“- sebab hidup kami ini adalah
hidup karena percaya, bukan karena melihat - “ (2 Korintus 5:7). Anak
kalimat ini ditulis Paulus dalam keadaan hidup yang sungguh sangat sulit. Setelah
ia mengalami pelbagai macam penderitaan, nyaris putus asa dan binasa. Apakah,
karena sulitnya beban hidup, derita dan aniaya karena memberitakan Injil itu,
lantas Paulus berhalusinasi untuk segera beranjak dari realitas kepada impian
hidup bersama dengan Tuhannya dan dengan demikian bebas sama sekali dari
penderitaan? Sehingga ia menyambung
kalimat itu dengan, “….., dan terlebih
suka kami beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan.” (2 Kor.5: 8). Apakah
bagi Paulus, tubuh ragawi tidak begitu penting, sehingga kapan pun bisa
ditinggalkan dan rohnya beralih kepada Tuhan?
Banyak orang beragama ketika menghadapi kesulitan dan penderitaan di
dunia ini segera ingin mengakhirinya dengan jalan “dipanggil pulang” oleh
Tuhannya. Mengapa? Jawabnya sederhana, “Tuhan telah menjanjikan sorga dan di
sana tidak ada lagi sakit, derita dan air mata. Yang ada hanyalah sukacita,
terbebas dari segala penderitaan. Alih-alih menghadapi kenyataan hidup – yang memang
tidak mudah – iman itu dipahami sebagai impian atau kerinduan lepasnya roh seseorang
dalam cengkraman derita tubuh. Sorga tak ubahnya sebagai tempat pelarian dari
duka, derita dan air mata! Apakah iman seperti itu yang sedang diajarkan Paulus
kepada jemaat Korintus? Jika kita merangkai, memotong dan kemudian menafsirkan
2 Kor. 5:7 dan 8 dengan menghilangkan kata-kata, “tetapi hati kami tabah,..” sangat mungkin ajaran Paulus ini
dimengerti seperti itu!
Iman yang diajarkan Paulus adalah iman yang mampu tegar menghadapi
realitas, betapa pun hal itu terasa menyakitkan. Iman itu membuat dia dan
teman-temannya tetap tabah menghadapi penderitaan. Iman yang dimaksudkan Paulus
adalah iman yang terus berusaha dalam kehidupan ini untuk mengerjakan apa yang
dikehendaki Tuhan (bnd. 2 Kor.5:9) dan bukan melarikan diri dari kenyataan
hidup. Benar, dalam bagian iman tentu ada pengharapan pembebasan di masa yang
akan datang. Paulus tidak menampikan itu. Kendati demikian, Paulus tidak pernah
melupakan kehidupan “kini” dan “di sini”. Ia tidak pernah lupa bahwa kita
sedang berada “di perjalanan”, tidak saja menuju kepada kemuliaan, tetapi juga
ke pengadilan. “Kita semua harus berdiri
di hadapan kursi pengadilan.” Demikian juga kita nantinya akan menghadapi
keputusan Allah. Kalau kita mengingat hal itu, maka seharusnya kehidupan ini
menjadi sesuatu yang sangat serius, malah menurut Barclay kehidupan ini
menakutkan dan mengerikan, karena dalam kehidupan inilah kita membuat ketetapan
akhir kehidupan kita, entah memenangkan atau kehilangan mahkota.
Kini dan di sini adalah realita, kenyataan yang menentukan masa depan
kita. Apakah iman yang kita miliki dapat merespon realita yang ada atau tidak,
itu sangat bergantung dalam cara kita menanggapi realitas. Tentang realitas,
Eric Fromm menjelaskan, “Kesadaran semu atau gambaran tentang realitas yang
tidak benar, bisa memperlemah kita. Sedangkan pemahaman realitas yang
sebenarnya, dengan memiliki gamabaran yang memadai atas realitas tersebut, akan
menjadikan kita lebih kuat.” Ada benarnya apa yang dikatakan Eric Fromm ini.
Sering kita tidak obyektif melihat sebuah realitas kehidupan. Ambil contoh,
ketika kita berhadapan dengan sakit penyakit, maka kita membayangkan bahwa
penyakit itu akan membelenggu kita, merusak daya tahan tubuh, selanjutnya kita
dikuasai oleh kecemasan luar biasa dan akhirnya kita kalah sebelum berperang.
Bisa jadi, kodisi obyektifnya, sakit penyakit itu sebenarnya tidak mematikan
dan bisa diatasi.
Lebih jauh dari Fromm, Leroy Eims menyarankan, agar kita mampu
memenangkan pergulatan dalam kancah kemulut, “Jadilah seorang yang melihat
lebih banyak dari pada yang dapat dilihat oleh orang lain, yang melihat lebih
jauh daripada yang dilihat orang lain, dan yang melihat sebelum orang lain
melihat.” Dua tokoh ini ingin mengatakan supaya kita tidak silap melihat dan
mengenali realitas dalam “labirin kehidupan”.
Ada orang mengatakan bahwa realitas hidup ini seperti labirin. Tempat yang
sarat jalan dan lorong yang berliku, simpang-siur. Hidup bukan jalan lurus,
bukan pula jalan membentang yang datar. Hidup ini labirin dengan konfigurasi
yang begitu rumit, tak selalu lazim dan sarat ketidakpastian, yang mendatangkan
intimidasi, menggiring rasa kuatir dan putus asa. Iman seharusnya bukan jalan
bagaimana meloncati “labirin” itu, tetapi menolong kita memasuki “labirin” dan
tidak tersesat di sana. Maka, salah satu fungsi terpenting dari iman adalah
menundukkan labirin hidup ini sehingga kita sanggup menaklukkan ketidakpastian.
Bukankah iman itu berbicara tentang hal yang pasti di balik ketidakpastian
hidup?
Lalu sikap iman yang bagaimana yang dapat menaklukkan labirin itu? Tentu
saja cara yang paling mudah adalah melihat labirin dari atas, kita akan tahu,
bukan saja jalan, lorong, tikungan, arah, dan pola yang rumit tetapi juga
setiap sudut, sisi, lekuk, dan noktah. Caranya? Pakailah Mata Tuhan! Mata-Nya
tidak pernah silap melihat realitas hidup ini. Mata Tuha tidak pernah salah
pilih. Manusia sering melihat apa yang tampak, namun belum tentu yang tampak
itu mencerminkan realitas yang sebenarnya. Malah sebaliknya, yang tampaknya
gagah, pintar, mumpuni bisa saja kelak mengecewakan. Mata Tuhan tidak pernah
silap ketika ia meminta Samuel menentukan salah seorang anak Isai untuk
menggantikan Saul sebagai raja. Daud, dalam pandangan Isai, bapaknya sendiri
bahkan Samuel tidak masuk hitungan sebagai calon raja.
Mengapa mata kita suka salah menilai? Agus Santoso dalam renungannya Miopia, mengingatkan bahwa terkadang
bukan cara pandang kita yang salah, tetapi jarak pandang kita yang harus
diubah. Jarak pandang yang tidak tepat, bisa membuat cara pandang menjadi tidak
tepat pula. Apa yang harus kita lakukan? Kita hanya perlu bergeser ke posisi
yang lebih tepat, berpijak pada ketinggian yang tepat pula, agar cakrawala
terbentang luas dan jauh.
Kita harus terus menapaki hidup ini jauh ke depan. Tidak mandeg, dan hanya berputar-putar dalam
suatu labirin terlebih terpaku dalam realitas yang menyilaukan. Ingatlah, bahwa
yang dapat merabunkan mata kita bukan hanya kegelapan (baca: penderitaan,
pergumulan, aniaya, dan yang sejenisnya), tetapi juga cahaya yang menyilaukan
kita dapat membatasi pandangan mata, khususnya mata hati kita. Terang yang
menyilaukan benar-benar membuat kita tidak dapat melihat. Kita bisa menjadi “gelap
mata” ketika kita silau oleh kekayaan, kekuasaan, popularitas, ataupun karena
godaan sensualitas. Bukankah yang begini-ini yang disukai banyak orang?
Akibatnya, kita dapat tersesat dalam labirin kehidupan ini!
Kita bisa mempunyai mata hati yang jernih supaya dapat melihat seperti
apa yang Tuhan lihat dengan jalan pertama-tama berilah hati kita dikuasai oleh
kasih Kristus. “Sebab kasih Kristus yang
menguasai kami, karena kami telah mengerti, bahwa jika satu orang sudah mati
untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati. Dan Kristus telah mati untuk
semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri,
tetapi untuk Dia yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka.” (2
Kor.5.:14,15). Dengan kesadaran ini kita melakukan segala sesuatu bukan demi
memenuhi keinginan dan ambisi kita, melainkan agar karya Kristus dapat nyata
melalui hidup dan pelayanan kita.
Kedua, yakinlah bahwa Tuhan itu
sudah memberikan kepada kita “benih”. Apakah menyediakan hati kita untuk
ditumbuhi benih-benih kebenaran itu atau kita menutupnya rapat-rapat? Andaikan
saja kita membuka hati dan memelihara benih-benih kebenaran itu, maka pastilah
akan membuahkan hasil yang sesuai dengan kehendak-Nya. Segala sesuatu sudah Tuhan
siapkan buat kita, kini tinggal respon kita untuk melakukannya!