Setiap orang pasti pernah menerima pemberian dan tentunya juga pernah
memberi. Sebab, tidak satu pun dari antara kita yang dapat survive seorang diri tanpa kontribusi orang lain. Kita dikodratkan
sebagai makhluk sosial, selalu membutuhkan uluran tangan dari pihak atau orang
lain. Mari kita telusuri, dalam hal memberi. Cobalah ingat-ingat, apa yang
paling kuat dan dominan mendorong kita untuk memberi? Apakah terdorong karena melihat
kondisi orang lain yang memprihatinkan, sehingga memaksa hati nurani ini
bergejolak dan iba, lalu kemudian kita mengulurkan tangan dan memberikan
sesuatu sehingga kondisinya akan lebih baik? Atau, karena kita mempunyai
sesuatu yang berlebih dan kita tidak membutuhkannya lagi maka kita memberi? Atau
mungkin saja kita memberi karena di balik tindakan itu ada keuntungan yang
dapat kita peroleh. Tidak mustahil kita memberi karena hati berlimpah kasih
sehingga kita tidak menyayangkan apa yang ada pada kita untuk berbagi dengan
sesama? Ada pelbagai motivasi kita memberi. Namun, apa yang menjadi niat atau
motivasi kita memberi, hanya kita sendiri dan Tuhan yang tahu.
Memberi tak pelak lagi merupakan tindakan terpuji apabila didasari oleh
niatan yang baik. Bukan sekedar pamer kedermawanan atau mengharapkan keuntungan
di balik itu. Memberi, sejatinya bukan karena kita telah berlebih. Banyak orang
sering berkilah untuk tidak memberikan apa yang mereka punyai dengan alasan
diri sendiri juga masih membutuhkan dan curiga bahwa pihak yang akan diberi itu
memanipulasi keadaan sehingga kita berasa sebagai orang yang dimanfaatkan.Dalam
tradisi Yahudi ada sebuah hari raya yang mengajarkan seseorang harus berbagi
dengan sesamanya. Kemiskinan bukan menjadi alasan untuk seseorang tidak
memberi.
Hari raya itu adalah hari raya Purim. Purim adalah hari sukacita,
dirayakan antara tanggal 14 dan 15 bulan Adar. Sehari sebelumnya, tanggal 13,
mereka mengadakan puasa Ester. Peristiwa ini mengingatkan bangsa Israel akan
puasa yang diserukan Ester (Ester 4:16) ketika menghadapi ancaman pemusnahaan
etnis Yahudi pada zaman Ahasyweros, raja Persia akibat kebenciaan yang
ditebarkan oleh Haman. Keadaannya menjadi terbalik, Haman akhirnya yang
digantung, Ester menjadi ratu dan Mordekai diberi kedudukan. Atas peristima
itu, Mordekai mengumumkan sebuah hari raya kelepasan bagi umat Yahudi, itulah
hari raya Purim. Kemudian dalam hari raya itu berkembang sebuah tradisi bahwa
setiap orang harus mencari dan menemukan seseorang yang lebih miskin dari
dirinya. Setelah itu ia wajib memberikan kepadanya sebuah pemberian.
Tidak selalu mereka yang kaya dapat memberikan sebuah pemberian.
Justeru, realitas menunjukkan bahwa mereka yang cuma memiliki sedikit hartalah
yang paling siap untuk memberi. Seperti sebuah ungkapan umum, “orang miskinlah
yang menolong orang miskin”, karena merekalah yang benar-benar mengerti,
memahami dan mengalami kemiskinan itu. Acara-acara reality show dengan kamera tersembunyi di televisi-televisi swasta,
seakan membenarkan ungkapan itu. Biasanya dalam acara-acara itu ditampilkan
sosok orang yang sangat membutuhkan bantuan, entah minta diatar pulang, minta
makanan atau menjual sesuatu agar mendapat uang untuk membeli obat untuk anaknya
yang sedang sakit. Rata-rata yang memberi tanggapan positif atau mereka
tergerak dan memberi pertolongan bukanlah orang-orang kaya. Justeru mereka yang
miskinlah yang mau mengulurkan tangan.
Contoh kalangan miskin yang siap berbagi pun terekam kuat dalam kisah
kesaksian pelayanan Paulus dalam 2 Korintus 8:1-15. Saat itu Paulus sedang
menggalang dana untuk membantu jemaat induk di Yerusalem. Mereka sedang
mengalami kesulitan kebutuhan hidup. Paulus menegur jemaat Korintus, yang secara
finansial cukup mampu namun mengulur-ngulur waktu bahkan terkesan ogah memberikan bantuan. Dalam 1 Korintus 16 :1-4 sebenarnya Paulus
telah menyampaikan dorongan agar jemaat Korintus yang katanya, “….kaya dalam segala sesuatu..”(ay.7) dapat
mengambil bagian untuk membantu saudara-saudara mereka di Yerusalem. Tidak hanya
itu, Paulus memberikan panduan mengenai apa yang harus mereka lakukan. Setiap
kepala keluarga seharusnya menyisihkan sebagian dari pendapatan mingguannya
selama 12 bulan, sehingga tersedia sumbangan untuk dibawa ke Yerusalem pada
musim semi tahun berikutnya. Namun, kenyataannya setelah satu tahun jemaat
Korintus ini tidak juga merespon secara positif. Karena itulah, Paulus
mengingatkan mereka kembali dengan memberikan contoh jemaat-jemaat di Makedonia
yang walaupun kondisi mereka jauh lebih miskin, namun mereka memberikan bantuan
melampaui harapan Paulus.
Apa yang menyebabkan sulitnya Korintus memberikan bantuan untuk saudara
seiman mereka di Yerusalem. Setidaknya, ada tiga hal:
1. Bagaimana
pun juga jemaat Korintus mayoritas bukanlah orang-orang percaya yang berlatar
belakang Yahudi. Sempat ada ketegangan bahwa orang di luar Yahudi yang menjadi
pengikut Yesus haruslah juga memelihara tradisi Yahudi. Mereka harus disunat,
memelihara hari Sabat dan yang lainnya. Dengan kondisi itu ada pengaruh
psikologis bahwa orang-orang Kristen di Yerusalem – yang mayoritas berlatar
belakang Yahudi – bukanlah bagian yang benar-benar utuh melekat sebagai
kesatuan umat Tuhan.
2. Dalam
jemaat itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mencoba merongrong kewibawaan
Paulus dengan menebarkan isu bahwa Paulus sedang mencari keuntungan di balik
pencarian bantuan untuk jemaat Yerusalem. Pendek kata, mereka tidak mau
memberikan bantuan oleh karena curiga disalahgunakan.
3. Jemaat
Korintus merupakan jemaat kota pelabuhan besar pada jaman itu. Paulus, dalam
suratnya yang pertama menengarai bahwa di jemaat itu telah timbul perpecahan. Masing-masing
bangga dengan dirinya sendiri. Sangat mungkin mereka terbiasa mengurus diri
sendiri dan kurang memperhatikan kebutuhan sesamanya. Maka ketika ada
permohonan bantuan, jemaat yang cenderung memerhatikan diri sendiri ini, tidak
mau peduli.
Bukankah alasan-alasan yang disinyalir kuat dari orang Korintus ini juga
dapat menjadi alasan kita juga untuk tidak memberikan bantuan kepada orang lain
yang sedang membutuhkan lantaran mereka bukan pihak atau bagian dari kita? Kita
juga sering curiga dan tidak yakin apakah pemberian itu sampai kepada
pihak-pihak yang benar-benar membutuhkan sementara kita juga masih punya
keperluan sendiri.
Dalam menghadapi situasi jemaat seperti ini, Paulus mengambil contoh
dari jemaat-jemaat lain. Ia menceritakan kepada mereka betapa jemaat-jemaat di
Makedonia telah bermurah hati. Mereka miskin dan sedang berhadapan dengan
banyak masalah tetapi mereka memberikan semua yang mereka miliki jauh dari apa
yang diharapkan Paulus. Paulus juga mengutip contoh dati Tuhan Yesus. Bagi
Paulus, pengorbanan Yesus tidaklah dimulai dari peristiwa salib. Pengurbanan
itu dimulai dari surga, ketika Ia mengesampingkan kemuliaan-Nya dan dengan rela
hati menjadi “miskin” untuk memuliakan manusia. Ia mengatakan, “Karena kamu telah mengenal kasih karunia
Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin,
sekali pun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinanNya.” (2
Korintus 8:9).
Dari kisah Paulus menegur jemaat Korintus ada banyak pelajaran yang kita
petik dalam hal memberi.
1. Kondisi
kekurangan bukanlah menjadi alasan untuk kita tidak memerhatikan kebutuhan
orang lain. Contoh jemaat-jemaat Makedonia menginsyafkan kita bahwa kunci utama
dalam memberi adalah hati yang penuh dengan cinta kasih dan kemurahan. Ada
banyak cerita dan kisah nyata bahwa seseorang yang sangat sederhana pun dapat
memberi dari kekurangannya. Sebaliknya, ketiadaan cinta kasih akan membuat
seseorang kesulitan dalam memberi, betapa pun ia sebenarnya orang kaya.
2. Hidup akan
berarti apabila kita berguna untuk sebanyak mungkin orang. Perhatikan mereka
yang membutuhkan kasih sayang. Pikirkanlah andai kata kita di pihak mereka.
Allah di dalam Yesus telah lebih dahulu melakukan itu untuk kita. Jadi sangat
logis, kalau kita yang menyembah-Nya meneruskan karya kasih-Nya buat orang
lain.
3. Kita tidak
akan mengalami kesulitan apabila kita merasakan dan mengalami bahwa Tuhan
begitu baik. Bukankah segala yang ada pada kita adalah pemberian dari-Nya. Jika
kita memberi, sebenarnya kita hanya alat untuk menyalurkan berkat-Nya.
4. Milikilah kerendahan hati dan
ketulusan dalam memberi karena dengan demikian kita akan terbebas dari
prasangka buruk. Alangkah baiknya, seperti apa yang diajarkan Yesus. Ketika
tangan kanan memberi sebaiknya tangan kiri tidak tahu. Lebih baik kita tidak
tahu siapa yang kita beri dan dalam kerendahan hati pemberian kita tujukan
kepada Tuhan. Demikian pula jika si penerima tidak tahu, maka ia tidak akan
rikuh kepada kita, tapi ia akan merasakan bahwa itu semua datangnya dari Tuhan.
Dengan demikian, kasih itu akan menyatukan kita di dalam kasih Tuhan.