Kamis, 11 Juni 2015

IMAN YANG MEMBARUI MATA HATI

“- sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat - “ (2 Korintus 5:7). Anak kalimat ini ditulis Paulus dalam keadaan hidup yang sungguh sangat sulit. Setelah ia mengalami pelbagai macam penderitaan, nyaris putus asa dan binasa. Apakah, karena sulitnya beban hidup, derita dan aniaya karena memberitakan Injil itu, lantas Paulus berhalusinasi untuk segera beranjak dari realitas kepada impian hidup bersama dengan Tuhannya dan dengan demikian bebas sama sekali dari penderitaan?  Sehingga ia menyambung kalimat itu dengan, “….., dan terlebih suka kami beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan.” (2 Kor.5: 8). Apakah bagi Paulus, tubuh ragawi tidak begitu penting, sehingga kapan pun bisa ditinggalkan dan rohnya beralih kepada Tuhan?

Banyak orang beragama ketika menghadapi kesulitan dan penderitaan di dunia ini segera ingin mengakhirinya dengan jalan “dipanggil pulang” oleh Tuhannya. Mengapa? Jawabnya sederhana, “Tuhan telah menjanjikan sorga dan di sana tidak ada lagi sakit, derita dan air mata. Yang ada hanyalah sukacita, terbebas dari segala penderitaan. Alih-alih menghadapi kenyataan hidup – yang memang tidak mudah – iman itu dipahami sebagai impian atau kerinduan lepasnya roh seseorang dalam cengkraman derita tubuh. Sorga tak ubahnya sebagai tempat pelarian dari duka, derita dan air mata! Apakah iman seperti itu yang sedang diajarkan Paulus kepada jemaat Korintus? Jika kita merangkai, memotong dan kemudian menafsirkan 2 Kor. 5:7 dan 8 dengan menghilangkan kata-kata, “tetapi hati kami tabah,..” sangat mungkin ajaran Paulus ini dimengerti seperti itu!

Iman yang diajarkan Paulus adalah iman yang mampu tegar menghadapi realitas, betapa pun hal itu terasa menyakitkan. Iman itu membuat dia dan teman-temannya tetap tabah menghadapi penderitaan. Iman yang dimaksudkan Paulus adalah iman yang terus berusaha dalam kehidupan ini untuk mengerjakan apa yang dikehendaki Tuhan (bnd. 2 Kor.5:9) dan bukan melarikan diri dari kenyataan hidup. Benar, dalam bagian iman tentu ada pengharapan pembebasan di masa yang akan datang. Paulus tidak menampikan itu. Kendati demikian, Paulus tidak pernah melupakan kehidupan “kini” dan “di sini”. Ia tidak pernah lupa bahwa kita sedang berada “di perjalanan”, tidak saja menuju kepada kemuliaan, tetapi juga ke pengadilan. “Kita semua harus berdiri di hadapan kursi pengadilan.” Demikian juga kita nantinya akan menghadapi keputusan Allah. Kalau kita mengingat hal itu, maka seharusnya kehidupan ini menjadi sesuatu yang sangat serius, malah menurut Barclay kehidupan ini menakutkan dan mengerikan, karena dalam kehidupan inilah kita membuat ketetapan akhir kehidupan kita, entah memenangkan atau kehilangan mahkota.

Kini dan di sini adalah realita, kenyataan yang menentukan masa depan kita. Apakah iman yang kita miliki dapat merespon realita yang ada atau tidak, itu sangat bergantung dalam cara kita menanggapi realitas. Tentang realitas, Eric Fromm menjelaskan, “Kesadaran semu atau gambaran tentang realitas yang tidak benar, bisa memperlemah kita. Sedangkan pemahaman realitas yang sebenarnya, dengan memiliki gamabaran yang memadai atas realitas tersebut, akan menjadikan kita lebih kuat.” Ada benarnya apa yang dikatakan Eric Fromm ini. Sering kita tidak obyektif melihat sebuah realitas kehidupan. Ambil contoh, ketika kita berhadapan dengan sakit penyakit, maka kita membayangkan bahwa penyakit itu akan membelenggu kita, merusak daya tahan tubuh, selanjutnya kita dikuasai oleh kecemasan luar biasa dan akhirnya kita kalah sebelum berperang. Bisa jadi, kodisi obyektifnya, sakit penyakit itu sebenarnya tidak mematikan dan bisa diatasi.

Lebih jauh dari Fromm, Leroy Eims menyarankan, agar kita mampu memenangkan pergulatan dalam kancah kemulut, “Jadilah seorang yang melihat lebih banyak dari pada yang dapat dilihat oleh orang lain, yang melihat lebih jauh daripada yang dilihat orang lain, dan yang melihat sebelum orang lain melihat.” Dua tokoh ini ingin mengatakan supaya kita tidak silap melihat dan mengenali realitas dalam “labirin kehidupan”.

Ada orang mengatakan bahwa realitas hidup ini seperti labirin. Tempat yang sarat jalan dan lorong yang berliku, simpang-siur. Hidup bukan jalan lurus, bukan pula jalan membentang yang datar. Hidup ini labirin dengan konfigurasi yang begitu rumit, tak selalu lazim dan sarat ketidakpastian, yang mendatangkan intimidasi, menggiring rasa kuatir dan putus asa. Iman seharusnya bukan jalan bagaimana meloncati “labirin” itu, tetapi menolong kita memasuki “labirin” dan tidak tersesat di sana. Maka, salah satu fungsi terpenting dari iman adalah menundukkan labirin hidup ini sehingga kita sanggup menaklukkan ketidakpastian. Bukankah iman itu berbicara tentang hal yang pasti di balik ketidakpastian hidup?

Lalu sikap iman yang bagaimana yang dapat menaklukkan labirin itu? Tentu saja cara yang paling mudah adalah melihat labirin dari atas, kita akan tahu, bukan saja jalan, lorong, tikungan, arah, dan pola yang rumit tetapi juga setiap sudut, sisi, lekuk, dan noktah. Caranya? Pakailah Mata Tuhan! Mata-Nya tidak pernah silap melihat realitas hidup ini. Mata Tuha tidak pernah salah pilih. Manusia sering melihat apa yang tampak, namun belum tentu yang tampak itu mencerminkan realitas yang sebenarnya. Malah sebaliknya, yang tampaknya gagah, pintar, mumpuni bisa saja kelak mengecewakan. Mata Tuhan tidak pernah silap ketika ia meminta Samuel menentukan salah seorang anak Isai untuk menggantikan Saul sebagai raja. Daud, dalam pandangan Isai, bapaknya sendiri bahkan Samuel tidak masuk hitungan sebagai calon raja.

Mengapa mata kita suka salah menilai? Agus Santoso dalam renungannya Miopia, mengingatkan bahwa terkadang bukan cara pandang kita yang salah, tetapi jarak pandang kita yang harus diubah. Jarak pandang yang tidak tepat, bisa membuat cara pandang menjadi tidak tepat pula. Apa yang harus kita lakukan? Kita hanya perlu bergeser ke posisi yang lebih tepat, berpijak pada ketinggian yang tepat pula, agar cakrawala terbentang luas dan jauh.

Kita harus terus menapaki hidup ini jauh ke depan. Tidak mandeg, dan hanya berputar-putar dalam suatu labirin terlebih terpaku dalam realitas yang menyilaukan. Ingatlah, bahwa yang dapat merabunkan mata kita bukan hanya kegelapan (baca: penderitaan, pergumulan, aniaya, dan yang sejenisnya), tetapi juga cahaya yang menyilaukan kita dapat membatasi pandangan mata, khususnya mata hati kita. Terang yang menyilaukan benar-benar membuat kita tidak dapat melihat. Kita bisa menjadi “gelap mata” ketika kita silau oleh kekayaan, kekuasaan, popularitas, ataupun karena godaan sensualitas. Bukankah yang begini-ini yang disukai banyak orang? Akibatnya, kita dapat tersesat dalam labirin kehidupan ini!

Kita bisa mempunyai mata hati yang jernih supaya dapat melihat seperti apa yang Tuhan lihat dengan jalan pertama-tama berilah hati kita dikuasai oleh kasih Kristus. “Sebab kasih Kristus yang menguasai kami, karena kami telah mengerti, bahwa jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati. Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka.” (2 Kor.5.:14,15). Dengan kesadaran ini kita melakukan segala sesuatu bukan demi memenuhi keinginan dan ambisi kita, melainkan agar karya Kristus dapat nyata melalui hidup dan pelayanan kita.

Kedua, yakinlah bahwa Tuhan itu sudah memberikan kepada kita “benih”. Apakah menyediakan hati kita untuk ditumbuhi benih-benih kebenaran itu atau kita menutupnya rapat-rapat? Andaikan saja kita membuka hati dan memelihara benih-benih kebenaran itu, maka pastilah akan membuahkan hasil yang sesuai dengan kehendak-Nya. Segala sesuatu sudah Tuhan siapkan buat kita, kini tinggal respon kita untuk melakukannya!

Kamis, 04 Juni 2015

IMAN, OBAT ANTI TAWAR HATI

Apa sih yang dimaksud dengan tawar hati? Kebanyakan orang mengartikannya dengan: hilangnya minat atau semangat, tidak antusias, tidak bernafsu, tidak mau peduli, apatis, hatinya dingin, dan seterusnya. Siapa pun dapat mengalimi kondisi seperti itu. Sangat wajar dan manusiawi. Namun, jika hal ini dibiarkan tentu akan berakibat buruk, baik bagi kesehatan jasmani maupun rohani; diri sendiri maupun orang lain. Kondisi tawar hati dapat mengganggu ritme hidup positif. Orang dengan tawar hati akan kehilangan kegairahan dalam hidup. Pandangannya menjadi negatif terhadap diri sendiri, orang lain bahkan Tuhan. Ia cenderung menarik diri dan tidak mau peduli dengan lingkungannya. Bahkan tidak lagi peduli terhadap dirinya sendiri.

Ada pelbagai sebab mengapa seseorang menjadi tawar hati. Bisa karena penolakkan dari orang-orang sekitar. Bisa karena kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Sangat mungkin karena beban berat yang ditanggungnya tak kunjung beranjak. Atau sakit penyakit dalam tubuhnya yang tidak juga sembuh. Banyak juga yang menjadi tawar hati karena kegagalan yang terus berulang dalam hidupnya.

Jika setiap orang bisa terjangkiti penyakit tawar hati, lalu bagaimana cara mengatasinya? Meminjam metode kedokteran, suatu penyakit akan dapat diatasi apabila diketahui penyebabnya. Semakin dini suatu penyakit diketahui maka semakin cepat pula pemulihannya. Bila tawar hati melanda kita, cobalah telusuri apa penyebabnya. Bagi banyak orang, tidak lagi bisa diketahui apa yang menjadi penyebab spesifik tawar hati itu. Jika kondisi ini yang sedang kita alami, baiklah dengan jujur mengakui bahwa kita sedang tawar hati. Selanjutnya, jangan biarkan kondisi ini menggerogoti tubuh jasmani dan rohani kita. Berbahaya! Alkitab banyak bercerita tentang orang-orang yang tegar dalam menjalani kehidupan ini. Mereka bisa mengatasi tawar hati.

Yesus dan Paulus, dalam hidup dan pelayanan mereka banyak mengalami penolakan, aniaya dan pelbagai macam penderitaan dalam memberitakan Injil Kerajaan Allah.  Penolakan yang dialami Yesus malah terasa begitu menyakitkan karena keluarganya sendiri memandang-Nya “tidak waras” (Markus 3:21). Bagi kebanyakan orang, kondisi seperti ini sangat wajar kalau mereka menjadi tawar hati. Namun, hal ini tidak terjadi pada Yesus dan Paulus, sampai di ujung hidup, mereka tidak pernah dikuasai oleh tawar hati. Mereka sanggup bertahan sampai akhir oleh karena mereka mempunyai visi yang jelas dalam hidupnya. Memiliki visi yang jelas dalam hidup ini akan menolong kita beranjak dari perasaan tawar hati.

Cerita ini mungkin dapat menolong kita untuk memahami sebuah visi: Pada suatu hari yang beku di musim dingin dengan suhu di bawah nol derajat Celcius, seorang peziarah berusia lanjut melakukan perjalanan menuju kuil suci di pegunungan Himalaya.

“Kakek,” sapa seorang pengelana lain yang melewatinya, “apakah Kakek bisa sampai di sana dalam cuaca sedingin ini?”

“Anakku, hatiku telah tiba di sana lebih dahulu,” jawab sang Kakek sambil tersenyum riang. “Karena itu, tentu sangat mudah bagi bagian tubuh yang lainnya untuk menyusul ke sana!”

Visi merupakan penglihatan seseorang jauh ke depan yang membuatnya mampu menapaki kehidupan masa kini betapa pun sulitnya. Kakek ini mempunyai visi bahwa di kuil itulah ia akan merasakan kebahagiaan. Alih-alih tawar hati, frustasi atau apa pun namanya, bagi seorang yang punya visi, penderitan, tantangan dan penganiayaan bisa membawanya kepada sukacita bahkan semakin berat beban yang ditanggungnya, semakin besarlah sukacita yang mengiringinya.

Banyak orang, bisa jadi termasuk kita, mengerjakan segala sesuatu tidak dilandasi dengan visi yang jelas. Kita tidak tahu untuk apa mengerjakan ini dan itu. Jangankan beban penderitaan yang berat, yang biasa-biasa pun dapat membuat kita penat. Akibatnya, kita mudah kelelahan, kehilangan energi dan kesabaran, marah, kecewa ujungnya tawar hati. Bukankah hal itu sering terjadi di gereja dengan mengatasnamakan pelayanan. Banyak yang menjadi kecewa, tawar hati dan kemudian tidak lagi mau melayani. Padahal kalau ditimbang beban pekerjaan yang mengatasnamakan pelayanan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Paulus yang mengatakan : “Dalam segala hal kami ditindas,…kami habis akal,…kami dianiaya, kami dihempaskan,..” (2 Kor.4:8-9).

Mengapa kesukaran dan penderitaan bahkan ancaman kematian tidak membuat Paulus menjadi takut, pesimis atau tawar hati? Setidaknya hal ini, membuktikan bahwa Paulus mempunyai pandangan jauh ke depan. Ia sanggup melihat dan memaknai bahwa apa yang sedang terjadi –penganiayaan dan penderitaanya – merupakan hal yang sementara saja. Kelak ia akan mengalami kehidupan yang kekal beserta kemuliaannya. Paulus percaya, apa pun yang harus membuatnya menderita di dunia ini tidak akan berarti apa-apa dibandingkan dengan kemuliaan yang akan ia nikmati pada masa yang akan datang. Ia merasa pasti bahwa Allah tidak akan pernah mengingkari janji-Nya.

Untuk sampai memiliki sebuah visi seperti Paulus, tidaklah mudah. Ada proses yang mendahuluinya! Paulus menyebutnya, “Namun karena kami memiliki roh iman…”(2 Kor.4:13a) Iman yang bagaimana? Jawabnya, “Karena kami tahu, bahwa Ia, yang telah membangkitkan Tuhan Yesus, akan membangkitkan kami juga bersama-sama dengan Yesus…”(2 Kor 4:14). Bagi Paulus, iman itu menjawab dan menjadi obat mujarab dalam mengatasi pelbagai kesulitan bahkan keadaan yang disebut sebagai “manusia lahiriah yang semakin merosot.” Iman itu membuat “manusia batiniah” setiap hari mengalami pembaruan.

Ada banyak hal yang membuat tubuh kita semakin merosot, antara lain: hukum alam, sakit penyakit, musibah, penganiayaan, beban pikiran, kecemasan, ketakutan dan lain sebagainya. Lalu bagaimana dengan iman kita, apakah iman kita mampu menjawab ketika tubuh ini terus menjadi tua, mengidap pelbagai penyakit, hidup penuh tekanan, pergumulan dan penderitaan (dalam bahasa Paulus “manusia lahiriah yang semakin merosot”) dapatkah iman kita menopang “manusia batiniah” yang terus dibaharui? Kisah Arthur Rubinstein, mungkin bisa menginspirasi kita.

Arthur Rubinstein, seorang pianis konser andal merayakan ulang tahunnya yang ke-90. Seorang jurnalis bertanya kepadanya tentang bagaimana rasanya menjadi seorang yang berusia 90 tahun. Rubinstein yang dikenal dengan semangat kekanak-kanaknya. Menjawab bahwa ulang tahun yang ke-90 itu tidak ada bedanya dengan hari-hari lain. Namun, konsep Rubinstein mengenai “sama seperti hari-hari lain” tidak sama dengan konsep “sama seperti hari-hari lain” menurut kebanyakan orang!

Dengan gembira, ia menjelaskan bahwa setiap bangun tidur pada pagi hari, sepanjang hidupnya, dia menganggap hari itu sebagai hari kelahirannya. Oleh karena itu, Rubinstein menganggap dirinya sudah melewati 365x90=32.850 hari ulang tahun sepanjang hidupnya! Karena setiap hari merupakan karunia, dia sungguh menyukurinya. Dia menyadari mungkin saja hari itu merupakan hari terakhir dia dapat mengagumi segala keajaiban dan kemungkinan dunia yang dapat ditawarkan kepadanya.

Pada hari-hari terakhir dalam hidupnya, Rubinstein menyadari bahwa ia berangsur-angsur menjadi buta. Kembali seorang jurnalis mewawancarainya, kali ini pertanyaan fokus pada efek kebutaan terhadap permaianan pianonya. Tampak jelas bahwa sang jurnalis mengharapkan jawaban yang matang atau mungkin melankolis.

Ternyata, Rubinsten malah dengan penuh semangat bercerita bahwa sebelum penglihatannya mulai menghilang, dia selalu beranggapan bahwa dia bermain piano dengan mengandalkan telinganya saja. Sekarang, ketika matanya sudah mulai buta, dia sadar bahwa dia mengandalkan – lebih dari yang disadari sebelumnya – penglihatanya. Selama ini, ketika ia bermain piano, bergantung pada kemampuan penglihatannya untuk menangkap gerakan jari-jemarinya yang menari-nari di atas tuts. Di batas luar penglihatannya.

Kini, ketika kebutaan melandanya, alih-alih depresi dan sedih. Rubinsten malah merasa sangat gembira! Dia menjelaskan kepada sang jurnalis, bahwa keadaannya sekarang ini telah membuka sebuah dunia yang betul-betul baru baginya. Sekarang dia mendapat kesempatan menarik untuk mempelajari ulang semua komposisi musik yang bagus dan indah, kali ini dengan bantuan hanya melalu pendengarannya. Hatinya dipenuhi rasa gembira karena telah diberi kesempatan untuk melihat pandangan pengetahuan baru yang tengah terbuka di hadapannya.

Apa yang kita alami saat ini mungkin saja dapat menjadi alasan untuk tawar hati. Namun, lihatlah lebih dalam bahwa Tuhan telah menopang kita dengan kekuatan untuk mengatasinya. Ya, kekuatan itu bernama iman! Ingatlah seperti yang dikatakan Paulus, “Pencobaan-pencobaan yang kita alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan jalan ke luar sehingga kamu dapat menanggungnya. (1 Kor.10:13)