang tehidang kepada anjing-anjing. Demikianlah ketika bangsa Israel melakukan kehendak Allah, mereka makan sehidangan di meja Allah dan pesta itu disediakan bagi mereka. Tetapi ketika mereka tidak melakukan kehendak Allah, maka pesta itu diberikan untuk anjing termasuk segala sisa-sisa makanan.
Dalam kisah ini kita melihat di hadapan Allah tidak ada perlakuan diskriminatif, semua mendapat bagian dan semua dikasihi-Nya. Namun, seringkali manusialah yang membatasi karya Allah itu. Kita sering lupa bahwa menganggap diri istimewa dan mengabaikan orang atake lain membuat kita terlena dan akhirnya tidak melakukan kehendak-Nya dengan baik. Dengan sikap seperti ini, kasih yang sudah diberikan kepada kita bisa saja diambil dan diberikan kepada orang lain. 

Belajar dari sikap Yesus mestinya ketika kita melakukan sebuah kebajikan atau tindakan kasih bukan didasarkan atas kepentingan politik dengan berpikir: Apa yang akan didapat sebagai keuntungan jika aku melakukan ini dan itu? Kalau demikian kita akan memilah siapa yang harus aku sapa dan aku perhatikan. Untuk itu Yakobus menasihatkan kita, “Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, jangan iman itu kamu amalkan dengan memandang muka.” (Yakobus 2:1) Atau bahkan menciptakan suasana di mana kitalah yang tampil sebagai “pahlawan” bagi mereka yang teraniaya. Sebuah tindakan keberpihakan kepada sesama khususnya yang sedang mengalami kesulitan haruslah didasarkan oleh sikap seperti Yesus, yakni meneruskan bela rasa Allah. Allah yang sangat peduli tehadap orang-orang yang menderita, tersisihkan bahkan terbuang. Tentu perjuangan itu mengandung resiko sama seperti yang dihadapi dan dialami Yesus. Setiap anak-anak Tuhan pasti akan dapat meneruskan belarasa Allah ini tanpa pandang bulu karena di dalam dirinya mengalir darah Kristus!

Kamis, 27 Agustus 2015

HIDUP BERGAIRAH DALAM SUKACITA DAN KEGEMBIRAAN TUHAN

Pernah jatuh cinta? Atau setidaknya menyaksikan sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran. Kalau Anda diminta menyebut satu kata saja untuk melukiskan seorang yang sedang jatuh cinta, kira-kira kata apa yang tepat? Gairah! Ya, mungkin itu kata yang tepat. Ketika cinta merasuk dalam dada, hidup seseorang menjadi bergairah seolah tidak ada kata lelah untuk menyenangkan sang buah hati. Apa pun akan dilakukan. Satu syair cinta mengatakan, “Gunung ‘kan kudaki, lautan ‘kan kuseberangi dan nyawa ‘kan kupertaruhkan demi menyenangkanmu!” Bagi seorang yang sedang kasmaran dunia menjadi begitu indah sehingga tidaklah sulit untuk menuangkannya dalam bentuk puisi. “Dengarlah kekasihku! Lihatlah, ia datang, melompat-lompat di atas gunung-gunung, meloncat-loncat di atas bukit-bukit. Kekasihku serupa kijang, atau anak rusa. Lihatlah, ia berdiri di balik dinding kita,…”(Kid.2:8,9a). Sepenggal bait puisi sang pujangga Kidung Agung yang menyiratkan letupan hati yang penuh kerinduan.

Sungguh luar biasa jika kita bicara tentang gairah cinta. Tema yang satu ini tidak pernah habis dikupas, dibahas, dijadikan tema novel atau film. Perhatikan lirik-lirik lagu pop di tanah air, hampir sembilan puluh persen mengangkat tema cinta. Perhatikan tema-tema film di sepanjang zaman, bukankah kebanyakan berbicara tentang cinta. Cinta adalah keindahan begitulah kata pujangga. Cinta adalah gairah api yang tak terpadamkan bahkan oleh aliran-aliran sungai sekalipun. “…karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN.” (Kid.8:6). Gairah cinta itu kuat seperti maut, artinya: gairah itu, sama seperti maut, tidak bisa dilawan.

Berbicara gairah cinta, mestinya menyadarkan kita bahwa ada gairah yang membuat kehidupan menjadi semakin indah. Namun, fakta juga menunjukkan bahwa gairah itu dapat membakar hangus tanpa bekas orang yang dirasukinya. Ada cinta sejati, ada cinta terlarang. Cinta sejati mestinya akan membuahkan kebahagiaan sejati. Namun, cinta yang dibakar oleh nafsu birahi membuahkan kebinasaan! Cinta sejati adalah cinta menyeluruh, ia tidak pernah menuntut kecuali pada diri sendiri untuk memberikan yang terbaik bagi yang dicintainya. Ia tidak akan pernah merasa rugi atau merasa menjadi korban manakala telah berjuang memberikan yang terbaik. Orang lain akan melihat bahwa cintanya penuh pengorbanan. Tetapi si pencinta tidak pernah merasa dirugikan. Alih-alih berkelu-kesah atas penderitaan yang dialami, ia akan tersenyum manakala melihat sang kekasih tersenyum bahagia.

Cinta mestinya bening dan transparan. Ia tidak pernah membuahkan kegaduhan apalagi mencederai dan membinasakan. Cinta bukan hanya milik sepasang anak manusia yang sedang kasmaran. Cinta bisa merasuki semua orang. Karena cinta, orang tua rela melakukan apa saja untuk anak-anaknya. Karena cinta, seorang sahabat merelakan nyawanya. Karena cinta, TUHAN mau melakukan apa pun demi menyelamatkan manusia. Karena cinta, Ia memberikan Anak-Nya yang Tunggal untuk Anda dan saya. Karena cinta, mestinya Anda dan saya tidak akan tahan menyaksikan penderitaan sesama anak manusia! Karena cinta, mestinya kita bergairah dalam melakukan kehendak-Nya.

Kita sering menyatakan diri bahwa kita mencintai-Nya. Kita sering menyanyikan pujian tentang cinta kita kepada-Nya bahkan kita juga membuat syair-syair pujian maupun doa tentang cinta itu. Namun, apakah yang ditulis, digubah, dinyanyikan dan dilantunkan dalam doa itu membuat kita bergairah untuk melakukannya? Apakah gairah itu sama seperti ketika kita sedang jatuh cinta pada seseorang? Ataukah kita hanya bergairah dalam tataran ibadah formal saja?

Apa yang kita fikirkan seandainya cinta itu hanya diungkapkan dengan baku dan formal? Anda bisa membayangkan ketika Anda akan mengekspresikan cinta itu, kemudian didahului semacam kata-kata protokoler. Maka cinta itu menjadi kaku, beku dan kehilangan gairahnya. Hal yang sama terjadi apabila kita mengekspresikan ungkapan cinta kepada TUHAN itu hanya dibatasi dengan ritual-ritual ibadah formal saja. Cinta itu menjadi kaku dan beku serta kehilangan gairah esensialnya!

Dalam perjalanan pelayanan-Nya, kerap kali Yesus berhadapan dengan orang-orang yang begitu gigih  menekankan pemahaman harafiah formal atas aturan-aturan Taurat yang mereka anggap sebagai firman TUHAN ketimbang terlebih dahulu memahami jiwa atau motif-motif di balik aturan-aturan agama itu sebagai ekspresi cinta mereka kepada Allah. Mereka menyebut diri ahli Taurat dan orang Farisi. Mereka hanya bergairah melakukan hukum-hukum formal itu karena fikirnya, dengan melakukan sederetan syareat itu mereka mendapat upah yakni kehidupan yang diberkati dan sorga serta bonus pujian dari orang-orang yang melihatnya. Sehingga pelaksanaan aturan-aturan itu tidak lagi memertimbangkan konteks. Pokoknya, dalam segala kondisi aturan itu harus dilaksanakan, kalau tidak; berdosa!

Markus 7:1-23 mencatat bagaimana polemik Yesus dan ahli-ahli Taurat ini terjadi. Mulai dari soal membasuh tangan yang kemudian menilai orang najis atau tidak. Mereka mengecam murid-murid Yesus yang tidak membasuh tangan sebelum makan dan hal itu, menurut tradisi nenek moyang mereka disebut nazis dan berdosa. Maka Yesus menjawab mereka mengutip nubuat Yesaya, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.” (Markus 7:6-8). Demikian pula, Yesus melanjutkan membongkar gairah mereka yang keliru dengan mencela praktek mentaati Taurat yang keliru. Yesus menyebut hukum kelima dari Taurat tentang menghormati ayah dan ibu. Namun, yang terjadi mereka tidak dapat merawat atau menyantuni orang tua mereka dengan baik karena uang untuk itu telah mereka gunakan untuk persembahan kurban di bait Allah. Yesus mengecam, mengapa hal yang esensi, yakni memelihara, merawat dan menyantuni orang tua diabaikan hanya dengan alasan memelihara kultus pengorbanan di bait Allah (Markus 7:9-13). Padahal Allah sebenarnya tidak memerlukan apa-apa lagi!

Bisa jadi gairah yang digandrungi ahli Taurat dan orang Farisi juga terjadi dalam hidup kita. Kita sering memilah orang; mana yang najis dan mana yang tidak. Seolah kitalah pemilik kuasa penghakiman. Demikian juga kita dapat saja bergairah sibuk “melayani” ini dan itu serta mempersembahkan banyak waktu, tenaga dan uang demi nama kita tercantum sebagai pelayan yang berdedikasi. Namun, apa yang terjadi di rumah sendiri? Terbengkalai! Tentu, di sinilah kecerdasan spiritual kita diuji. Mana gairah cinta kepada Tuhan yang benar dan mana gairah yang sedang memuaskan nafsu kita sendiri atas nama pelayanan! Ingat, gairah cinta yang fokusnya pada pemuasan diri kelak akan memberangus kita sendiri. Sebaliknya, gairah cinta yang tertuju kepada-Nya dan menjadikan Dia pusat segalanya akan membuat kita mengalami sukacita.

Gairah yang pemuasan diri yang sama dalam nuansa berbeda bisa kita jumpai dalam peradaban Kristen mula-mula. Rupa-rupanya, Yakobus menengarai orang-orang percaya gemar membicarakan dan menikmati firman yang diberitakan. “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.” (Yakobus 1:22). Mestinya setiap orang yang mencintai Tuhan tidak hanya sekedar mau mendengar melainkan menikmati, bersukacita dalam kegembiraan ketika melakukan firman itu dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya berbeda; bukan lagi kepuasan bagi diri sendiri melainkan selalu bertanya dan mencari tahu; apakah Tuhan bergembira, senang dengan apa yang kita lakukan atau tidak.

Seseorang yang hanya bisa membuat syair atau puisi pujian terhadap kekasihnya tapi tidak dapat memenuhi bahkan bertolak belakang dari yang diungkapkannya maka kita sering menyebutnya, “gombal”. Nah, jika tidak mau disebut gombal maka seharusnya kita melakukan firman Tuhan itu dengan sungguh-sungguh, bukan dengan terpaksa melainkan dengan gairah dan sukacita!