Masih ingat cerita Daud mengalahkan Goliat, orang Filistin itu? Apa
rahasia di balik kemenangan Daud melawan orang yang konon tingginya tiga meter
lebih dan sangat terampil dalam berperang? Benar, keyakinan iman Daud bahwa ada
tangan yang Mahakuasa yang menopangnya.Tangan TUHAN! Keyakinan itu tidak lantas
membebaskan Daud berperang menghadapi Goliat. Daud harus pergi berperang! Tak
pelak lagi, peristiwa ini mengangkat nama Daud menjadi tenar dan ia disegani
baik oleh lawan maupun kawan. Dalam 2 Samuel 5:1-10, dikisahkan Daud telah
menjadi raja atas seluruh Israel. Raja bukan karena warisan, melainkan karena
ia mampu menaklukan lawan. Sejak saat itu, “Lalu
makin lama makin besarlah kuasa Daud, sebab TUHAN, Allah semesta alam,
menyertainya.” (2 Samuel 5:10).
Apa yang dapat kita pelajari dari kisah Daud ini? Minimal, kita bisa
melihat, untuk seseorang menjadi besar, ia harus berani berhadapan dengan
tantangan. Ketika TUHAN “membesarkan” Daud, Ia tidak membebaskan Daud dari
tantangan. Bahkan, semakin besar musuh atau tantangan yang dihadapi kelak akan
berdampak signifikan dalam kesuksesan yang diraihnya. TUHAN yang penuh kuasa
itu, dalam pergumulan Daud, tidak dimintanya menyingkirkan para lawan Daud.
Namun, Daud senantiasa percaya dan berharap bahwa tangan Sang Mahakuasa itu
menopang, memberikan kepada dirinya baik hikmat dan kemampuan berperang dalam
menghadapi tantangan. Dalam konteks Daud, tantangan itu adalah musuh-musuh
bangsa Israel.
Dalam kisah tokoh-tokoh Alkitab, kita dapat menyaksikan bahwa TUHAN
tidak pernah membebaskan orang-orang pilihan-Nya dari pelbagai tantangan,
pergumulan, aniaya, dan penderitaan. Alih-alih menyeterilkan dari kesulitan,
Allah memberi kemampuan, hikmat, dan penyertaan-Nya agar orang-orang
pilihan-Nya itu mampu menghadapi tantangan, pergumulan, aniaya, dan pelbagai
penderitaan. Hal ini menjadi menarik apabila kita menengok sejenak dengan doa-doa
yang sering kita panjatkan manakala kesulitan menerpa kita. Apa yang sering
kita minta? Pengalaman menunjukkan bahwa di tengah situasi sulit dan terjepit,
kita lebih banyak meminta agar TUHAN mengangkat pergumulan itu ketimbang
memohon agar TUHAN memberi kemampuan untuk kita dapat mengatasinya.
Ketika dianiaya, diintimidasi atau didiskriminasi, doa-doa kita pada
umumnya minta agar TUHAN menegur, menginsyafkan bahkan membalas orang yang
menganiaya itu. Jarang kita berdoa agar TUHAN memberikan ketabahan dan
ketegaran serta hikmat untuk menghadapi dan memenangkan situasi seperti ini. Ketika
usaha atau pekerjaan kita mengalami krisis, isi doa kita adalah meminta TUHAN
segera memberikan lapangan pekerjaan baru atau meminta mengetuk hati orang lain
mengulurkan kemurahanya dan menolong kita. Jarang kita berdoa meminta supaya
TUHAN memampukan daya kreatif kita untuk menyiasati masa-masa sulit ini. Ketika
kita sakit, isi doa kita kebanyakan minta TUHAN sembuhkan bahkan meminta-Nya
mengangkat semua sakit penyakit dan simsalabin
seketika itu juga sakit kita menjadi sembuh. Sering tidak terpikir oleh
kita untuk berdoa agar TUHAN memampukan kita supaya dapat menanggung penyakit
itu dengan tidak kehilangan kegembiraan.
Untuk sampai pada kesadaran meminta TUHAN tidak membebaskan kita dari
segala pergumulan hidup, namun menyanggupkan kita mengatasinya ternyata
memerlukan proses yang tidak mudah. Paulus sendiri mengalaminya. Meskipun ia
giat dalam pekerjaan TUHAN, ternyata TUHAN yang Ia layani tidak membebaskannya
dari penderitaan yang harus diterima oleh setiap orang. Paulus pernah dianiaya,
dilecehkan, diragukan kerasulannya, dan bahkan sakit ada “duri dalam dagingnya”.
Tentu, sebagai orang percaya ia berdoa kepada TUHAN. “Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya
utusan Iblis itu mundur dari padaku.” (2 Korintus 12:8) demikian doa Paulus
ketika ada pergumulan “duri dalam daging” di tubuhnya.
Apa yang dimaksud dengan duri
dalam daging itu? Skolop, memang
dapat berati “duri”. Namun, dapat berarti juga tiang pancang yang tajam untuk
menyulakan penjahat. Bagaimana pun dapat kita rasakan sakitnya seperti apa
ketika ada duri dalam tubuh atau daging kita. Ada banyak tokoh-tokoh Kristen
menafsirkan duri dalam daging Paulus.
Calvin mengatakan bahwa yang dimaksudkan Paulus adalah penderitaan-penderitaan
rohani yang meragukan pelayanan Paulus. Bagi Luther, bukan perkara rohani,
melainkan jelas-jelas Paulus mengalami penganiayaan dan perlawanan yang mencoba
menghentikan pelayanannya. Lebih jauh banyak orang menduga apa yang dimaksud
dengan duri dalam daging itu adalah sakit penyakit yang dialami dalam
tubuh Paulus sendiri. Ada yang mengatakan sakit Paulus itu adalah sakit
penglihatan. Setelah perjumpaan dengan Yesus yang menyebabkan kebutaan maka
masih ada “sisa” sakit penglihatannya sehingga menghambat pelayanannya. Banyak
juga yang menduga bahwa Paulus mempunyai sakit ayan dan dengan itu sangat
menghambat pelayanannya. Tidak sedikit pula yang menduga bahwa Paulus terserang
malaria yang mewabah di pantai Timur Mediterania. Orang yang terserang penyakit
itu akan merasakan pusing yang sangat hebat, ibarat jeruji panas yang menusuk
sampai ke dahi.
Apa pun juga penafsirannya, duri
dalam daging itu adalah penderitaan,
halangan bagi Paulus untuk mengerjakan tugas panggilannya. Alangkah logisnya
dalam pemikiran kita bahwa TUHAN membebaskan halangan penderitaan itu agar
pemberitaan Injil dapat dengan mudah dilakukan. Namun kenyataannya tidaklah
demikian.
Paulus telah tiga kali berdoa agar apa yang dideritanya dibebaskan
Tuhan. Kenyataannya, apa yang menjadi jawaban doa dari Tuhan? Apakah Tuhan
mengangkat dan melenyapkan sakit penyakitnya? Ternyata tidak! Lalu apakah Tuhan
tidak adil dan tidak mengasihi Paulus? Tidak juga demikian. Dia punya
rancangan-Nya sendiri. Tuhan tidak menyingkirkan penyakit Paulus tetapi memberi
Paulus kekuatan untuk menanggungnya. Begitulah cara Tuhan bekerja.
Cara Tuhan mengasihi umat-Nya bukanlah dengan membebaskan dari pelbagai
masalah dan penderitaan. Melainkan Ia melatih kita, memberi kemampuan agar kita
dapat menghadapinya. Ia mendidik kita agar menjadi anak-anak-Nya yang tangguh
bukan anak manja yang cengeng. Tuhan itu laksana seorang ayah yang tinggal di
tepi sungai. Ia tidak memindahkan sungai atau rumah itu agar jauh dari jangkauan
anaknya. Melainkan sang ayah melatih kemampuan anaknya agar bisa berenang
supaya tidak dihanyutkan oleh air sungai itu.
Dalam Injil Markus 6:6b-13, ketika Yesus mengutus keduabelas rasul untuk
memberitakan Injil. Ia tidak melenyapkan rintangan-rintangan yang akan
menghalangi mereka. Namun, Yesus terlebih dahulu memberi mereka kuasa agar
dapat mengatasinya. “Ia memanggil kedua
belas murid itu dan mengutus mereka berdua-dua. Ia memberi mereka kuasa atas
roh-roh jahat,…” (Markus 6:7). Jadi bukan kuasa-kuasa jahatnya yang
terlebih dulu disingkirkan agar para murid mudah mengerjakan tugas perutusan
mereka. Melainkan sebaliknya, para murid dilengkapi terlebih dahulu dengan
kuasa agar setiap rintangan dapat mereka atasi.
Dalam kehidupan ini, siapa pun
tidak steril dari masalah, pergumulan, penderitaan dan kesulitan hidup lainnya.
Namun, cara kita menghadapinya akan menentukan dan menunjukkan jadi diri kita.
Keyakinan terhadap kuasa Allah yang sanggup menghadapi pergumulan hidup tentu
bukan memaksa-Nya agar pergumulan itu dilenyapkan. Akan lebih baik apabila kita
memohon agar kekuatan Allah itu memampukan kita menghadapi pelbagai pergumulan
hidup. Dan yakinlah bahwa Allah di dalam Yesus Kristus telah memberi kita “modal”
berupa talenta, hikmat, nalar, fisik dan yang lainnya agar kita mampu memenangkan pergumulan hidup ini!