Kisah pertempuran Daud melawan Goliat (1 Samuel 17) merupakan kisah
klasik legendaris segaligus inspiratif. Banyak diingat, dipelajari, dijadikan
dongeng menjelang tidur oleh banyak orang. Kisah heroik ini bermula dari
konflik antara Israel dan Filistin. Mereka berhadap-hadapan siap berperang!
Pada waktu itulah keluar seorang yang bernama Goliat. Alkitab menggambarkan
sosoknya sebagai berikut: Tingginya enam hasta sejengkal, kira-kira 3,2 meter!
Ketopong tembaga ada di kepalanya, dan ia memakai baju zirah yang
bersisik; berat baju zirah ini 5000 syikal tembaga (~57 kg). Dia memakai
penutup kaki dari tembaga, dan di bahunya ia memanggul lembing tembaga. Gagang
tombaknya seperti pesa tukang tenun, dan mata tombaknya itu 600 syikal besi
beratnya (~7 kg). Dan seorang pembawa perisai berjalan di depannya.
Goliat menantang orang Israel, katanya: "Mengapa
kamu keluar untuk mengatur barisan perangmu? Bukankah aku seorang Filistin dan
kamu adalah hamba Saul? Pilihlah bagimu seorang, dan biarlah ia turun
mendapatkan daku. Jika ia dapat berperang melawan aku dan mengalahkan aku, maka
kami akan menjadi hambamu; tetapi jika aku dapat mengungguli dia dan
mengalahkannya, maka kamu akan menjadi hamba kami dan takluk kepada kami."
Pula kata orang Filistin itu: "Aku menantang hari ini barisan Israel;
berikanlah kepadaku seorang, supaya kami berperang seorang lawan seorang." Sontak, seluruh Israel ciut.
Seperti biasa, Daud tidak diikut sertakan dengan kakak-kakaknya, Eliab,
Abinadab dan Syama sebagai prajurit-prajurit Israel. Daud dipandang tidak ada
potongan sebagai tentara, barangkali karena posturnya yang terlalu kecil maka
selalu saja ia disuruh pulang untuk menggembalakan kamibing domba bapaknya. Isai
kuatir akan keselamatan ketiga anaknya yang bertempur bersama dengan Saul, maka
ia meminta Daud untuk menengok keadaan ketiga anaknya itu sambil membawa bekal
makanan. Sesampainya di medan pertempuran, Daud mendengar tantangan Goliat yang
meremehkan Israel. Harga dirinya sebagai umat Allah terusik dan semangatnya
membara. Ia tidak peduli dengan tampilan Goliat yang menyeramkan itu. Lalu berkatalah Daud kepada orang-orang yang berdiri di dekatnya:
"Apakah yang akan dilakukan kepada orang yang mengalahkan orang Filistin
itu dan yang menghindarkan cemooh dari Israel? Siapakah orang Filistin yang tak
bersunat ini, sampai ia berani mencemoohkan barisan dari pada Allah yang
hidup?"
Terdengarlah
kepada orang perkataan yang diucapkan oleh Daud, lalu diberitahukanlah kepada
raja Saul. Dan Saul menyuruh memanggil dia. Berkatalah Daud kepada Saul:
"Janganlah seseorang menjadi tawar hati karena dia; hambamu ini akan pergi
melawan orang Filistin itu." Tetapi Saul berkata kepada Daud: "Tidak
mungkin engkau dapat menghadapi orang Filistin itu untuk melawan dia, sebab
engkau masih muda, sedang dia sejak dari masa mudanya telah menjadi
prajurit."
Tetapi Daud
berkata kepada Saul: "Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba
ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari
kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari
mulutnya. Kemudian apabila ia berdiri menyerang aku, maka aku menangkap
janggutnya lalu menghajarnya dan membunuhnya. Baik singa maupun beruang telah
dihajar oleh hambamu ini. Dan orang Filistin yang tidak bersunat itu, ia akan
sama seperti salah satu dari pada binatang itu, karena ia telah mencemooh
barisan dari pada Allah yang hidup." Pula kata Daud: "TUHAN yang
telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan
melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu."
Kata Saul kepada
Daud: "Pergilah! TUHAN menyertai engkau." Lalu Saul mengenakan baju
perangnya kepada Daud, ditaruhnya ketopong tembaga di kepalanya dan
dikenakannya baju zirah kepadanya. Lalu Daud mengikatkan pedangnya di luar baju
perangnya, kemudian ia berikhtiar berjalan, sebab belum pernah dicobanya. Maka
berkatalah Daud kepada Saul: "Aku tidak dapat berjalan dengan memakai ini,
sebab belum pernah aku mencobanya." Kemudian ia menanggalkannya. Lalu Daud mengambil
tongkatnya di tangannya, dipilihnya dari dasar sungai lima batu yang licin dan ditaruhnya dalam kantung
gembala yang dibawanya, yakni tempat batu-batu, sedang umbannya dipegangnya di
tangannya.
Kini, saat yang mendebarkan itu tiba. Daud berhadapan muka dengan
Goliat! Sedikit pun tak ada kegentaran dalam diri Daud. Ia berkata kepada orang Filistin itu: "Engkau mendatangi aku dengan pedang
dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta
alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu. Hari ini juga TUHAN akan
menyerahkan engkau ke dalam tanganku dan aku akan mengalahkan engkau dan
memenggal kepalamu dari tubuhmu; hari ini juga aku akan memberikan mayatmu dan
mayat tentara orang Filistin kepada burung-burung di udara dan kepada
binatang-binatang liar, supaya seluruh bumi tahu, bahwa Israel mempunyai Allah,
dan supaya segenap jemaah ini tahu, bahwa TUHAN menyelamatkan bukan dengan
pedang dan bukan dengan lembing. Sebab di tangan Tuhanlah pertempuran dan Iapun
menyerahkan kamu ke dalam tangan kami." Dengan keyakinan itu Daud mengalahkan Goliat!
Di tengah kenyataan dan ancaman mengerikan, di mana nyali semua orang
Israel, tak kecuali Eliab, Abinadab dan Syama serta Saul sendiri, Daud –
meskipun pada mulanya diragukan – tampil dengan keyakinan penuh bahwa TUHANnya
dapat diandalkan. Itulah iman! Iman, bagi Daud nyata dalam keadaan kemelut dan
krisis. TUHAN yang dia percaya akan ada bersamanya dalam menghadapi orang Filistin.
Sayangnya, iman seperti itu tidak terjadi dalam kehidupan kita. Kita
mudah gentar, pesimis lalu kemudian putus asa dan menyalahkan TUHAN, seolah
TUHAN tidak bertindak dan diam saja mana kala badai hidup menimpa kita. Memang,
sekarang kita tidak berhadapan dengan lawan yang tingginya 3,2 meter dengan
peralatan senjata perang yang mengerikan. Namun, bukankah sakit penyakit, kehilangan
orang-orang yang dikasihi, kesulitan keuangan, kemelut dalam rumah tangga,
intimidasi dan ancaman, serta yang semacam itu telah menjadi “Goliat-Goliat”
masa kini yang membuat kita miris dan tidak lagi berpengharapan?
Dalam kondisi kemelut tertimpa badai kehidupan, kita cenderung seperti
murid-murid Yesus. Mereka ketakutan luar biasa ketika berhadapan dengan taufan
(Markus 4:35-41). Mereka membangunkan Yesus dan menggugat Yesus. Mereka menyalahkan
Yesus, seolah Yesus tidak peduli dengan ancaman bahaya yang sedang terjadi.
Kata mereka kepada-Nya, “Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?” Kemudian
Yesus menghardik badai itu. Maka seketika itu juga tenanglah danau itu. Kini,
Yesus menegur para murid atas nyali yang ciut dan ketidakpercayaan mereka.
Dalam kehidupan ini, badai hidup akan selalu ada. Yesus tidak pernah
menjanjikan kehidupan ini selalu menyenangkan. Tetapi, janji-Nya akan selalu
hadir dalam kehidupan kita!
Iman terhadap hadirnya TUHAN dalam kehidupan kita tidak serta-merta
membebaskan kita dari usaha menghadapi persoalan itu. TUHAN yang diyakini Daud menyertainya
tidak membuat Daud terus berpangku tangan dalam menghadapi Goliat. Ia harus
menyiapkan, mempersenjatai diri dengan batu, umban dan tongkat. Ia sendiri
harus menghadapi Goliat. Ketika Yesus berada bersama-murid-murid-Nya dalam
perahu, tidak juga Ia membebaskan para murid untuk mendayung. Mereka harus
bekerja menghadapai kenyataan di danau itu. Selebihnya TUHAN yang mengambil
alih. Kita pun harus menyadari bahwa beriman kepada TUHAN bukan berarti duduk
manis diam saja, melipat tangan dan berdoa. Tentu saja doa sangat perlu, tetapi
usaha mengatasinya tidak kalah penting sebagai ekspresi orang beriman.
Kita dapat belajar menghadapi
kesulitan di tengah badai dari Paulus. Ada kata kunci yang dipakai Paulus menghadapi
pelbagai “taufan atau badai” hidup itu, yakni kata hupomone “menahan dengan penuh kesabaran” (2 Korintus 6:4). Hupomone nyaris tidak dapat
diterjemahkan. Kesabaran bukan diartikan sebagai tindakan pasrah kepada nasib
dan tidak melakukan apa-apa. Melainkan, usaha maksimal dalam menghadapi
penderitaan, kesulitan hidup dan aniaya dengan hati terpaut kepada TUHAN yang
pasti tidak tinggal diam. Dengan demikian tetap ceria dan tenang sekalipun di
tengah badai bahkan tidak mustahil sikap iman yang demikian akan mengubah ratap
menjadi tarian; kemalangan menjadi kemuliaan. Itulah yang selanjutnya
diceritakan Paulus dalam 2 Korintus 6:5:10. Ada pelbagai paradoks yang
dimunculkan Paulus: ketika dianggap sebagai penipu namun dipercaya. Sebagai
orang yang tidak dikenal, namun terkenal. Sebagai orang yang nyaris mati namun
sungguh hidup. Sebagai orang yang berdukacita namun senantiasa bersukacita.
Sebagai orang miskin namun memperkaya banyak orang. Sebagai orang yang tak
bermilik, namun memiliki segala sesuatu!